NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Di Dalam Lubang Jeruji

Di Dalam Lubang Jeruji


Pemuda itu terlihat tenang sekali membaca sebuah buku sambil duduk di pojok ruangan jeruji itu. Raut lembut dan kalem wajahnyalah yang menunjukkan seperti itu. Tidak hanya itu, penampilan fisiknya pun memang terlihat lembut dan kalem, seolah tiada pantas sama sekali pemuda itu berada dalam ruangan jeruji itu, bergabung bersama dengan para tahanan lain yang bersifat sebaliknya, petakilan, beringas dan kejam seperti halnya para bajingan pada umumnya.
“gua dengar bajingan tengik Cokro itu sudah mati di tangan seorang pemuda ingusan ketika sedang merampok rumah keluarga pemuda itu.” Celetuk salah seorang lelaki bertubuh kekar – yang biasa dipanggil dengan Bang Somat – diantara mereka yang ada di dalam ruangan jeruji itu. Sekilas, siapa saja pasti akan gentar melihat tampangnya yang seram, ditambah lagi dengan berewoknya yang lebat, rambutnya yang gondrong acak-acakan serta seluruh tubuhnya yang dipenuhi dengan tato-tato bergambar seram semakin menambah aura bengis menakutkan pada diri lelaki itu. Pantas saja dialah yang dianggap sebagai ketua di dalam ruangan jeruji itu. Pantas saja semua yang ada di dalam ruangan jeruji itu menaruh hormat kepadanya. Ah, bukan, bukan. Mereka bukan menaruh hormat, tapi takut kena bogem mentah melayang dari kedua tangannya yang kekar itu. Seperti yang pernah dialami oleh seorang tahanan baru yang menolak jatah makanannya diminta olehnya.
“loe pilih yang kiri atau yang kanan?! Pilih yang kiri sama saja dengan loe masuk rumah sakit, kalau loe pilih yang kanan sama saja loe memilih masuk liang lahat, tollloooollll…!!!” gertaknya kasar sembari menunjukkan kepalan tangan kanan dan kirinya yang kekar ketika seorang tahanan baru yang enggan memberikan jatah makanannya kepada dia.
“ampun, Bang. Sungguh, saya tidak bermaksud lancang dengan Abang. Saya tidak berani macam-macam dengan Abang. Tapi, kasihanilah saya Bang. Saya seharian belum makan, Bang. Tadi pagi, jatah sarapan saya diminta sama Bang Jaka, lalu jatah makan siang saya juga diminta sama Bang Midun, masa Abang juga mau minta jatah makan malam saya. Kasihanilah saya lah, Bang! Seharian saya belum makan, Bang!”
“ah, bodo amat, itu urusan loe, emang gua pikirin. Mana sini jatah makanan kamu!”
“ta….ta…tapi Bang, jatah makanan Abang ‘kan dua kali lipat dibanding kami yang lain, masa be…be…belum cukup sih Bang?”
“ah! Banyak protes segala loe, nih makan tuch bogem gua ….!!”
Bbuuuugggg!! Bogem mentah pun melayang dari tangan kirinya. Tak ayal, seorang tahanan yang terkena bogem mentahnya itu pun terkapar pingsan di lantai dengan hidung bersimbah darah. Seperti ucapannya, seorang tahanan itu pun langsung di larikan ke rumah sakit. Entah kekuatan apa yang ada dalam kedua tangannya itu hingga sekali pukul tangan kiri, sang lawan pasti akan roboh pingsan tiada berdaya dan langsung dilarikan ke rumah sakit dan sekali pukul tangan kanan, sang lawan pasti langsung roboh terkapar tiada berdaya, nyawa pun melayang.
“jangan coba macam-macam kau dengan Bang Somat itu. Kedua tangannya itu ampuh benar tahu! Sekali pukul tangan kiri, alamat masuk rumah sakit lah kau. Sekali pukul tangan kanan, alamat mati konyol lah kau.” Ujar Si Bonar, orang medan punya yang sudah kurang lebih sepuluh tahun mendekap di ruangan jeruji itu.
“ah, masa sih, Bang? Masa kedua tangan Bang Somat seampuh itu. Emangnya kedua tangan Bang Somat itu ada apanya?” Tanya seorang tahanan yang lain tidak percaya.
“ah, masa kau tidak percaya sama aku ini. Ah, pokoknya kedua tangan Bang Somat itu ada kekuatan supranatural-nya. Denger-denger sih Bang Somat memperoleh kekuatan itu di lereng Gunung Kawi setelah dia bertapa kurang lebih satu bulan tanpa makan dan tanpa minum. Ya, kalau kau tidak percaya sama omongan aku ini, kau boleh lah mencobanya sendiri. Atau apa perlu aku bilangin ke Bang Somat?”
“jjj….jjj….jjjaaangaaannn, Bang. Aku percaya kok. A..aku sungguh percaya dengan omongan Bang Bonar itu.” Si Bonar tertawa penuh kemenangan melihat lawan bicaranya tampak ketakutan.
Sementara itu, masih berada di dalam ruangan jeruji itu, tampak seorang lelaki bertubuh kekar yang lain, pun dengan penuh tato bergambar seram di sekujur tubuhnya. Bahkan, kepalanya yang gundul plontos juga dia tato dengan lambang seekor naga api yang tak kalah menyeramkan. Para tahanan sering memanggilnya dengan sebutan Bang Cuplis. Ah, lucu memang. Tapi, dia sendiri memang lebih senang dipanggil dengan sebutan itu, dan jangan coba-coba kau memanggil dirinya dengan sebutan selain Bang Cuplis atau kau juga akan menerima bogem mentah juga darinya.
Dan kini, Bang Cuplis itu tampak terperanjat mendengar keterangan dari Bang Somat bahwa si bajingan tengik Cokro itu sudah mati.
“ah, kau jangan ngarang lah Somat. Jangan mengada-ada kau. Mana mungkin Cokro mati di tangan pemuda ingusan. Kalau si Cokro itu mati di tangan seorang bajingan yang lebih sakti dari dia, baru aku percaya.”
“ah, cuplis, cuplis. Buat apa gua mengarang yang ‘nggak-‘nggak. Gua sendiri tadinya juga tidak percaya, tapi mau gimana lagi, ya memang begitulah adanya.”
Ah, siapa sebenarnya si Cokro itu sampai-sampai berita tentang kematiannya menggemparkan para bajingan yang sedang meringkuk di lubang jeruji.
Cokro Sumantoro, dialah bajingan dari para bajingan, dialah gembong dari segala bajingan, dialah rajanya bajingan yang begitu ditakuti karena kesaktiannya. Ya, Cokro Sumantoro memang terkenal kebal peluru, tak mempan segala senjata tajam, bahkan sebilah samurai yang tajamnya minta ampun sekalipun tidak akan bisa menorehkan goresan luka secuilpun di tubuhnya. Tak heran jika para bajingan itu bertekuk lutut semuanya dibawah perintah Cokro. Tak terkeculai Bang Somat dan Bang Cuplis yang begitu ditakuti di ruangan jeruji itu.
Namun, siapa sangka jika akhirnya Cokro Sumantoro, sang raja bajingan itu, harus mati di tangan seorang pemuda ingusan yang sebenarnya tak lebih dari sekedar seorang pemuda biasa pada umumnya, yang tak juga mempunyai kelebihan atau kesaktian apapun seperti yang dimiliki oleh Cokro Sumantoro sendiri. Yang pemuda itu punyai hanyalah suatu keyakinan, keyakinan yang sungguh-sungguh bahwa seampuh apapun kekuatan manusia, tiadalah bandingannya sama sekali dengan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuat. Dan, pemuda itu juga yakin seyakin-yakinnya bahwa selemah apapun kebenaran dan sekuat apapun kejahatan, tetaplah kebenaran yang akan menang. Karena kebenaran datangnya dari Tuhan. Dan Tuhan adalah Dzat Yang Maha Kuat yang kekuatanNya tiadalah ada bandinganNya.
Dan, pemuda itu, pemuda yang telah membunuh Cokro Sumantoro rajanya bajingan itu, tak lain dan tak bukan adalah seorang pemuda yang sedang meringkuk di ruangan jeruji bersama mereka itu, yang sedang terlihat dengan tenangnya membaca sebuah buku sambil duduk di pojok ruangan jeruji itu.
Ya, pemuda itulah yang telah membunuh Cokro Sumantoro yang begitu ditakuti oleh para bajingan itu, namun tidak bagi pemuda itu. Dan, karena telah membunuh Cokro Sumantoro itulah akhirnya pemuda itu harus meringkuk di penjara. Meskipun Cokro Sumantoro adalah rajanya bajingan, namun bagaimanapun juga membunuh tetaplah merupakan suatu tindak kriminal.
Peristiwa itu, peristiwa pembunuhan Cokro Sumantoro itu terjadi kurang lebih beberapa hari yang lalu ketika si Pemuda hendak pulang ke rumahnya di pagi buta sehabis lembur kerja di kantor. Dan, sesampainya ia di rumah, betapa terkejutnya pemuda itu, ketika dirinya melihat Pak Surip dan Pak Narto, dua orang satpam yang bertugas menjaga keamanan rumahnya, serta dua ekor anjing penjaga rumahnya tampak pulas di tempat. Dan, betapa terkejutnya lagi pemuda itu ketika mendapati rumahnya sedang diobok-obok oleh sekawanan perampok bertopeng, sementara seluruh keluarganya tak ada satupun yang terjaga ataupun terbangun mendengar derat-derit sekawanan perampok yang sedang beraksi itu, semuanya tampaknya tertidur dengan lelapnya. Ah, barangkali inilah yang dinamakan dengan ilmu sirep itu. Ya, ilmu inilah yang selalu digunakan oleh sekawanan pencuri, perampok, ataupun garong untuk menyatroni rumah target mereka agar para penghuni rumah tiba-tiba lelap pulas tak sadarkan diri. Seperti halnya yang sedang terjadi di rumah pemuda itu sekarang.
“Heiiii….bajingan tengik!!! sedang apa kalian di rumahku?!!!” teriak pemuda itu seketika mengejutkan sekawanan perampok itu.
Semua wajah yang tertutup topeng itu terperanjat, betapa mereka sama sekali tiada menyadari dan mengetahui kedatangan tiba-tiba pemuda itu. Dan, betapa geramnya mereka mendengar seorang pemuda berpenampilan fisik lembut dan kalem bahkan terkesan kerempeng itu memaki mereka dengan sebutan bajingan. Meskipun mereka sendiri menyadari bahwa mereka memanglah bajingan, namun ini soal harga diri jika bajingan kelas kakap macam mereka dihardik oleh pemuda ingusan macam pemuda yang sedang ada di hadapan mereka itu.
Sesaat, salah satu dari klompotan perampok itu, dengan tatapan mata mendelik membelalak kaget dan geram, terlihat hendak menembakkan pistol ke arah pemuda itu. Namun, salah satu yang lain, kelihatannya ketua komplotan itu, melarang anak buahnya yang hendak menembak pemuda itu.
“jangan!” ucap ketua komplotan itu sembari menahan acungan pistol yang ada dalam genggaman tangan salah seoang anak buahnya,”pemuda ingusan macam ini terlalu beruntung bila harus mati seketika kau tembak. Biar aku yang menghajar pemuda ingusan ini, bia ku buat tulang sekujur tubuhnya remuk redam, biar tahu rasa dia.”
“bbb…bb…baik, Boss.” Salah seorang anak buahnya itu menurunkan acungan pistolnya, tak berani dia menantang perintah sang Bos, yang tak lain dan tak bukan adalah Cokro Sumantoro, rajanya bajingan yang begitu ditakuti karena kesaktiannya yang memang sudah terkenal benar-benar ampuh.
“apa maumu anak muda? Apa pula maksud kedatanganmu tiba-tiba yang mengganggu kesenangan kami?” Tanya Cokro.
“ah, dasar bajingan tengik tolol! Lucu sekali kau! Bodoh sekali kau! Ini rumahku, tolol! Seharusnya justru aku yang menanyakan hal tersebut kepadamu?” timpal pemuda itu, tak gentar sedikitpun.
Semua anak buah cokro dan cokro sendiri terkejut mendengar ucapan bernada menantang itu keluar dari mulut pemuda ingusan di hadapannya itu. Sesaat, semua anak buah cokro tampak semakin geram, pun cokro sendiri, namun cokro bisa mengendalikannya, tidak ada kebanggaan bagi bajingan kelas kakap macam dia untuk geram dan terpancing emosi akan ucapan pemuda ingusan itu.
“aku akui anak muda, kau memang punya cukup nyali untuk mengucapkan kata-kata itu kepadaku. Tapi, kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Kau salah orang jika mengucapkan kata-kata itu kepadaku, anak muda!!!”
“kau juga salah masuk rumah jika hendak merampok, bajingan tengik! Kau juga salah orang jika mengucapkan ancaman itu kepadaku! Ah, aku pun tak peduli sedang berhadapan dengan siapa? Aku juga tak peduli siapa kau sebenarnya? Yang aku tahu kau hanyalah bajingan tengik yang tiada punya sopan santun sama sekali masuk rumah orang seenaknya sendiri tanpa permisi!” ucap pemuda itu tak kalah gentarnya. Ah, entah apa yang membuat pemuda ingusan itu tiba-tiba seberani itu, meskipun dia sendiri menyadari bahwa sekawanan perampok itu tentunya bukan sembarang perampok biasa melainkan sekawanan perampok kelas kakap yang tentunya juga dibekali kesaktian melihat semua penjaga rumah dan seluruh keluarganya lelap pulas tak sadarkan diri seolah sedang mati suri saja.
Satu mungkin yang membuat pemuda ingusan itu sebegitu beraninya, yaitu keyakinan di dalam lubuk hatinya bahwa selemah apa pun kebenaran dan sekuat apapun kejahatan, kebenaran bagaimanapun akan menang. Karena kebenaran bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuat yang kekuatanNya tiadalah ada yang menandingi bahkan seandainya seluruh alam raya bersatu padu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menandingi kekuatan Tuhan, semua itu hanyalah bagaikan setitik air di hamparan samudera luas.
“ah, kau terlalu banyak cakap anak muda! Apakah itu karena kau juga punya kesaktian sehingga kau berani menantangku, Cokro Sumantoro, rajanya bajingan!”
Sejenak pemuda itu sedikit terperanjat mendengar nama Cokro Sumantoro, seolah ada kekuatan magis dari nama itu yang tiba-tiba menghembuskan aliran angin berhawa dingin menyeramkan ke seluruh ruangan yang membuat bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Namun, sesaat kemudian pemuda itu bisa menguasai keadaan, bisa menguasai dirinya yang tiba-tiba terserang hawa dingin menakutkan yang membuat keringat dinginnya mengucur dari sekujur tubuhnya.
Dia sebenarnya tidak banyak tahu tentang siapa itu Cokro Sumantoro. Namun, dia pernah beberapa kali mendengar nama itu menjadi “buah bibir” di kalangan polisi, di kalangan wartawan surat kabar kriminal serta di acara berita seputar kriminal stasiun-stasiun televisi swasta.
“aku tiadalah punya kesaktian apa-apa wahai Cokro Sumantoro, yang aku punya hanyalah keyakinan akan Tuhan Yang Maha Benar. Kebenaran bagaimanapun juga lemahnya akan tetap menang. Dan, kejahatan bagaimanapun juga kuatnya akan tetap kalah.”
“hmmm, jadi kau hendak bilang bahwa kau berada di pihak yang benar dan aku di pihak yang salah, begitu? Dengan begitu, betapa sakti dan kuatnya aku, dan betapa lemah dan tak berdayanya kau, aku hendak kalah dan bertekuk lutut dihadapanmu, begitu?”
“hmmm, kau cukup cerdas memaknai kata-kataku rupanya.”
“kau juga cukup cerdas menyerang mental musuhmu dengan sugesti kata-katamu itu, anak muda!”ucap Cokro, sorot matanya terlihat tajam menusuk,”tapi kau lupa bahwa kau sedang berhadapan dengan seorang Cokro Sumantoro. Terimalah ini anak muda!!!”
Sesaat kemudian, secepat kilat Cokro Sumantoro melesat dengan sebilah belati di tangan ke arah pemuda ingusan itu. Sementara pemuda ingusan itu, kedua bola matanya tampak membelalak terkejut menangkap sekelebat bayangan Cokro Sumantoro yang tiba-tiba secepat kilat melesat menyerang dirinya. Sejenak, pemuda itu terpana, tak tahu harus berbuat apa, tak bisa mengontrol dirinya. Hmmm, mungkin ini akan menjadi akhir pemuda ingusan itu.
“matilah kau anak muda!!!!!” teriak Cokro.
Cokro Sumantoro melayangkan sebilah belati di tangan kanannya tepat ke arah ulu hati pemuda itu. Sekilas, kelihatannya ujung belati itu akan mendarat tepat di ulu hati pemuda ingusan itu.
Dan……………….., ah, betapa terkejutnya Cokro Sumantoro. Betapa tercengangnya semua anak buahnya. Mulut mereka tampak melongo tak percaya menyaksikan pertarungan itu. Seorang pemuda ingusan itu mampu menangkis serangan secepat kilat penuh tenaga dalam dari Cokro Sumantoro. Hanya dengan tangan kirinya pemuda itu menangkap pergelangan tangan kanan Cokro yang kekar itu, lalu memelintirnya hingga sebilah belati di tangan kanan Cokro itu jatuh ke lantai.
Cokro terdengar meringis kesakitan pergelangan tangan kanannya dipelintir oleh pemuda itu. Kedua bola mata Cokro membelalak antara murka, menahan sakit dan seolah tidak percaya serangan secepat kilatnya bisa ditepis oleh seorang pemuda ingusan dihadapannya itu.
‘sudah ku bilang, sekuat apapun kejahatan tidak akan menang melawan kebenaran selemah apapun itu.”ucap pemuda itu sembari mengepalkan tangan kanannya, bersiap menghantamkan serangan balik ke arah Cokro. Namun, sebelum itu, sebelum pemuda itu melayangkan pukulannya, pemuda itu terlihat memejamkan matanya. Lalu, mulutnya tampak komat-kamit mengucapkan sesuatu, tapi terdengar bukan seperti mantra pada umumnya.
“kejahatan bagaimanapun juga akan mati di tangan kebenaran.” Ucap pemuda itu.
Pada itu, tiba-tiba angin berhembus membawakan hawa dingin kematian yang sangat menyeramkan. Tapi, bukanlah pemuda itu yang kini merinding berdiri bulu kuduknya, melainkan Cokro Sumantoro. Kedua bola matanya melotot tajam seolah mau keluar, tapi bukan karena murka melainkan karena merinding ketakutan mendengar ucapan pemuda itu. Satu kata yang begitu terngiang di telinga Cokro Sumantoro adalah ‘mati’!
Pada itu, namun dalam ruang dan waktu yang berbeda, Cokro Sumantoro seolah tiba-tiba berada di suatu lorong gelap tanpa cahaya. Dan, disitulah tiba-tiba Cokro Sumantoro berteriak menjerit kesakitan karena sesuatu tampaknya sedang mencoba keluar dari dalam tubuhnya. Sesuatu itu adalah sesosok monster siluman menyeramkan mirip gerandong dan buto ijo. Sesuatu itulah yang selama ini membuat tubuh Cokro Sumantoro sakti dan ampuh.
Sesaat setelah sesosok monster siluman menyeramkan itu keluar dari dalam tubuhnya, nafas Cokro Sumantoro terengah-engah. Tubuhnya kini terasa lemah tiada berdaya, kedua kakinya terasa lemas, lalu roboh bertekuk lutut di hadapan monster siluman itu.
“kk…kk…kkee…kenapa kau keluar dari dalam diriku?”
“karena kau akan mati, Cokro! Jika kau mati, aku pun akan mati. Karena itulah aku keluar dari dalam tubuhmu, Cokro!”
“a…aa…apa?”
“kau akan mati, Cokro! Kau akan mati, Cokro!”
“bajingaaaannnn! Pengkhianat kau!!!”
“kaulah yang bajingan, Cokro! Dan, kau tak usah menghardikku seperti itu, Cokro! Ingat, Cokro! Kau akan mati sebentar lagi! Kau akan mati, Cokro! Mati….mati….mati…..!!!!”
Monster siluman itu seketika lenyap dari hadapan Cokro Sumantoro, namun suara ‘mati’ itu masih terngiang dengan jelas di telinga Cokro.
Sesaat kemudian, tubuh Cokro Sumantoro seolah melayang kembali ke dalam ruang dan waktu yang sesungguhnya dimana pemuda itu bersiap menghantamkan pukulannya ke tubuh Cokro. Dan, belum sempat Cokro tersadar betul bahwa dia telah kembali ke dalam ruang dan waktu yang sesungguhnya, pemuda itu telah menghantamkan kepalan tangan kanannya tepat ke arah ulu hati Cokro Sumantoro. Dan, entah kekuatan apa dan darimana yang ada pada kepalan tangan pemuda ingusan itu. Cokro Sumantoro terpelanting ke belakang sejauh hampir sepuluh meter. Cokro Sumantoro memuntahkan darah segar dari mulutnya. Lalu, sesaat kemudian roboh ke lantai tak berdaya, tak berdaya sama sekali. Cokro Sumantoro telah mati di tangan pemuda ingusan biasa.
“hmmm, Somat, apakah kau tahu pemuda ingusan yang telah membunuh Cokro?” tanya Bang Cuplis kepada Bang Somat di dalam ruangan jeruji itu.
“gua tidak tahu. Tapi gua yakin, pemuda ingusan itu bukanlah pemuda biasa. Pemuda ingusan itu pasti juga memiliki kesaktian seperti Cokro Sumantoro.”
“tidak!”tiba-tiba pemuda yang sedari tadi dengan tenangnya duduk membaca buku di pojok ruangan jeruji itu menyeletuk,”aku memanglah pemuda ingusan biasa. Aku juga sama sekali tidak memiliki kesaktian seperti Cokro Sumantoro. Aku hanyalah pemuda ingusan biasa yang yakin seyakin-yakinnya bahwa ‘kejahatan bagaimanapun juga akan mati ditangan kebenaran’.”
Semua mata di dalam ruangan jeruji itu kini tertuju kepada pemuda yang sedari tadi dengan tenangnya duduk membaca buku di pojok ruangan jeruji itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar