NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Apakah aku benar-benar telah mati?

Apakah aku benar-benar telah mati?

Aku terduduk letih di hadapan engkau semua. Di negeri tercinta ini, di tanah air kebanggaan ini, aku merasa letih sekali. Sangat letih sekali bahkan. Saking letihnya seluruh bagian tubuhku terasa ngilu dan sakit. Sangat ngilu dan sakit sekali bahkan. Saking ngilu dan sakitnya seluruh bagian tubuhku ini seperti mati rasa. Ya, mati rasa! Terasa ada, tapi adanya tidak terasa. Ada tapi seolah tidak ada. Ah, aku merasa diriku ini antara ada dan tiada di tengah-tengah negeri yang bangsanya begitu majemuk dan kaya akan pluralisme ini. Dan, tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Bahwa kondisiku yang mati rasa ini, kondisiku yang antara ada dan tiada ini, tak lain disebabkan oleh dedikasi dan kesetiaanku sepanjang perjalanan hidupku selama ini menemani negeri tercinta ini, dari awal berdirinya ini negeri tercinta hingga sekarang. Namun justru negeri tercinta inilah – ah, bukan, bukan, bukan negeri tercinta ini yang membuat kondisiku mengambang antara ada dan tiada – melainkan mereka yang menghuni negeri tercinta ini.
Entah sudah berapa lamanya aku setia menemani negeri tercinta ini? Puluhan tahun sudah pastinya. Ah, lebih pastinya kau hitung saja sendiri nominal tahun sejak negeri ini merdeka hingga sekarang. Sudah lama sekali, bukan? Tentu saja begitu. Saking lamanya orang-orang telah mengikutsertakan dan memasukkan aku ke dalam buku sejarah panjang perjalanan negeri tercinta ini. Ya, aku telah menjadi bagian dari lika-liku sejarah negeri tercinta ini.
Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Nenek moyang kalian dulu bisa melepaskan negeri tercinta ini dari belenggu tangan penjajah, karena tak lepas dari keberadaan diriku di dalam jiwa mereka, jiwa yang tentunya saling sangat berbeda satu sama lain, namun mampu bersatu padu mengikis ego dan kepentingan individu masing-masing, berjuang bersama-sama sampai titik darah penghabisan guna mengusir para penjajah. Ah, engkau semua seharusnya meniru kebersamaan perjuangan mereka wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Setelah nenek moyang kalian dengan gagah berani berhasil mengusir para penjajah, tak sedikit – ah, banyak sekali, sangat banyak sekali – nenek moyang kalian yang harus rela meneteskan titik darah penghabisan mereka sebelum sempat mereka menikmati kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan sendiri. Berapa banyak coba? Tahukah engkau? Ah, aku yakin kau pasti tiadalah tahu. Yang kau tahu pasti hanyalah sederet nama-nama pahlawan yang telah masuk dalam buku sejarah perjuangan negeri ini. Hanya itu saja. Padahal mereka yang berjuang di pelosok barat tanah air, mereka yang berjuang di pelosok tengah tanah air, mereka yang berjuang di pelosok timur tanah air, mereka semua adalah pahlawan. Pahlawan semua mereka itu! Tapi…tapi kenpa? Ya, kenapa hanya segelintir orang saja yang dihargai dan dianugerahi gelar sebagai pahlawan kemerdekaan oleh bangsa ini? Ah, entah kenapa? Aku sendiri juga tidak tahu. Ah, engkau semua seharusnya tahu wahai saudara-sudaraku sebangsa dan setanah air.
Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Nenek moyang kalian yang pahlawan itu, meskipun tiadalah pernah – bahkan tiada kan pernah – dikenang sebagai pahlawan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan negeri tercinta ini, tetaplah bisa tersenyum tulus dan ikhlas di dalam kubur mereka. Mereka semua bilang kepadaku bahwa mereka berjuang dengan rela dan ikhlas tiada pamrih apalagi terbersit rasa ingin dihargai dan dikenang selalu sebagai pahlawan. Sama sekali tidak! Mereka sudah cukup – bahkan lebih dari cukup – bahagia bisa menyaksikan anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicit mereka dan seterusnya bisa menikmati kemerdekaan, hasil jerih payah perjuangan mereka, hingga sekarang. Ah, engkau semua seharusnya tersentuh hati mendengar tutur tulus mereka wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Serasa baru kemarin mereka menyunggingkan senyum tulus dan ikhlas kepadaku ketika aku sedang berziarah ke makam mereka. Ah, sungguh senyum terindah yang pernah aku lihat. Ah, engkau semua seharusnya melihat senyum terindah itu wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air agar engkau semua kembali semangat bersatu menegakkan hukum dan keadilan di negeri tercinta ini.
Tapi, tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Kini mereka semua menangis sedih dihadapanku. Sedih, sedih sekali, kesedihannya bahkan melebihi kesedihan seorang bocah kecil yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Tahukah engkau, apa yang membuat mereka menangis sedih? Mereka bilang, “kami semua menangis sedih di dalam kubur karena anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicit kami tidak bisa menghargai dan memaknai kemerdekaan negeri ini, kemerdekaan yang harus dibayar mahal dengan nyawa-nyawa kami.” Ah, aku sendiri tiada kuasa mendengar suara tangis kepedihan mereka. Ah, engkau semua seharusnya tersadar, terbuka pikiran dan hati mendengar suara tangis sepedih itu wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Ku lihat dan ku dengar mereka berteriak histeris memekak sekali sembari memegangi kepala mereka. Tahukah engkau kenapa mereka melakukan itu? Mereka bilang, “kami putus asa dan stress!” Tahukah engkau apa yang membuat mereka stress dan putus asa? Mereka bilang, “kami putus asa dan stress melihat tingkah polah anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicit kami. Setelah merdeka, bukannya mereka itu bersama-sama berlomba memajukan negeri ini, melainkan berlomba-lomba mengeruk habis kekayaan negeri ini, menjerumuskan negeri ini ke dalam jurang terjal kehancuran dalam berbagai bidang.” Ah, engkau semua seharusnya insyaf dan saling intropeksi diri mendengar teriak histeris mereka wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Mereka, nenek moyang kalian yang telah berjuang habis-habisan demi kemerdekaan negeri tercinta ini, baru saja merengek-rengek, berlutut dan menyembah-nyembah sujud di hadapanku. Mereka memintaku untuk kembali masuk ke dalam jiwa anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicit mereka agar kembali mampu bersatu padu, mengikis ego dan kepentingan individu masing-masing, bersama-sama berjuang memajukan dan menegakkan keadilan di negeri ini. Ah, engkau semua seharusnya tiada tega melihat mereka merendahkan diri di hadapanku wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? Bahwa yang mereka sebut dengan anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicit mereka adalah kalian sendiri, kalian semua wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Dan, engkau semua, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, pasti bertanya-tanya siapakah sebenanya diriku? Sehingga nenek moyang kalian itu harus rela merengek-rengek, berlutut, dan menyembah-nyembah sujud meminta pertolonganku? Akulah DEMOKRASI, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Ah, sebenarnya aku hendak menolak permintaan nenek moyang kalian itu, karena aku tahu jiwa-jiwa kalian sudahlah sangat sulit sekali untuk aku masuki. Tapi aku tidak bisa mengelak atas takdir yang telah digariskan oleh Tuhan terhadap diriku. Bahwa aku, DEMOKRASI, diciptakan oleh TUHAN untuk menciptakan ‘TUHAN’!
Ah, aku tahu. Kalian pasti terkejut dengan perkataanku itu. Tapi, jangan dulu kalian telan mentah-mentah atau berpikiran negatif atas perkataanku itu, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. TUHAN bagiku, DEMOKRASI, adalah KEBENARAN dan aku, DEMOKRASI, diciptakan oleh TUHAN untuk mewujudkan KEBENARAN itu sendiri. Dan, makna KEBENARAN bagiku adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat negeri ini tanpa pandang bulu. Tidakkah engkau semua pernah mendengar semboyanku, VOX POPULI VOX DEI, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
Ah, aku tahu. Sangatlah sulit bagiku untuk menyadarkan kalian agar mafhum dan meresapi dalam-dalam perkataanku itu. Ah, betapa bebalnya otak kalian yang telah terkena virus paling membahayakan di seluruh penjuru dunia manapun, virus KEBODOHAN. Ah, betapa kronisnya hati kalian yang telah terjangkiti penyakit paling mematikan di seluruh penjuru dunia manapun, penyakit KETIDAKPEKAAN. Ah, betapa kerdilnya jiwa kalian yang telah terasuki sifat paling menjijikkan di seluruh penjuru dunia manapun, sifat KEPENGECUTAN. Karena otak kalian yang BODOH, kalian menjadi TIDAK PEKA dengan berbagai macam bentuk ketidakadilan yang ada di sekitar kalian, dan kalian semua menjadi bangsa yang PENGECUT karena membiarkan ketidakadilan tumbuh merajalela di negeri tercinta kalian sendiri. KORUPSI, ah kalian biarkan dia melumut di dalam jiwa para pemimpin kalian yang berorasi lantang “BASMI KORUPSI” tapi mereka sendiri ikut-ikutan KORUPSI. HUKUM, ah kalian diam saja melihat dia dipermainkan oleh aparat hukum negeri ini yang mempelajari HUKUM bukannya untuk menegakkan HUKUM tapi justru untuk mempermainkan HUKUM.
Ah, Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air? aku capek, lelah dan letih sudah berusaha sekuat tenaga menyadarkan kalian semua. Putus asa aku mencoba menyadarkan kalian semua.
Ah, kenapa tiba-tiba keputusasaan menguasai diriku? Ah, aku lengah rupanya. Ya, capek, lelah dan letih telah membuat konsentrasiku lengah hingga keputusasaan tiba-tiba saja merasuki jiwaku. Ah, tidak! Aku tidak boleh lengah! Aku tidak boleh putus asa! Tapi …. Tapi ……….
“Aaarrrrggghhhh ….. “ aku meringis kesakitan. Ketika lengah itulah tiba-tiba justru kalian lah yang menikamku dari belakang. Darah bercucuran dari balik punggungku. Ah, biadab kalian! Aku mencoba menyadarkan kalian semua, tapi kalian justru menikamku dari belakang. Sempoyongan aku menahan sakit terkena tikaman belati di punggungku. Sementara darah segar semakin mengucur deras dari balik punggungku, kepalaku serasa berputar-putar, pening, pandanganku mengabur. Saat itulah, kalian kembali menikamku, kali ini dengan terang-terangan dari arah depan perutku. Tak ayal, usus-usus dalam perutkupun berhamburan keluar bersamaan kucuran darah segar. Sekonyong-konyong aku terkapar, menggelepar-gelepar di atas tanah yang bersimbah darah. Lalu diam, tak bergerak sedikitpun.
“Apakah aku benar-benar telah mati?” tanyaku lirih kepada kalian. Kalian diam saja tak menjawab.
“Apakah aku benar-benar telah mati?” tanyaku sekali lagi lirih kepada kalian. Kalian kembali diam tak menjawab.
“Apakah aku benar-benar telah mati?” tanyaku lirih kepada kalian untuk ketiga kalinya. Kalian bingung mencari jawaban.
“entahlah, seharusnya kau sudah mati seketika. Tapi, kau bahkan masih sempat bisa bertanya kepada kami.”
“tapi aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Aku serasa sudah melayang-layang mengambang di udara tepat di tengah batas antara bumi dan langit.”
“tapi kau masih bisa bicara. Berarti kau masih hidup.”
“tapi aku merasa sudah mati.”
Ah, aku memang dalam keadaan antara ada dan tiada. Seperti ungkapan penyair dunia ternama, Jalaluddin Rummi, ‘wujuduhu ka adamihi’1
Ya, diriku memanglah antara ada dan tiada. Aku ada, namun keberadaanku seolah ditiadakan sama sekali. Aku tiada, tapi sebenarnya aku ini masih ada. Dan, sampai sekarangpun keberadaanku masihlah terus mengambang seperti ini, antara ada dan tiada. Aku merasa sudah tidak menginjakkan kaki lagi di bumi negeri tercinta ini, tapi aku belumlah sampai ke langit tujuh sana, negeri darimana aku berasal, negeri KEBENARAN, negeri TUHAN. Aku masih mengambang melayang di udara menyaksikan panggung sandiwara yang disuguhkan oleh engkau semua wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Para pemimpin negeri ini, dengan lantangnya berorasi “HIDUP DEMOKRASI”, tapi kenyataannya pemerintahan di bawah kendali mereka sama sekali tidaklah DEMOKRATIS ketika harus berhadapan dengan kepentingan partai politik mereka sendiri dan ketika harus berbenturan dengan partai politik lain yang berbeda visi dan misi.
Para aktivis mahasiswa itu meneriakkan yel-yel “Tegakkan Pemerintahan yang DEMOKRATIS” “HIDUP DEMOKRASI” tapi mereka sendiri tidak bisa DEMOKRATIS ketika telah berbenturan dengan warna bendera organisasi kemahasiswaan yang berbeda dengan warna bendera mereka.
Para pemuka agama itu berkoar-koar atas nama TUHAN bahwa bentuk pemerintah yang paling sesuai dengan ajaran agama mereka adalah bentuk pemerintahan yang DEMOKRATIS. Tetapi mereka sendiri juga tidak bisa DEMOKRATIS ketika berbenturan dengan “TUHAN” (baca: agama) yang berbeda dengan ajaran agama mereka.
Bahkan, para penulis dan sastrawan itu pun yang berteriak lantang lewat tulisan-tulisan mereka mencela pemerintahan yang mereka anggap tidak DEMOKRATIS, tapi mereka sendiri juga tidak bisa DEMOKRATIS ketika harus berbenturan dengan sesama penulis dan sastrawan yang berbeda aliran. Mereka saling menghina, mereka saling mencemooh, mereka saling munafik-memunafikkan satu sama lain.
Ah, padahal tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air?
Bahwa aku DEMOKRASI hanyalah memiliki satu visi dan misi saja, yaitu visi dan misi KEBENARAN.
Bahwa aku DEMOKRASI, hanyalah bisa melihat satu warna saja, yaitu warna KEBENARAN
Bahwa aku DEMOKRASI, hanyalah meyakini satu Tuhan saja, Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan KEBENARAN
Bahwa aku DEMOKRASI hanyalah menuliskan karyanya dalam satu aliran saja, yaitu aliran KEBENARAN
Ah, terkadang kita memang harus menjadi anak kecil lagi untuk bisa menangkap KEBENARAN. Karena otak, hati dan jiwa anak kecil masihlah putih bersih seperti halnya selembar kertas putih kosong yang masih bersih dari coret-coretan tinta, sehingga ketika tinta KEBENARAN mencoba menuliskan diri di atasnya, maka akan sangat jelas dan mudah sekali terbaca. Sedangkan manusia-manusia dewasa itu otak, hati dan jiwa mereka seperti halnya selembar kertas putih yang telah dipenuhi berbagai macam goretan warna tinta, sehingga ketika tinta KEBENARAN mencoba menuliskan diri di atasnya, maka tidak akan bisa terlihat dengan jelas karena sudah bercampur dengan berbagai macam goretan warna tinta yang lain, dan akan sulit sekali terbaca jadinya.
Tahukah engkau, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air?
Bahwa yang aku – DEMOKRASI – inginkan dari kalian semua cuma satu : INTROPEKSI DIRI kalian masing-masing bahwa yang tidak DEMOKRATIS bukan hanya mereka yang ada di luar diri kita, tapi juga mereka yang ada di dalam diri kita.
Sehingga aku tiada lagi merasa ‘antara ada dan tiada’ di negeri tercinta ini.
Sehingga aku tiada lagi ‘kan bertanya kepada kalian “Apakah aku benar-benar telah mati?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar