NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 26 November 2010

Saat Anda berada dipersimpangan jalan,

Saat Anda berada dipersimpangan jalan, Anda tentu harus memutuskan untuk memilih salah satu jalan. Saat Anda menghadapi pemilihan umum, Anda harus menentukan pilihan yaitu salah satu kandidat atau tidak memilih satu pun. Keputusan Anda akan menentukan arah hidup Anda.

Keputusan bisa terjadi secara sadar atau tidak sadar. Coba perhatikan saat Anda berjalan atau sedang berkendara. Sering kali kita membelokan diri atau kendaraan kita tanpa pikir panjang. Keputusan kita ambil hampir secara otomatis. Kenapa? Karena Anda sudah mengetahui tujuan Anda dan arah untuk mencapainya.

Mengapa bisa terjadi otomatis? Sebab pikiran bawah sadar kita sudah menyimpan informasi yang memadai. Pikiran bawah sadar kita sudah tahu arah ada tujuan yang akan dicapai. Proses pengambilan keputusan yang terjadi di alam pikiran bawah sadar terjadi dengan sangat cepat sehingga kita mengatakannya gerakan refleks atau otomatis.

Itulah manusia, memiliki sebuah mekanisme otomatis dalam diri kita. Ada dua mekanisme otomatis dalam diri kita, yang pertama mekanisme sukses otomatis (MSO) dan yang kedua mekanisme gagal otomatis (MGO). Yang menjadi pertanyaan ialah, manakah yang paling dominan dalam diri Anda?

Jika MSO yang bekerja dalam diri Anda. Semua tindakan Anda, sadar atau tidak sadar, akan mengarah kepada tujuan Anda. Pikiran bawah sadar Anda sudah memiliki informasi yang memadai untuk memerintahkan semua yang ada dalam pikiran kita seperti otot dan sistem syaraf.

Michael Jordan, tidak pernah mengukur tenaga, sudut gerakan bola, dan jarak antara dia dengan ring. Tetapi tubuhnya sudah memiliki MSO yang mampu mengarahkan bola tepat kepada sasaran. Para pebisnis sukses, sering kali mengambil keputusan secara spontan dan tetap mengantarkan mereka menuju keberhasilan yang lebih besar.

Kita memang bisa memutuskan sesuatu secara sadar. Namun kontribusi keputusan sadar terhadap keberhasilan lebih kecil dibanding keputusan tidak sadar. Hidup Anda lebih diarahkan oleh pikiran bawah sadar ketimbang pikiran sadar.

Itulah konsep akhlaq. Akhlaq bukanlah perbuatan baik hasil pemikiran. Akhlaq adalah perbuatan baik yang terjadi secara spontan.

Sabar yang sebenarnya ialah sabar pada saat bermula (pertama kali) tertimpa musibah. (HR. Bukhari)

Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (pada hari kiamat) dari akhlak yang baik. (HR. Abu Dawud)

Jadi, pikiran bawah sadar Anda akan sangat menentukan hidup Anda. Pikiran bawah sadar ini adalah bagian dari apa yang disebut dengan Qalbu dalam ajaran Islam. Jika qalbu kita baik, maka semuanya akan baik.

Agar kehidupan Anda menjadi lebih baik, maka qalbu Anda harus didominiasi dengan hal-hal yang baik. Dzikir, membaca al Quran, dan ibadah-ibadah lain akan menjadikan qalbu kita didominasi oleh Cahaya Allah sehingga menghasilkan akhlaq yang mulia.

Senin, 15 November 2010

Dekonstruksi Khilafah

Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society

Konferensi Internasional Khilafah oleh Hizbut Tahrir Indonesia, yang diadakan di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, menyisakan sebuah tanda tanya bagi publik. Hal tersebut terkait dengan beberapa pernyataan yang disampaikan oleh sejumlah tokoh yang hadir. Di antaranya, perihal penegakan syariat dan implementasi konsep khilafah dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Dalam beberapa tahun mendatang, kedua isu tersebut tidak akan mengalami penyusutan. Bahkan bisa jadi sebaliknya, yaitu peningkatan yang cukup drastis, mengingat adanya pernyataan yang disampaikan oleh juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) perihal kemungkinan menjadikan organisasi tersebut sebagai partai politik (detik.com, 12).

Pernyataan tersebut semakin mengentalkan aroma menguatnya kelompok yang hendak mengusung Islamisasi negara. Sebaliknya, Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara, serta titik temu di antara keragaman warga negara, sedang berada di persimpangan jalan. Tidak hanya itu, HTI dan kelompok-kelompok lainnya yang seideologi secara nyata menolak demokrasi karena menurut mereka demokrasi adalah paham tentang kedaulatan rakyat.

Paradigma khilafah pada hakikatnya merupakan diskursus yang bersifat historis. Ia bukan sebuah kewajiban yang mengikat bagi setiap muslim. Khilafah dalam arti sistem politik merupakan sebuah paradigma yang hadir dalam konteks masyarakat tertentu, yang pada akhirnya mengalami pemberontakan dari dalam sendiri. Sebab, dalam kurun waktu yang panjang, sejak dinasti Muawiyah, Abbasiyah, sampai Utsmaniyah, umat Islam berada dalam kekecewaan yang bersifat masif. Sistem khilafah pada saat ini bukan tanpa masalah. Konflik internal antara kelompok Sunni dan Syiah, serta perebutan kekuasaan di antara kelompok, merupakan sebuah sejarah yang juga patut diperhatikan.

Begitu halnya bila merujuk pada sistem khilafah yang dipraktekkan oleh para sahabat Nabi. Sebenarnya sistem khilafah pada zaman itu tidak bisa disebut sebagai sistem khalifah sebagaimana dipahami oleh HTI, karena kekuasaan Islam sangat terbatas. Sistem khilafah pada saat ini merupakan sebuah sistem yang bersifat darurat, yang didasari keinginan bersama untuk melanjutkan misi dakwah Rasulullah SAW. Karena itu, mereka memilih pemimpin di antara mereka bukan berdasarkan wasiat dan mandat dari Rasulullah SAW, melainkan berdasarkan realitas dan kapasitas kepemimpinan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sistem yang dianut oleh para pemimpin pasca-Nabi merupakan sebuah sistem yang dibangun di antara kemufakatan dan kebersamaan.

Lalu apa masalah sistem khilafah? Pada mulanya sistem tersebut lebih menyerupai sistem yang dianut dalam demokrasi, yaitu kepemimpinan yang dipilih oleh suara mayoritas dengan tanggung jawab penuh terhadap publik. Tapi pada saat Muawiyah hendak mengambil alih kekuasaan, wacana khilafah mengalami pergeseran makna sebagai kekuasaan Tuhan (hâkimiyatullâh). Khalifah tidak lagi menjadi sebuah konsep kepemimpinan yang berlaku umum, yang dibangun di atas fondasi kehendak untuk membangun kebersamaan dengan menggunakan mekanisme demokrasi.

Sejak saat itu, kepemimpinan yang pada mulanya sebagai sebuah sistem yang dipilih dan dikelola secara demokratis menjadi sebuah sistem yang menganut ideologi kedaulatan Tuhan. Wacana inilah yang dianut sepenuhnya oleh HTI. Ismail Yusanto menyatakan bahwa HTI menolak demokrasi karena menganut paham kedaulatan rakyat. Sedangkan HTI menganut paham sebaliknya, yang menurut mereka lebih sakral, yaitu kedaulatan Tuhan. Tidak hanya HTI, sejumlah kelompok radikal juga mengibarkan bendera kedaulatan Tuhan.

Dalam hal ini harus diakui letak kerentanan dan kerawanan pandangan mereka. Sebab, pandangan tersebut mempunyai sejumlah kelemahan, baik dari segi teologis, historis, maupun konteks sosial-politik. Pertama, secara teologis gagasan tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat, karena pada dasarnya setiap manusia diberi akal budi untuk menentukan masalah mereka. Dalam teologi Asy'ariyah, misalnya, Tuhan mempunyai kedaulatan, tapi manusia juga mempunyai hak untuk memilih dan menentukan. Teologi ini dikenal sebagai "teologi moderat". Sedangkan teologi kedaulatan sesungguhnya dianut oleh kalangan fatalistik (al-jabariyyah), yang dalam ensiklopedi teologi kontemporer sudah mengalami kebangkrutan. Teologi fatalistik, yang mengakui kedaulatan Tuhan, tidak mendapatkan respons positif, kecuali oleh negara-negara yang otoriter. Sebab, mengacu pada "teologi kiri" yang dikumandangkan oleh Hassan Hanafi, kedaulatan Tuhan pada hakikatnya digunakan oleh para penguasa dan ulama untuk memantapkan otoritarianisme.

Kedua, secara historis kedaulatan Tuhan mempunyai makna yang tidak tunggal. Artinya, kedaulatan Tuhan bukanlah berarti bahwa hanya Islam yang diperkenankan dan wajib ada di muka bumi, agama-agama lain juga bisa berkembang dengan pesat. Bukan hanya itu, secara sosiologis agama-agama lain barangkali bisa lebih produktif dan emansipatoris daripada agama Islam. Karena itu, kedaulatan Tuhan yang dimaksud sebenarnya bukan "kedaulatan Islam" sebagaimana dipahami oleh para penggiat politik Islam. Kedaulatan Tuhan adalah kedaulatan agama-agama.

Pandangan ini pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru, karena di dalam Al-Quran sendiri disebutkan bahwa kedaulatan Tuhan merupakan sesuatu yang bersifat historis. Artinya, Tuhan memberikan mandat kepada setiap agama untuk menegakkan hukum dan ajaran moral mereka (QS Al-Maidah [5]: 43-48). Tapi kedaulatan Tuhan yang dimaksud bukan untuk memonopoli kebenaran, melainkan justru membagi kebenaran kepada setiap agama untuk menerapkan ajaran-ajaran yang digariskan Tuhan dalam setiap agama.

Dalam hal ini, paradigma kedaulatan Tuhan sebagaimana dipahami oleh HTI mengalami reduksi dan pembajakan, yang secara literal sangat jauh dari substansi Al-Quran di atas. Dalam pelbagai seminar, penulis menemukan mereka berdakwah tentang ayat anjuran penegakan hukum Tuhan. Ayat tersebut sering kali dipahami secara sepotong-potong. Padahal, kalau dibaca lengkap dan seksama, ayat tersebut berisi tentang kebebasan dan tanggung jawab bagi setiap agama untuk menegakkan ajarannya masing-masing tanpa ada ancaman dan tekanan. Untuk setiap agama yang tidak menegakkan hukumnya, akan ada sanksi tersendiri bagi mereka menurut ajaran yang dianut oleh masing-masing agama, terutama Yahudi, Kristen, dan Islam. Bahkan, tidak sedikit ditemukan kesamaan antara ajaran Islam dan ajaran agama-agama yang lain.

Karena itu, substansi ayat di atas sebenarnya pengakuan atas pluralitas agama-agama dan pluralitas kebenaran yang dibawa agama-agama. Tuhan Maha Esa, tapi jalan menuju Tuhan amat beragam. Ibnu Rusyd bertutur dalam Fashl al-Maqâl fî Taqrîr mâ bayn al-Hikmah wa al-Syarî'ah min al-Ittishâl, "Kebenaran adalah tunggal, tapi jalan menuju kebenaran adalah plural."

Ketiga, dalam konteks keindonesiaan, paham khilafah yang menganut kedaulatan harus diakui sangat bertolak belakang dengan pijakan bersama bangsa ini, yaitu Pancasila, terutama soal Islamisasi negara. Pandangan ini merupakan ancaman yang cukup serius, yang pada saat bersamaan mempunyai sejarah tersendiri. Dulu mereka menggunakan istilah Piagam Jakarta. Kini mereka menggunakan istilah yang lebih desentralistis, yaitu peraturan daerah yang bermuatan syariat.

Dalam hal ini, pandangan mereka harus diakui bertolak belakang dengan suara mayoritas, terutama dalam ranah sosial-politik dan kultural keagamaan. Secara politik sudah bisa dipastikan bahwa partai politik yang mendapat paling banyak suara adalah partai-partai yang beraliran nasionalis-sekuler. Sedangkan dalam konteks kultural keagamaan, ormas terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah secara nyata menolak upaya Islamisasi negara. Keduanya konsisten memilih Pancasila dan menjadikan syariat sebagai sesuatu yang niscaya dalam konteks pemberdayaan umat dan kesalehan sosial tanpa harus melakukan intervensi dalam politik praktis.

Karena itu, beberapa alasan di atas hendak menegaskan bahwa sistem khilafah merupakan sistem yang diyakini hanya oleh minoritas umat Islam, baik di dunia maupun di Indonesia. Pandangan tersebut harus diakui akan mengalami kebangkrutan karena sesungguhnya hanya merupakan mistifikasi atas masa lalu dan respons sesaat atas masalah kekinian.

Barangkali, bagi mereka yang tidak mengenal dengan baik esensi teologi, lanskap historis, dan konteks sosial masyarakat, diskursus sistem khilafah akan memberikan harapan untuk terwujudnya perubahan. Tapi, bagi mereka yang mengenal dengan baik khazanah keagamaan, diskursus khilafah hanya merupakan fenomena kegagapan atas modernitas.

Kendatipun demikian, kita harus menghargai setiap gagasan yang dilontarkan ke publik sejauh menggunakan cara-cara yang demokratis dan jauh dari kekerasan. Ini salah satu keistimewaan HTI yang dalam diseminasi gagasannya jauh dari kekerasan. Tapi sebagai sebuah gagasan yang sudah pernah tumbuh dan melalui masa-masa sulit, sistem khilafah harus diperhatikan dengan seksama, terutama bilamana gagasan tentang "kedaulatan Tuhan" digunakan untuk tujuan kekerasan. Sebab, dalam sejarah, mereka yang menganut paham "kedaulatan Tuhan" kerap kali menggunakan kekerasan, seperti Khawarij yang telah menetaskan darah dengan atas nama agama. Di sini, tidak ada jalan lain kecuali belajar memahami sejarah dan khazanah Islam dengan baik.

Memahami Gagasan Hizbut Tahrir

Memahami Gagasan Hizbut Tahrir

Dimuat di Media Indonesia, Jum’at 31 Agustus 2007, Rubrik Opini hal 16

Tanggapan Untuk M Hasibullah Satrawi

Oleh : Farid Wadjdi
Direktur Forum On Islamic World Studies (FIWS) Jakarta

Menarik membaca tulisan M Hasibullah Satrawi pada Media Indonesia (24 Agustus 2007) tentang Hizbut Tahrir (HT). Lepas dari pro kontra tentang kelompok ini, harus diakui kelompok ini berhasil mengusung ide Khilafah menjadi pembicaraan publik di berbagai kalangan, terutama pra dan pasca konferensi Khilafah Internasional di Jakarta.

Di Indonesia sendiri, ide Khilafah, bukanlah gagasan baru. Untuk merespon keruntuhan Khilafah terakhir pada Maret 1924, sebuah komite Khilafah didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (Sarikat Islam ) dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah , tujuanya untuk membahas undangan kongres kekhilafahan di Kairo. K.H.A Wahab Hasbullah merupakan wakil dari kalangan tradisional yang kemudian membentuk Komite Merembuk Hijaz . Komite ini kemudian diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926. (lihat Deliar Noer , Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942)

Kehirauan terhadap keruntuhan Khilafah ini juga tercermin dari pandangan tokoh terkemuka Indonesia seperti HOS Cokroaminoto yang menyatakan bahwa Khilafah bukanlah semata-mata untuk umat Islam di jazirah Arab, tapi juga bagi umat Islam di Indonesia, khilafah adalah milik umat Islam sedunia. Bahkan pahlawan nasional ini menganalogikan umat Islam laksana suatu tubuh, karenanya bila umat Islam tidak memiliki Kholifah maka “ seolah-olah badan tidak berkepala” ( Hindia Baroe, 15 Januari 1926).

Setelah lama tidak lagi menjadi isu pergerakan umat Islam Indonesia, Hizbut Tahrir, cukup berhasil mengangkat kembali gagasan Khilafah, yang menurutnya merupakan solusi bagi berbagai persoalan di dunia Islam termasuk Indonsia. Tentu saja kita boleh tidak setuju terhadap ide atau gagasan ini, namun adalah tidak obyektif kalau kita tidak memberikan lahan bagi perdebatan terbuka tentang gagasan ini.

Dengan gampang menuduh kelompok ini membahayakan NKRI, kemudian memprovokasi pelarangannya, justru akan menutup upaya dialog ini. Dan pengalaman di berbagai negara sikap represif terhadap Hizbut Tahrir, tidak pernah kemudian membuat gerakan ini mati, malah meningkatkan militansi mereka. Dan harus renungkan tindakan pelarangan dan yang kemudian disertai dengan tindakan represif sering kali menjadikan rakyat Indonesia sendiri menjadi korban. Seperti halnya tindakan pemerintah orde Baru terhadap aktivis Islam yang menimbulkan banyak pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam diskursus tentang Hizbut Tahrir selama ini, seperti yang ditulis oleh M Hasibullah, hal yang sering dipertanyakan dari gagasan HT adalah Khilafah yang mana yang hendak didirikan. Pertanyaan yang sama juga biasa dilontarkan terhadap upaya penerapan syariah Islam, syariah Islam seperti apa yang diinginkan. Pertanyaan ini biasanya muncul dari realita terdapatnya perbedaan pendapat bahkan di kalangan ulama sendiri dalam beberapa hal tentang Khilafah dan Syariah. Adanya perbedan ini kemudian menimbulkan pesimisme bahwa ide Khilafah dan syariah bisa diwujudkan.

Berkaitan dengan konsepsi Khilafah, adanya realita perbedaan tentang bagaimana prosedur pengangkatan Kholifah, bukan saja pernah ditanyakan oleh M.Hisbullah Satrawi, tapi tapi juga menjadi dasar penolakan terhadap negara Islam oleh Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara.

Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa dilihat dalam buku Nidhomul Hukmi fi Al Islam (Sistem Pemerintahan Islam) yang ditulis oleh Syekh Abdul Qadim Zallum Amir Hizbut Tahrir setelah syekh Taqiyuddin an Nabhani. Dalam buku ini dijelaskan adanya thoriqoh (metode) baku yang jelas dari prosedural pengangkatan Kholifah adalah ba’iat dengan ridho (kerelaan) dan kebebasan memilih kaum muslimin. Semua al Khulafa’ur ar Rosyidin (Abu Bakar ra, Umar bin Khothtob ra, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib ra), sah karena adanya bai’at dari rakyat atau yang mencerminkan representasi masyarakat.

Adapun yang berbeda adalah dalam masalah teknis (uslub) untuk mencalonkan Kholifah berupa prosedur praktis untuk menyempurnakan pengangkatan Kholifah sebelum di ba’iat. . Bukan dalam masalah metode (thoriqoh) bai’at-nya. Teknis yang pertama, adalah model pencalonan Abu Bakar. Kholifah yang pertama ini di bai’at sebagai setelah terjadi musyawarah di kalangan tokoh-tokoh terkemuka di Madinah di Saqifah Bani Saidah. Sebelumnya tokoh-tokoh terkemuka tersebut mencalonkan Saad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar.

Teknis yang kedua, model pencalonan Umar Bin Khoththob oleh Abu Bakar ra saat dia dalam keadaan sakit. Sebelumnya Abu Bakar ra meminta pendapat kaum muslim siapa yang layak menjadi Kholifah. Teknis yang ketiga, model pencalonan Utsman ra, setelah diajukan enam calon yang dipimpin Suhaib. Setelah Umar bin Khothtoh ra wafat keenam calon ini berdiskusi dan terpilihlah dua calon yakni Ali dan Ustman. Abdurrahman bin Auf yang menjadi panitia pemilihan kemudian mencari tahu pendapat masyarakat pada waktu itu yang mengkerucut pada Ustman bin Affan. Status hukum dari teknis (uslub) ini adalah ibahah, artinya boleh dipilih salah satu. Yang terpenting Kholifah baru sah setelah dibai’at oleh rakyat atau yang mencerminkan representasi masyarakat lewat pilihan yang ridho (tidak dipaksa).

Adanya perbedaan dalam sistem politik atau pemerintahan adalah wajar. Seperti dalam demokrasi misalnya, ada perbedaan apakah presiden dipilih langsung oleh rakyat atau parlemen. Sistem kabinetnya presidensiil atau parlementer. Namun perbedaan ini tidak menjadi dasar untuk menyatakan tidak ada sistem politik yang jelas dari sistem demokrasi. Sama halnya dengan sistem Khilafah Islam, adanya perbedaan dari sisi teknis pencalonan Kholifah , tidak bisa dijadikan alasan untuk menyatakan sistem Khilafah tidak jelas.

Islam dan Demokrasi

Hubungan Islam dan demokrasi, diskursus diantara dua konsep itu , bukanlah perkara baru dalam sejarah pemikiran Islam. Pasca keruntuhan Khilafah Islam pada 1924, dunia Islam memang mengalami serbuan pemikiran Barat. Umat Islam mau tidak mau harus berdiskusi panjang dalam menentukan sikap terhadap pemikiran Barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme maupun sekulerisme.

Menurut Riza Sihbudi (Jurnal Ilmu Politik no 12 ), dengan mengutip pendapat Esposito dan Piscatori menyebut ada tiga aliran dalam menjawab hubungan Islam dan demokrasi. Aliran pertama, menerima secara penuh bahwa demokrasi identik dengan Islam antara lain pendapat Muhammad Assad, Jamaluddin al Afghani, dan Muhammad Abduh. Kedua, adalah pendapat yang menyetujui adanya prinsip demokrasi dalam Islam,tetapi di pihak lain mengakui adanya perbedaan di antara keduanya seperti yang digagas oleh Maududi.

Aliran ketiga adalah yang menolak secara menyeluruh gagasan bahwa Islam sama dengan demokrasi. Aliran ini antara lain diusung oleh Syaikh Fadlallah Nuri dari Iran tahun 1905-1911 dengan Gerakan Konstitusionalnya. Pendapat yang sama muncul dari Sayyid Qutrb, tokoh Ikhwanul Muslimun. Pada tahun 1982, Syaikh Muhammad Mutawawali seorang tokoh terkemuka Mesir pernah mengatakan Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi.

Artinya, pendapat yang menolak demokrasi sesungguhnya bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir. Yang mungkin kurang dipahami oleh banyak pihak adalah ketika Hizbut Tahrir membedakan antara as-siyadah (kedaulatan) dan as-sulthon (kekuasaan). Dalam berbagai referensi langsung buku HT disebutkan as-siyadah (kedaulatan) dalam pengertian sumber hukum (source of law) ada ditangan syaari’ (Allah swt). Inilah, menurut Hizbut Tahrir, yang paling mendasar membedakan antara Islam dan demokrasi. Karena dalam demokrasi kedaulatan itu ada ditangan rakyat sehingga penilaian baik dan buruk diserahkan kepada rakyat. Namun Hizbut Tahrir menyatakan kekuasaan itu ada ditangan rakyat dalam pengertian source of power (sumber kekuasaan). Dalam konteks ini rakyatlah yang memiliki hak untuk memilih kepala negara (kholifah), rakyat juga berhak mengkoreksi penguasa yang menyimpang, atau menurunkannya kalau bertentangan dengan syariah Islam.

Yang juga sering disalah pahami dari gagasan Hizbut Tahrir adalah menyamakan kedaulatan di tangan syara’ dengan teokrasi yang pernah berkembang di Eropa. Menyamakan kedaulatan di tangan Allah Swt dengan teokrasi ini menimbulkan bias. Seakan-akan Kholifah bisa bertindak represif, otoriter, seperti yang pernah terjadi di Eropa pada era teokrasi.

Dalam kitabnya Ajhizatu Daulatil Khilafah, Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa sistem Khilafah tidak sama dengan teokrasi dimana raja menganggap dirinya wakil Tuhan dimuka bumi, sehingga raja tidak boleh dikritik. Negara Khilafah adalah negara manusiawi bukan teokrasi. Karena itu Kholifah bukan orang-orang yang tidak bisa berbuat salah (ma’shum) .

Perintah Kholifah tidaklah identik dengan perintah Allah SWT. Perintah Kholifah baru dianggap dan wajib ditaati kalau merujuk kepada A Qur’an dan As Sunnah. Dalam konteks ini Kholifah bisa saja keliru dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah atau mungkin saja menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah . Karena itu dalam Islam, mengkoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam) bukan saja hak rakyat, tapi merupakan kewajiban rakyat. Kholifah juga tidak memiliki keistimewan tertentu di depan hukum sebagaimana raja.

Melihat pandangan diatas, wajar kalau terjadi perbedaan antara pandangan Hizbut Tahrir dengan M. Hasibullah yang menyakini bahwa nilai-nilai demokrasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Khilafah. Karena Hizbut Tahrir melihat perbedaan ini dari hal yang sangat mendasar yakni kedaulatan (source of law). Demokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat sementara Khilafah kedaulatan ditangan syara’.

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/cetak

COCOK KAH KHILAFAH DITERAPKAN DI INDONESIA ?

Prof. Dr. Hassan Ko Nakata
(Sekolah Teologi, Universitas Doshisha, Jepang)

Pendahuluan
Tujuan dari presentasi saya kali ini adalah untuk menunjukan, bahwa pesan penting dan mendasar dari Hizbut Tahrir merupakan sesuatu yang mudah dipahami, bahkan bagi kaum non-Muslim di dunia Barat, jika pesan ini disampaikan dengan cara yang memadai dan menggunakan metode penyampaian yang menarik.
Karena saat ini saya hidup di negeri non-Islam dan tugas saya adalah untuk menyampaikan (pesan) Islam kepada masyarakat yang tidak mengenal Islam, adalah sangat jelas bagi saya bahwa cara menyampaikan Islam kepada kalangan non-Muslim seharusnya berbeda dengan cara penyampaian Islam kepada sesama Muslim. Rasullah SAW bersabda:
«خَاطِبُوْا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ»
Serulah manusia itu sesuai dengan kadar intelektualis mereka.

1. Posisi Hizbut Tahrir di Tengah Umat Islam
Hizbut Tahrir adalah salah satu gerakan politik dari kelompok-kelompok Islam yang tergabung dalam Islahi-Salafi-Sunni. Ajaran Islam itu sendiri mempunyai beberapa level. Level paling rendah, secara umum dapat dipahami oleh seluruh kaum Muslim. Namun level tertinggi merupakan segmentasi khusus yang hanya diajarkan oleh Hizbut Tahrir.
Sebagai gerakan Sunni, Hizbut Tahrir percaya bahwa kepemimpinan politik tidak didasarkan pada penunjukan yang ditetapkan di dalam wahyu (petunjuk langsung dari Allah) yang diterima oleh seorang Imam ma‘sum yang suci. Tetapi berdasarkan pemilihan umat Islam itu sendiri.
Sebagai gerakan Sunni-Salafi, gerakan ini mengacu pada pemaknaan secara tekstual (secara langsung) dari ayat-ayat al-Quran dan Hadith tanpa mengacu pada mazhab-mazhab Sunni yang telah terlebih dahulu ada (seperti Hanafi, Maliki, Syafi‘i dan Hambali).
Sebagai gerakan Sunni-Salafi-Islahi, gerakan ini menolak segala bentuk gagasan sosial-politik yang berasal dari luar Islam—tetapi, murni sebagaimana yang diajarkan oleh para Salaf Salih (para generasi shalih terdahulu)—baik nilai-nilai tradisional dari masa pra-Islam yang bertentangan dengan Islam, maupun konsep modern dari Barat, sebagai dasar ideologis dari perubahan.
Aspek Sunni dari gerakan ini bisa dipahami bersama oleh seluruh kaum Muslim Sunni, kecuali oleh Muslim Syiah. Aspek Salafi dari gerakan ini diikuti oleh seluruh Muslim Salafi, namun tidak oleh Muslim yang mengikuti mazhab atau Muslim “tradisional”. Aspek Salafi dan Islahi dari gerakan ini dilakukan secara simulkan oleh seluruh gerakan Salafi Islahi, namun tidak oleh kalangan non-politis dan pro-status quo dari golongan Muslim Salafi.
Di atas 4 level (Islami, Sunni, Salafi, Islahi) ini ada satu seruan khas yang melekat pada Hizbut Tahrir, yaitu seruan Tahriri (kelompok pembebasan), yang menjadi level tertinggi di antara berbagai level sebelumnya. Level seruan Tahriri (kelompok pembebasan) ini merupakan inti dari doktrin Khilafah.
Setiap level dibangun berdasarkan level yang ada di bawahnya. Contoh, menjadi seorang Sunni, mengharuskan seseorang menjadi Muslim; menjadi seorang Salafi mengharuskan seseorang untuk menjadi Sunni; menjadi seorang Islahi, seseorang perlu menjadi seorang Salafi; dan menjadi seorang Tahriri, mengharuskan seseorang menjadi Islahi terlebih dahulu.
Maka satu hal yang sangat sulit bagi Muslim Syiah untuk menerima ideologi Hizbut Tahrir secara menyeluruh, ataupun menjadi bagian dari gerakan ini tanpa meninggalkan ajaran Syiah-nya. Mereka harus terlebih dahulu menerima ajaran Sunni, lalu ajaran Salafi, kemudian ajaranan Islahi, dan terakhir adalah ajaran Tahriri.
Namun demikian, doktrin Khilafah—pemahaman yang melekat erat pada pandangan Hizbut Tahrir dan merupakan inti dari pandangan ini—tidak diperuntukan terbatas hanya pada kaum Islahi saja—namun juga untuk mereka yang ada pada level yang lain.

2. Konsep Khilafah Hizbut Tahrir
Berikut ini saya rangkumkan konsep Khilafah (negara penerus Rasulullah) Hizbut Tahrir, yaitu:
(1)Khilafah adalah satu-satunya sistem politik Islam yang sah.
(2)Khilafah adalah pemerintahan berdasarkan pada hukum Syari’ah (Islam) dan dijalankan melalui kepemimpinan yang dipilih oleh umat Islam.
(3)Hanya ada satu Khilafah yang berdiri di seluruh dunia.
(4)Menegakkan Khilafah adalah kewajiban seluruh umat Islam.
(5)Cara untuk menegakkan Khilafah adalah dengan memberikan pemahaman tentang konsep ini kepada mereka yang berkuasa, dan memberikan kewenangan kepadanya untuk menjalankan hukum Syari’ah, ketika seluruh wilayah Muslim telah berubah menjadi Dar al-Harb dan seluruh peninggalan kekhilafan telah sirna.
Menurut pendapat saya, konsep ini bisa dipahami bersama, bahkan oleh seluruh lapisan Muslim Sunni Tradisional, sebab konsep Khilafah Hizbut Tahrir tidak bertentangan dengan konsep Khilafah dari mazhab-mazhab Sunni—hanya saja, doktrin Sunni tidak secara eksplisit, atau hanya secara implisit saja mengemukakan sistem ini.

3. Nilai Universal Konsep Khilafah
Sebagaimana telah saya utarakan sebelumnya, bahwa konsep Hizbut Tahrir memiliki 5 level, yaitu: (1) Islam, (2) Sunni, (3) Salafi, (4) Islahi, (5) Tahriri. Namun kenyataannya, konsep ini memiliki level lain, yang dapat kita kenali dengan sebutan “Risalah Ibrahim” dan “Risalah Nuh”.
Risalah Ibrahim adalah ajaran yang dianut oleh kaum Yahudi, kaum Nasrani, dan umat Islam. Risalah Nuh adalah pemahanan yang dianut oleh seluruh umat manusia di dunia ini yang percaya kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebebasan dan kebenaran.
Dewasa ini, Hizbut Tahrir mendapat sorotan tajam di dunia Barat karena perjuangannya untuk menegakan Khilafah. Karena propaganda anti-Islam yang menggambarkan perjuangan Hizbut Tahrir ini sebagai bentuk dari terorisme global yang sangat mengacam dunia Barat, maka persaingan antara dunia Barat dan Hizbut Tahrir menjadi tak terelakan.
Walaupun demikian, prinsip dari konsep Hizbut Tahrir, dalam hal ini adalah konsep Khilafah, berkaitan dengan Risalah Ibrahim dan Risalah Nuh. Karenanya, konsep ini sebenarnya dapat diterima, bukan hanya oleh kalangan umat Islam, namun juga oleh kalangan Kristen. Bahkan oleh mereka yang Sekuler sekalipun, selama penyampaian konsep ini dibahasakan dengan cara yang mudah dimengerti oleh mereka.
Dalam hal ini, mereka yang “menerima” konsep Khilafah Hizbut Tahrir tidak serta merta membuat mereka wajib berkomitmen secara penuh ataupun menyetujui seluruh argumentasi syariah Hizbut Tahrir —yang berdasar pada al-Quran dan Hadits— untuk memperjuangkan Khilafah. Karena argumentasi syariah hanya berlaku untuk umat Islam dan tidak kepada mereka yang menganut Islam Syiah —mereka memiliki Hadits dan usul fiqih yang lain. Karena itu, argumentasi syariah Hizbut Tahrir untuk menegakkan Khilafah, sepatutnya hanyalah ditujukan kepada Muslim Sunni.
Lebih lanjut, pendapat saya, bahwa “Konsep Hizbut Tahrir bisa diterima oleh semua manusia termasuk di dalamnya kaum Sekuler” berarti bahwa pemerintahan yang menganut sistem Khilafah adalah pemerintahan yang masuk akal, dapat digambarkan dan diterima bahkan oleh kalangan Sekuler yang hidup di dalam wilayah hukum ini (karena mereka hampir tidak akan menemui kesulitan).
Mereka bisa memilih sikap pasif terhadap Islam—dalam hal ini adalah tidak perlu berkomitmen pada konsep yang mendasari dan menjadi tujuan pendirian Khilafah itu sendiri.

4. Keduniaan Khilafah
Dalam konteks ini, saya mencoba untuk menjelaskan sistem pemerintahan Khilafah tidak menggunakan sistem pengetahuan tradisional Islam, yaitu Syariah, namun menggunakan istilah dalam ilmu politik dunia Barat.
Pertama, Khilafah adalah suatu sistem pemerintahan “bersifat keduniaan” yang aturannya berdasarkan pada hukum, bukan teokrasi atau “pemerintahan bersifat ketuhanan”. Ini tentu berbeda dengan pemahaman kaum Syiah tentang imamah atau pemerintahan Imam ma‘sum yang bersifat teokratik.
Imam ma’sum dalam konteks ini dapat bertindak dan memerintah berdasarkan bimbingan langsung dari Allah. Keputusan yang diambil oleh imam hanya dia saja yang bisa memahami. Sedangkan bagi umat Islam yang lain, mereka hanya bisa menerima dan dilarang membantah, sebagaimana Nabi Muhammad memerintah pada masanya.
Berbeda dengan konsep Imamah Syiah, Khilafah kaum Sunni adalah sistem pemerintahan yang “membumi” atau “bersifat keduniaan”, bukan “bersifat teokratik”, karena sistem pemerintahannya berdasarkan hukum, dan tak ada ruang sekecil apapun bagi hal-hal mistik atau pengambilan keputusan secara irrasional oleh seorang pemimpin yang memerintah berdasarkan wahyu atau petunjuk Tuhan secara langsung.
Sangat menyesatkan, bila tidak bisa dikatakan menyimpang, untuk menyebut “Hukum Islam” sebagai sebuah pemerintahan teokratik yang dibangun berdasarkan petunjuk langsung dari Tuhan. Bagaimanapun juga Hukum Islam adalah suatu sistem peraturan, sama dengan sistem hukum Inggris. Maka, baik hukum Islam maupun sistem hukum Inggris bukanlah sistem yang misterius, melainkan sistem yang sangat rasional. Dalam pengertian, bahwa dalam menjalankan keduanya tidak ada hubungannya dengan petunjuk langsung dari Tuhan. Maka, yang diperlukan adalah untuk memahaminya secara logis berdasarkan proses penalaran hukum (legal reasoning) secara professional, bukan hanya berdasarkan keimanan semata.
Dalam konteks sumber hukum, fakta bahwa sumber hukum Islam adalah wahyu Allah itu tidak serta merta menjadikan sistem politik dan hukum Islam menjadi sistem pemerintahan berdasarkan wahyu atau ilham (pentunjuk langsung dari Tuhan), ataupun sebaliknya. Yang menganggap bahwa sumber seluruh hukum ini berhubungan dengan mitos pendirian suatu bangsa, yang selanjutnya dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang suci dan irrasional, baik dalam sistem hukumnya dianggap berdasarkan pada suatu agama ataupun bukan (Sekuler).

5. Sistem Pemerintahan Islam
Sistem hukum Islam sendiri bersifat dualistik, terdiri atas hukum publik—setiap orang harus mematuhi—dan hukum komunal—memberikan otonomi pada masyarakat yang berbasis agama untuk mengatur cara hidupnya berdasarkan pada hukum yang berlaku di dalam agamanya. Ini sekaligus menunjukan, bahwa hukum Islam juga mengakomodasi pluralitas atau keragaman masyarakat.
Lebih lanjut, Khilafah adalah sistem pemerintahan keduniaan membumi yang menjamin perlindungan seluruh masyarakat berdasarkan hukum publik Islam dan memberikan kebebasan kepada komunitas berbasis agama di bidang keagamaan. Bukan hanya dalam ritus keagamaan, namun juga dalam hal-hal yang menyangkut hukum keluarga, cara berpakaian dan sebagainya.
Fakta menunjukan, Khilafah merupakan konsep yang membumi karena konsep ini dipengaruhi oleh karakter dari misi keIslaman itu sendiri. Misi Islam ini berlipat ganda dalam (1) menyebarkan sistem pemerintahan Islam atau Khilafah, yang merupakan kewajiban, dan (2) menyebarkan agama Islam, yang merupakan pilihan selanjutnya atau opsional. Ini karena misi keIslaman dibangun dengan tegas, ketika kepatuhan terhadap hukum publik Islam yang disertai dengan pembayaran pajak jizyah ditolak , bukan ketika mereka menolak agama Islam itu sendiri.
Sebagaimana tertulis dalam al-Quran, Allah berfirman:
﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ…. حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ﴾
“Perangilah Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian…sampai mereka membayar Jizyah dengan patuh sedang mereka mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah [09]: 29)

Sebagai tambahan, al-Mughirah menuturkan, bahwa dia pernah berkata kepada pasukan Persia dalam peperangan Nahawand:
«أَمَرَنَا نَبِيُّنَا  أَنْ نُقَاتِلَكُمْ حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ أَوْ تُؤَدُّوا الْجِزْيَةَ»
“Nabi kami Muhammad (SAW) memerintahkan kami untuk memerangimu sampai engkau beriman pada Allah atau membayar pajak (jizyah)”

Adalah sangat jelas, bahwa misi dari agama Islam adalah untuk menegakkan sistem pemerintahan Islam, bukan memaksakan agama Islam ke seluruh dunia.

6. Tanggungjawab Politik dalam Khilafah
Akibat dari karakter yang ada dalam misi keislaman ini, tanggungjawab politik untuk memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian dalam sistem Khilafah tidak dibebankan kepada semua orang—sebagaimana yang digagas dalam kerangka berpikir keliru tentang perwakilan bangsa-bangsa; dalam hal ini, sekedar contoh, sebut saja sistem pemerintahan demokratis—melainkan berada di bawah pengelolaan umat Islam di bawah pimpinan puncaknya, Khalifah, menurut kemampuan mereka masing-masing.
Dengan kata lain, sistem Khilafah, tidak mewajibkan kalangan non-Muslim untuk memberikan komitmen politik kepada Islam—karena mereka tidak mengimaninya—dan mereka hanya diwajibkan mematuhi aturan hukum publik Islam dengan membayar jizyah sebagai warga negara “pasif”. Berbeda dengan kaum Muslim, mereka diwajibkan untuk berpartisipasi dalam perpolitikan Khilafah sebagai warga “aktif” berdasarkan kemampuan mereka karena keimanan mereka kepada Islam.
Maka, kali ini kita dapat mendefinisikan Khilafah sebagai “sistem politik Islam yang tumbuh bersama dalam keragaman masyarakat berbasis agama—berikut dengan masing-masing otonominya di bidang keagamaan—yang direalisasikan di bawah pengelolaan kaum Muslim melalui kepemimpinan Khalifah yang bertanggungjawab untuk menjalankan hukum publik Islam yang bertujuan untuk menjamin ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat majemuk yang beragam.

7. Darul Islam
Kita menamai wilayah di mana sistem Khilafah berdiri, dengan istilah Darul Islam (Rumah Islam). Karena itu, misi keislaman adalah untuk memperluas Darul Islam ini ke seluruh dunia dengan berbagai cara yang memungkinkan, dengan tujuan untuk mencabut segala aturan buatan manusia yang memperbudak manusia lain. Tujuan dari misi keislaman tentu bukanlah memaksakan agama Islam kepada orang lain, melainkan untuk menegakkan pemerintahan Islam kepada mereka, dengan tetap memberikan mereka kewenangan untuk hidup secara mandiri dalam komunitas mereka sendiri. Dengan kata lain, sistem ini tidak murni “keagamaan”, tetapi sangat “membumi” atau bersifat “keduniaan”.
Karenanya, inilah yang menjadi alasan mengapa sistem ini dapat diterima tidak hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh seluruh umat manusia yang berjuang demi keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan, sebagaimana yang telah terjadi dalam misi pembebasan Islam di abad ketujuh—ketika masyarakat tertindas di wilayah selatan Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia menerima misi pembebasan pasukan Islam tanpa perlawanan yang berarti.
Darul Islam juga terbuka bagi siapa saja; siapa saja boleh hidup di dalamnya, bahkan kalangan non-Muslim sekalipun—tidak perduli ras, tempat lahir, suku dan seterusnya—selama mereka mematuhi hukum publik Islam. Ketika mereka memutuskan untuk hidup di dalamnya, mereka dapat dengan bebas bepergian di dalam wilayah ini tanpa dipungut jizyah.
Allah berfirman:
﴿وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ﴾
Dan jika seorang diantara orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempar mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (Q.s. at-Taubah [09]: 6)

Allah adalah sang Maha Pencipta alam semesta. Karenanya, seluruh isi bumi ini adalah milik-Nya, dan Dia telah mengizinkan manusia untuk bepergian dengan bebas di dunia ini. Tidak seorang pun ataupun satu pun institusi yang berhak untuk membatasi bumi ini ataupun mengasingkan seseorang dari sesamanya. Dalam sistem negara-bangsa (nation state) Barat, setiap negara-bangsa dengan terirorialnya adalah penjara besar dan batas negara adalah temboknya yang memenjarakan bangsanya di dalam negara tersebut, serta mencegah bangsa lain untuk masuk ke dalamnya.

8. Khilafah Kebalikan dari Sistem Negara Bangsa (Nation State)
Sekarang semakin jelas, bahwa Khilafah bukanlah kelompok yang terdiri dari berbagai negara-bangsa, namun merupakan satu pemerintahan universal yang bertentangan dengan sistem negara bangsa, dan juga sistem yang membebaskan bangsa-bangsa dari penjara buatan mereka.
Kenyataannya, konsep negara-bangsa Barat tidak hanya bertentangan dengan ajaran Islam, namun juga bertentangan dengan premis dasar agama-agama Ibrahim yang menyatakan, bahwa Tuhan adalah penguasa sekalian alam, dan juga konsep ini bertentangan dengan etika ajaran Nuh tentang kemanusiaan, kesetaraan, keadilan dan kebebasan.
Walaupun demikian, para penguasa dari kalangan Yahudi-Kristen Barat, yang menangguk keuntungan dari sistem negara-bangsa melalui eksploitasi bangsa yang miskin, tetap berkilah dengan berpura-pura melakukan memperjuangkan kesetaraan, perdamaian, kebebasan dan kemanusiaan. Mereka berpaling dari ketidakkonsistenan yang sangat jelas ini. Bahkan sebaliknya, untuk memperkeruh masalah, mereka menuduh dengan tegas pihak-pihak yang ingin membebaskan manusia dari penjara sistem negara-bangsa ini dengan sebutan “teroris global”.
Kemudian, Islam adalah satu-satunya agama terbesar di dunia yang memperjuangkan kemanusiaan dengan menolak sistem negara-bangsa dengan teritorialnya. Karena sistem ini sendiri jelas bertentangan dengan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, Islam memperjuangan globalisasi dengan membebaskan manusia dari penjara sistem negara-bangsa. Ini tentu berseberangan dengan konsep “globalisasi” yang menyesatkan, yang melarang pergerakan manusia di perbatasan satu dan lainnya dengan leluasa, serta memaksakan arus modal untuk mengeksploitasi negara yang tertindas demi mendukung kekuatan negara Barat.

9. Keunikan Hizbut Tahrir di Antara Gerakan Islam Kontemporer
Sayangnya, kecuali Hizbut Tahrir, di tengah-tengah umat Islam sendiri tidak ada gerakan international sejati yang menentang secara terang-terangan sistem negara-bangsa (nation state), dan membela kewajiban untuk menegakkan kembali Khilafah sebagai satu-satunya sistem politik Islam yang sah. Jangankan kaum Muslim biasa, para aktivis yang tergabung dalam gerakan Islam itu sendiri kerap tidak peduli dengan perjuangan menegakkan kembali Khilafah beserta peran penting mendasarnya dalam membebaskan manusia. Mereka umumnya melakukan kompromi dengan sistem negara-bangsa (nation state); apakah karena mereka terpengaruh dan disesatkan oleh pemikiran keliru tentang logika politik Barat, atau karena mereka takut akan tekanan penguasa zalim di dalam negeri mereka sendiri—yang sedang mempertahankan statusnya karena kepatuhannya kepada penjaga sistem dari Barat, atau negara adikuasa Barat. Mereka berpikir, bahwa mereka akan memperoleh simpati ataupun pengakuan dari Barat bila mereka melakukannya. Namun, perlu dipahami bahwa semua itu ternyata hanyalah ilusi belaka. Faktanya adalah, mereka akan kehilangan dukungan moral dari para pemeluk sejati agama-agama Ibrahim dan juga kehilangan dukungan dari para pemikir dari ajaran Nuh yang telah memahami karakter eksploitatif, penindas, dan anti kemanusiaan dari sistem negara-bangsa dengan teritorialnya tersebut. Bila hal ini terus berlangsung, mereka tidak hanya akan menghianati tujuan mulia dari pendirian Khilafah, namun juga akan kehilangan dukungan terhadap panggilan universalnya kepada para pemeluk agama sejati serta mereka yang menyadari hal ini.
Karena itu, menurut hemat saya, dalam konteks dunia Islam kontemporer, hanya Hizbut Tahrirlah yang bisa dikatakan sebagai “gerakan politik Islam” yang memperjuangkan terealisasinya Khilafah—yang merupakan panggilan universal; tidak hanya untuk umat Islam, tetapi lebih dari itu. Konsekuensinya, keberhasilan Hizbut Tahrir tentu tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Karena itu, peran dari Hizbut Tahrir manjadi berlipat ganda, yaitu:
(1)Mencerahkan umat Islam (khhususnya, Ahlussunnah) akan kewajiban mereka dalam mendirikan kembali Khilafah sesuai dengan hukum syari‘ah.
(2)Menjelaskan misi Islam universal dari sistem Khilafah kepada dunia Barat dengan sudut pandang ilmu sosial negara Barat.

10. Peran Hizbut Tahrir di Indonesia
Kecuali Indonesia, kebebasan berekspresi dan beraktivitas politik—berserikat dan berkumpul—di banyak negeri Muslim tidak dijamin oleh negara. Karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia memiliki posisi terbaik dalam mewujudkan misi ini. Bahkan, berkat kebebasan ini, Hizbut Tahrir Indonesia telah berhasil mewujudkan berbagai karya intelektual, tidak hanya penerjemaahan teks Arab Hizbut Tahrir, namun juga telah menghasilkan berbagai artikel asli di dalam situs internet dan majalah terbitannya. Lebih lanjut, mereka juga berhasil melakukan peregenerasian anggotanya melalui berbagai kegiatan sosial budaya.
Namun perlu digarisbawahi, karaktek yang sangat mencolok dari Hizbut Tahrir Indonesia adalah keberhasilannya dalam membangun jaringan kerja di antara berbagai organisasi Islam di Indonesia, seperti mendirikan Forum Umat Islam, yang di dalamnya tergabung 31 organisasi yang antara lain, masing-masing sangat berbeda secara idelogis, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta mereka yang ikut menyelenggarakan Konferensi Internasional Khilafah ini.
Jaringan kerja di antara kelompok Muslim yang dikelola oleh Hizbut Tahrir di Indonesia ini adalah sesuatu yang belum terealisir di negeri Muslim lainnya, karena adanya tekanan dari pemerintahan yang anti Islam atau konflik di antara sesama Muslim itu sendiri. Indonesia adalah tempat yang memenuhi persyaratan untuk mendirikan kembali Khilafah, karena negeri ini adalah negeri muslim terbesar di dunia bila dilihat dari segi populasinya. Terdapat harapan bahwa, Hizbut Tahrir Indonesia akan berhasil dalam mendirikan kembali Khilafah atau Darul Islam di kawasan Malayu (Indonesia Raya). Karena selain dari kesamaan ideologi Khilafah, juga terdapat kesamaan bahasa, budaya dan sejarah di Nusantara ini yang merupakan langkah pertama dalam menyatukan umat Islam dan penyebarluasan misi keislaman di seluruh dunia.

Kesimpulan
Khilafah tidak hanya dapat diterima oleh komunitas non-Muslim, namun juga sangat diinginkan oleh mereka yang percaya kepada kesetaraan, keadilan, kebebasan dan kemanusiaan. Karena sistem ini memiliki pemerintahan “membumi” atau “bersifat keduniaan” yang menjamin otonomi komunitas beragama dalam konteks sosial yang sangat beragam. Sistem ini juga berfungsi sebagai sarana pembebasan untuk mengentaskan sistem negara-bangsa yang eksplotitatif yang memenjarakan manusia dalam penjara “negara bangsa”.
Hizbut Tahrir adalah satu-satunya gerakan Islam yang memperjuangkan konsep Khilafah dan menentang secara terang-terangan sistem negara-bangsa. Karena itu, mereka memiliki kewajiban ganda:
(1)Mencerahkan umat Islam (khususnya, Ahlussunnah) akan kewajiban mereka dalam mendirikan kembali Khilafah sesuai dengan hukum syari‘ah.
(2)Menjelaskan misi Islam universal dari sistem Khilafah dalam mempromosikan globalisasi sejati dan perannya sebagai pembebas dari sistem negara-bangsa yang eksplotitatif—yang memenjarakan manusia dalam kerangka negara-bangsa dengan teritorialnya—kepada dunia Barat dengan sudut pandang ilmu sosial Barat.
Terakhir, Indonesia adalah tempat terbaik untuk menjalankan misi Islam ini karena jaminan negara terhadap kebebasan beraktivitas politik. Berserikat dan berkumpul seperti ini tidak ditemukan di negeri Muslim yang lainnya.

Khilafah, Cita-cita atau Utopia?

akhir-akhir ini kampanye khilafah semakin nyaring -entah saya yang ketinggalan berita- tapi sepertinya kampanye ini mulai berjalan kearah yang agak kurang tepat menurut saya, terutama gerakan yang sering didengungkan HTI mulai sedikit mengusik rasa kebangsaan saya, wekekek….

beberapa argumen yang sering di kemukakan oleh HTI dalam hal ini adalah sebuh jargon populer “tegakan syariat dan khilafah” lanjutannya “demokrasi itu kuffar tidak memberikan kesejahteraan“, kemudian “ganti demokrasi dengan khilafah dijamin makmur” dalam bahasan pertama ini saya cm ingin sedikit mengkritisi, saya yakin lebih dari 50% yang menyuarakan slogan itu tidak mengerti apa itu syariat,…. ya … syariat adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah. dan secara istilah berarti peraturan dan syariat islam bisa juga disebut peraturan dalam islam. dan menurut saya syariat itu lebih kepada individu tersebut mau melakukannya atau tidak dan syariat tidak perlu pemaksaan dari sebuah negara atau daulah.

kemudian slogan lanjutannya tentang kesejahteraan rakya, ini yang sanagt menggelitik saya, bagi saya tidak ada hubungannya antara kesejahteraan masyarakat dengan ideologi suatu negara, ya memang berpengaruh tapi tidak banyak, kesejahteraan itu lebih pada sikap kita sebagai individu untuk sejahtera, untuk maju dan untuk berhasil, perlu bukti… ? China bisa eksis dengan komunis, sekarang Venezuela mulai maju dengan sosialisnya, dan USA walupun diguncang krisis masih menjadi bos dengan liberalnya, beberapa negara timteng sukses menjadi negara kaya dengan monarki ansolutnya, sedangkan Thailand, Malayasia, Inggris rakyatnya bisa makmur dengan pemerintahan setengah monarki. Artinya idologi negara tidaklah terlalu berpengaruh, selogan-selogan seperti itulah yang dilontarkan HTI dengan terus menggap bahwa ideologi indonesia sekarang itu kuffar, dan menjanjikan sebuah kesejahteraan dengan khilafah (janji atau mimpi). sekali lagi mimpi tentang kemakmuran itu lebih didasarkan pada usaha dan ikhtiar kita sebagai manusia dan doa kita kepada Allah Yang Maha Kuasa, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ideologi atau bentuk negara.

Kaum Muslim di sebuah negara, berkewajiban menjalankan setiap ajaran Islam. Namun demikian, kewajiban itu tak berlaku bagi upaya pendirian pemerintahan Islam. “Ber-Islam dengan sungguh-sungguh tak harus dengan Khilafah Islamiyah. Mengakui dan taat pada pemerintahan yang sah dan berdaulat adalah wajib”.

kita harus sadar apa yang akan terjadi jika khilafah bnar-benar berdiri di Indonesia, silahkan anda renungkan, banyak manfaat atau mudharatnya. HTI dengan frontal menyuarakan khilafah sebagai sebuah solusi utama dunia (Indonesia) untuk makmur, tapi apakah HTI tidak memperhatikan dampak sosial budaya, ekonomi, stabilitas, sistem, waktu, dan segala tetek-bengek lainnya ……???

semua sendi sejarah perjungan kemerdekaan jelas akan runtuh, buku sejarah akan berubah.
ada sekitar 90% penduduk muslim, dengan perbandingan bahwa pengikut NU & Muhammadiyah yang sudah menyatakan final NKRI, itu mencakup 70% sisanya orang yang mengambang, tidakah ini akan menjadi sebuah konflik. dan saya tidak bisa menutup kemungkinan darah akan mengucur (apakah korban itu akan menjadi tumbal ?). konflik pasti terjadi.

secara budaya, hampir semua budaya indonesia tidak terlalu berinfiltrasi dengan ajaran islam secara utuh, istilahnya banyak sampingannya, apakah hal ini akan di basmi seperti gerakan pemurnian ajaran islam oleh wahaby di saudi arabia ?

maka identitas ketimuran akan hilang.secara ekonomi kekuasaan pasar uang di indonesia jelas 90% bisa dibilang tidak islami, apakah akan ada pembredelan sistem makro dan perbankan …? bagaimana denga sistem penglolaan pajak, keuangan tata ekonomi …? saya hampir merasa yakin hal tersebut tak pernah terpikir dalam benak HTI. bagaimana denga sistem perundang-undanga yang telah ada …? mau diganti perundang-undangan islam …? yang seperti apa …..? karena bahkan sampai sekarang para ulama masih “perang” dalam penafsiran suatu hadsit dan ayat Al Quran.

bagaimana UU dibuat ? hukum siapa yang akan dipilih ? mazhab siapa yang akan jadi mazhab resmi Daulah tersebut ? tidakah itu akan menjadi konflik besar, akhirnya semua yang tidak setuju pemerintah di kucilkan, lihatlah dinasti ummayah dan sikapnya terhadap pengikut ali, dan bagimana dinasti Abbasiyah terhadap para keturunan muawiyah ? ini terjadi karena orang2 minoritas berbeda dengan penguasaa.

padahal saat itu belum terlalu banyak aliran dan pemikiran seperti sekarang ini yang berjibun, dari liberal sampai tradisional, tradisional saja macem2 yang liberal versinya masing2, ulamanya beda2, ada syah, sunni, wahabi, salafi, NU , Muhammadiyah, Persis, Persis NU, Persis Muhammadiyah, walaupun padahal mengakunya satu alias paling benar.

konflik tidak mungkin dapat dihindari jika suara ini semakin kencang ,
belum berdiri negara udah konflik dulu, terus kapan majunya ? kapan bergeraknya ? kapan makmurnya ?
contoh nyata yang sebenarnya saya suka sedih sendiri melihatnya, di palesitina perang fattah hamas justru ga akan pernah membuat negeri itu bangkit. sama2 mau berkuasa. (Hammas & Fattah tidak mau bersatu)

dan akan banyak pertanyaan dalam menyusun konsep sebuah negara, apalagi di indonesia, nyusun panitia lomba RT 17an aja pake ribut dulu, apalagi negara.

konsep HTI ?
ketika saya mencoba untuk mencari literatur mengenai seperti apa konsep pemerintahan khilafah versi HTI, apakah seperti abasiyah, umayyah atau fatamiah di mesir atau seperti utsmani ? dan bagaimana cara pemilihan pemimpinnya ? seperti pemilihan Abu Bakar As Sidiq dengan rapat besar, atau Utsman bin Affan dengan penunjukan ? atau mirip turun temurun khas dinasti, tapi saya justru tergelitik ketika melihat sumber pemikiran konsep pemerintahan khilafah menurut HTI di ambil dari Taqiyuddin an Nabhani pendiri Hizbut Tahrir dalam kitabnya Nidhomul hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam), isinya mirip sistem montesque (trias politika) dicampur demokrasi menurut saya ga ada bedanya dengan sistem yang dianut negara Indonesia sekarang ini yang oleh HTI dianggap sistem pemerintahan barat yang kuffar.

menurut Nidhomul hukmi fi al Islam : Sistem Khilafah membedakan antara kedaulatan (as-siayadah) dan kekuasaan (al sultan). As Siyadah (kedaulatan) memang ditangan syar’i (pembuat hukum , Allah SWT) , namun kekuasaan (al sultan) ditangan rakyat. Sementara berbicara tentang kekuasaan (al Sultan) berarti berbicara tentang siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of legislation) yang berhak untuk memilih dan mengangkat penguasa Khalifah . Dalam sistem khilafah yang berhak memilih dan mengangkat Khalifah adalah rakyat. Karena itu rakyatlah yang berhak memilih Khalifah secara berdasarkan pilihannya dan keridhoannya (ikhtiar wa ridho). Mekanisme penyampaian pendapat bisa secara individu atau lewat wakil rakyat (majelis ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai representasi kelompok-kelompok masyarakat. Anggota majelis ummah ini berhak secara langsung mengajukan kritik, masukan, kepada Khalifah berkaitan dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak menguntungkan rakyat. Mekanime ketiga, rakyat yang tidak puas akan kebijakan Khalifah bisa mengajukannya ke Mahkamah Madzholim, pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah ).

silahkan baca sekali lagi pemerintahan versi khilafah HTI…
sekarang coba bandingkan sistem HTI diatas dengan kondisi indonesia sekarang ?

bebeberapa kekurangan sistem menurut Taqiyudin dalam kitabnya tentu sangat beresiko, salah satunya rakyat tidak punya kedaulatan maupun kekuasaan, ini bisa menyebabkan keputusan dari penguasa dapat didasarkan atas kedaulatan Tuhan dan akan mengakibatkan menjadi dinasti dan berlaku semena-mena.
apa bedanya, palingan cm istilah aja yang beda, ya nyerempet-nyerempet dikit lah,
kalo ga percaya buka sendiri kitabnya atau buka website HTI udah pake bahasa indonesia.

siapakah HTI ?
HTI bermula dari palestina, aslinya partai politik
kenapa di Indonesia ga ikut pemilu ?
urusannya dengan citra, orang indonesia ga bakal suka denga pandanagn politik seperti itu ?
jadi kalo kampanye terbuka ga bakalan laku,

tujuan utama HTI ingin menegakan daulah islamiyah (ga tau kapan)

tujuan sampingan : membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali. (memangnya hukum Allah yang mana yang sudah dilaksanakan dan yang belum serta mana yang sudah diberlakukan dan mana yang dlam status ditunda alais belum diberlakukan ).

karena markas asli di palesitna digempur zionis bidab tak berdab israel maka HT membuka cabang di berbagai negara tapi anehnya kenapa HT ga buka cabang di negara timteng yang notabene arab ? jawabannya sederhana karena sebagain besar negara timteng menganggap HT berbahaya, dan dianggap organisasi terlarang jadi HT buka cabang di negara yang ideologinya justru mereka jelek2an, contohnya di Australia, Bangladesh, Belanda, Denmark, Inggris, Jerman, Prancis, Polandia, Malayasia dan Indonesia. nah lho.,.,,., knp cabang HT justru ada di negara sekuler atau lebih tepatnya tidak berlandaskan Islam secara penuh? tapi pertanyaannya bkn itu, knp HT diterima oleh negara sekuler ? karena hanya negara seperti liberal itulah yang mau menerima HT.

kitab2 yang menjadi dasar HT ada 17 atau mungkin lebih, saya males nulisnya disini, liat aja di buku2 HT atau kl mau lbh ringkas baca website HTI.

apakah HT hanya berorientasi politik kekuasaan ?

hanya Allah yang tahu.,.,

silahkan dikoreksi dan silahkan untuk tidak setuju,

saya bukan orang yang secara mati-matian menolak khilafah, silahkan saja jika anda atau siapa saja termasuk HTI mau mendirikan khilafah, tapi jangan di Indonesia.