NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Ingin Aku Kembali ke Rahim Ibu

Ingin Aku Kembali ke Rahim Ibu

“Nduk, surga itu ada di telapak kaki Ibu, bukan di telapak kaki Bapak. Karena itu, ndak usah kamu menangis tersedu-sedu seperti itu di telapak kaki bapak. Pesan Bapak kepadamu cuma satu, tolong jaga Ibumu baik-baik, jangan sekali-kali kamu sakiti hati Ibumu. Sudahlah nduk, relakan saja kepergian Bapakmu ini, karena pada akhirnya kita semua akan kembali kepadaNya.” Ucap Bapak lirih dan serak.
Begitulah wasiat Bapak beberapa saat sebelum beliau meninggalkan kami, aku dan Ibu, untuk selama-lamanya. Pulang kembali menghadap Sang Pencipta.
Sejak kecil sampai aku tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, aku memang lebih dekat dengan Bapak daripada dengan Ibu. Aku sendiri tak tahu entah kenapa bisa seperti itu, mungkin karena aku merasa Bapak lebih sering bersikap bijak dan lemah lembut dalam mendidik putri satu-satunya beliau ini daripada Ibu. Ya, Ibu memang orangnya tegas dan keras. Ibu memang orangnya ‘gak bolehan’ , maksudnya dikit-dikit gak boleh, begini gak boleh, begitu gak boleh, pokoknya serba gak ngebolehin dan suka mengatur putrinya. Sejak kecil sampai sekarang, sampai aku sudah tumbuh menjadi gadis dewasa ini, Ibu tetap saja sering ikut campur dalam kehidupanku. ‘kamu itu gak boleh begini’, ‘kamu itu gak boleh begitu’, setiap hari kata-kata itu saja yang aku dengar dari Ibu. Setiap kali aku mencoba berpendapat untuk membela diri, justru kata-kata lain yang lebih pedas yang aku dapat dari beliau, ‘kamu sudah berani bantah Ibu ya sekarang?’ ‘kamu sudah berani beralasan di depan Ibu ya sekarang?’ Ah, aku muak sekali mendengar dampratan dari Ibu setiap hari, dan setelah itu paling-paling aku hanya melampiaskan diri dengan berlari ke dalam kamar lalu membanting pintu kamar sekeras-kerasnya. Sementara Bapak sifatnya sangat kontras sekali dengan Ibu. Setiap kali setelah itu, dari dalam kamar, aku selalu mendengar beliau mencoba meredakan emosi Ibu.
“mbok jangan gitu tho, Bu. Kalau nasehati anak itu mbok ya dengan kata-kata yang baik, lemah lembut. Jangan malah dibentak-bentak kaya gitu. Anak zaman sekarang ‘kan beda dengan zaman kita dulu. Kalo dikerasin malah gak mempan.”
“Ooo … jadi Bapak juga sudah berani dengan Ibu, gitu? Bapak sudah berani bersekongkol dengan anak kita itu, iya? Huh, dasar anak dan Bapak sama saja.” Timpal Ibu mendengus kesal setiap kali Bapak mencoba membelaku.
Dan, setiap kali setelah itu, Bapak juga selalu mencoba meredakan emosiku kepada Ibu.
“kamu juga jangan begitu tho, Nduk. Meskipun Ibumu itu orangnya galak dan gak bolehan, tapi bagaimanapun juga dia itu ‘kan Ibumu. Ibu yang melahirkan kamu, menyusui kamu dan merawatmu sampai kamu dewasa sekarang.”
“iya, Pak. Santi juga tahu itu. Tapi ‘kan, itu gak berarti Ibu boleh dengan seenaknya sendiri mengatur Santi. Santi sudah gede, Pak. Santi sudah dewasa. Santi sudah bukan anak kecil lagi.” Timpalku setengah emosi, bukan dengan Bapak, tapi dengan Ibu.
“iya … iya, Bapak juga tahu itu. Ya sudah, memangnya tadi kamu itu kenapa tho, Nduk? Kok sampai Ibumu marah-marah begitu.”
Dan, setiap kali setelah itu, Bapak selalu dengan sabar dan bijaksana mendengarkan serta menanggapi segala keluh kesahku. Bapak itu orangnya netral. Tidak memihak Ibu, tidak juga aku. Kalau memang aku yang salah, beliau pasti akan menyalahkanku dengan kata-kata berpetuah yang bijaksana dan lemah lembut yang kurasakan seperti hembusan angin sepoi-sepoi di bawah pohon yang rindang. Begitu pula jika memang Ibu yang salah, beliau pasti tak segan-segan akan menyalahkan Ibu, dengan perkataan yang lemah lembut dan bijaksana tentunya.
Ah, Bapak memang berbeda sekali dengan Ibu, sangat berbeda sekali, bagai kutub utara dan kutub selatan. Kadang aku sendiri tidak habis pikir kenapa Bapak bisa mempunyai seorang istri seperti Ibu. Ah, barangkali itulah yang namanya suatu keseimbangan dalam kehidupan. Tuhan begitu adil dengan menganugerahi Ibu seorang suami yang sangat arif dan bijaksana. Karena itulah, tak pernah sekalipun aku curhat masalah pribadiku dengan Ibu, melainkan dengan Bapak. Tak lain karena beliau adalah seorang pendengar sekaligus penanggap yang bijaksana.
Dan, setelah kepergian Bapak untuk selama-lamanya, tinggallah keluarga ini hanya kami berdua, aku dan Ibu. Aku sungguh merasakan suatu kehilangan yang besar, tidak hanya kehilangan seorang Bapak, tidak hanya juga kehilangan seorang kepala rumah tangga yang bisa menjadi penengah yang netral, tapi juga kehilangan sosok pendengar dan penanggap yang baik, arif dan bijaksana atas semua keluh kesah masalah pribadiku. Dan, mau tak mau hanya kepada Ibu lah kini aku harus bertutur dan bersandar setiap kali aku ingin berkeluh kesah masalah pribadiku. Awalnya aku ragu-ragu, dan kupikir lebih baik menyimpannya saja dalam hati, namun aku bukanlah tipe seorang gadis yang kuat dan tahan berlama-lama menyimpan segala keluh kesahku dalam hati. Hingga akhirnya suatu ketika aku memaksakan diri untuk berkeluh kesah masalah pribadiku kepada Ibu, meskipun masih dengan perasaan canggung, ragu-ragu dan takut justru malah akan dimarahi. Namun, entah kenapa tiba-tiba Ibu seolah berubah total. Ibu tiadalah lagi seperti Ibuku yang dulu yang suka memarahi dan menyalahkan diriku seenaknya sendiri, Ibu kini lebih bersikap arif dan bijaksana, pendengar dan penanggap yang baik. Seolah-olah saja seperti jiwa Bapak tiadalah ikut pergi bersama jasad dan ruh beliau, melainkan berpindah ke hati Ibu. Ah, barangkali inilah pula yang dinamakan keseimbangan yang lain dalam kehidupan. Tuhan begitu adil dengan menganugerahi diriku seorang Ibu yang mewarisi jiwa arif bijaksana Bapak setelah kepergian beliau untuk selama-lamanya.
“maafkan Ibumu ini, Nduk. Ibu sangat menyesal dulu sering memarahi dan membentakmu. Tapi, sungguh Ibu sama sekali tidak bermaksud begitu. Ibu hanya khawatir akan terjadi kenapa-kenapa denganmu, Nduk. Ibu sayang kamu, sangat sayang sekali bahkan, hingga akhirnya Ibu terlalu bersikap over-protective terhadapmu, Nduk. Hingga akhirnya setelah Bapakmu wafat, Ibu baru tersadar kalau sikap Ibu itu salah. Kamu mau memaafkan Ibumu ini ‘kan, Nduk?” ucap Ibu sambil menangis.
“Santi juga minta maaf, Bu. Santi telah banyak menyakiti hati Ibu.” Aku tak kuasa menahan tangis. Perempuan mana yang tidak menangis melihat Ibu kandungnya meminta maaf dengan tulus kepada anaknya sambil meneteskan air mata. Kami berdua berpelukan, larut dalam tangis dan penyesalan masing-masing.
Kini tiada lagi ku dengar umpat marah seorang Ibu yang selalu mencampuri kehidupan putrinya setiap hari, melainkan kata-kata nasehat, wejangan dan petuah lemah lembut arif bijaksana seperti yang biasa ku dengar dari almarhum Bapak. Hingga akhirnya aku kini tiada lagi merasakan kesedihan akan kehilangan sosok Bapak, karena sosok Bapak kini telah merasuk dalam pribadi Ibu. Hingga akhirnya aku tumbuh menjadi seorang perawan bergelar Sarjana Psikologi yang idealis yang sudah waktunya untuk memiliki seorang pendamping hidup. Hingga akhirnya aku menjadi seorang Konsultan Psikologi yang kelewat perhatian dan jatuh cinta kepada klienku sendiri, Mas Suryo, seorang pengusaha muda sukses yang datang kepadaku dengan latar belakang sebagai seorang alkoholik dan suka ‘jajan’ sembarangan.
“Mas Suryo, Mas ini ‘kan sudah lebih dari sangat berkecukupan sekali, kalau gak mau dibilang kaya. Lalu, kenapa Mas gak menikah saja, biar tidak ‘jajan’ sembarangan lagi?”
“justru itulah masalahnya, San. Setiap wanita yang mendekatiku, hanyalah menginginkan kekayaanku saja, bukan karena mencintaiku setulusnya. Kamu sendiri tahu ‘kan, zaman sekarang sulit sekali mencari wanita yang bisa benar-benar mencintai lelakinya apa adanya.”
“siapa bilang, Mas Suryo ‘kan selain kaya juga tampan dan gagah. Wanita manapun pasti akan mati-matian mempertahankan cintanya kepada Mas Suryo meskipun katakanlah Mas Suryo ini tidaklah kaya.” Ucapku sedikit menggoda. Ah, aku memang tidak bisa membohongi diri sendiri, aku tidak bisa munafik bahwa aku telah bersikap tidak professional. Ya, aku diam-diam telah jatuh cinta dengan klienku sendiri. Namun, aku tidak berani berterus terang hingga akhirnya ketika Mas Suryo terang-terangan juga jatuh hati padaku dan sungguh-sungguh ingin melamarku, aku pun tak kuasa untuk menolaknya.
Namun, entah kenapa kini sikap Ibu kembali keras dan tidak mau tahu seperti semula. Ibu tidak setuju jika aku menikah dengan Mas Suryo.
“Dengar Santi! Ibu tidak akan pernah merestuimu untuk menikah dengan Mas Suryomu itu! Dia itu seorang Alkoholik dan suka ‘jajan’ sembarangan, Nduk. Kamu ‘kan tahu itu! Jangan kamu biarkan cinta dalam hatimu itu membutakan dirimu, Nduk.”
“iya, Bu. Santi tahu itu. Dan, justru hal itulah yang membuat Santi menerima lamaran Mas Suryo. Santi ingin merubah Mas Suryo agar tidak kecanduan alkohol dan ‘jajan’ sembarangan lagi. Dan, Mas Suryo juga berjanji demi Santi, dia akan berubah total dan menjadi suami yang baik.” Ujarku beralasan, dan sedikit berbohong kepada Ibu. Namun, aku tidak bisa membohongi hatiku sendiri bahwa aku menerima lamaran Mas Suryo karena aku benar-benar sudah kesengsem dengan wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang gagah. Dan, hatiku juga tidak bisa munafik bahwa aku telah dibutakan oleh cintaku kepada Mas Suryo, seperti apa kata Ibu.
“ah, semua laki-laki sama saja. Selalu janji dan janji, namun tidak pernah ditepati. Dan, lagi pula, Nduk, apa kamu tidak takut kalau-kalau dia itu sudah terkena AIDS. Ibu khawatir kamu juga akan tertular nanti, Nduk.”
“Mas Suryo belum sampai mengidap virus HIV, Bu. Ini buktinya.” Ujarku sembari menyodorkan lembaran kertas hasil tes urine dan darah Mas Suryo yang negatif mengidap virus HIV.
Ibu hanya terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
“Baiklah, Nduk. Sekarang semua terserah kamu. Seperti yang selalu ayahmu bilang setiap kali Ibu memarahimu dulu, bahwa hidupmu ada di tanganmu sendiri, bukan di tangan Ibu. Sebagai seorang Ibu, kewajiban Ibu hanya menasehati dan menuntun kamu. Selebihnya itu hak kamu, Nduk. Tapi …. “ tiba-tiba Ibu terhenti berucap, menangis.
“tapi apa, Bu.”
“tapi seandainya ada sesuatu yang terjadi padamu kelak, Nduk, sesuatu yang buruk yang selalu muncul dalam firasat Ibu. Ibu takut, Nduk. Ibu takut kalau firasat itu benar-benar terjadi. Ibu mengkhawatirkanmu, Nduk.” Spontan Ibu mendekapku erat, menangis tersedu-sedu.
“Ibu jangan berfirasat seperti itu. Santi juga jadi takut, Bu. Bukan takut karena itu,Bu. Tapi karena … karena Santi takut sesuatu yang buruk itu terjadi karena Santi kualat dengan Ibu.” Entah kenapa tiba-tiba kata-kata ‘kualat’ terlontar dari bibirku. Mungkin karena aku merasa telah berbohong kepada Ibu. Aku pun menangis dalam dekapan Ibu. Kami berdua larut dalam tangis.
***
Setahun berlalu sudah. Kini, masih dengan posisi yang sama, saling berdekapan erat, kami saling menumpahkan tangis sedih seorang Ibu dan tangis penyesalan sang anak. Mas Suryo ternyata telah berbohong soal hasil test urine dan darahnya yang negatif HIV. Semua itu dia lakukan karena agar aku mau menerima lamarannya. Namun, Mas Suryo akhirnya tidak kuat mendengar dan menanggung beban telah berbohong dan bersalah kepada kami bahwa aku dan bayi yang baru saja lahir dari rahimku ini, yang juga darah daging Mas Suryo ternyata positif HIV. Dan, Mas Suryolah sumber dari virus HIV itu. Mas Suryo gantung diri selang beberapa saat mendengar berita buruk itu, dan di saku bajunya ku temukan sebuah surat permintaan maaf yang sedalam-dalamnya darinya serta selembar kertas hasil test urine dan darahnya yang sesungguhnya, positif HIV.
Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Ibu. Ingin aku kembali ke rahim Ibu, lalu terlahir kembali dan mensetting kembali cerita hidupku dengan benar, mematuhi segala perintah Ibu. Namun, apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Dan, bayi yang lahir dari rahimku ini, seandainya dia tahu, mungkin dia pun hendak ingin kembali ke rahimku dan tidak ingin terlahir kembali. Namun, mau dikata apa. Bubur sudah tidak bisa berubah menjadi nasi.
Haruskah aku melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Mas Suryo? Gantung diri dengan sebuah kertas berisi permintaan maafku yang sedalam-dalamnya kepada Ibu karena aku telah berbohong kepada beliau?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar