NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Kutukan

Kutukan


“sudahlah, kawan. Tak usah kau ambil pusing soal mitos itu. Kau ini kan orang akademis. Kau ini kan pernah makan bangku kuliah, kenapa kau masih saja percaya dengan hal-hal yang begituan. Kalau kau memang benar-benar cinta dengan si Lastri, ya kau nikahi sajalah dia. Tak usahlah kau merasa khawatir.” Ujar si Bonar, kental dengan logat bataknya, mencoba menasehati.
Aku hanya diam saja mendengar nasehatnya itu, tak sepatah katapun terlontar dari bibirku untuk sekedar menanggapinya. Ah, maafkan aku, kawan, aku sama sekali tak bermaksud acuh tak acuh dengan nasehatmu itu. Ucapanmu itu memang ada benarnya juga, tapi aku tidak tahu pasti apakah kau juga akan melakukan hal yang sama jika kau menjadi diriku, berada dalam posisiku, merasakan apa yang sedang ku rasakan, mengalami segala peristiwa aneh yang sedang aku alami ini.
“ayolah, kawan. Kau ini seorang dosen filsafat, seorang doktor pula. Kau seharusnya bisa berpikir secara logis dan rasional. Semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Tuhan, kawan, meskipun terkadang kita merasa kurang berkenan menerima kehendak Tuhan tersebut. Tapi, percayalah, kawan, Tuhan pasti selalu punya rencana lain di balik kehendak-kehendakNya, di balik kehendak-kehendakNya yang kita rasakan kurang berkenan di hati kita itu. Anggap saja semua yang telah terjadi pada dirimu itu sebagai suatu kebetulan saja, tak lebih.” Ujarnya kembali menasehati.
Kembali aku hanya diam saja tak menanggapi nasehat kawanku itu, pun tak bermaksud sedikitpun meremehkan nasehatnya itu. Tapi, maaf saja, kawan, aku ini sudah cukup berumur, dan kau sendiri juga tahu kalau aku ini seorang dosen, seorang doktor pula. Nasehat macam itu tidak lagi tepat untuk kau berikan kepadaku. Telingaku ini sudah panas dan bosan mendengar macam nasehat yang kau ujarkan itu, baik itu dari kawan-kawan dosen yang lain, dari para ulama dan kyiai yang aku mintai pendapat, dan juga dari Ibuku, satu-satunya orang yang paling aku hormati setelah kepergian ayahku tiga tahun silam. Bahkan Ibuku seolah tiada bosan-bosannya memberikan nasehat macam itu kepadaku, bahwa semua yang telah terjadi pada diriku ini adalah suatu kebetulan belaka, dan suatu kebetulan itu datangnya dari Tuhan karena Tuhan sedang hendak menguji kesabaranku dan keimananku, bukannya malah berputus asa dan percaya dengan hal-hal yang berbau mistis. Ah, Ibu, maafkan putramu satu-satunya ini. Aku tahu Ibu selalu berujar seperti itu karena Ibu sudah tak sabar lagi untuk punya menantu dan cucu, karena usia Ibu yang makin lama makin bertambah, dan karena hanya akulah satu-satunya darah daging Ibu. Tapi, hendaknya Ibu juga tahu bahwa putramu ini sama sekali tidaklah sedang berputus asa, dan putramu ini sama sekali tidaklah sedang goyah keimanannya dan balik percaya hal-hal mistis macam apalah itu, dan hendaknya Ibu, kawan-kawan dosenku itu, para ulama dan kyai itu, serta kau Bonar, juga harus tahu kalau aku ini …..
“aku tahu, kawan,” Ucap Bonar sembari menyulut rokok Dji Sam Soe kesukaannya, lalu menyeruput kopi hangat di atas meja buatan Bi Ijah, pembantuku yang sudah kami anggap seperti keluarga sendiri,”aku tahu kau ini sebenarnya sedang mengkhawatirkan keselamatan si Lastri. Aku hampir lupa kalau kau ini benar-benar memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sejak kita masih kuliah dulu kau selalu berbuat baik kepada kawan-kawan yang lain, bahkan kau lebih mementingkan kepentingan orang lain dari pada kepentingan dirimu sendiri. Kau seolah tak punya rasa ego sama sekali, kawan.” Ujar kawanku Bonar seolah benar-benar tahu apa yang sedang aku pikirkan dibalik diamnya aku ini.
“kau benar, Bonar,”timpalku akhirnya membuka mulut,”yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah Lastri. Aku benar-benar mengkhawatirkan dirinya.”
Lastri, lengkapnya Lastri Wulandari. Ya, dialah wanita yang sedang sangat aku khawatirkan saat ini. Bagaimana tidak? Setiap wanita yang dekat denganku, dan telah menjalin hubungan cinta denganku, lalu sudah mantap hendak naik pelaminan denganku, lalu setiap itu pula, entah mengapa tiba-tiba wanita itu tanpa suatu sebab yang jelas pasti akan meninggal sebelum kami berdua sempat melakukan akad nikah.
Linda, lengkapnya Linda Wulandari adalah wanita pertama yang telah meninggal lebih dulu sebelum hendak melakukan akad nikah denganku. Hatiku benar-benar hancur berkeping-keping waktu itu. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang begitu aku sayangi serta kurang lebih tiga tahun lamanya sudah menjalin hubungan cinta denganku, tiba-tiba meninggal begitu saja tanpa ada sebab kematian yang jelas hanya beberapa saat sebelum kami bedua melakukan ijab kabul. Hatiku benar-benar teriris pedih sebelum akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita yang tidak hanya berwajah mirip dengan Linda, tapi tingkah laku dan penampilannya benar-benar mirip Linda, seolah wanita itu merupakan reinkarnasi seorang Linda yang diturunkan oleh Tuhan untuk diriku. Lusi, lengkapnya Lusi Wulandari nama wanita itu. Entah suatu kebetulan atau tidak, nama wanita itu sama-sama berakhiran Wulandari dan juga berinisial sama LW. Aku tak mau ambil pusing dengan suatu kebetulan itu, aku tak mau menceritakan soal itu dan pengalaman pahitku sebelumnya kepada Lusi, karena aku tak ingin membuat resah hati Lusi, dan yang paling penting kami berdua benar-benar sudah saling mencintai dan cocok satu sama lain. Hingga akhirnya kami berdua memutuskan untuk menikah setelah tiga tahun lamanya kami anggap cukup untuk bisa saling mengerti dan memahami satu sama lain. Hingga hari akad nikah kami pun tiba. Namun, betapa hatiku kembali hancur berkeping-keping, betapa hatiku kembali benar-benar teriris pedih, Lusi, seperti halnya Linda, kembali meninggal tanpa ada sebab yang jelas hanya beberapa saat sebelum kami berdua melakukan akad pernikahan. Jiwaku benar-benar terguncang saat itu, bagaimana bisa aku kehilangan sesuatu dalam hidup untuk yang kedua kalinya. Bagaimana bisa aku kehilangan calon istri yang begitu aku cintai untuk yang kedua kalinya seumur hidup, dengan cara yang sama dan sama- sama sangat menyakitkannya.
Sungguh, aku benar-benar menanggung beban psikologis yang berat saat itu. Kurang lebih setahun lamanya aku merasakan akal pikiranku ini seolah sudah tidak waras lagi. Setahun lamanya aku tidak lagi bergumul dengan dunia-dunia rasional akademis perkuliahan, aku tidak lagi menjadi seorang dosen filsafat, paling tidak untuk sementara ini, sampai perahu dalam jiwa ini bisa kembali tenang dan tidak lagi goncang diterjang badai bahtera kehidupan.
Meskipun aku menanggung beban psikis yang berat, syukurnya aku tidak sampai menjadi gila, atau berbuat sesuatu atau bertingkah yang memalukan layaknya orang gila pada umumnya. Yang jelas aku masih normal, aku masih bisa melakukan aktifitas pribadi sehari-hari seperti biasa tanpa bantuan orang lain, namun sedikit bedanya aku menjadi lebih banyak berdiam diri di rumah, ngomong sepatah dua patah kata seperlunya saja, dan aku menjadi sedikit tertutup dengan dunia luar, dengan masyarakat, dengan kawan-kawan dosen yang lain, meskipun sesekali kawan-kawan dosen, terutama Bonar yang paling sering, datang ke rumah menjengukku. Namun, aku sama sekali tidak sedikitpun berinteraksi dengan mereka. Mereka paling-paling hanya sejenak ingin melihat kondisi kesehatanku yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk sendirian sepanjang hari di beranda belakang rumah sembari menatap kosong lurus ke depan ke arah hamparan warna-warni bunga di kebun belakang rumahku itu.
Ah, aku yakin mereka pasti menganggapku telah gila, biarkan saja. Aku memang barangkali sudah gila, tapi aku sama sekali tidak merasa sudah menjadi gila. Aku hanya ingin menenangkan diri, aku hanya tidak ingin mendengar gunjingan masyarakat desa sekitar tentang apa yang aku alami ini dan menghubung-hubungkannya dengan hal-hal yang berbau klenik, mitos, mistis atau apalah itu.
“Nak, kemarin Ibu tak sengaja mendengar bisik-bisik tetangga tentang apa yang kamu alami ini. Kau tahu Pak Sukijo penjaga makam desa kita itu, kan?” ujar Ibuku suatu ketika.
Aku hanya mengangguk, sambil tetap memandang ke arah hamparan warna-warni bunga di kebun belakang rumahku itu.
“malam jum’at kliwon kemarin, katanya Pak Sukijo bermimpi ditemui Ratu Pantai Selatan, katanya entah di suatu masa yang lalu, kamu ini dulunya seorang Pangeran, dan Ratu Pantai Selatan jatuh hati kepadamu, lalu datang menemuimu untuk melamarmu, tapi kamu menolak lamarannya, kamu telah menolak cintanya. Karena itulah katanya kamu itu terkena …….. “ Ibu terdengar menahan kalimat yang hendak diucapkannya.
Aku balik menoleh ke arah Ibu. Matanya tampak sedikit berkaca-kaca.
“katanya kamu itu terkena kutukan, Nak,” ujar Ibu melanjutkan,”kamu terkena kutukan Ratu Pantai Selatan. Karena itulah, setiap wanita yang hendak menikah denganmu, akan meninggal tanpa sebab yang jelas hanya beberapa saat sebelum kalian berdua melangsungkan akad nikah.”
Aku hanya terdiam. Diam saja. Meskipun sedikit kaget juga mendengar cerita dari Ibu barusan. Sebegitu jauhnya pemikiran dan prasangka orang akan apa yang aku alami ini. Dan, aku tak tahu pasti apakah Pak Sukijo benar-benar mengalami mimpi itu? atau jika iya, apakah mimpi yang dialami Pak Sukijo itu memang benar adanya dan ada hubungannya di balik semua yang aku alami ini?
“Nak, kamu percaya hal-hal mistis macam itu?” tanya Ibuku sembari menggenggam tanganku erat-erat. Sesaat, kurasakan hangatnya kasih sayang seorang Ibu pada anaknya. Namun, kurasakan juga Ibu sebenarnya merasakan kesedihan yang aku rasakan.
Aku hanya menggeleng kepala pelan.
“Ibu juga tidak percaya, Nak. Semua yang terjadi di dunia ini, datangnya dari Yang Maha Kuasa. Semua terjadi atas kehendakNya. Dan, Tuhan pasti selalu punya rencana lain di balik kehendakNya itu. Pasrahkan saja semuanya sama Yang Di Atas, Nak. Cepatlah sembuh, tak usahlah kamu berlarut-larut dalam kesedihan ini.”
Dalam diam, batinku berkata. “Aku tahu, Bu. Percayalah, putramu ini akan segera sembuh, karena putramu ini sebenarnya tidak kenapa-kenapa. Dalam diamnya Putramu selama ini, Putramu ini hanyalah ingin menenangkan diri sejenak saja lamanya, Putramu ini hanyalah ingin meredam beban psikis yang begitu berat dirasakan, agar tidak meledak yang bisa membuat gila putramu ini. Putramu ini hanya ingin mencoba memaknai apa sebenarnya di balik semua peristiwa yang telah menimpa dirinya. Putramu juga tahu bahwa semua ini memanglah datangnya dari Yang Maha Kuasa. Tapi, kenapa Tuhan seolah melupakan hukumNya sendiri, kenapa Tuhan seolah melupakan hukum kausalitas. Semua kejadian pasti ada sebab musababnya. Kenapa Linda dan Lusi meninggal begitu saja tanpa ada sebab yang jelas hanya beberapa saat sebelum kami bisa melangsungkan akad pernikahan? Jika semua orang selalu berpikiran pasrah bahwa segalanya datang dari kehendak Tuhan, orang tidak akan bisa menangkap maknanya, tapi justru terhenti dan terjebak pada sikap melihat kehidupan hanyalah sebagai perlambangan-perlambangan belaka.”
Sesaat kemudian, entah kenapa tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, petir menggelegar, pertanda hujan deras akan segera turun. Ibu segera beranjak meninggalkanku, membantu bibi Ijah membawa masuk jemuran segera sebelum hujan deras benar-benar mengguyur.
Petir kembali menggelegar disertai kilatan petir menyambar menakutkan seolah terlihat ada kemurkaan Tuhan disana. Dan, sejenak kemudian, seolah ada suara gaib berkumandang menggantung dibalik gelegar petir dan gelapnya langit yang sudah beranjak berubah menjadi tetesan gerimis.
Hei, kau! Yang sedang duduk cengeng larut dalam kesedihan disitu, jangan sembarang omong kau! Kata siapa Tuhan melupakan hukumNya sendiri! Kata siapa Tuhan melupakan hukum kausalitas! Tuhan lah yang telah menciptakan Linda dan Lusi! Jadi, Tuhan lah yang berhak memiliki Linda dan Lusi seutuhnya, bukan kau! Dan, kau, manusia dungu! Kenapa kau berpikiran Linda dan Lusi meninggal tanpa ada sebab yang jelas?! Bodoh sekali kau! Terlaknat sekali kau! Terkutuk sekali kau! Tuhan lah sebab dari segala sebab! Tuhanlah yang telah memanggil Linda dan Lusi kembali!
Sesaat kemudian, suara gaib itu lenyap seketika dibalik tetesan gerimis yang kini telah berubah menjadi guyuran hujan deras. Ah, suara gaib itu memanglah ditujukan kepada diriku. Ya, Aku memanglah manusia dungu. Aku tidak bisa bohong kepada diri sendiri bahwa aku memang telah terlalu larut dalam kesedihan. Dan, Tuhanlah sebenarnya di balik semua ini. Dan, suara gaib itulah yang telah membangunkanku dari tidur panjang selama ini setahun yang lalu.
Namun, entah kenapa tiba-tiba kekhawatiran akan kutukan itu kembali menyeruak setelah aku bertemu dengan seorang wanita yang kembali berwajah dan berperilaku sama persis dengan Linda dan Lusi, seolah Tuhan kembali mengirimkanku reinkarnasi keduanya pada diri Lastri. Ya, Lastri Wulandari. Nama wanita itu juga berakhiran Wulandari, pun berinisial sama, LW. Dan, kembali setelah tiga tahun lamanya menjalin hubungan dan sudah merasa cocok satu sama lain, Lastri mengajakku untuk segera menikah, bahkan terkesan ngotot ingin segera menikah. Meskipun berulang kali sudah aku mengutarakan kekhawatiranku ini, pun kisah pahit masa laluku, juga kesamaan-kesamaan yang melekat pada dirinya. Namun, dia, orang tuanya, Ibuku sendiri, kawan-kawan dosen, dan juga Bonar selalu mencoba meyakinkanku untuk memasrahkan segalanya kepada Yang Di Atas sana.
“Baiklah, Bonar. Aku akan segera menikah dengan Lastri.”ujarku mantap,”tak peduli dengan soal kutukan yang selalu jadi gunjingan masyarakat sekitar itu.”
“kau yakin, kawan?”ujarnya dengan sorot mata sedikit terbelalak kaget, seolah kurang percaya dengan apa yang aku katakan barusan, lalu menghisap habis rokoknya kemudian mematikannya di asbak di atas meja.
“yakin sekali, kawan.” Ujarku tak kalah mantap.
“nah, begitu dong, kawan. Tak usah kau percaya hal-hal mistis macam itu. Kau harus selalu berpikiran dan bersugesti positif, kawan. Kekuatan pikiran lebih super power dibanding kekuatan fisik. Cogito ergo sum. Bukankah kau selalu berceramah seperti itu di depan mahasiswa-mahasiswamu, kau ingat itu, kawan?!” selorohnya sambil tertawa yang membuat aku juga ikut tertawa.
Namun, belum sempat tawa berdua kami reda, tiba-tiba Bi Ijah tergopoh-gopoh berjalan setengah berlari ke arah kami berdua.
“Mas…, Ibu, Mas. Ibu …… “ ujar Bi Ijah terbata-bata sambil jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah kamar Ibu.
“Ibu kenapa, Bi?” tanyaku dan tanya Bonar hampir berbarengan.
“Bibi .. Bibi tadi ke kamar Ibu hendak bilang ke Ibu kalau sarapannya sudah siap, tapi … tapi … Ibu … Ibu sudah …. “ ujar Bi Ijah masih dengan terbata-bata dan kutangkap butiran air mata menetes di pipinya yang sudah berkerut tua.
“Ibu kenapa, Bi?” tanyaku sambil memegangi bahu Bi Ijah.
Tak sepatah kata pun terucap dari bibir Bi Ijah. Bibirnya justru tampak bergetar. Ku lihat air matanya semakin deras menetes. Lalu memberikan secarik kertas berisikan tulisan.
Ku baca tulisan itu dengan Bonar yang berpindah duduk di sampingku.
“Budiman, putraku tercinta satu-satunya. Ibu tahu air matamu akan menetes membaca tulisan ini, karena air mata Ibu pun juga menetes ketika Ibu harus menulis pesan ini. Semalam Ibu bermimpi melihat kamu akhirnya berhasil naik ke pelaminan dengan Lastri. Ibu bahagia sekali melihatnya. Sungguh hati Ibu tenang rasanya akhirnya bisa melihat putra Ibu satu-satunya melangsungkan pernikahan walau hanya dalam mimpi. Tapi, dalam mimpi itu, tiba-tiba ada sesosok laki-laki berpakaian serba putih datang menghampiri Ibu, dan sesosok laki-laki itu ternyata Ayahmu. Tanpa berkata sepatah kata pun, Ayahmu hendak mengajak Ibu terbang bersamanya, namun Ibu menolak, karena Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu, ingin menyaksikan kebahagiaanmu, tapi Ayahmu bilang, ‘sudahlah,Bu. Tuhan sudah sangat bermurah hati dengan memberi kesempatan kepada Ibu untuk menyaksikan pernikahan putra kita meskipun hanya dalam mimpi. Tapi, percayalah, Bu. Putra kita pasti akan menikah dengan Lastri dengan selamat, pasti. Lalu, Ayahmu pun segera mengajak Ibu terbang melayang entah kemana ke suatu tempat yang belum pernah Ibu lihat sebelumnya. Putraku, Budiman, percayalah semua ini datangnya dari kehendak Yang Maha Kuasa. Percayalah, Putraku, semua ini bukan kutukan.”
Bulu kudukku berdiri. Merinding. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Sesaat kemudian, tubuhku serasa melayang lalu roboh di pangkuan Bonar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar