NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Bulan dadari

Bulan dadari

Malam ini langit di atas sana menampakkan keelokannya. Dewi malam keluar dari balik kabut malam dengan memancarkan cahayanya yang terang benderang serta dalam bentuknya yang begitu bundar sempurna. Bintang-bintang pun seolah tak mau ketinggalan saling bertebaran dan berlomba-lomba memancarkan sinarnya semakin menambah indahnya pemandangan elok langit malam itu.
“Indah sekali langit malam ini. Bulan menampakkan bentuknya yang begitu sempurna. Kelap-kelip bintang menemani pancaran sinar bulan purnama yang begitu terang benderang. Ah, betapa maha agung dan sempurnanya maha karya ciptaan Tuhan ini.” Gumamku dalam hati.
Aku kembali tertegun, bukan karena memandangi eloknya pemandangan di angkasa raya malam itu, tapi karena ada sesuatu yang seolah sedang berkecamuk di pikiranku.
“Bulan purnama itu memang sungguh indah. Begitu bundar dan begitu terang cahayanya. Hmm, bulan dadari.” Gumamku kembali dalam hati.
“Ah, bulan dadari itu memang sangatlah mempesona mata yang memandangnya, dan cahayanya mampu menerangi alam raya di balik gelapnya malam. Aku memang terpesona dengan keindahanmu itu, namun sayang, terang cahayamu tiada mampu menyinari hatiku yang sedang gelap.”
Termenung aku kembali, larut dalam keheningan malam dan hatiku. Alam raya seisinya seolah terdengar pekik keriangannya menyambut datangnya bulan dadari itu. Namun, ‘diriku’ yang terdalam seolah memaksaku untuk tidak bisa menikmati eloknya bulan dadari malam itu sepenuhnya. Ada sesuatu yang belum muncul di balik bulan dadari malam itu yang membuat pancaran cahayanya tiada mampu menembus ke dalam hatiku, menerangi hatiku yang sedang gelap gulita.
Ada ‘bulan dadari’ lain yang pancaran pesonanya lebih mampu menerangi kegelapan langit di hatiku. ‘bulan dadari’ itu tak lain dan tak bukan adalah seorang gadis yang selama ini begitu aku cintai dan sayangi. Seorang gadis yang selama ini namanya begitu melekat dan terukir dalam hatiku. ‘Wulandari’ nama gadis itu. Namun, selama itu pula, setelah aku memberanikan diri untuk mencurahkan segala perasaan cintaku kepadanya, entah kenapa dia tiba-tiba saja dia seolah menghilang pergi begitu saja meninggalkanku.
“Wulan, ada sesuatu yang ingin aku utarakan kepadamu.”
“Tentang apa?”
“Ehm, aku merasa nyaman di dekatmu. Aku merasa sangat cocok denganmu selama ini. Kamu merasakan hal yang sama gak?”
“Iya, aku juga merasakan hal yang sama sepertimu. Aku merasa nyaman bersamamu karena aku pikir kita memang cocok satu sama lain. Pokoknya kita itu selalu nyambung terus kalau lagi ngobrol apa saja. Kamu juga sangat mengerti dan memahami sekali diriku. Kamu selalu sudi untuk sekedar mendengarkan keluh kesah dan curhatku. Dan kamu pun tidak hanya sekedar menjadi pendengar setia saja, tapi juga sering memberi masukan dan nasehat berharga kepadaku. Pokoknya kamu itu memang tempat bersandarku.” Jawabnya diiringi senyum manjanya yang manis yang kurasakan semakin membuatku melayang mabuk kepayang dan semakin meyakinkan hatiku bahwa dia pun juga benar-benar merasakan hal yang sama kepadaku.
“Ehmm…anu…ehmm…a…a…aku…” aku terbata-bata seolah ada sesuatu yang menyumbat dan menahan lidahku untuk bersuara.
“Kamu kenapa?” tanyanya melihat keanehan dan keterbataanku.
“Aku ada sesuatu yang ingin aku utarakan ke kamu.”
“Tadi kan kamu sudah mengutarakannya.”
“Bukan yang itu.”
“Lalu, kamu ingin mengutarakan apa sebenarnya?”
“Aku…aku cinta kamu, sungguh aku cinta kamu.” Tiga kata itu serasa terucap begitu saja dari bibirku.
Namun, aku justru menjadi bingung ketika kutangkap perubahan tiba-tiba pada raut mukanya. Raut mukanya yang sebelumnya memancarkan keriangan disertai senyumnya yang manja dan manis tiba-tiba kurasakan dan kulihat berubah menjadi raut muka cemberut dan tiada lagi senyum manja dan manis tersungging dari bibirnya yang memerah delima indah. Hatiku yang sebelumnya yakin bahwa dia pun merasakan hal yang sama sepertiku, tiba-tiba terbersit keraguan di dalam.
“Wulan, kamu kenapa? Kok raut wajahmu tiba-tiba berubah masam begitu? Apa aku salah ngomong?”
“Enggak kok, kamu gak salah ngomong.”
“Lalu, kenapa? Aku betul-betul mencintaimu wulan, aku sangat mencintaimu. Maukah kamu menerima cintaku?”
Aku bersimpuh di depannya, aku genggam erat-erat jari jemarinya yang lentik indah, aku tatap tajam-tajam bulat bola matanya yang mempesona. Aku benar-benar menanti kata ‘iya’ terucap dari bibirnya, terucap tulus dari lubuk hatinya yang terdalam. Cukup lama aku menunggu, namun tiada sepatah kata pun terucap dari bibirnya.
“Wulan, maukah kamu menerima cintaku?” aku ucapkan kembali kata-kata itu.
Namun, kembali tiada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya yang kurasakan tiba-tiba tampak bergetar. Matanya kutangkap terlihat berkaca-kaca. Aku semakin bingung dengan dirinya. Kenapa tiba-tiba dia justru menangis.
“Wulan, kamu kenapa? Kok malah menangis? Apakah aku telah menyakiti hatimu?”
Dia hanya geleng-geleng kepala saja. Aku semakin bingung, apa sebenarnya yang membuatnya menangis.
“Lalu, kenapa kamu menangis? Apakah aku salah bilang cinta sama kamu?”
Lagi-lagi, dia hanya geleng-geleng kepala saja. Namun, kurasakan kini dia mulai melepaskan jari jemarinya dari genggaman tanganku. Ku tangkap bibirnya seolah hendak mengatakan sesuatu.
“Maafkan aku.”
Begitu saja. Ya, begitu saja dia mengucapakan kedua kata itu, lalu sambil menahan isak tangisnya yang sedikit tertahan berlari pergi berlalu meninggalkanku yang masih tetap pada posisi bersimpuh. Kurasakan diriku seolah sama sekali tiada kuasa untuk mencoba menghentikannya, mencoba mencegahnya pergi, bahkan untuk sekedar menoleh menyaksikan kepergiaanya pun aku sama sekali tak kuasa. Aku seolah pasrah begitu saja menerima semuanya.
Aku merubah posisiku, duduk tertegun dan termenung menyandarkan kedua tangan di atas lututku, menatap kosong ke arah kemana wulandari pergi berlalu meninggalkanku sendirian disini.
“Maafkan aku. Itu saja yang terucap dari bibirmu untukku. Apa sebenarnya maksud ucapanmu itu wahai Wulandariku sayang?” tanyaku dalam hati.
Adakah kau mengucapkan itu sebagai pertanda kau tidak bisa menerima ketulusan cintaku? Ataukah kau belum mampu menerima diriku sebagai belahan jiwamu? Sudah adakah cinta yang lain yang lebih dulu bersemayam di hatimu? Lalu, kau artikan apa sebenarnya keakraban dan kesaling cocokkan kita selama ini? Sebatas persahabatan saja kah? Kau artikan apa sebenarnya segala kebaikan, pemberian, dan kasih sayang dariku kepadamu selama ini? Sebatas kebaikan, pemberian, dan kasih sayang dari seorang sahabat saja kah? Kau artikan apa sebenarnya bentuk kepengertian dan kepedulianku terhadapmu selama ini? Sebatas pengertian dan peduli dari seorang sahabat saja kah? Ah, mungkin saja iya. Dia hanya menganggapku sebagai seorang sahabat saja, tak lebih. Sementara aku, aku terlalu hanyut dalam romantika keakraban kami sehingga menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku kepadanya, sehinga aku terlalu menuntutnya untuk menjadi lebih dari sekedar seorang sahabat bagiku. Tapi, bukannya aku sudah mulai tertarik dengan dirinya semenjak pertama kali kami berjumpa? Lalu, kenapa jauh di lubuk hatiku yang terdalam aku benar-benar yakin bahwa dia juga mencintaiku? Oh, Apa sebenarnya yang ada dalam hatimu wahai Wulandariku? Ah, seandainya kau tidak pergi begitu saja, seandainya kau sudi untuk menjelaskan semuanya. Ah, kau memang seorang gadis yang sulit ditebak jalan pikiran dan kemauanmu.
“Ah, ternyata ada benarnya juga segala perkataan almarhumah nenekku.” Gumamku dalam hati.
Ah, aku jadi teringat akan almarhumah nenekku. Almarhumah nenekku adalah seorang kejawen sejati. Beliau sangat getol sekali mendalami, memegang teguh dan mempercayai apa saja yang berbau kejawen. Dan, satu hal yang membuatku kagum kepada beliau adalah daya mata bathin atau indra keenam yang beliau miliki. Awal mulanya aku menganggap semua itu hanyalah suatu kebetulan belaka, namun beliau selalu saja bisa mengetahui watak dan pribadi seseorang hanya dari melihat raut muka orang itu saja dan bahkan hanya dengan melihat foto orang itu saja. Karena itulah, suatu ketika aku pun sekedar iseng mengenalkan Wulandari kepada nenekku lewat sebuah foto.
“Nenek, cucu boleh minta tolong gak?”
“Ya boleh dong, masa cucu sendiri minta tolong kok gak boleh. Cucu mau minta tolong apa sama nenek?”
“Begini nek, cucu sekarang lagi deket sama seorang gadis, dan cucu sangat cinta banget sama gadis itu. Cucu minta diramalin hubungan kami berdua, nek. Oiya, ini foto gadis itu, nek. Namanya Wulandari, nek. Dia cantik kan, Nek?” Jelasku sembari memberikan selembar foto kepada nenek.
Nenek tampak mengamati tajam-tajam wajah yang ada dalam foto itu. lalu, beliau terdengar menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya beliau berkata.
“Iya, dia memang gadis yang cantik, cucuku. Tapi, apakah cucu sudah benar-benar yakin mencintai gadis yang bernama Wulandari ini?”
“Sangat yakin sekali, nek.” Jawabku mantap.
“Cucu, dalam ajaran kitab jawa kuno, disebutkan bahwa ciri, watak dan karakter wanita itu bermacam-macam. Salah satunya adalah wanita yang berwatak bulan dadari. Nama gadis ini betul wulandari kan?”
“Betul, nek. Memangnya kenapa, nek?”
“Namanya sesuai dengan ciri, watak, dan karakternya. Wulandari itu berasal dari bahasa jawa bulan dadari. Jadi, gadis yang kamu cintai ini berwatak bulan dadari. Secara fisik dia punya wajah yang bulat, bola matanya juga bulat indah sehingga selalu mempesona setiap lelaki yang memandangnya karena disitulah letak auranya. Secara watak, dia seorang yang selalu berkemauan dan bekerja keras dalam menggapai apa yang dia inginkan dan cita-citakan. Karena itulah dia condong menginginkan segalanya dalam bentuk sempurna, dia tidak bisa menerima orang terdekatnya secara apa adanya. Dia juga condong egois, dan kurang peka terhadap perasaan orang terdekatnya. Dan satu lagi, dia sulit untuk ditebak jalan pikiran dan kemauannya.”
“Lalu, hubunganku dengan dia gimana, nek?”
Nenek tampak terdiam saja sambil menatap tajam ke arahku. Sorot matanya seolah memancarkan rasa kekhawatiran seorang nenek kepada cucunya.
“Nenek kok diam saja, nenek kan belum menjawab pertanyaan terakhirku?”
“Cucu, nenek sebelumnya minta maaf. Nenek tidak bermaksud melarang cucu berhubungan dengannya, tapi hati nenek bilang kalau cucu gak cocok dengan gadis itu.”
“Tapi selama ini kami merasa cocok kok, nek.” Aku mencoba membantah.
“Iya, kalian cocok hanya untuk sementara saja, namun pada akhirnya kalian akan pergi melangkah ke arah jalan pikiran kalian masing-masing. Dan, setelah itu kamu akan merasa sebagai pihak yang tersakiti karena kamu merasa dia sama sekali tidak mempedulikanmu sementara kamu masih saja terus mencintainya.”
“Ah, nenek kok meramal cucu yang jelek-jelek sih, tahu begini cucu gak usah minta diramal ama nenek.” Kataku sambil berlalu meninggalkan nenek.
Ingatanku sejenak melayang ke masa laluku malam itu. Ah, segalanya memang bermula dari bulan dadari yang bersinar terang dan indah malam itu dan langit di hatiku yang justru terasa sedang gelap saat itu.
Dari arah dalam jendela kamarku, kulihat malam semakin beranjak larut. Kedua mata ini juga kurasakan sudah tidak bisa di ajak kompromi lagi. Aku pun segera beranjak menutup jendela kamarku. Sejenak, sekali lagi ku tatap tajam dan lekat bulan dadari itu. Sekilas dia tampak tersenyum indah, namun bukan untukku, entah kepada siapa, tapi yang jelas dia tersenyum bukan untukku.
Ku tutup jendela kamarku rapat-rapat. Aku ambil selimut. Lalu, aku rebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Selamat tidur, selamat malam, dan selamat tinggal bulan dadari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar