NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Kopyah Putih

Kopyah Putih

Entah kenapa akhir-akhir ini setelah aku pulang dari pondok pesantren, aku benar-benar gandrung memakai kopyah putih, bukan cuma ketika sedang berbusana muslim, pakai baju koko dan sarung, ketika hendak shalat atau hendak menghadiri acara tahlilan ataupun hajatan saja, tapi ketika aku sedang bersantai-santai pakai kaos putih oblong dan celana batik kolor panjang lagi nyangkruk, ngopi dan udut bal bu1l sama teman-teman sekampung pun kopyah putih selalu melekat di kepalaku. Bahkan ketika aku sedang ikut kerja bakti di kampungku pun, kopyah putih selalu ku kenakan. Pokoknya kemanapun dan sedang apapun aku, kopyah putih selalu gak pernah jauh dari atas kepalaku. Kopyah putih bagiku seolah seperti halnya sebuah topi biasa yang selalu dipakai oleh teman-teman sekampungku kemanapun mereka pergi. Mungkin karena aku sudah terpengaruh dengan budaya para santri di pondok pesantren tempat aku menuntut ilmu agama. Selama mondok2 di pesantren, aku sering melihat para ustadz dan santri senior atau kakak kelas yang sudah cukup lama nyantri disitu selalu mengenakan kopyah putih kemanapun mereka pergi, ke sekolah, belanja ke pasar, dan bahkan ketika sedang ada kerja bakti bersih-bersih lingkungan pondok serta ketika sedang bermain sepak bola pun sebagian dari mereka ada juga yang memakai kopyah putih. Sejak itulah aku tertarik ikut-ikutan selalu memakai kopyah putih seperti mereka. Padahal sebelum itu, sebelum kedua orang tuaku mengirimku ke jogjakarta untuk menuntut ilmu agama di salah satu pondok pesantren di kota gudeg itu, aku sama sekali risih bila memakai kopyah putih, seolah ada suatu beban tersendiri di balik kopyah putih itu. Karena sepengetahuanku sebelumnya menurut adat kebiasaan masyarakat desa sekitarku, kopyah putih itu cuma dipakai oleh orang-orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji ke mekkah sana. Dan biasanya yang memakai kopyah putih itu beliau-beliau para kyiai pengasuh pondok pesantren, itu pun karena beliau-beliau itu sudah punya titel haji, sementara beliau-beliau para kyiai yang belum pernah sama sekali pergi haji lebih memilih mengenakan kopyah hitam seperti yang dipakai oleh kebanyakan masyarakat awam lainnya.
“Kamu itu kok selalu pakai kopyah putih terus sih. Gak sedang sholat, gak sedang kerja bakti, gak sedang nyangkruk, pasti pakai kopyah puith, kaya gak tahu sikon dan waktu saja.” Kata teman sekampungku suatu ketika.
“Lho, memangnya kenapa? Apa salah kalau aku selalu memakai kopyah putih terus?”
“Ya gak juga sih, cuma orang-orang kan biasanya pakai kopyah itu ketika sedang sholat saja atau ketika sedang tahlilan ataupun ketika sedang menghadiri hajatan gitu, gak kaya kamu itu. Lagian, kata orang-orang kan kalo kita belum pernah pergi haji, kita gak boleh pakai kopyah putih. Kopyah putih itu sebagai simbol bagi mereka yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Emang kamu sudah pernah pergi haji kok berani-beraninya pakai kopyah putih.”
“Haji raokah kali…!!!” celetuk temanku yang lain.
“Apa itu haji raokah?”
“Haji ora weroh mekkah3 maksudnya. Ha..ha..ha..” jawabnya sambil tertawa, lalu diikuti tawa seluruh anak-anak yang lain tak terkecuali aku sendiri.
Ah, ada-ada saja teman-teman sekampungku itu. Yah, namanya juga anak muda, kalau sedang nyangkruk bareng-bareng bawaannya pasti bercanda melulu. Pokoknya apa saja bisa di buat canda tawa oleh mereka, termasuk ya haji raokah itu tadi.
Masyarakat desa sekitarku bisa dibilang masih tergolong kolot, atau istilahnya zaman sekarang kata para mahasiswa dan intelek negeri ini, masyarakat desa kami itu masih berpikiran tradisionalis lah, konservatif lah, simbolis lah, atau –is dan –if apa pun yang lainnya yang penting jangan anarkhis dan teroris saja deh pokoknya. Dan, ku pikir-pikir ada benarnya juga omongan mereka para mahasiswa dan intelek itu. Masyarakat desa sekitarku memang termasuk masyarakat desa yang masih kolot, konservatif dan simbolis. Mereka, masyarakat desa sekitarku, seolah melihat dan menilai suatu ajaran agama itu dari simbol ataupun dari sisi luarnya saja. Dan bahkan bukan cuma mereka yang notabenenya masyarakat biasa yang bisa dibilang masih awam dan ikut-ikutan saja dalam hal beragama, tapi juga mereka para sesepuh desa kami atau yang biasa dipanggil pak kyai di desa kami, atau lebih tepatnya kyiai desa, yang notabenenya lebih tahu dan paham dengan litertatur ajaran agama mereka, juga masih berpikiran simbolis sama halnya dengan mereka masyarakat awam desa. Jadi islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat desa sekitarku itu masih terbilang islam secara kulitnya saja. Pokoknya segala hal yang berbau arab, pasti dianggap islam oleh mereka, padahal kan belum tentu. Ada juga lagu-lagu atau kasidah berbahasa arab tapi isinya bukan syair-syair ajaran agama islam, tapi justru syair-syair jorok seperti halnya lagu-lagu dangdut jaman sekarang. Tapi karena mereka itu memang tidak paham dan tidak ngerti dengan bahasa arab, mereka cuma berpikiran bahwa pokoknya yang arab-arab itu pasti islam meskipun sebenarnya justru malah ‘arabpatigenah’4. Ah, menurutku kan cuma kebetulan saja islam itu diturunkan di tanah arab dan Nabi Muhammad sendiri juga kebetulan keturunan bangsa arab, makanya ajaran-ajarannya memakai bahasa arab. Coba kalau islam itu pertama kali mencul di tanah jawa, pastilah ajaran-ajarannya memakai bahasa jawa, dan bahasa jawa pun akan dianggap suci dan sakral pula oleh mereka. Dan lagi, karena memang pada dasarnya masyarakat desa kami memanglah pengikut setia NU semua, jadi pokoknya simbol dan atribut yang dipakai oleh para kyiai NU itulah yang dianggap islam yang paling baik menurut mereka. Nah, saking setianya mereka dengan NU, mereka pun jadi berpikiran kolot yang cenderung mengarah ke semangat separatisme dan puritanisme. Pokoknya merekalah satu-satunya golongan yang paling ahlussunah wal jama’ah yang akan masuk surga, yang lainnya bukan, yang lainnya sudah sesat dan melenceng dari islam semua, yang lainnya masuk neraka.
Ah, enak saja mereka itu, kok seenaknya sendiri mengecap mereka bakal masuk surga dan yang lainnya masuk neraka. Memangnya surga itu surganya mbahmu apa? Katanya gak boleh nepotisme, tapi surga kok malah di nepotisme. Tuhan kok mau dinepotisme. Tuhan gak mungkin nepotisme. Tuhan itu Maha Bijaksana lagi Maha Pengasih dan Penyayang. Lagian kan kita masuk surga itu bukan karena kita ini telah berbuat baik ini dan itu, telah beramal ini dan itu, atau pun kita ini beragama ini dan itu, tapi kita bisa masuk surga karena tak lain dan tak bukan rahmat kasih sayang Tuhan kepada hamba-hambaNya.
Ah, memang sangat sulit sekali kalau kita sedang berdebat dengan orang-orang yang superkolotnya minta ampun. Pernah pula suatu ketika aku didebat oleh seorang sesepuh di desaku hanya karena aku tidak memakai sarung ketika sholat, tapi justru memakai celana panjang.
“kamu itu NU atau bukan sih, sholat kok pakai celana panjang, gak sopan sama sekali” katanya ketika itu.
“Lho NU itu kan bukan agama, Pak. Agama kita itu islam, bukan NU. Dalam ajaran islam, kalau kita sholat ya kita harus menutupi aurat kita, dan penutup aurat itu tidak hanya sebatas sarung saja, Pak. Dan, sarung itu kan sebenarnya juga budaya masyarakat jawa. Celana panjang ini kan juga sudah menutupi aurat.”
“Iya, tapi gak sopan.” Katanya membantah.
“Lho, gak sopan bagaimana? Lha wong orang-orang saja menyebut celana panjang seperti yang saya pakai ini celana panjang sopan.”
“Ah, pokoknya nabi muhammad itu gak pernah pakai celana panjang ketika sholat. Titik. Dasar anak muda zaman sekarang memang gak mau percaya sama yang lebih tua.”
“Ah, masa bodoh. Memang di zaman Nabi Mmuhammad belum ada celana panjang kaya gini. Nabi Muhammad pun gak pernah pakai sarung ketika sholat, tapi pakai jubah lebar yang bisa menutup aurat, karena memang zaman dulu belum ada sarung. Ah, dasar orang tua kolot sok tahu, sok benar. Gimana kita mau menghormati yang lebih tua, kalau yang lebih tua gak mau menghormati kita.” Gumamku dalam hati.
Aku kadang terheran-heran sendiri dengan umat islam negeri ini. Islam itu kan cuma satu, tapi kenapa jadi ada istilah Islam Tradisionalis, Islam Konservatif, Islam Radikalis, Islam NU, Islam Muhammadiyah dan islam-islam yang lain. Ah, masa ada banyak islam sekarang? Ah, tidak. Islam tetap hanya ada satu. Islam is Islam. Kalau sekarang islam seolah muncul dalam berbagai wajah dan istilah, itu kan cuma prespektif orang-orang yang memandang dan menilai saja. Itu cuma sekedar istilah saja, tak banyak dan tak lebih. Dan karena ulah umat islam sendiri lah orang-orang baik dari kalangan umat islam sendiri ataupun dari kalangan luar islam mempolarisasikan islam ke dalam berbagai wajah dan istilah itu tadi. Yah, karena tak lain dan tak bukan islam yang mereka anut itu masih dalam sebatas kulitnya saja, belum sampai isi dari pada islam itu sendiri sebagai sebuah agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Lho, gimana bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin kalau sesama umat islam saja, hanya karena beda aliran saja, hanya karena beda sedikit saja sudah tawuran lah, berantem lah, gontok-gontokkan lah. Lho, gimana mau bisa menghormati ajaran agama lain jika sesama umat islam saja, hanya karena beda luarnya sedikit saja sudah saling menyesatkan. Ah, umat islam zaman sekarang memang lebih banyak mengedepankan simbol-simbol belaka, bukannya malah mengedepankan ‘rahmatan lil ‘alamin’nya. Umat islam zaman sekarang bisanya cuma berdalil, ceramah ngomong gedebus doang, tapi aplikasinya nol besar. Ah, ujung-ujungnya sama juga dengan kopyah putih tadi, kopyah putih yang menurut adat kebiasaan masyarakat desa sekitarku merupakan simbol bagi mereka yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Jadi yang belum pernah pergi haji, gak pantas mengenakan kopyah putih.
“Apa kamu gak merasa risih memakai kopyah putih?” tanya teman sekampungku suatu ketika.
“Lho, risih kenapa? Risih sama siapa?”
“Ya risih sama masyarakat lah dan tentunya risih sama beliau-beliau di kampung kita yang sudah pernah pergi haji. Gak sopan kamu itu, belum haji kok pakai kopyah putih. Itu sama saja dengan sombong.”
Ah, ada-ada saja mereka itu. Masa pakai kopyah putih saja dianggap gak sopan. Masa pakai kopyah putih saja dianggap sombong. Apanya yang dianggap gak sopan? Apanya yang dianggap sombong? Ah, dasar masyarakat kolot, dasar masyarakat konservatif, kopyah putih saja pakai disakralkan segala.
“Nah, tuch liat! Kalau beliau Pak Haji Abdul Muis itu pantas mengenakan kopyah putih, karena beliau memang sudah pernah pergi haji, bahkan sudah tiga kali beliau itu pergi haji.” Kata temanku itu sembari menunjuk seseorang, tentunya pula sedang mengenakan kopyah putih, yang terlihat sedang duduk santai membaca surat kabar di teras depan rumahnya.
“Ah, dia! Haji Abdul Muis itu! Mentang-mentang sudah haji kok gak mau noleh kalau dipanggil tanpa embel-embel haji di depan namanya! Haji apaan dia itu? Haji kok dibangga-banggakan. Sudah jadi Haji bukannya malah lebih banyak bersedekah kepada fakir miskin, malah pelitnya minta ampun. Kalau pun bersedekah niatnya cuma biar dapat pujian dari orang sekampung saja.” Umpatku dalam hati tentunya.
Ah, dasar haji egois, apa gunanya pergi haji tiga kali, tapi tidak peka dengan lingkungan sekitarnya, tidak peka dengan masyarakat sekitarnya yang lebih membutuhkan uluran tangan. Ah, aku yakin haji kaya dia itu paling niatnya cuma buat memperoleh kebanggaan di mata masyarakat saja, bukan murni niat beribadah menyempurnakan rukun islam yang kelima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar