NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Mawar Berduri

Mawar Berduri

Dia tampak begitu sibuk mengamati bermacam-macam bunga yang terhampar indah penuh warna-warni di depannya. Kedua bola matanya yang bulat indah terlihat begitu berbinar dan sumpringah di balik wajahnya yang ayu memandangi hamparan warna-warni bunga-bunga yang tumbuh dan terawat dengan baik di pekarangan belakang rumahku itu. Aku sendiri memang suka dengan keindahan warna-warni bunga-bunga itu, namun aku sebenarnya tidak terlalu hobby dengan yang namanya bunga, apalagi mengoleksi berbagai jenis tanaman bunga lalu mengurus dan merawatnya dengan baik dan teliti. Aku tidak ingin repot-repot setiap pagi dan sore menyirami bunga-bunga itu. Tapi, karena koleksi berbagai jenis bunga yang memenuhi hampir seluruh pekarangan belakang rumahku itu merupakan peninggalan almarhumah ibuku, dan sebelum meninggal beliau berwasiat kepadaku agar aku mengurus dan merawat baik-baik bunga-bunga di pekarangan belakang rumahku itu, maka mau tak mau aku pun harus merawat dan mengurus bunga-bunga itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Karena memang pada dasarnya aku ini tidak terlalu hobby repot-repot dengan yang namanya bunga, maka aku memutuskan untuk menyewa jasa Pak Narno seorang tukang kebun yang di mataku beliau benar-benar terlihat paham dan mengenal betul dengan yang namanya bunga, beliau begitu telaten mengurus dan merawat bunga-bunga warisan almarhumah ibuku itu, selain itu meskipun Pak Narno hanyalah seorang tukang kebun, tapi di mataku beliau adalah sosok lelaki dewasa yang bijak, berwibawa, dan penuh kebapakan, karena itulah beliau sudah ku anggap seperti ayahku sendiri karena setelah ayahku menceraikan ibuku dan memutuskan untuk menikah dengan wanita yang lain serta setelah kepergian almarhumah ibuku, hanya dengan Pak Narno lah aku menempati rumah warisan turun temurun peninggalan nenek moyang kami yang berukuran cukup besar itu. Pak Narno pula lah yang selama ini selalu menyemangatiku untuk selalu tabah dalam menjalani kehidupan yang serba tak tentu ini. Beliau selalu mampu membangkitkan jiwaku dengan kata-kata dan petuah-petuah bijaknya yang kurasakan begitu dalam menyentuh lubuk hatiku. Ah, beliau memang seolah sosok ayahku sendiri, bahkan lebih, karena selama ini sosok ayah di mataku adalah seorang yang workaholic, pagi buta berangkat ke kantor, malam baru pulang lalu langsung istirahat, begitu saja terus berjalan setiap hari sehingga dia seolah lupa dengan keluarganya sendiri, istrinya dan putra satu-satunya ini. Memang, secara materi, kami merasa sangat berkecukupan bahkan lebih berkat hasil kerja kerasnya itu. Tapi dia pikir hanya dengan uang berlimpah saja kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga bisa di dapat. Sama sekali tidak. Dan, kredibilitas sosok ayah di mataku semakin jelek ketika lama-lama ayah sering telat pulang ke rumah, bahkan tidak jarang pula ayah tidak pulang ke rumah sama sekali dengan alasan lembur meskipun ketika ibu mencoba mengecek dengan menelepon ayah ke kantor, ternyata ayah tidak sedang lembur sama sekali. Ibu pun menaruh kecurigaan semenjak saat itu sampai akhirnya suatu ketika Ibu memergoki ayah sedang berduaan dengan wanita lain di sebuah restoran ternama di ibu kota. Sejak itu pula Ibu meminta cerai dengan ayah meskipun sebenarnya ayah sudah berulangkali meminta maaf kepada Ibu dan berjanji tidak akan menyeleweng lagi, namun keputusan Ibu sudah bulat, Ibu menginginkan perceraian. Akhirnya Ibu dan ayah pun cerai. Aku memilih untuk ikut dengan ibu dari pada dengan ayah, karena selain akhirnya ayah menikah lagi dengan WILnya itu, tapi juga karena memang selama ini aku merasa lebih dekat dengan Ibu dari pada dengan ayah.
Sebetulnya aku sama sekali tidak membenci ayah, karena secara materi ayah telah benar-benar menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga untuk menafkahi dan mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Justru dengan WILnya itulah aku menaruh kebencian yang mendalam. Dasar wanita kegatelan! Sudah tahu orang sudah punya istri dan anak, masih saja di rayu, ah, paling-paling dia juga mau mengincar uang ayahku saja. Dasar wanita mata duitan!
Dan, entah kenapa pula setelah perceraian itu, aku seolah merasa paranoid dengan yang namanya wanita. Bahkan aku seolah merasakan kebencian mendalam kepada yang namanya wanita meskipun sebenarnya aku pun sendiri sadar bahwa tidak semua wanita itu sama karena Ibuku sendiri juga adalah seorang wanita. Mungkin saja kebencianku akan wanita ini karena didasari kebencianku dengan wanita yang telah merebut ayahku dari sisi Ibuku. Ah, wanita itu memang lebih segar, lebih semok, dan lebih cantik serta lebih muda dari pada Ibuku, pantas saja ayah terpikat dengannya. Ah, dasar wanita cantik kegatelan dan mata duitan! Wanita memang layaknya sebuah bunga mawar yang begitu indah yang membuat kita serasa ingin memetiknya, namun dibalik keindahannya, durinya yang menusuk tajam bisa menggoreskan luka berdarah pada tangan kita.
Kedua bola matanya yang sedari tadi mengamati hamparan warna-warni bunga-bunga yang ada di pekarangan belakang rumahku itu, kini berbalik menoleh ke arahku.
“Mas Budi pasti hobby banget menanam bunga, dan tentu sangat paham betul bagaimana cara merawat dan mengurus bunga-bunga ini dengan baik.” Kata gadis itu diringi senyumnya yang manis dan mempesona.
Ah, lelaki mana yang tidak terpikat jika seorang gadis jelita yang berwajah ayu dan bertubuh putih mulus nan ramping melemparkan senyum terindahnya kepada kita.
“Kok kamu bisa bilang begitu?”
“Lho, bunga-bunga di pekarangan ini kan begitu terurus dan terawat dengan baik, gak ada satu pun bunga-bunga disini yang tampak layu, pokoknya bunga-bunga itu tampak segar dan indah kaya aku gitu deh, soalnya aku pandai merawat dan mengurus diri, he..he..he..ya gak Mas? Nah, kalau bunga-bunga itu pasti Mas Budi yang mengurus dan merawat mereka, makanya terlihat segar dan indah semua, ya kan?” Jawabnya kembali diringi senyumnya yang indah dan terkesan manja menggoda.
Ah, kau memang segar dan indah sama halnya dengan bunga-bunga itu. Tapi lebih tepatnya kau bagaikan setangkai mawar merah nan indah di pagi hari yang baru mekar, karena namamu sendiri memanglah Mawar dan usiamu sendiri yang memang masih muda belia meskipun cara pandang dan cara pikirmu jauh lebih dewasa daripada usiamu itu. Ya, kebetulan nama gadis itu adalah Mawar Ayu Sekarningrum dan orang-orang memanggilnya Mawar. Ah, gadis itu memang seindah dan seayu namanya. Dan aku pun tidak bisa membohongi hatiku sendiri kalau aku sebenarnya memang telah jatuh hati dengan pesona kecantikan gadis itu.
“Kamu salah, Mawar, aku sama sekali tidak hobby menanam bunga-bunga dan bukan aku yang mengurus dan merawat bunga-bunga itu.”
“Lho, terus kok bisa ada banyak bunga-bunga di pekarangan rumah Mas Budi?”
“Itu warisan peninggalan almarhumah Ibuku, dan sebelum meninggal beliau memintaku untuk selalu merawat dan mengurus bunga-bunga itu dengan baik.”
“Lalu, kalau begitu siapa dong yang mengurus dan merawat bunga-bunga itu?”
“Karena pemahamanku seputar bunga sangatlah minim, aku menyewa seorang tukang kebun untuk merawat dan mengurus bunga-bunga itu dan itu semua kulakukan tak lain dan tak bukan demi almarhumah ibuku, bukan karena aku ini hobby menanam dan merawat bunga seperti dugaanmu itu.”
“Ooo…begitu. Eh, ngomong-ngomong di antara bunga-bunga itu bunga apa yang paling Mas Budi suka.” Tanya dia sembari menunjuk ke arah hamparan bunga-bunga itu.
“Menurutku semua bunga-bunga itu sama-sama bagus dan indahnya.” Jawabku ringan dan datar.
“Mas Budi kok jawabnya gitu sih, tadi kan Mawar tanya yang paling disukai Mas Budi itu bunga apa, gitu? kok malah disukai semua, gimana sih?” Protesnya kepadaku. Ah, wajahnya yang berubah cemberut menunjukkan ketidakpuasannya atas jawabanku itu. Ah, cemberut atau tidak, kau sama saja, tetap cantik.
Ah, namanya juga wanita. Dimana-mana yang namanya wanita selalu saja bersikap manja dan kekanak-kanakan ketika dia sedang berdua dengan seorang lelaki. Aku cuma tersenyum kecil melihat rona mukanya yang berubah cemberut.
“Lho, kok Mawar jadi berubah cemberut dan sewot gitu sih? Coba kamu lihat bunga mawar itu, bunga mawar itu aja dari dulu gak pernah cemberut dan sewot sama aku.”
“Habisnya Mas Budi sih, ditanya bener-bener kok jawabnya seenaknya sendiri. Ayo sekarang jawab yang bener!” pintanya manja dan terkesan kekanak-kanakan.
“ehmmm…bunga apa ya? Aha, bunga mawar! Ya, bunga mawar menurutku bunga yang paling indah diantara hamparan bunga-bunga di pekarangan ini. Coba kamu lihat lagi bunga mawar itu, terlihat paling indah kan?”
“Bener nih? Mas Budi gak bohong ‘kan?”
“Lho, ngapain aku bohong sama Mawar? Mawar itu gak pantas untuk di bohongi, sama halnya dengan bunga mawar itu gak boleh di biarkan terlantar begitu saja, tapi harus dirawat dan diurus agar keindahannya tetap terjaga, begitu.”
Ah, sebenarnya aku berbohong saja. Aku bahkan sebenarnya paling benci dengan bunga mawar karena berulang kali aku tertusuk durinya ketika hendak memetiknya waktu aku dulu sedang iseng-iseng membantu Ibuku menyiram bunga-bunga di pekarangan rumah kami itu, begitu pula ketika aku juga sedang membantu Pak Narno merawat dan menyirami bunga-bunga itu, lagi-lagi tanganku tertusuk duri mawar ketika aku hendak memetiknya. Tapi, bukan karena itu saja aku membenci bunga mawar yang memanglah sangat indah dan mempesona mata itu, melainkan juga karena wanita cantik yang telah merebut ayah dari sisi Ibuku itu juga bernama depan Mawar, Mawar Kusumaningrum, dan entah hanya karena kebetulan saja atau tidak, Pak Narno, tukang kebun yang sudah aku anggap seperti ayahku sendiri itu, juga pernah dikhianati oleh seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah mantan istrinya sendiri yang lagi-lagi bernama depan Mawar, Mawar Wulaningrum. Tapi, aku berbohong karena terpaksa, hanya semata tidak ingin melihat wajah ayu Mawar yang satu ini ternodai oleh cemberutnya, meskipun di mataku wajahnya tetap saja terlihat ayu mempesona dibalik cemberutnya itu.
“Berarti kita sehati dong, Mas. Mawar juga paling suka sekali sama bunga mawar.”
“Ah, itu kan karena kebetulan aja nama kamu juga Mawar, makanya kamu pura-pura suka bunga mawar itu, ya kan?” ujarku sedikit menggoda.
“iihh, Mas Budi gak percaya banget sih sama Mawar, memangnya muka Mawar menunjukkan muka pembohong apa? Mawar suka bunga mawar karena menurutku bunga mawar itu memang begitu indah dan begitu mempesona setiap mata yang memandangnya sehingga membuat kita ingin sekali memetiknya, tapi hati-hati lho Mas, kalau ingin memetik bunga mawar, bisa bisa tangan kita berdarah karena tertusuk durinya.”
Kau memang betul Mawar. Bunga mawar memanglah bunga yang indah dan mempesona setiap mata yang memandangnya, namun dibalik keindahannya itu terdapat duri-duri tajam menusuk yang bisa membuat tangan kita luka berdarah ketika hendak memetiknya. Dan kau Mawar, kau memang seindah dan semempesona namamu. Kau benar-benar telah mempesona mata hatiku. Kau telah membuatku ingin memetikmu dan memilikimu. Tapi aku berharap kau tiadalah seperti mawar-mawar berduri itu, mawar-mawar yang bisa menancapkan duri luka di balik keindahannya. Aku berharap kau hanyalah sebuah Mawar indah saja yang tiada berduri sama sekali.
“Nak, Nak Budi…”
“Eh, Pak Narno.” Aku yang sedari tadi tampak termenung menatap kosong ke arah hamparan warna-warni bunga di pekarangan itu menjadi sedikit tergeregap, tersadar dari lamunan panjangku ketika tiba-tiba saja Pak Narno menepuk pundakku dari arah belakang.
Ah, aku benar-benar hanyut dalam lamunan panjang akan masa laluku yang membuatku begitu trauma dengan mawar-mawar itu, mawar-mawar berduri itu. Mawar Ayu Sekarningrum ternyata sama halnya dan sama berdurinya dengan Mawar Kusumaningrum yang telah merebut ayah dari sisi ibuku, serta Mawar Wulaningrum yang telah mengkhianati Pak Narno. Mawar Ayu Sekarningrum, gadis cantik jelita yang akhirnya berhasil aku persunting sebagai istriku kini menghilang entah kemana. Mawar Ayu Sekarningrum, seorang istri yang begitu aku cintai dan percayai, ternyata telah mengkhianatiku pergi begitu saja dengan menggondol seluruh uang hasil kerja kerasku selama ini serta uang hasil gono gini ayah dan ibu yang telah diwariskan kepadaku. Ah, semua mawar memang sama, sama-sama penuh duri melukai.
“Nak Budi dari tadi terlihat melamun memandang bunga-bunga itu, sebenarnya apa yang sedang Nak Budi pikirkan?”
“Ah, gak ada apa-apa kok, Pak. Saya cuma sedang memikirkan bagaimana seandainya kalau bunga-bunga mawar itu kita tiadakan saja, kita cabuti lalu kita buang jauh-jauh dari pekarangan ini, atau kita bakar saja sekalian.”
“Maksud Nak Budi?”
“Saya benar-benar benci dan trauma dengan mawar-mawar itu, Pak. Saya tidak ingin melihat ada bunga-bunga mawar itu lagi di pekarangan ini.”
Pak Narno tampak mengangguk-anggukkan kepala mengiyakan saja seolah paham dan mengerti betul arti ucapanku tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar