NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Saya seorang “ KOMUNIS “

Ah, lega rasanya. Akhirnya sampai juga aku di kota Madiun, meskipun langit di atas kota Brem tersebut sudah mulai tampak beranjak gelap. Ah, ternyata capek benar menjadi seorang wartawan. Ah, bagaimana tidak capek, orang kurang lebih enam jam yang lalu aku masih meliput kunjungan Bapak Menteri Pendidikan ke salah satu PTN (Perguruan Tinggi Negeri) di Surabaya, eh, tiba-tiba ponselku berdering, aku angkat ponselku, dan ternyata si bos menyuruhku segera bertolak ke kota Brem Madiun guna meliput tragedi kecelakaan tergulingnya sebuah kereta api jurusan Surabaya, yang menyebabkan seluruh penumpang kereta api tersebut tewas seketika di TKP (Tempat Kejadian Peristiwa).
“Heemm…” aku menarik nafas dalam-dalam sejenak, sambil menggerak-gerakkan badan ini yang terasa capek dan pegelnya minta ampun. Ah, perjalanan Surabaya – Madiun cukup melelahkan juga rupanya.
“Ah….seandainya aku di rumah sekarang, pasti istriku akan dengan senang hati memijitku sampai tak terasa diriku telah tertidur pulas. Ah, aku rindu padamu istriku, Wulandari sayang, aku rindu pijitan lembutmu sayang, aku rindu sifat manjamu di ranjang, aku rindu…..”
Stop!. Ah, sudahlah, kenapa kau tiba-tiba saja melamun yang tidak-tidak, kenapa kau tiba-tiba saja teringat istrimu di rumah?. Ah, sudah seminggu ini kira-kira aku tidak pulang ke rumah, ah, tapi bukankah profesi menjadi kuli tinta ini yang kau idam-idamkan sejak kecil?. Kau harus bisa profesional dong!. Kau harus siap menerima segala resikonya. Sudah, sudah, jangan melamun terus, lihat! Hari sudah mulai beranjak malam, dan kau belum menemukan penginapan. Kau harus segera menemukan tempat untuk bermalam, dan ingat! Dompetmu sudah mulai menipis, kau tidak boleh menginap di hotel lagi, kau harus bisa mengirit sisa uangmu itu, kau terpaksa harus menginap di pemukiman warga sekitar malam ini.
Aha!. Kedua bola mataku berbinar melihat sebuah kedai kopi di depan. Aku segera meempecepat langkahku menuju kesana. Tampak beberapa bapak-bapak berumur sedang duduk-duduk santai disitu menikmati hangatnya kopi sembari menghisap rokok kretek dalam-dalam, sesekali mereka terdengar tertawa terbahak-bahak, entah apa gerangan yang sedang mereka perbincangkan.
“Ngersaaken nopo, Mas?”.1 Seorang ibu pemilik kedai langsung menawariku. Dari raut wajahnya, usianya kira-kira sudah berkepala tiga. Namun, wajahnya masih saja tampak kencang dan ayu, ah, pokoknya bikin tak berkedip mata yang memandangnya. Ah, mungkin ini pula yang menyebabkan kedai kopinya selalu ramai dikunjungi, terutama oleh bapak-bapak berumur itu.
“Mas, jenengan ngersaaken nopo? Kok, malahan ngelamun mawon tho, Mas!”.2
“Oh,i..i..iya, Bu. Ma..maaf, Bu. Pesen kopi mawon, Bu3.”
“Kopi biasa nopo kopi susu, Mas?”4
“Kopi biasa mawon, Bu. Gulonipun ampun katah-katah, Bu, nggih.”5
“Sampean wartawan tho, Mas?”. Tiba-tiba seorang Pak Tua di sebelahku membuatku agak sedikit terkejut dengan pertanyaanya.
“I..i..iya, Pak. Benar.”
“Baru saja meliput kereta api terguling itu tho, Mas?”
“Enggak, Pak. Saya baru saja sampai dari Surabaya. Besok baru mau meliput kecelakaan kereta api terguling itu, Pak.”
“Ooo…begitu. Sudah dapat tempat penginapan, Mas?”
“Be..belum, Pak.”
“Ah, sampean ga usah bingung-bingung nyari tempat penginapan, Mas. Sampean nanti istirahat bermalam saja di rumah saya. Saya sendirian di rumah, Mas. Istri dan anak semata wayang saya sudah lama meninggal.”
“Ah, terima kasih, Pak. Kalau begitu saya ga usah repot-repot lagi cari tempat bermalam.”
***

“Monggo, Mas, pinarak. Mboten usah isin-isin, Mas6. Anggap aja seperti di rumah sendiri. Sebentar ya, Mas, saya buatin teh panas dulu.”
Pak Tua itu tampak berlalu menuju ke dapur belakang. Sementara aku duduk terpaku di kursi ruang tamu. Ah, kagum aku!. Pak Tua ini rupanya seorang Soekarnois sejati. Tampak terpampang poster-poster Pak Karno dalam berbagai pose. Ah, memang benar-benar penuh wibawa wajah mantan presiden pertama kita ini. Di salah satu sudut ruang tamu, juga terlihat berjejer koleksi buku-buku karangan Bapak Proklamator kita itu, teratur rapi di atas meja. Ku sempatkan diri untuk sekedar membuka-buka koleksi buku-buku itu. Ah, menarik sekali!. Ingin rasanya aku berlama-lama disini sambil melahap habis isi koleksi buku-buku ini. Ku dapati sebuah pulpen tergeletak dan beberapa kertas bereserakan di atas meja itu. Ah, Pak Tua ini suka menulis juga rupanya. Ah, tapi apa yang dia tulis?. Pertanyaan itu tiba-tiba saja berkelebat di kepalaku, sebelum akhirnya ku temukan sebuah karya tulisnya berjudul “NASAKOM memang telah lama mati, namun NASAKOM kan tetap hidup selalu di hatiku”.
“Ah, kenapa Pak Tua itu menulis seperti ini?” aku sedikit terperanjat, “Apakah dia…?. Apakah dia seorang…?”
“ini tehnya, Mas. Monggo diunjuk7, mumpung masih panas, buat menghangatkan badan.” Suara Pak Tua itu tiba-tiba membuatku tergeregap kaget.
“I..i..iya, Pak.” Jawabku agak sedikit terbata-bata sambil menuju ke arah meja ruang tamu.
“Bapak kelihatanya seorang pengagum berat Pak Karno?”
“Iya, Mas…,ah, mas siapa namanya sampean, lupa saya tadi mau tanya nama sampean. Maklumlah sudah tua.”
“Budi, Pak. Budiman Soedjatmiko, tapi panggil saja Budi.”
“Oh, iya, Mas Budi. Saya juga lupa belum memperkenalkan diri saya. Nama saya Soeharto. Panggil saja saya Pak Harto.”
“Wah, kok kaya nama mantan presiden kita saja ya, Pak?”
“Ah, cuma kebetulan saja nama kami sama. Tapi meskipun nama kami sama, saya jelas-jelas berbeda dengan Pak Harto mantan presiden kita itu lho, Mas!”
Kelakar orang tua itu disusul tawa khas kebanyakan pria-pria berumur lainya. Aku pun spontan juga ikut tertawa mendengar celoteh ringanya. Lalu, kami pun menyeruput teh panas buatanya. Namun, sebelum itu aku sempat melontarkan sebuah pertanyaan kepadanya.
“Maaf, Pak, tadi saya melihat-lihat koleksi buku-buku punya bapak, lalu saya tidak sengaja membaca tulisan bapak tentang NASAKOM. Maaf, Pak, kalau boleh tahu maksud tulisan bapak itu apa ya?”.
Tiba-tiba secangkir teh panas yang hendak diseruputnya itu, berhenti begitu saja di ujung bibirnya, seolah menjadi enggan ia untuk meminumnya, lalu meletakkanya kembali di atas meja begitu saja. Ah, kulihat sorot matanya tampak berubah. Wajahnya memancarkan keterkejutan akan pertanyaanku itu. Ah, marahkah ia dengan pertanyaan yang kulontarkan kepadanya itu?. Terbersit di benakku untuk segera meminta maaf atas kelancanganku bertanya seperti itu. Ah, tapi, belum sempat aku hendak meminta maaf, seolah dia mampu membaca apa yang ada di pikiranku.
“Minumlah dulu teh panasmu itu, Mas Budi. Santai saja, Mas. Tidak usah merasa takut dan bersalah seperti itu. Saya justru senang Mas Budi bertanya seperti itu, jadi kita punya sebuah topik untuk diperbincangkan malam ini. Mas Budi kan seorang wartawan, jadi siapa tahu nanti hasil bincang-bincang kita ini layak untuk diterbitkan di redaksi surat kabar tempat Mas Budi bekerja. Bukan begitu, Mas Budi, Ha..Ha..Ha..” kelakarnya kembali disusul tawa lepas khasnya. Ah, ada sedikti kelegaan di hati ini. Aku pun mengiyakanya saja lalu ikut tertawa renyah bersamanya. Kemudian, Pak Tua itu mulai berbicara panjang lebar.
“Saya benar-benar tidak habis pikir dengan pemikiran-pemikiran dan opini-opini yang berkembang di zaman sekarang. Katanya manusia-manusia zaman sekarang sudah semakin maju lah pemikiranya, sudah semakin berpendidikan lah, sudah semakin intelek lah, tapi mereka masih saja melihat sesuatu dari luarnya saja, mereka menafsirkan sesuatu masih secara tekstual saja, mereka menilai suatu ideologi ataupun isme-isme yang lain dari kulitnya saja, jadi mereka seolah-olah hanya melihat satu sisi negatifnya saja. Banyak orang menentang semangat Marxisme, Sosialisme, hanya karena para pencetusnya mengeluarkan sebuah statemen bahwa “ Agama hanyalah sebagai candu masyarakat” atau “Tuhan telah mati”. Mereka hanya menelan mentah-mentah statemen itu, tanpa mau menilik dan merenungkan lebih dalam apa yang melatarbelakangi para pemikir masa lalu itu berujar seperti itu. Mereka, para pencetus lahirnya ideologi-ideologi itu, bermaksud hanya ingin membangkitkan spirit perjuangan rakyat-rakyat yang begitu tertindas waktu itu.supaya jangan hanya sembahyang dan berdo’a pasrah saja kepada Tuhan, tapi juga harus disertai sebuah ikhtiar atau gerakan praktis untuk mendobrak belenggu penindasan yang dilakukan oleh para pejabat dan kaum borjuis itu. Bukankah Tuhan sendiri telah berfirman bahwa Dia tidak akan sedikitpun merubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya?!. Sementara para penindas itu ada yang bersekongkol dengan para pendeta atau para pemuka agama waktu itu untuk menyebarkan dogma-dogma suci dan sakral untuk selalu memasrahkan segalanya kepada Tuhan, dan dogma-dogma itu telah begitu mendarah daging di hati masyarakat saat itu, bahkan sampai sekarang. Padahal, bukankah ibadah yang bersifat horizontal itu bernilai lebih tinggi di sisi Tuhan sendiri?!. Kalau para pemuka agama itu ceramah hanya men”sabar-sabar”kan masyarakat saja untuk menghadapi segala bentuk cobaan penindasan itu, saya pikir toh semua masyarakat pun bisa melakukanya. Nah, jadi para pencetus ideologi-ideologi itu bukanya tidak beragama sama sekali ataupun meniadakan keberadaan Tuhan, tapi maksud dibalik statemen mereka adalah mereka ingin melepaskan rakyat-rakyat yang tertindas dari belenggu kesakralan agama yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu waktu itu, serta untuk melepaskan mereka pula dari belenggu berbagai macam bentuk penindasan dan ketidakadilan itu dengan melakukan sebuah gerakan praktis secara bersama-sama. Gitu lho, Mas Budi, maksudnya.”
PakTua itu tampak begitu bersemangat sekali beropini, seolah sama sekali tak tampak kerut tua di wajahnya. Ah, mengingatkanku saja akan masa-masa mudaku waktu masih menjadi aktifis kampus dulu. Ah, sebenarnya ada rasa kagum juga di hati ini akan semangat Pak Tua itu, namun, kurasa-rasakan mata ini sudah mulai tidak mau diajak kompromi lagi, tapi, demi menghormati Pak Tua itu, aku kuat-kuatkan mata ini tetap terjaga untuk tetap menyimak setiap opini yang dilontarkanya.
“Nah, begitupun dengan NASAKOM itu, Mas Budi, Komunis itu kan embrionya dari Marxis dan Sosialis juga. Mereka membenci Komunis hanya karena “tidak beragama dan meniadakan Tuhan” nya saja, padahal maksudnya ya seperti yang saya jelaskan tadi itu. Paham manifesto NASAKOM yang digembar-gemborkan Bung Karno itu dimaksudkan untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia tanpa melihat latar belakang Suku, Agama, Ras, dan Adat-istiadat budaya mereka masing-masing, untuk mencapai suatu tujuan bersama yaitu terciptanya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukanya seperti yang kita lihat dan saksikan di depan mata kita sekarang ini, yang kaya semakin kaya, tak peduli yang miskin, dan yang miskin semakin miskin saja. Dimana-mana, di kedai-kedai warung kopi, di pasar-pasar, di terminal-terminal, di parkiran ojek, di parkiran becak, semuanya membicarakan pemerintah, sementara pemerintah yang di ada di majelis permusyawaratan atas sana, sama sekali tiada pernah menyinggung nasib rakyat-rakayt kecil yang sudah mengangkatnya menjadi pejabat, yang ada mereka hanya sibuk membicarakan kepentingan partai dan golongan mereka masing-masing. Ah pemerintah zaman sekarang toh tak jauh beda dengan pemerintah zaman orde baru, yang memutarbalikkan sejarah bangsa ini dengan pemutaran film G30 S PKI nya. Karena itulah citra komunis sudah sangat jelek sekali di mata masyarakat kita. Kasihan mereka itu, padahal mereka kan juga ikut turut ambil bagian dalam perjuangan merebut Kemerdekaan Negara kita dari tangan para penjajah belanda dan jepang. Ah, bangsa kita ternyata sebegitu lamanya telah ditipu oleh pemerintah orde baru. Ah, sebegitu rapinya pemerintah orde baru memutarbalikkan fakta, membungkam mulut para saksi mata sejarah yang masih hidup, demi mengamankan kekuasaan mereka. Saya berpendapt seperti ini bukanya saya ini seorang Komunis, Mas Budi, tapi saya memang seorang “Komunis” sama halnya seorang Bung Karno dengan Manifesto NASAKOM nya. Dan, saya yakin seandainya orang-orang itu tahu dan mafhum betul ideologi-ideologi itu, mereka juga akan ramai-ramai berteriak menyuarakan;
“Saya seorang ‘Marxis’!”
“Saya seorang ‘Sosialis’!”
“Saya seorang ‘Komunis’!”
Pak Tua itu kudengar begitu lantang sekali berteriak menyuarakan kalimat-kalimat itu, tanpa peduli suasana yang sudah larut malam, tanpa peduli jika tetangga-tetangga sebelahnya terbangun kaget gara-gara suara lantangnya, dan tanpa peduli dengan kondisi orang yang sedari tadi dia ajak omong. Ah, mataku benar-benar sudah tidak kuat lagi, hingga tak terasa diri ini tertidur bersandarkan kursi ruang tamu. Tak kuhiraukan lagi orasi Pak Tua itu. Namun, di antara sadar dan tidak sadar, samar-samar, kudengar Pak Tua itu masih saja berteriak lantang;
“Saya bukan seorang Komunis, Mas Budi, tapi saya seorang “Komunis” sama halnya Bung Karno dengan manifesto NASAKOM nya. Catat itu baik-baik, Mas Budi, catat itu baik-baik, dan kelak terbitkan gagasan-gagasanku ini dalam kolom opini di surat kabarmu. Saya seorang “Marxis”!, saya seorang “Sosialis”!, dan saya seorang “Komunis”!”.
Ah, kini tak kuhiraukan lagi celoteh Pak Tua itu, aku benar-benar sudah lelah. Yang ada dalam benakku sekarang hanyalah aku ingin segera istirahat, segera tidur, lalu bangun pagi-pagi keesokan harinya guna meliput berita tragedi kereta api terguling itu. Ah, aku benar-benar merasa tertidur pulas sudah. Namun, dalam tidurku, aku serasa bermimpi. Dalam mimpiku itu aku mendengar segerombolan langkah-langkah kaki menuju ke arah rumah Pak Tua itu, menuju ke arah dimana kami berdua berada. Ah, suara derap langkah-langkah kaki itu terdengar semakin jelas, semakin dekat, dan terdengar suara………..
“Bbrraaakkk….!!!”. terdengar suara dobrakan pintu. Lalu tampak segerombolan massa dan pihak berwajib bergegas masuk ke ruang tamu dimana saya dan Pak Tua itu berada.
“Itu mereka, Pak!. Tangkap mereka, Pak!. Penjarakan mereka, Pak!. Mereka itu komplotan Komunis, Pak!” terdengar salah satu dari mereka berteriak sambil menunjuk-nunjuk kea rah kami berdua.
“Hajar saja mereka!, bunuh saja mereka! Buat apa Komplotan Komunis dibiarkan hidup di Negara ini! Bunuh saja! Bunuh saja!”
Ah, terdengar teriakan-teriakan mereka yang lain. Ah, terasa merinding sekali tubuh ini mendengar teriakan “bunuh!” itu. Bulu kudukku berdiri. Sekujur tubuhku menggigil, bukan karena kedinginan, tapi karena ketakutan yang begitu sangat, hingga akhirnya kulihat mereka dengan ganasnya menyerbu ke arah kami berdua. Ah, kurasakan tubuh yang sudah pegal-pegal ini semakin payah dan remuk redam saja mendapat serangan dan pukulan bertubi-tubi dari mereka, hingga akhirnya aku tak sadarkan diri. Dan, setelah siuman, kudapati diri ini sudah terbaring di ruangan jeruji bersama Pak Tua itu serta sama-sama telah berseragamkan baju bertuliskan “Saya seorang Komunis!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar