NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Jeneng Kulo Segawon

Jeneng Kulo Segawon1

Jeneng kulo Segawon. Ya, nama saya Segawon. Tapi, ah!, apalah artinya sebuah nama bagiku. Toh, nama itu tak lebih dari sekedar busana yang melekat pada tubuh kita untuk menutupi aurat. Toh, nama itu tak lebih dari sekedar suatu simbol formalitas belaka, sekadar sebagai embel – embel panggilan kita, sekedar untuk mengisi formulir Akte Kelahiran, sekedar untuk mengisi formulir pembuatan Kartu Pelajar, sekedar untuk mengisi formulir pembuatan Kartu Tanda Penduduk, sekedar untuk mengisi formulir pembuatan Surat Izin Mengemudi, sekedar untuk mengisi formulir – formulir yang lain. Bahkan, seandainya dalam kehidupan negara kita yang serba mengedepankan simbol dan formalitas ini, tidak ada persyaratan harus mengisi formulir ini lah, formulir itu lah, dan segala macam tetek bengek formulir – fprmulir yang lain, mungkin saya akan lebih memilih nama “ Belum Ada Nama ” untuk nama diri saya, seperti halnya judul “ Belum Ada Judul ” untuk lagunya Mas Iwan Fals.
Ah, tapi, bukankah orang – orang itu bilang kalau nama itu adalah sebuah do’a, sebuah pengharapan orang tua akan anaknya kelak. Dan, bukankah orang jawa juga bilang kalau Ajining Rogo Ketingalan Soko Busono. Bahwa kemulyaan diri kita itu terlihat dari cara kita berpakaian. “ Ah, masa bodoh dengan konsep – konsep nama itu! Biarin saja orang – orang mau berkomentar apa tentang namaku, elek – elek ngene yo jenengku dewe. Opo urusanmu! Lak karepe wong tuwoku tho arep aweh jeneng anake opo?! ”2 jawabku mengomentari orang – orang yang setiap kali bertemu denganku selalu saja mengomentari hal ihwal tentang namaku.
Ah, bukankah banyak orang yang bernama baik dan bagus tapi toh kelakuannya bejat, hina, menjijikkan, tak lebih hina dari seekor segawon itu sendiri, kencing di sembarang tempat, berdiri lagi, suka menggonggongi orang lain, bersenggama terang – terangan di muka umum tanpa ada rasa risih dan malu sedikitpun dengan lingkungan sekitarnya. Ah, bukankah lebih baik diriku ini, bernama segawon tapi kelakuanku masih manusiawi.
Bukankah banyak juga orang yang berpenampilan bagus, necis, dan rapi, tapi toh kelakuanya tak lebih licik dari seekor tikus werog yang selalu saja diam – diam merusak padi para petani yang sudah menguning hendak dipanen. Tak peduli dia, apakah petani itu miskin. “ Ah, miskin itu kan sudah menjadi suratan takdir baginya. Ya, terima sajalah! Jalani saja dengan nerima dan sabar. Bukankah orang sabar itu disayang sama Tuhan?! ” kata tikus werog itu enteng. Lagi, tak peduli dia, berapa banyak materi yang telah dikeluarkan untuk membeli pupuk, betapa peras keringat banting tulangnya para petani itu mengolah sawah mereka. “ Ah, itu kan urusan mereka sendiri, ya jangan disangkut pautkan dengan diriku lah! Kalau saya tidak memakan padi mereka, terus saya harus memakan apa?! Masa saya harus memakan atasan saya, si ular – ular itu, justru sebaliknya, si ular – ular itulah yang memakan saya, lalu saya yang memakan padi para petani itu. Ya begitu itu Hukum jaring – jaring kehidupan, saling makan – memakan, yang atas makan yang bawah, yang bawah makan yang bawahnya lagi, dan begitu seterusnya. Ah! Jangan sok berbicara tentang Hukum dan Undang - undang lah! Apa itu Hukum?! Apa itu Undang – undang?! Yang ada ya Hukum dan Undang – undang alam itu, yang kuat ya dialah yang menang dan yang berkuasa. Lagian, ya memang sudah nasibnya para petani seperti itu, terus mau bagaimana lagi?! Mau berdemo kah?! Mau mengkasuskan ke meja hijau kah?! Mau berkeluh kesah kepada pemerintah kah?! Percuma saja! Ga bakal ada hasilnya! Sudahlah! Terima saja nasibmu itu! Jalani saja lah!” kata tikus werog itu enteng seolah tiada merasa berdosa sedikitpun.
Lagi, banyak mereka yang berpenampilan bagus, rapi, dan necis itu, tak lebih kejam dan rakus dari seekor tikus werog yang selalu saja mengendap – endap mencuri jatah makanan si penghuni rumah. Tak peduli dia, apakah si penghuni rumah itu melarat. Tak peduli dia, kalau makanan yang dia curi itu adalah jatah makan hanya sehari sekali bagi si penghuni rumah itu, eh, masih diembat juga. Dasar binatang! Ah, betapa rakusnya kau tikus! Bukankah kau lihat perutmu sudah sedemikian buncitnya?! Ah, tapi, ada yang membuatku salut dan kagum kepadamu, wahai tikus! Meskipun perutmu itu sudah sebegitu tambun dan buncit, tapi kau masih saja bisa berkelit melarikan diri jika kau kepergok dengan si penghuni rumah. Bahkan, kau pun masih saja bisa melepaskan diri dari perangkap yang dipasang oleh si penghuni rumah untuk menjebakmu. Ah, kau memang cerdik tikus!. Kau memang pandai sekali!. Ah, tapi sayang kecerdikan dan kepandaianmu itu kau gunakan untuk hal – hal picik seperti itu. Ah., bukankah lebih baik diri saya ini, saya ini toh hanya orang miskin desa yang tiada punya setelan baju yang bagus, rapi, apalagi necis, tapi setidaknya saya lebih bermoral dan berperikemnausiaan lah!
Tapi, bukankah suatu nama yang bagus dan indah itu bisa membuat orang tertarik kepada yang punya nama?!. Seperti halnya sebuah buku yang dikemas dengan cover dan judul yang begitu menarik, sehingga membuat kita ingin sekali membelinya. “ Ah, masa bodoh orang mau bilang apa tentang konsep – konsep nama itu! ”. Bukankah banyak juga buku – buku yang dikemas dengan cover dan judul yang sedemekian menariknya tapi toh isinya tak lebih dari sekedar buku biasa yang bahkan tak berbobot sama sekali. Ah, lagi - lagi bukankah lebih baik berpenampilan seperti saya ini, nama jelek, penampilan juga sama jeleknya, tapi paling tidak saya lebih sedikit berisi dan berbobot lah!
Tapi, bukankah nama itu…. “ Alaahhh…!!! Masa bodoh dengan konsep – konsep nama itu. Karepmu arep ngomong opo! Jenengku yo segawon kuwi.3 Di akte kelahiranku, KTPku, SIMku, namaku ya segawon itu.”
“ Ah, kau Segawon! Kau kini telah tumbuh menjadi pemuda dewasa. Kau kini sudah mampu bermasa bodoh, beretorika, beralasan dengan orang – orang yang selalu saja mengejek serta menertawakan namamu itu. Tidakkah kau ingat, Segawon? waktu kecil kau selalu saja menangis, lalu langsung pulang ke rumah mengadu kepada ibumu setiap kali teman – teman sepermainanmu itu mengejek dan mengolok – olok namamu itu.” Hatiku berbisik.
“ Ah, kau hati, kenapa kau tiba – tiba saja berbisik seperti itu? Kau mengingatkanku saja dengan almarhumah ibuku, Tulkiyem, yang selalu saja bisa meredakan tangis marahku dengan pelukan kasih sayangnya yang kurasakan begitu tulus dari dalam hati beliau. Ah, kasih ibu memang kasih yang tulus dan ikhlas, mungkin karena itulah muncul sebuah pameo Surga ada di bawah telapak kaki ibu.”
“ Wis tho le! Awakmu ojo nangis terus, lha kudu piye maneh, pancene jenengmu yo segawon iku, le. Opo tho artine jeneng iku,le, jeneng iku ora penting, sing penting iku lak atimu resik lan kelakuanmu apik, sopan santun, ngerti unggah ungguh karo sing luwih tuwo soko awakmu. Awakmu lak yo pinter tho, le, oleh ranking siji terus ndek kelas, dadi enggone awakmu sekolah iku ora tau mbayar yo amargo prestasimu kuwi. Simbok bangga kok, le, karo awakmu. Wis tho, le, ojo nangis terus awakmu iku, simbok banjur kepingin nangis pisan yen ngono.”4
“ Tapi, mbok, moso jeneng kulo mboten saget diganti tho?”5
“ Jenengmu ndek akte kelahiran yo Segawon iku,le. Oalah…le, simbokmu iki wis males ngurus – ngurus ganti jenengmu ndek kantor kelurahan, jarene kudu mbayar iki lah, mbayar iku lah, ngono iku isih kudu ngurus – ngurus maneh ndek kantor kecamatan, lagek kudu mbayar iki maneh, mbayar iku maneh, awake dewe iku wong ga duwe, le, mending lak duwete kanggo mangan wae. Ah, pancene pemerintahe dewe iku, teko sing duwur sampe sing ngisor, kabeh podo moto duwiten. Kabeh – kabeh kok di gawe angel, lek enek duwet lagek di gawe gampang. Istilahe, jarene mas – mas mahasiswa iku Birokrasi berbelit – belit.”6
“ Birokrasi iku nopo tho, mbok?”7
“ Ah, emboh, le. Simbokmu iki wong SD wae ora lulus,kok awakmu takon birokrasi iku opo, yo simbokmu iki ora weruh tho, le. Mulano, le, enggone awakmu sekolah sing sregep, dadio bocah sing pinter lan bener, ojo pinter tapi malah keblinger. Simbok mong biso ndonga’ake, mugo – mugo awakmu biso dadi wong pinter lan sukses.”8
Ah, Ibu, Engkau memang segalanya bagiku. Engkau selalu saja bisa membuatku merasa tenang dengan pelukan kasih sayangmu yang begitu tulus ikhlas. Apalagi semenjak ayah meninggal pada usiaku yang baru beranjak balita, aku benar – benar merasakan cinta tulus suci seorang Ibu kepada anaknya.
Ah, engkau memang benar Ibu, apalah arti sebuah nama, nama itu tidaklah penting, yang penting hati kita bersih, perilaku kita baik dan sopan. Ah, Ibu, seandainya Engkau masih ada, hari ini Engkau pasti akan merasa sangat begitu bangga menyaksikan anakmu yang bernama Segawon ini, yang cerdas ini, sehingga selalu mendapat beasiswa ini, berdiri di atas podium kehormatan di depan para dosen – dosen serta tamu – tamu undangan wali mahasiswa, untuk sekedar memberikan sambutan sebagai mahasiswa termuda, sebagai mahasiswa yang paling singkat masa kuliahnya, sebagai mahasiswa yang paling tinggi IPKnya. Ah, Ibu, Engkau pasti menangis bahagia disana melihat anakmu yang bernama Segawon ini. Terima kasih Ibu, atas segala do’a dan cinta kasih tulusmu kepadaku.

***

“ Sambutan berikutnya, dari Mahasiswa termuda, tersingkat masa kuliahnya, serta tertinggi IPK nya, kepada Saudara Segawon S.Pd, waktu dan tempat, kepadanya kami persilahkan.”.
Kudengar MC memanggil namaku dan mempersilahkanku untuk maju ke depan naik ke atas panggung. Ah, begitu bangganya diriku, kini ada embel – embel gelar S.Pd dibelakang namaku, Segawon, S.Pd. Ah, tapi, kenapa dengan para dosen dan hadirin tamu undangan itu, kenapa mereka semua tiba – tiba tertawa terbahak – bahak?! Ah, aku tahu, mereka sedang menertawakanku rupanya. Ah, tidak, tidak, mereka tidak sedang menertawakanku, tapi lebih tepatnya mereka sedang menertawakan namaku. Ah, mereka ternyata masih saja terpaku pada konsep – konsep nama itu. Ah, baiklah, mungkin aku adalah The Right Man on The Right Time and The Right Place, Tuhan mungkin memberikan kesempatan yang tepat kepadaku untuk berbicara panjang lebar menggagas konsep – konsep nama itu di depan mereka semua. Ah, baiklah, akan aku bungkam mulut mereka semua.
“ Hadirin yang terhormat, langsung saja, saya tahu anda – anda semua menertawakan nama saya ini, saya benar – benar sedih saudara – saudara, bukan karena anda – anda semua yang menertawai saya, bukan, kalau untuk hal seperti itu saya sudah kebal semenjak saya masih kecil, tapi yang sangat saya sedih sesalkan adalah anda – anda semua ini, bagaimana bisa anda – anda yang notabenenya orang – orang berpendidikan ini, tapi rupanya anda semua masih saja terpengaruh dan terpaku pada konsep – konsep nama itu. Ah, apalah arti sebuah nama saudara – saudara, kalau kita tiada mampu berkarya, berprestasi, dan berperilaku baik. Anda semua menertawai saya, itu sama halnya anda semua menertawai diri anda semua sendiri yang begitu bodoh, dungu, dan buta karena anda semua hanya melihat seseorang dari luarnya saja, dari namanya saja, tanpa melihat siapa dirinya yang sebenarnya. Ah, betapa Negara yang katanya rakyatnya terkenal dengan saling tepo selironya ini, ternyata sama sekali tidak bisa menghargai orang lain. Ah, nama saya memang Segawon, tapi kenapa anda semua hanya melihat nama saya saja?! kenapa anda semua tidak melihat hakikat diri saya?! Kenapa saya bisa berdiri di depan anda semua?! Ah, seandainya saya kelak menjadi presiden Negara ini, apakah anda masih saja akan menertawai saya?! Tanpa melihat siapa saya yang sebenarnya?!”
“ Moso enek presiden jenenge kok segawon…”9
Terdengar dari kerumunan seorang hadirin menyeletuk, menyindir namaku, disambut gelak tawa seluruh isi aula itu. Ah, kenapa mereka masih saja belum mengerti?! Kenapa mereka masih saja menertawaiku?! Tidakkah mereka sadar karena apa saya bisa berdiri di panggung kehormatan ini, berbicara panjang lebar di depan mereka?! Tidakkah mereka tahu siapakah mahasiswa yang terrmuda itu?! Tidakkah mereka tahu siapakah mahasiswa yang tersingkat masa kuliahnya itu?! Tidakkah mereka tahu siapakah mahasiswa dengan IPK mentereng 3,99 itu?! Itu aku, aku, akulah mahasiswa itu. Tapi, ah…!!! Mereka masih saja menertawaiku.
Ah, marahku serasa makin memuncak, nada bicaraku semakin meninggi, layaknya seorang aktifis mahasiswa yang sedang berorasi di depan gedung MPR.
“ Ok…!!! Nama saya memang Segawon, saudara – saudara! Dan segawon adalah tak lebih dari seekor hewan hina, najis, dan menjijikkan. Tapi, tidakkah pernah anda semua sadari?! Tidakkah pernah anda semua tahu?! Siapakah yang dengan setia menjaga rumah anda siang dan malam?! Siapakah yang membantu pihak kepolisian dalam melacak?! Tidakkah pula pernah anda semua mendengar kisah Ashabul Kahfi10 yang masuk surga bersama seekor anjingnya?!”.
Ah, tampaknya sia – sia saja aku berbicara panjang lebar penuh semangat di depan mereka. Mereka tampak masih saja menertawaiku, tawanya malah semakin menjadi – jadi, terbahak – terbahak, terkekeh – kekeh. Semuanya tertawa, ya, semuanya, kecuali diri saya sendiri yang menutupi kedua telinga dengan kedua tanganku, tiada kuasa mendengar tawa mereka yang terdengar menggema di seluruh ruangan, hingga akhirnya tiada kuasa lagi, diri ini berteriak, menjerit keras, sekeras- kerasnya…!!!
“ Diiiaaammm…!!! Atau saya kutuk kalian semua menjadi segawon, menjadi anjiiinngng…!!!”
Semuanya tiba – tiba diam. Namun, kenapa tiba – tiba suara mereka kembali terdengar menggema?! Tapi bukan suara tawa terbahak – bahak mereka, tapi…
“ Namaku Segawon, guukk…guukk…guukk !!!”
Ah, mereka layaknya sebuah paduan suara saja mengucapkan dua kata itu lalu menggonggong kompak. Ah, tapi, aneh sekali! Kenapa wajah mereka semua berubah menjadi anjing?! Ah, mereka telah terkena kutukanku rupanya! Ah, masa bodoh dengan mereka! Biarkan anjing menggonggong, ( kafilah tetap berlalu)?, ah, bukan, bukan seperti itu paribahasanya sekarang, tapi biarkan anjing menggonggong, saya mendengarkan! Ha…ha…ha…!!!
Ah, tapi, wajahku?! Apakah wajahku juga ikut berubah menjadi anjing seperti mereka?!
Ku raba wajahku…
Ah, tidak. Wajahku masih utuh seperti sedia kala. Ah, namaku memang Segawon, tapi diriku bukanlah segawon seperti mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar