NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Seorang Gila Dengan Tiga Helai Daun Bambu

Seorang Gila Dengan Tiga Helai Daun Bambu


Namanya Wijaya Kusuma. Namun, orang-orang di sekitarnya lebih sering memanggilnya dengan sebutan Pak Kus. Ya, dia lebih dikenal dengan panggilan itu. Dan, aku pun juga ikut-ikutan memanggil dia dengan panggilan Pak Kus. Di lingkungan sekitarnya, Pak Kus terkenal sebagai orang yang nyentrik, sopan santun dan ramah kepada siapa saja. Pak Kus juga dikenal sebagai seorang yang dermawan dan suka menolong siapa saja. Tingkat kedermawanannya dan suka menolongnya akan orang itu kadang terkesan ekstrem. Ya, dia pernah mendermakan semua uang hasil melukisnya untuk biaya operasi seorang miskin yang menderita kanker ganas di lingkungan sekitarnya. Sementara dia sendiri tidak menyisakan uang sepeserpun untuk membeli kebutuhan pokok sehari-harinya atau buat sekedar beli makanan. Menurutnya, bukanlah suatu kebaikan jika kita belum bisa memberikan apa yang kita cintai kepada orang lain. Belum bisa dianggap sebagai suatu kebaikan jika kita belum ikhlas memberikan apa yang kita anggap penting dalam hidup kita kepada orang lain. Ah, dia mungkin saja bisa berbuat seperti itu. Tapi, bagaimana dengan istri dan anak-anaknya? Apakah mereka juga bisa berpikiran seperti itu? Apakah mereka juga bisa menerima sikap Pak Kus itu? Ah, jangan sekali-kali kau bertanya tentang istri dan anak kepadanya. Atau kau tiba-tiba akan melihat perubahan pada raut wajahnya. Wajah yang biasanya selalu penuh dengan senyum ramah tamah, tiba-tiba bisa berubah menjadi wajah yang sayu, sedih dan murung lalu lebih jauh Pak Kus akan menangis tergugu tersedu-sedu. Pak Kus sebenarnya memiliki istri dan anak, namun sudah sangat lama sekali dia meninggalkan mereka, dan entah kenapa dia tidak pernah ingin kembali kepada istri dan anaknya. Namun, setiap kali ada seorang yang menanyakan tentang istri dan anak-anaknya, atau setiap kali dia melihat sepasang suami istri dengan riang bahagia bercengkerama bersama anak-anak mereka, Pak Kus selalu saja berubah menjadi sedih dan murung tiba-tiba, lalu hanyut dalam tangis tersedu-sedu yang terdengar menyimpan suatu beban hidup yang berat, beban merasa bersalah, beban yang belum sempat dia tanggung sepenuhnya.
Namun, bagaimanapun juga, masyarakat di sekitarnya sudah kadung menganggapnya sebagai malaikat penolong bagi mereka karena tidak sekali dua kali Pak Kus menolong orang seperti itu, melainkan sering. Tapi, Pak Kus sendiri tidak suka dan merasa risih bila dianggap sebagai malaikat penolong bagi mereka. Pak Kus lebih suka dipanggil sebagai seorang seniman. Ya, dia memang pantas dipanggil sebagai seorang seniman sejati. Tak lain karena Pak Kus pandai sekali memainkan peran dalam teater. Tangannya juga lihai sekali menyulap sebilah kuas dan warna-warni cat air menjadi sebuah karya lukis yang indah yang mempunyai nilai seni tinggi. Tak ayal sebuah lukisan buah karya tangannya bisa terjual dengan harga jutaan rupiah. Ah, pantas saja Pak Kus bisa membantu ongkos operasi dan biaya pengobatan seorang miskin yang terkena penyakit kanker ganas di lingkungan sekitarnya itu. Bayangkan saja, jika satu buah lukisan dihargai dengan nilai jutaan rupiah, maka dengan sepuluh buah lukisan Pak Kus sudah bisa mengantongi uang puluhan juta rupiah. Ah, jika dalam jangka waktu setiap bulan Pak Kus bisa menjual sepuluh buah lukisan, berarti rata-rata penghasilannya tiap bulan mencapai puluhan juta rupiah. Hmmm, sebuah penghasilan yang terbilang besar tentunya.
Ah, tapi, sayangnya Pak Kus tidak selalu bisa menjual sepuluh buah lukisan dengan kisaran harga jutaan rupiah dalam jangka waktu sebulan. Itu berarti rata-rata penghasilannya sebulan tidaklah mencapai puluhan juta rupiah. Namun, bagaimanapun juga, lukisan buah karya Pak Kus banyak sekali yang meminati. Apes-apesnya, Pak Kus masih bisa menjual lima buah lukisan dalam jangka waktu sebulan dengan kisaran harga antara lima ratus ribu sampai satu juta rupiah. Lukisan buah karya Pak Kus tidak pernah dihargai dengan harga dibawah lima ratus ribu rupiah. Semua itu tak lain karena lukisan buah karya Pak Kus memanglah benar-benar indah dan bercita rasa seni tinggi. Kebanyakan pembeli lukisan-lukisan buah karya tangannya adalah orang-orang berduit. Setiap hari pasti ada saja satu, dua atau tiga buah mobil yang datang berkunjung ke rumahnya yang sekaligus dia jadikan sebagai sanggar lukisnya itu. Mereka hendak melihat-lihat deretan karya lukis Pak Kus. Lalu, kalau ada yang kelihatan menarik di mata orang-orang itu, langsung saja mereka beli, berapapun harganya, asalkan mereka puas, puas karena bisa memiliki lukisan bernilai seni tinggi buah karya seorang seniman sejati.
Ah, memang enak jadi orang kaya berduit banyak. Kita bisa beli apa saja yang kita suka, bahkan dengan harga yang sangat mahal sekalipun. Pernah suatu ketika ada seorang kaya raya yang rela merogoh kocek sampai seratus juta rupiah hanya demi sebuah lukisan buah karya Pak Kus. Sebuah lukisan itu menggambarkan seorang pria setengah baya berambut gimbal dengan baju kumuh dan kusut sedang jongkok memandangi tiga helai daun bambu yang dia taruh berderet di atas tanah.
Ah, kau mungkin bertanya-tanya apa sebenarnya kelebihan daripada lukisan itu, sehingga seorang kaya raya itu rela merogoh kocek sampai seratus juta rupiah. Mungkin kalau sebuah lukisan itu menggambarkan seorang tokoh besar macam Bung Karno, Bung Hatta atau Ki Hajar Dewantara, ataupun menggambarkan tokoh-tokoh raja besar kerajaan di tanah air zaman dahulu kala, kau mungkin akan menganggap pantas jika seorang kaya raya itu rela mengeluarkan uang seratus juta rupiah. Tapi, lukisan itu menggambarkan seorang pria setengah baya berambut gimbal dengan baju kumuh dan kusut sedang jongkok memandangi tiga helai daun bambu yang dia taruh berderet di atas tanah. Ah, apa sebenarnya kelebihan sebuah lukisan itu? Apa sebenarnya yang ada dalam benak seorang kaya raya itu hingga rela menghamburkan seratus juta rupiah hanya demi sebuah lukisan itu? Hmm, pasti ada sesuatu yang lebih dibalik sebuah lukisan itu hingga seorang kaya raya itu berminat untuk membelinya meskipun dengan kisaran harga yang tinggi.
Seperti halnya kau yang bertanya-tanya apa sebenarnya kelebihan sebuah lukisan itu, seorang kaya raya itu pun pada awalnya menanyakan hal yang sama kepada Pak Kus sebelum akhirnya seorang kaya raya itu tertarik dengan sebuah lukisan itu dan memutuskan untuk membelinya walau harus dengan merogoh kocek hingga seratus juta rupiah.
“Pak Kus, apa sebenarnya yang menarik dari sebuah lukisan itu?” tanya seorang kaya raya itu kepada Pak Kus sembari menunjuk ke arah sebuah lukisan yang menggambarkan seorang pria setengah baya berambut gimbal dengan baju kumuh dan kusut sedang jongkok memandangi tiga helai daun bambu yang dia taruh berderet di atas tanah itu.
“gak ada yang menarik, tapi bagiku lukisan itu sangat menarik.” Jawab Pak Kus enteng.
“gak ada yang menarik, tapi bagi Pak Kus lukisan itu sangat menarik?” ujar seorang kaya itu mengernyitkan dahi,” Kalau begitu, bagiku lukisan itu juga sangat menarik.”
“Pak Kus, bisakah anda menceritakan latar belakang kenapa anda membuat sebuah lukisan itu? Siapa sebenarnya seorang berambut gimbal dengan baju kumuh dan kusut itu? Dan, apa sebenarnya yang sedang dia lakukan dengan memandangi tiga helai daun bambu yang dia susun berderet di atas tanah itu?”
“dia hanyalah seorang gila biasa.” Jawab Pak Kus ringan sembari tangannya sibuk melenggak-lenggok melukis dengan sebuah kuas di tangan kanannya dan warna-warni cat air di tangan kirinya.
“seorang gila biasa?” ujar seorang kaya itu dalam hati, dan kembali mengernyitkan dahi, seolah bertanya-tanya kenapa Pak Kus melukis seorang gila biasa. Namun, dia yakin Pak Kus bukanlah seorang pelukis sembarangan. Pasti ada sesuatu yang lebih pada setiap lukisan hasil buah karya tangannya, tak terkecuali sebuah lukisan yang menggambarkan seorang gila itu. “hmm, pasti ada sesuatu yang lebih pada sebuah lukisan itu, Pasti ada sesuatu yang lebih pula pada seorang gila dalam lukisan itu.” Ujarnya dalam hati.
“lalu, siapakah seorang gila itu Pak Kus?” tanya seorang kaya itu.
Dan, pertanyaan itu bagai sebuah kilatan petir menyambar di siang hari yang terik bagi Pak Kus. Sejenak raut wajah Pak Kus tampak terperanjat mendengar pertanyaan itu, lalu dia menghentikan aktifitas melukisnya dan berbalik menatap lekat-lekat ke arah sebuah lukisan yang menggambarkan seorang pria setengah baya berambut gimbal dengan baju kumuh dan kusut sedang jongkok memandangi tiga helai daun bambu yang dia taruh berderet di atas tanah itu.

***

Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Tidak ada seorangpun yang mau menyapanya, apalagi mau bercakap-cakap dengannya. Tak lain karena orang-orang di lingkungan sekitarnya telah menganggapnya sebagai seorang gila yang bisu. Orang-orang di lingkungan sekitarnya itu bilang kalau dia sudah empat tahun lamanya menjadi seorang gila yang bisu. Mereka juga bilang kalau selama empat tahun lamanya itu yang dia lakukan hanyalah duduk jongkok seharian sambil memandangi tiga helai daun bambu yang dia susun berderet di atas tanah.
Namun, aku selalu merasakan suatu perasaan yang aneh setiap kali aku berpapasan dengannya yang selalu saja sedang berjongkok memandangi tiga helai daun bambu yang dia susun berderet di atas tanah itu. Suatu perasaan yang seolah membisikiku untuk berhenti sejenak, mendekat kepadanya dan bertanya apa sebenarnya yang sedang dia lakukan disitu. Dan, suatu perasaan itu juga membisikiku bahwa dia sebenarnya tidaklah gila, pun juga tidak bisu, dan juga apa yang sedang diperbuatnya selama empat tahun ini, berjongkok seharian memandangi tiga helai daun bambu yang dia susun berderet di atas tanah itu, bukanlah suatu hal yang biasa-biasa saja sebenarnya, bukan pula suatu hal sia-sia yang dilakukan oleh seorang gila. Suatu perasaan itu seolah mengatakan bahwa ada sesuatu dibalik apa yang sedang dia lakukan itu. Sesuatu semacam teka-teki, teka-teki dibalik tiga helai daun bambu yang dia susun berderet di atas tanah yang setiap hari dia pandangi lekat-lekat seharian, teka-teki yang sebenarnya menyimpan suatu filosofi kehidupan manusia yang sudah sedemikian tinggi. Suatu filosofi hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hingga akhirnya suatu hari aku nekat menghampirinya, menyapanya dan sedikit memaksa diri untuk melakukan percakapan dengannya.
“maaf, Pak. Kalau boleh dan kalau Bapak tidak merasa terganggu, saya ingin bertanya kepada Bapak?”
Sesaat, dia yang sedang memandangi tiga helai daun bambu yang dia susun berderet di atas tanah itu, kini mengalihkan pandangannya tepat ke arahku. Tajam, lekat dan begitu menusuk kedalam diriku ku rasakan. Ku rasakan tiba-tiba tubuhku ini merinding ketakutan menangkap pandangan matanya yang begitu lekat tajam menusuk itu.
“boleh saja. Tidak ada yang melarangmu untuk bertanya kepadaku. Seperti halnya tidak ada yang melarang mereka untuk mengatakan bahwa aku adalah seorang gila yang bisu.” Ucapnya terdengar tegas, diiringi hembusan angin tiba-tiba yang membuat bulu kudukku berdiri.
Ah, ternyata betul dugaanku. Dia tidaklah seorang gila yang bisu. Dan, dari nada bicaranya, aku juga bisa memastikan bahwa dia bukanlah orang sembarangan biasa. Ah, tapi, aku belum bisa menguasai diriku. Aku masih saja merasakan tubuhku ini merinding ketakutan dihadapannya. Di tambah lagi dengan hembusan angin tiba-tiba itu.
“tidak usah takut,”ucapnya sambil menepuk bahu kananku,”kau adalah orang pertama yang mau mengajakku berbicara setelah selama hampir empat tahun ini aku membisu.”
Entah kenapa tepukan tangannya pada bahu kananku seolah bisa mengusir rasa merinding dan ketakutan yang menyelimuti diriku. Aku kini bisa merasa lebih tenang.
“kalau begitu, boleh aku bertanya lebih jauh tentang Bapak?” tanyaku
“boleh.”
“apa yang sebenarnya sedang bapak lakukan selama empat tahun ini?”
“kau bertanya apa yang sedang saya lakukan? Tidakkah kau lihat aku sedang memecahkan suatu teka-teki selama empat tahun ini?”
“teka-teki?”
“ya, teka-teki. Aku sedang memecahkan suatu teka-teki dibalik tiga helai daun bambu yang aku susun berderet di atas tanah ini.”
“teka-teki apa maksud bapak?”
Dia lalu menyusun tiga helai daun bambu itu membentuk seperti susunan tiga buah berlian dimana yang satu berada di tengah atas dua yang lain.
“kau coba lihat tiga helai daun bambu ini. Yang paling kanan adalah aku, yang paling kiri adalah nafsuku, sementara yang di tengah ini adalah Tuhan.”
“trus, apa teka-tekinya, Pak?”
Dia lalu mendekatkan posisi daun bambu yang paling kanan ke arah daun bambu yang di tengah serta menjauhkan posisi daun bambu yang paling kiri dari keduanya.
“kau coba lihat sekarang. Aku selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, dan menjauh dari nafsu. Tapi, kenapa setiap kali aku mendekatkan diriku kepada Tuhan dan menjauh dari nafsu itu, justru nafsu itu aku rasakan semakin membesar dan mendekat ke arahku? Dan, kenapa Tuhan diam saja? Kenapa Dia tidak mencegah nafsu itu agar tidak mendekat ke arahku? Kenapa dalam hal ini hanya aku dan nafsu saja yang bergerak aktif? Kenapa Tuhan pasif?”
“ah, mudah sekali jawabannya, Pak”
“apa kau bilang?” ucapnya dengan tatapan mata terperanjat,”empat tahun aku menggila dan membisu karena belum bisa menemukan jawaban teka-teki itu. Kau bilang mudah sekali jawaban teka-teki itu.”
“begini, Pak. Ada yang salah pada posisi dua daun bambu yang paling kanan dan yang paling kiri ini.”
“salah?”ucapnya mengernyitksn dahi,”kalau memang salah, trus bagaimana seharusnya posisi kedua daun bambu yang paling kanan dan yang paling kiri ini?”
“dua daun bambu paling kanan dan paling kiri ini tidak boleh dipisahkan, Pak, tapi harus dijadikan satu, saling tumpuk, yang paling kanan berada di atas yang paling kiri. Lalu diposisikan lurus tepat di bawah daun bambu yang ada di tengah ini” jelasku sambil merubah posisi kedua daun bambu paling kanan dan paling kiri itu. Tanpa sedikitpun merubah posisi daun bambu yang ada di tengah.
Dia tampak masih mengernyitkan dahi seolah masih ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“begini, Pak,”jelasku,”menurut bapak, daun bambu yang paling kanan ini adalah anda, dan daun bambu yang paling kiri ini adalah nafsu anda. Dan, anda bermaksud memisahkan antara anda dan nafsu anda itu. Menurut saya, pemikiran seperti itu kurang tepat, Pak. Harusnya seperti ini, Pak, daun bambu yang paling kanan adalah sisi baik anda, sementara daun bambu yang paling kiri adalah sisi buruk anda. Nafsu anda itu adanya di dalam diri anda. Jadi, anda tidak bisa mencoba menjauh darinya. Solusinya, sisi baik anda harus bisa berada di atas sisi buruk anda, harus bisa mengalahkan dan mengontrol sisi buruk anda. Sehingga posisinya menjadi seperti ini.” Ujarku sembari menunjukkan posisi daun bambu yang paling kanan berada di atas daun bambu yang paling kiri.
“nah, dengan demikian, Pak, nafsu anda itu memanglah tetap akan selalu ada dalam diri anda, tapi anda mampu mengekangnya dan menahannya dengan sisi baik anda sehingga nafsu itu tidak bisa bangun dan berbalik menguasai dan mengontrol diri anda.”
Dia tampak manggut-manggut paham dengan penjelasanku.
“lalu, daun bambu yang ada di tengah ini sama sekali tidaklah pasif, Pak. Dia mengamati kedua daun bambu yang lain yang berada di bawahnya ini. Menurut pemikiran Bapak, Tuhan dalam hal ini diam saja melihat anda dikejar-kejar oleh nafsu. Pemikiran bapak itu kuranglah tepat. Tuhan tidak akan membiarkan makhlukNya yang tidak mampu. Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada makhlukNya melebihi batas maksimal kemampuan makhluk itu. Nah, kenapa dalam hal ini Tuhan diam saja terhadap anda? Karena Tuhan tahu bahwa anda sebenarnya mampu, mampu untuk mengekang dan menahan nafsu anda tanpa harus mencoba meniadakan dan menjauh dari nafsu itu sama sekali. Karena nafsu bagaimanapun juga tidak akan pernah lepas dari dalam diri kita, Pak. Karena kita manusia, bukan malaikat. Itulah yang dinamakan ‘win-win solution’, Pak. Menang tanpa harus mengalahkan yang lain.”
Dia kembali manggut-manggut, lalu berujar”kau memang benar. Kau hebat sekali. Kau orang pertama yang mengajakku berbicara setelah empat tahun lamanya aku membisu. Dan, kau lah yang justru memecahkan teka-tekiku itu. Kau telah membuatku tersadar dari kegilaanku. Mulai hari ini, aku berjanji di hadapanmu, bahwa aku tidak akan gila lagi, tidak akan.”
“bapak memang tidaklah gila sebenarnya.”
“tidak, tidak! Jangan kau coba menghiburku! Aku memang sudah gila selama empat tahun ini. Seandainya aku tidak gila, aku tidak mungkin meninggalkan istri dan anak-anakku yang telah aku anggap mereka sebagai nafsu dan fitnah duniawi itu. Seandainya aku tidak gila, aku tidak mungkin lari dari rumah sampai kesini dan bertemu denganmu. Seandainya aku tidak gila, orang-orang di sekitar sini pasti tidak akan acuh tak acuh terhadap diriku. Ah, sudahlah …….”
Dia lalu menangis tersedu-sedu. Tangisnya terdengar berat, seolah ada beban hidup di dalam dirinya yang belum sempat dia pertanggungjawabkan.
“kenapa bapak tiba-tiba menangis, bukankah bapak kini telah tersadar?”
“bukan karena itu aku menangis. Aku menangis karena aku merasa telah meniadakan dan menelantarkan istri dan anak-anakku. Aku egois. Setiap hari aku hanya melulu mencoba memecahkan teka-teki itu, hingga akhirnya semua orang di sekitarku menganggapku gila, hingga akhrnya aku lari dari rumah. Aku merasa sangat bersalah sekali kepada mereka.”
“kenapa bapak tidak kembali saja kepada mereka sekarang?”
“tidak, tidak. Aku yakin istriku pasti sudah lebih bahagia dengan suami barunya yang lebih perhatian. Aku yakin anak-anakku lebih bangga dengan ayah baru mereka yang lebih bertanggung jawab. Lagi pula, bagiku Wijaya Kusuma telah lama mati empat tahun yang lalu.”
“Wijaya Kusuma? Siapa dia, Pak?”
“dia adalah aku yang telah mati sejak empat tahun yang lalu.”
“tidak, tidak, Pak. Wijaya Kusuma belumlah mati, tapi Wijaya Kusuma baru saja bangun kembali setelah tertidur panjang sejak empat tahun yang lalu.”
Pada itu, dia menatapku lekat-lekat dan tajam-tajam. Matanya masih tampak berkaca-kaca. Sesaat kemudian, dia bertanya kepadaku.
“siapakah engkau gerangan? Apakah engkau asli warga sekitar sini? Ah, tidak. Aku masih asing dengan wajahmu. Aku baru kali ini melihatmu disini. Apakah engkau seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk menasehati dan menyadarkanku?”
“tidak, Pak. Aku bukanlah warga asli sekitar sini. Tapi, aku bukan pula malaikat utusan Tuhan. Aku baru satu minggu disini, Pak. Kebetulan saja aku sedang ada proyek bangunan selama tiga bulan di daerah sini. Dan, sangat kebetulan sekali aku bisa bertemu dengan Pak Wijaya Kusuma disini. Aku yakin, jika Fatmawati istri anda, serta Agung dan Budi kedua putra anda, mendengar cerita yang sesungguhnya dari bapak ini, mereka semua pasti akan tetap merasa bangga pernah memiliki seorang suami dan ayah seperti bapak.”
Dia tampak terkejut dengan ucapanku barusan.
“kk…kk…kkkaauu…kenal dengan istri dan kedua anakku??!!”
“ya, akulah yang mempersunting mantan istri anda dan menjadi ayah tiri kedua putra anda setelah empat tahun lamanya Fatmawati menunggu kepulangan anda, namun anda tidak pulang-pulang juga. Kami baru saja menikah dua bulan yang lalu, Pak. Bersediakah Bapak merestui pernikahan kami?”
Dia semakin terkejut.
“te…ten….tentu, kau memang lebih pantas menjadi suami Fatmawati dan kau juga memang lebih pantas menjadi seorang ayah bagi Agung dan Budi.” Jawabnya sambil mendekap tubuhku erat.
“terima kasih, Pak.”
“tidak! Kau tidak perlu berterima kasih! Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu. Siapa namamu?”
“Wahyu Wibowojati, Pak.”
“terima kasih banyak, Wahyu. Tolong jaga Fatmawati dan didik Agung dan Budi baik-baik. Sampaikan salam dan permintaan maafku kepada mereka.”
“tentu, Pak.”


***

Seorang kaya itu tampak tertegun-tegun dan manggut-manggut mendengarkan cerita panjang lebar dari Pak Kus.
“jadi, seorang gila itu adalah anda, Pak Kus?”
“iya. Seorang gila itu adalah aku.”
Tak lama kemudian, seorang kaya raya itu menyodorkan sebuah cek bertuliskan seratus juta rupiah kepada Pak Kus. Lalu mengambil sebuah lukisan bergambar seorang pria setengah baya berambut gimbal dengan baju kumuh dan kusut sedang jongkok memandangi tiga helai daun bambu yang dia taruh berderet di atas tanah itu. Pak Kus tidak tahu untuk apa uang sebanyak itu baginya. Sesaat, dia teringat dengan Fatmawati serta kedua putranya Agung dan Budi.
“hmmm, uang sebanyak ini akan aku berikan kepada mereka, meskipun tidaklah cukup untuk menebus semua kesalahanku selama ini.”
Sementara seorang kaya itu, di benaknya sudah terbayang dia akan menghadiahkan sebuah lukisan itu kepada koleganya yang tak lain dan tak bukan adalah seorang bernama Wahyu Wibowojati.
Sementara itu, pada ruang waktu yang lain, seorang Wahyu Wibowojati sedang duduk-duduk di teras depan rumahnya sembari menikmati hisapan rokok kretek di tangannya. Sesaat kemudian, dia menyeruput secangkir teh panas yang ada di atas meja disamping kanannya. Lalu, kembali dia menikmati hisapan demi hisapan rokok kreteknya. Pandangan matanya lurus ke depan, namun kosong, tidak ada yang dituju. Hanya, pikirannya saja yang melayang entah kemana.
“hmmm, aku telah berhasil memecahkan suatu teka-teki itu baginya, namun suatu teka-teki baru muncul bagiku. Ya, suatu teka-teki baru. Begitu banyak jenis daun di dunia ini. Tapi, kenapa dia lebih memilih daun bambu? Kenapa bukan daun yang lain?”
Adakah anda yang tahu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar