NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Sunrise

Sunrise



November, 10, 2005.
Sabtu pagi menjelang aku berangkat ke sekolah.


Di luar sana, sepagi ini hujan deras sudah mengguyur membasahi setiap jengkal permukaan bumi. November Rain. Ya, setiap orang bilang seperti itu, karena memang kenyataannya musim hujan selalu datang di bulan november. Dan lagi, hujannya pun gak tanggung-tanggung, tiap hari pasti hujan. Hari ini saja, sepagi ini hujan sudah turun sebegitu derasnya.
“ah, hujan lagi, hujan lagi. Lagi-lagi hujan, lagi-lagi hujan.” Ucapku kesal, ku banting tas sekolah berisi buku ke atas tempat tidur,”masih pagi-pagi gini juga, hujan udah deres banget kaya gitu. Bikin bete aja, jadi males masuk sekolah.”
Dengan sedikit malas, aku beranjak duduk di atas lantai, menyandarkan tubuhku di samping tempat tidur. Ku tatap jendela kamarku. Ku dapati kaca jendela tampak basah kuyup terkena guyuran air hujan. Biasanya sepagi begini sinar matahari dengan hangatnya menembus kaca jendela kamarku, dan seolah dengan hangatnya pula menyapa pagi diriku yang sedang hendak berangkat sekolah. Ah, tapi kini, bukan hangatnya sunrise yang menembus kaca jendela kamarku, melainkan hembusan udara dingin dari derasnya guyuran hujan di luar sana. Dan, kini, bukan indahnya pemandangan sunrise yang ku lihat di balik kaca jendela kamarku, melainkan langit mendung nan gelap yang diselimuti kabut tebal.
Ku raih gitar yang tergeletak di atas tempat tidur meskipun masih dengan sedikit rasa malas. Ah, pikir-pikir, daripada bete, mending mainin gitar kesayanganku, sambil nunggu hujan sedikit mereda. Yach, siapa tahu aja beberapa menit lagi hujan bisa sedikit reda, paling tidak, enggak sederas sekarang lah.




Ku petik senar gitar, dan mulai ku lantunkan sebuah lagu ….

Musim berlalu, resah menanti
Matahari pagi, bersinar gelisah kini
Semua bukan milikku, musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti … 1

Sebuah lagu yang kurasa cocok dengan cuaca di luar sana sekarang, pun bisa mewakili perasaanku saat ini. Ya, hujan deras memang sedang mengguyur di luar sana, dan dibalik semua itu, jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam, sebenarnya tersirat suatu kesedihan yang sedang kurasakan saat ini, kesedihan yang berawal dari akan perginya seorang cewek yang kepadanya aku sedang menaruh hati. Sunrise nama cewek itu, lengkapnya Angelina Sunrise. Ya, sebuah nama yang terdengar aneh memang, tapi tidak bagiku, secara memang dia lahir di London, kota asal ayahnya, dan baru pindah ke Jakarta setelah dia berusia lima tahun kira-kira.
Satu hal yang membuat aku jatuh hati kepadanya adalah selain wajahnya yang cantik, namun juga selalu tampak bersinar cerah berseri-seri seolah tiada pernah terbersit suatu kesedihan sedikitpun disana, layaknya sunrise memang, sesuai dengan namanya. Dia itu adik kelasku, dan baru seminggu ini aku kenal dengan dirinya. Meskipun begitu, aku merasa sudah jatuh hati kepadanya, dan aku berharap dirinya juga merasakan hal yang sama seperti diriku. Dan, suatu saat nanti, aku bersumpah, aku akan mengutarakan segala isi hatiku ini kepadanya.
Tapi, Dewa Cinta ternyata berkata lain. Hari ini, bisa jadi adalah hari terakhirku untuk bisa bertemu dengannya, karena mulai senin depan dia tidak akan lagi satu sekolah denganku, dia akan pindah sekolah ke Bandung, kota asal Ibunya.
Ah, kenapa harus secepat itu dia pindah? Padahal bunga-bunga cinta di dalam hatiku ini baru saja bermekaran. Haruskah aku berkata jujur tentang isi hatiku ini kepadanya? Tapi, bukankah baru seminggu aku berkenalan dengannya? Tidakkah ini terlalu cepat? Tapi, kapan lagi? Bukankah besok-besok dia sudah tidak akan satu sekolah lagi denganmu? Dan, apa kamu bisa menjamin kalau suatu saat nanti kamu bisa bertemu kembali dengannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu saja berkecamuk di benakku, mengiringi lantunan nada suara gitar yang aku petik. Sejenak pikiranku melayang, hanyut terbawa suasana, sebelum akhirnya bunyi deritan pintu terbuka menyadarkanku.
“ya ampun, uki! Sudah hampir jam tujuh tuch, kamu kok malah enak-enakan main gitar di kamar.” Suara Papa membuatku sedikit tergeregap dari lamunan.
“eh, i…i…iya, Pa. bentar lagi, ini Uki masih nunggu hujannya biar reda dikit.” Jawabku sekenanya.
“uki …uki, kamu ini pagi-pagi udah ngelamun. Lihat tuch! keluar jendela! Hujannya sudah reda.”
“eh, iya Pa, hujannya udah reda.” Ucapku malu-malu sambil melongok keluar jendela.
“cepat sana! Buruan berangkat sekolah!”
“i…i…iya, Pa.” ucapku sembari buru-buru menyambar tas sekolahku yang tergeletak di atas tempat tidur. Lalu segera mengambil langkah seribu menuju garasi rumah.
“ah, sialan! Kunci sepeda motornya ketinggalan di meja belajar lagi.”
Segera aku berlari kembali ke kamar. Di ruang tamu, ku lihat sekilas Papa dan Mama hanya geleng-geleng kepala saja melihat aku tergesa-gesa.
Buru-buru ku sambar kunci sepeda motor yang tergeletak di atas meja belajar. Lalu, secepat kilat aku berlari ke garasi rumah.
Segera aku menstarter sepeda motor. Dan, brum…, brum…, brum…, bbbrrruuuummm ……….!!!
Ku pacu sepeda motorku dengan kencang, tak peduli sepatu dan celanaku basah terkena cipratan air hujan yang menggenangi jalanan.
“Nah, ya begini ini nih Jakarta. Baru diguyur hujan deras sebentar saja, jalanan sudah dipenuhi genangan air, gimana kalo seminggu penuh hujan deras turun tiada henti, harus siap-siap mengungsi gua nih.” Benakku,”eh, kok jadi malah mikirin Jakarta sih, ngapain juga gua kepikiran kesitu, lagian ‘kan itu urusan Gubernur Jakarta, bukan urusan gua. Bodo amat. Yang penting pokoknya gua bisa segera sampai ke sekolahan. Pokoknya hari ini juga, gua bakal jujur tentang isi hati gua sama si Sunrise, gak peduli kita baru seminggu berkenalan. Paling tidak, kalaupun dia mengira hal ini terlalu cepat, dan belum bisa menerima cinta gua, yang penting gua sudah jujur dengan isi hati gua, dan yang penting dia sudah tahu isi hati gua, bahwa gua Uki Hermansyah, cowok paling cakep se Jabodetabek, benar-benar sudah jatuh hati kepadanya. He …he …he….”
Jarum jam di tanganku menunjukkan pukul 07.15. itu berarti aku sudah telat seperempat jam. Alias pintu gerbang sekolah sudah ditutup, alias aku tidak bisa masuk ke sekolah. Ah, bodo amat. Hari ini, aku ke sekolah bukan untuk sekolah, tapi demi seseorang yang telah membuat bunga-bunga cinta di dalam hatiku ini tumbuh bermekaran. Ku pacu sepeda motorku penuh semangat 17 Agustus ’45, tak peduli melewati jalanan yang genangan airnya hampir setinggi lutut, namun tiba-tiba suara sepeda motorku terdengar ngadat.
Bleg …, bleg …, bleg …, dan sepeda motorku mendadak berhenti di tengah jalanan yang tergenang air hampir setinggi lutut itu.
“ah, sialan! Pake mogok segala lagi sepeda motor gua. Di starter ulang gak bisa nyala lagi, ah, benar-benar sialan nih gua. Gak biasanya juga nih sepeda motor kaya gini. Apa gua kualat gara-gara ngaku-ngaku sebagai cowok paling cakep se Jabodetabek ya?”
Ku tuntun sepeda motor ke pinggir jalan. Ku coba mencari bengkel sepeda motor. Namun, sepanjang jalan tak kulihat satupun bengkel sepeda motor yang sudah buka jam segini. Dan, sialnya lagi, hujan rintik-rintik kembali turun, dan makin lama ku rasakan guyuran air hujan semakin deras. Seharian penuh hujan deras tiada henti-hentinya mengguyur kota Jakarta. Ah, November Rain

***

“Kak Uki …! Ada tamu tuch! Lagi nunggu di teras depan rumah.” Teriak adikku, Tiwi, dari luar pintu kamarku.
“siapa, Wi?”
“Me-ne-ke-te-he. Ngakunya sih, temannya Kak Uki gitu.”
“cowok apa cewek, Wi?”
“Ya jelas cowok, lah. Emangnya pernah ada cewek yang mo ngapelin Kak Uki ke rumah, kalopun ada, tuch cewek paling-paling mo nyontek PR doank. He … he ….he …” jawab adikku sambil ketiwa ketiwi, yach namanya juga Tiwi, sukanya ya ketiwa ketiwi melulu.
“sialan loe, Wi!”
“Boo…doo…, emang gue pikirin!” timpalnya.
Segera aku beranjak menuju teras depan rumah. Disana, kulihat si Ade dan si Bayu sedang duduk menunggu sambil membolak-balik majalah di atas meja.
“Wooiii…, tumben loe berdua main kemari. Mimpi apa ya gua semalam?.”
“mimpi basah kali loe, Ki.” Cerocos si Bayu sambil cengengesan.
“ah, sialan loe, Yu.”
“kita kesini cuma pengen tahu aja, Ki, loe emangnya kemana kemarin, kok gak masuk sekolah?” ujar si Ade.
“gua udah berangkat sebenernya, tapi sepeda motor gua mogok di tengah jalan. Mana ujan tambah deres lagi, eh seharian penuh gak reda-reda. Tambahan lagi, tuch bengkel motor kemarin begok banget, masa sampai sore motor gua baru bisa jalan.”
“iya kali, Ki. Tuch bengkel emang sama begoknya kaya elu, Ki.” Seloroh si Bayu.
“sialan loe, Yu. Temen lagi kena sial, malah loe buat bahan ledekan.”
“ya elunya sih emang begok. Loe katanya naksir ama si Sunrise, udah tahu juga kemarin tuch hari terakhir dia di sekolah kita, elunya malah gak dateng. Padahal kemarin kita udah punya rencana matang buat ngecomblangin loe ama dia, biar loe bisa ngungkapin cinta loe ke dia, ya ‘nggak Men?” ujar si Bayu sembari minta persetujuan si Ade.
“tapi … gua ‘kan baru seminggu kenal ama dia, Yu.”
“iya, itu gua juga tahu. Tapi kapan lagi, Men? Emang loe bisa ngejamin kalo loe bisa ketemu lagi ama dia.”
“iya juga sih.”
“nah, asal loe tahu aja, Ki, si Sunrise tuch kemarin bolak-bolak hampir sepuluh kali nyariin loe ke kelas. Benar-benar rugi banget loe Ki kemarin.”
“seirus loe, Yu.”
“yeee, nih anak dibilangin kagak percaya. Tanya tuch si Ade.”
“iya, Ki. Kemarin si Sunrise emang kelihatan gelisah banget bolak-balik nyariin elu ke kelas. Pokoknya kaya semacam ada yang mo dia omongin banget ke elu gitu deh. Trus, waktu mo pulang sekolah, dia masih sempet juga melongok nyari elu ke kelas, tapi karena yang dia cari gak ada, ya dia pulang dengan wajah kecewa gitu.” Ujar si Ade.
“Ok…Ok…, tapi gua pingin nanya sekali lagi nih, loe berdua gak lagi pada ngibulin gua doank, kan?”
“penting gak sih, Bo, kita-kita ngebohongin cowok yang ngakunya paling cakep se Jabodetabek?” seloroh si Ade dan si Bayu hampir bersamaan.
Aku hanya ketawa saja melihat tingkah gokil kedua sobat akrabku itu.
Sejenak, ku rasakan kebahagiaan menyelimuti lubuk hati ini, bahagia karena ternyata bunga-bunga cinta itu tidak saja bermekaran di dalam taman hati ini, tapi juga di dalam taman hati Sunrise, meskipun juga terbersit rasa sesal dan sedih karena aku tidak bisa menemui dirinya dan berterus terang tentang isi hatiku kepadanya kemarin, namun aku yakin, suatu saat nanti, entah kapan dan dimana, kekuatan cinta akan mempertemukanku kembali dengan Sunrise, seyakin diriku akan terbitnya Sunrise kembali esok pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar