NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Masih bisa cinta

Masih bisa cinta

Matahari sore di seberang lautan luas memang terlihat begitu indahnya bila dilihat dari bibir pantai. Aku duduk termangu sendirian di atas lembutnya pasir pantai Parangtritis menunggu datangnya sunset. Sementara pikiranku entah kenapa tiba-tiba saja teringat ucapan setiap wanita yang ku cintai. Semua laki-laki di dunia ini sama saja. Sama-sama bisanya cuma ngegombal dan merayu doang, sama-sama cuma bisa janji-janji doang, sama-sama gampang sekali ngomong cinta kepada setiap wanita yang ditemuinya. Dasar lelaki! Maunya menang sendiri. Lelaki memang buaya darat. Mereka pandai sekali melambungkan hati setiap wanita yang menjadi korbannya, mereka mahir sekali merayu wanita dengan janji-janji seabrek yang kenyataannya cuma kemprus doang, mereka seolah sudah paham betul bagaimana cara meyakinkan ‘cinta’ kepada setiap wanita yang menjadi korban sifat kebuaya daratannya itu.
Mayoritas kaum hawa pasti akan berpendapat sama seperti di atas tentang seorang lelaki. Ah, betapa hinanya kredibilitas sosok lelaki di mata mereka. Betapa jengkelnya mereka dengan kaum adam sampai-sampai mereka menyamakannya dengan seekor buaya yang merupakan tak lebih dari seekor hewan melata yang buas dan ganas. Memang ada benarnya juga jika mereka para wanita berprasangka buruk seperti itu terhadap lelaki. Gak usah jauh-jauh lah, teman-temanku sendiri juga sering gonta-gonti cewek. Mereka seolah dengan mudahnya mendapatkan cewek yang mereka inginkan. Lalu, habis manis sepah dibuang. Dengan mudahnya mereka bilang ‘cinta’ mati, dengan entengnya pula mereka bilang putus, atau karena sudah gak cocok lah, atau mereka bilang si cewek itu egoislah, atau seabrek alasan yang lainnya yang bisa me’legal’kan sebuah kata yang akan mereka ucapkan kepada si cewek, yaitu ‘putus’. Lalu, hilang satu tumbuh seribu, bersatu kita teguh, bercerai kita kawin lagi kata mereka.
“Ah, bukan salah mereka para wanita jika menganggap semua lelaki di dunia ini sama saja, sama-sama buaya darat. Justru letak kesalahannya ada pada diri para lelaki itu sendiri. Kenapa mereka suka mempermainkan wanita sehingga membuat diri mereka sendiri dicap jelek di mata kaum hawa? Ah, dasar naluri lelaki! Tak pernah lelah mencari wanita.” Gumamku dalam hati, ”ah, tapi? Tapi bukankah aku sendiri ini seorang lelaki? Ya, aku memanglah seorang lelaki, tapi bukankah aku ini tidak seperti mereka para lelaki buaya darat itu? Ah, aku pikir mereka para wanita kurang bijak jika menganggap semua lelaki itu sama saja. Buktinya aku sendiri tidak sama seperti teman-temanku yang suka gonta-ganti cewek itu. Aku sendiri juga sebenarnya tidak setuju dengan ulah teman-temanku itu. Tapi toh kenapa para cewek itu tetap mau menjalin ‘cinta’ dengan mereka? Bukankah mereka para cewek itu juga sudah tahu kalau teman-temanku itu terkenal playboy? Lalu, salah siapa dong kalau begitu? Ah, sudahlah, gak baik saling menyalahkan.”
Aneh juga memang, dan sedikit membingungkan. Bagai makan buah simalakama. Satu sisi kaum hawa mengecap kaum adam sebagai buaya darat yang pandai merayu, pandai ngegombal, pandai ngobral janji, tapi di sisi yang lain kenapa mereka sendiri suka dirayu dan dipuji oleh kaum adam? Kenapa mereka sendiri mau termakan rayuannya dan menjalin ‘cinta’ dengan kaum adam yang telah mereka cap seperti itu? Jadi cowok memang selalu serba salah di mata para cewek. Kalau lagi ngomong puitis dibilang ngegombal, kalau gak puitis dibilang gak romantis. Ah, bingung aku. Maunya apa sih sebenarnya mereka?
“Wuooii…! Ngelamun aja dari tadi.” Si Rio tiba-tiba menepuk pundakku dari arah belakang yang sedikit mengagetkanku, ”ngelamunin siapa sih? Ngelamunin si Vie2 ya? Sudahlah Ki, ngapain juga mikirin cewek yang udah nolak kita, hilang satu tumbuh seribu, gitu donk!” lanjutnya.
Ah, dasar si Rio, mengingatkanku saja dengan si Vie2, si cewek cute n imut yang pernah aku taksir abis itu. Dialah cewek yang terakhir kali kepadanya aku mencurahkan rasa cintaku dengan ungkapan kata-kata yang begitu puitis ala Kahlil Gibran, dan lagi-lagi aku mendapatkan jawaban yang sama, ‘alaah! Ngegombal banget sih loe!’ alias ditolak mentah-mentah. Ah, hidup ini kadang terasa aneh dan membingungkan. Kenapa aku yang selalu memandang serius dalam urusan cinta selalu saja ditolak oleh cewek, sementara teman-temanku yang hanya menganggap Love is just for fun malah seolah mudah sekali mendapatkan cinta yang mereka inginkan? Gak cuma sekali dua kali aku ditolak cewek, tapi berulang kali. Ah, nasib! Dasar nasib, sekali cinta diterima cewek, justru si cewek itu yang mempermainkanku, menghianati cintaku dan terang-terangan berselingkuh dengan cowok lain. Ah, kenapa aku yang mesti menanggung karma dari ulah teman-temanku itu? Ah, bukan! Aku bukannya kena karma dari teman-temanku, tapi zaman sekarang memang telah berubah, ini zamannya emansipasi wanita, Bung! Wanita pun sekarang bisa menjadi wanita buaya darat. Wanita zaman sekarang sudah gak jauh beda dengan para lelaki. Mereka juga sudah menganggap Love is just for fun. Mereka juga bisa dengan mudahnya melambungkan hati sang cowok, lalu membenamkan hatinya jauh-jauh ke dasar jurang kesedihan dengan berpaling kepada cowok yang lain, lalu berpaling lagi kepada cowok yang lainnya lagi dan seterusnya. Ah, sudahlah! Aku gak mau mendramatisir dan larut dalam nasib cintaku. Aku gak akan jatuh cinta lagi pokoknya. I never fall in love again. Love is just a bullshit. Love is only on the cinema. Romantika dan indahnya cinta itu hanya ada di sinetron-sinetron, di film-film dan di novel-novel saja. Di kehidupan nyata? Ah, jangan harap kamu bisa meniru romantika cinta seperti yang sering kamu lihat di sinetron. Yang ada dalam benakku sekarang adalah segera menyelesaikan kuliahku, lalu mendapatkan kerja yang layak guna membiayai sekolah adik-adikku.
Matahari tampak segera kan tenggelam dan seolah saja lenyap ditelan hamparan lautan Parangtritis yang luas. Pertanda hari kan segera berganti malam. Aku pun segera bergegas pulang ke kost bareng sama si Rio. Jarak dari kostku ke Parangtritis memang relatif cukup dekat, karena itu pula aku dan Rio sering menikmati indahnya pemandangan matahari sore sambil sekedar duduk-duduk santai di tepi pantai Parangtritis.
***
“Ki, kamu kan sudah cukup dewasa nak, sudah waktunya kamu mencari pendamping hidup. Lagi pula adik-adikmu sekarang juga sudah bisa hidup mandiri, cuma si Budi yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Masalah biaya sekolah si Budi gak usah kamu pikirkan, nak. Dari hasil bulanan penjualan di kios kita saja sudah cukup kok.” Kata Ibuku.
“Iya mas, betul kata Ibu, mas Uki kan udah hampir berkepala tiga, sudah waktunya mas Uki cari calon istri, ya nggak Na?” Si Fitri adikku yang pertama menimpali sambil meminta persetujuan dari si Nana adikku yang kedua.
“Betul, mas. Lagian aku sama mbak Fitri kan sudah bisa cari uang sendiri sekarang, jadi mas Uki gak usah repot-repot lagi mikirin kita berdua. Terus si Budi kan cuma masih duduk di bangku sekolah dasar, jadi biar kita saja yang gantian menanggung biayanya. Mas Uki kan udah kerja keras banting tulang demi mengkuliahkan kita. Nah, sebagai ungkapan rasa terima kasih kita, mas Uki sekarang gak usah pusing-pusing lagi mikirin uang bulanan rumah dan uang sekolah si Budi. Biar aku sama mbak Fitri saja yang ngurusin. Ya nggak, Bud?” ujar si Nana sambil seolah bercanda meminta pendapat si Budi yang notabenenya masih kecil. Sementara si Budi sendiri cuma ikut-ikutan mengiyakan saja seperti kedua kakaknya itu.
“Iya mas, mas Uki cepetan nikah saja. Mas Uki gak usah mikirin Budi deh. Ntar Budi mau kerja cari uang sendiri biar gak ngerepotin mas Uki lagi” ujar si Budi polos disambut gelak tawa seisi rumah.
“Tuch, kamu udah denger sendiri kan pendapat adik-adikmu, mereka juga pengen segera punya kakak ipar, dan ibumu ini kan sudah cukup tua, jadi sudah gak sabar lagi pengen segera punya cucu.” Ibuku kembali angkat bicara.
Ah, waktu memang terasa begitu cepat berjalan. Tanpa ku sadari sudah hampir lima tahun berlalu setelah aku melepaskan statusku sebagai seorang mahasiswa. Dan selama itu pula semenjak kepergian almarhum ayahku, akulah yang harus menjadi kepala keluarga kerja keras membanting tulang demi mengkuliahkan kedua adikku. Terbersit rasa haru bercampur bangga dan bahagia di hati ini karena aku ternyata mampu menggantikan posisi ayahku sebagai kepala rumah tangga. Namun, selama itu pula, selama menyibukkan diri berkecimpung dengan dunia kerja, tak bisa kubohongi ada yang terasa kurang dan kosong di lubuk hatiku yang terdalam. Selama itu tak pernah sekalipun ada seorang wanita yang singgah di hatiku. Tapi aku anggap wajar-wajar saja karena selain diriku masih trauma dengan yang namanya cinta, aku sendiri waktu itu memang harus fokus total pada keluargaku. Waktu, tenaga, dan pikiran aku curahkan hanya untuk keluargaku. Everything is for my family only. Tapi, sekarang sudah lain ceritanya. Segalanya telah berubah seiring berjalannya waktu. Kedua adikku sudah bisa mandiri. Sementara usiaku juga sudah mulai beranjak kepala tiga. Ibuku juga sudah pantas untuk dipanggil ‘nenek’. Ah, ada benarnya juga pendapat ibu dan adik-adikku itu. Sudah waktunya bagiku untuk mengakhiri masa lajangku. Dan, lagi pula semua teman-teman seangkatanku juga sudah pada menikah, bahkan juga sudah ada yang punya momongan. Ah, segalanya memang telah berubah. Karena perubahan memang hanya soal waktu. Tapi kenapa perasaanku tetap saja belum bisa berubah. Pengalaman cinta masa laluku seolah membuatku paranoid akan cinta.
Aku termenung sendirian sambil berbaring di tempat tidur memikirkan lika-liku kehidupanku sendiri. Seharian kerja membuat otak dan tubuhku ini terasa penat dan lelah. Namun, kata-kata ibu dan adik-adikku serta para kerabat dan tetangga dekatku membuat mata ini sulit terpejam. Ah, biarlah mereka mau bilang apa, terserah mereka, itu hak mereka, itu juga pertanda mereka peduli denganku. Dan lagi pula mereka juga sama sekali tidak tahu menahu apa yang sebenarnya ada di hatiku. Mereka juga tidak tahu pengalaman masa laluku itu seperti apa. Ah, perubahan memang hanyalah soal waktu. Biarlah waktu yang kan merubah segalanya. Biarlah waktu yang menjawabnya. Dan biarlah waktu pula yang kan mempertemukanku dengan pendamping hidupku kelak.
Dua buah lagu Bang Iwan Fals yang berjudul ‘Masih bisa cinta’ dan ‘Yang cinta’ mengantarkanku ke dalam tidur lelap di balik keheningan malam yang semakin sunyi. Sementara sebuah lagu lama dari Dewa 19 yang berjudul ‘Cinta kan membawamu kembali’ yang terdengar samar-samar di telingaku karena kedua mata ini sudah mulai tertutup rapat, semakin membenamkanku ke dalam lelapku serta menenggelamkanku ke dalam sebuah mimpi. Ya, sebuah mimpi yang merupakan suatu titik tolak perubahan dalam kehidupanku, terutama kehidupan cintaku.
***
Di sebuah pasar loakan buku itu, kedua bola mataku tiba-tiba terbelalak ketika melihat sesosok wanita yang pernah ku kenal, bahkan lebih dari itu juga pernah hadir dan bersemayam dalam lubuk hatiku. Aku pun berubah menjadi sedikit salah tingkah ketika kedua bola matanya juga menatap tajam ke arahku. Kami berdua saling pandang hingga akhirnya aku putuskan untuk menyapanya lebih dulu.
“Vie2 ya?” sapaku.
“Uki ya?” dia balik menyapaku. Lalu kami berdua pun saling berjabatan tangan, saling bertanya kabar, dan saling bercerita tentang aktifitas kami masing-masing selama ini.
Sudah sangat lama sekali aku tiada pernah berjumpa dengannya setelah pertemuan terakhirku dengannya di acara wisuda itu. Kurang lebih hampir lima tahun. Empat tahun lamanya kami menghabiskan waktu bersama-sama di bangku kuliah. Kami dulu memang selalu terlihat akrab berdua karena karena kebetulan kita satu jurusan dan satu kelas pula. Lagi pula kami juga merasa cocok satu sama lain. Dimataku dia adalah sosok wanita yang selalu nyambung serta enak diajak ngomong dan juga enak dijadikan teman diskusi. Karena itu pulalah akhirnya tumbuh benih-benih cinta di hatiku kepadanya. Dan aku pun berpikiran kalau dia juga merasakan hal yang sama sepertiku. Namun, ternyata dugaanku salah. Dia justru malah menolak cintaku mentah-mentah. Sejak saat itu, hubungan kami berdua pun menjadi semakin renggang. Kami pun jarang terlihat akrab seperti sedia kala. Ketika berpapasan pun kami berdua menjadi terlihat sama-sama kaku dan kikuk seolah saling terbersit rasa risih di hati kami masing-masing.
Ah, tapi kan itu dulu. Itu kan cuma sekadar sekelumit kenangan masa lalu. ‘dulu’ dulu, ‘sekarang’ sekarang. Yang telah berlalu biarlah berlalu, gak usah diungkit-diungkit lagi. Dan, kini kami berdua juga sudah sama-sama lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu. Ah, tapi? Bukankah dia itu wanita yang terakhir kali kepadanya aku mengungkapkan cintaku? Meskipun akhirnya aku ditolak. Dan, bukankah setelah itu belum ada seorang wanita pun yang hadir kembali ke dalam hatiku menggantikan posisi dirinya? Ah, aku memang tidak bisa berbohong kepada diriku sendiri. Aku memang cinta mati kepadanya. Bahkan sampai sekarang pun, sampai selama ini pun benih-benih itu masih ku rasakan ada di hatiku. Ah, Vie2. Kau masih tetap cantik dan manis seprti dulu. Kau masih tetap terlihat imut seperti sedia kala.
“Eh, denger-denger teman-teman seangkatan kita udah pada nikah semuanya ya? Bahkan udah ada yang punya momongan juga katanya. Kamu sendiri gimana, Ki?” tanya dia.
“Aku belum nikah kok, Vie.” Jawabku ringan.
“Tapi udah ada calonnya kan?” Tanyanya kembali.
“Belum juga. Terus kamu sendiri?” Aku balik tanya.
“Aku juga belum nikah kok, Ki”
“Tapi udah ada calonnya kan?” Tanyaku meniru pertanyaan yang dilontarkannya kepadaku.
“Belum juga.” Jawabnya sambil senyum tersipu.
Ah, jawaban itu seolah terasa seperti angin sepoi nan sejuk yang menusuk ke hatiku. Seolah ada sekelumit rasa bahagia dan senang mendengar jawaban darinya itu. Rasa cinta dalam hatiku yang telah sekian lama terpendam seolah kembali bersemi. Dan, entah pula kenapa tiba-tiba saja aku memberanikan diri untuk memegang kedua tangannya sembari mengungkapkan keinginanku.
“Maukah kamu menikah denganku.”
Ku tatap tajam-tajam kedua bola matanya yang menampakkan sedikit rasa keterkejutan. Namun di balik itu aku bisa melihat secercah sinar binar dari kedua bola matanya itu yang seolah membisikkan kata ‘iya’ kepadaku meskipun belum terucap kata itu secara langsung dari bibirnya. Cukup lama kami bertatap mata, cukup lama pula aku menunggu kata ‘iya’ terucap dari bibirnya yang memerah indah. Tapi dari lubuk hatiku yang terdalam aku benar-benar yakin dia akan mengucapkannya. Karena diamnya seorang wanita berarti setuju. Dan……
“Kkrrriiiinnnggggg…!!!” Terdengar bunyi nada dering dari handphoneku yang membuyarkan suasana. Ah, bukan. Itu sama sekali bukan suara dari handphone, tapi….
Aku tergeregap kaget. Aku terbangun dari tidurku karena bunyi jam waker yang begitu kerasnya. Ah, aku cuma bermimpi saja rupanya.
Aku masih saja duduk termangu di atas tempat tidur memikirkan mimpi yang ku alami itu. Ah, apa sebenarnya makna mimpi itu? Ponselku tiba-tiba berdering. Ada satu pesan baru masuk. Aku sedikit kaget ketika melihat nama ‘Vie2’ terpampang di daftar pesan masuk di layar ponselku. Ku buka dan ku baca sebuah sms tiba-tiba darinya itu.
“hi uki, pa kbr? Dah lama bgt ya Qta ga prnah saling krm kbr. Dah sukses ne skrg? Eh, denger2 tmn2 seangkatan Qta dah pd nikah ya? & malah dah ada yg pnya anak jg katanya. Km sndri gmn ki? Dah nikah blm? Kalo aq blm nikah ki, soalnya blm ada calonnya gitu. Mo daftar jd calonnya ga ki?Formulirnya masih banyak tuch, soalnya blm ada yg daftar sm sekail, gituuu. He…he…he…”
Aku tersenyum membaca sms darinya. Dan, kali ini aku bukan cuma sekedar bermimpi lagi. Kali ini segalanya benar-benar ku rasakan nyata adanya.
***
Untuk seorang Lutfi Wulandari (Vie2) in somewhere she is.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar