NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Seorang Sarjana Anak Seorang Nelayan Yang Putus Asa

Seorang Sarjana Anak Seorang Nelayan Yang Putus Asa


Malam itu, dibawah terang cahaya bulan purnama, lelaki itu tampak begitu tenangnya duduk di atas sebuah batu karang besar, tenang sekali seolah tak takut oleh ombak lautan yang sesekali menghantam batu karang itu dengan cukup ganas, membuncahkan cipratan air laut berbusa yang membuat sepatunya basah kuyup.
Lelaki itu melepas sepatunya, mungkin merasa tidak nyaman memakainya dalam keadaan basah kuyup. Kemudian dia tampak berjalan mundur sedikit, menghindarkan diri agar tidak basah terkena terjangan ombak yang semakin lama semakin meninggi. Lalu, lelaki itu duduk menekuk lututnya, kedua tangannya dia sandarkan tepat di atas kedua lututnya. Sejenak, kedua bola matanya menatap kosong jauh lurus kedepan ke arah hamparan lautan luas yang tampak seolah menyatu dengan langit angkasa yang malam itu bertaburan ribuan kerlap-kerlip bintang.
Memandang bintang-bintang itu, dia teringat akan kenangan masa kecil dengan ayahnya dulu.
“Ayaaahhhh …..!”teriak bocah itu, yang tak lain adalah lelaki itu ketika masih kecil,sambil berlarian ke tepi pantai”Ade pengen ikut Ayah naik perahu ke tengah laut malam ini.”
Sang Ayah hanya tersenyum.
“memangnya Ade mau ikut mencari ikan sama Ayah di tengah laut sana? Boleh-boleh saja. Tapi nanti ya, kalau badan Ade sudah sebesar Paman Udin segitu.”ujar sang Ayah sembari melihat ke arah si Udin yang tampak sedang melepas ikatan tambang kapal dari dermaga.
“Ade bukannya mau ikut mencari ikan sama Ayah kok.”
“lalu?”
“Ayah coba lihat ke tengah laut sana. Lihat! Bintang-bintang itu dekat sekali dengan laut. Ade ingin mengambil bintang itu satu saja.”
Sang Ayah kembali tersenyum geli.
“dari sini bintang-bintang itu memang terlihat dekat sekali dengan lautan, tapi kalaupun Ade berlayar terus ke tengah laut sana, tetap saja Ade tidak akan pernah bisa meraih bintang-bintang itu, karena bintang-bintang itu sebenarnya juga sama setingggi bintang di atas langit itu.” Ujar Sang Ayah sambil menunjuk ke atas.
“kok bisa begitu sih, Yah.”
Belum sempat Sang Ayah menjelaskan, bocah itu sudah lebih dulu berteriak.
“Oiya! Ade tahu. Ibu Guru bilang, bumi itu bulat, makanya langit dan laut di ujung jauh sana itu kelihatan seperti menyatu.”
Lelaki itu tersenyum geli teringat kenangan masa kecilnya itu.
“Ah, kau memang benar Ayah, sejauh apapun kita mencoba berlayar ke tengah lautan, bintang-bintang itu tetap saja tidak akan pernah bisa kita raih. Dan, bintang-bintang itu layaknya nasib baik, yang dari kejauhan nampak bisa kita genggam dalam sekejapan mata, namun semakin jauh kita melangkah mencoba menggapai nasib baik itu, jangan pernah berpikir untuk bisa menggapainya dalam sekejapan mata, jangankan sekejapan mata, sepuluh tahun lamanya pun aku belum bisa menggapainya.” Gumam lelaki itu dalam hati.
Ya, sepuluh tahun lamanya sudah dia menghilang dari rumah tanpa sepengetahuan satupun dari Ayah dan Ibunya. Entah apa yang sedang ada dalam benaknya saat itu hingga memutuskan untuk melanglang buana kemana saja tanpa arah yang pasti, tanpa tujuan yang jelas.
“Maafkan aku Ibu. Maafkan aku Ayah. Aku akan pergi menuruti kata hati ini, entah kemana, aku sendiri belum tahu pasti. Yang jelas, kemana kedua kaki ini melangkah, kesitulah aku menuju. Ayah masih ingat ‘kan ketika aku masih kecil dulu, aku selalu ingin menggapai bintang-bintang yang tampak sebegitu dekatnya di ujung lautan jauh. Aku ingin menggapai bintang-bintang itu Ayah, betapapun jauhnya aku harus mengarungi bahtera kehidupan ini. Tapi, percayalah Ibu, percayalah Ayah, suatu saat nanti, aku akan kembali, aku pasti akan kembali, setelah aku bisa menggapai bintang-bintang itu, dan akan aku bawa pulang bintang-bintang itu untuk Ibu dan Ayah, dan tentunya untuk para tetangga kita, biar mereka semua tahu, bahwa tiadalah sia-sia pengorbanan Ibu dan Ayah banting tulang peras keringat untuk mengkuliahkanku, biar mereka tidak lagi mencibir buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya tetap saja menganggur, dan akhirnya tetap saja menjadi seorang nelayan. Jangan menangisi kepergianku Ibu, jangan pula engkau Ayah. Restui saja kepergianku ini. Hanya itulah yang aku inginkan dari Ibu dan Ayah.”
Begitulah isi selembaran kertas yang dia tinggalkan untuk kedua orang tuanya sesaat sebelum dia memutuskan untuk meninggalkan rumah di pagi buta saat semua orang masih terlelap dalam mimpi indah mereka masing-masing, bahkan saat sang fajar di ufuk timur belum terbangun, hanya bulan dan kerlap-kerlip bintang serta gelapnya pagi buta yang menjadi saksi bisu kepergiannya dari rumah.
Lelaki itu kini merubah posisi tubuhnya, dari yang semula duduk dengan kedua tangan berpangku di kedua lututnya, menjadi rebahan di atas batu karang itu, kedua tangannya menyangga kepalanya. Kedua bola matanya yang tajam memandang ke langit atas sana. Sejenak, sorot matanya bertemu dengan sorot terang cahaya bulan purnama malam itu. Di matanya, bulan itu seolah seperti sedang tersenyum indah kepada dirinya, sebuah senyum yang tiba-tiba mengingatkan dirinya akan senyum Sang Ibunda tercinta. Senyum kasih sayang yang tulus dari Sang Ibu yang dia terima ketika kedua orang tuanya melepas kepergian Sang Putra untuk pertama kalinya merantau, bukan untuk kerja, tapi untuk kuliah, meskipun dia sendiri merasa berat sekali untuk meninggalkan mereka berdua sendirian bekerja membanting tulang untuk membiayai ongkos hidup dan kuliahnya, apalagi ketika di benaknya terbayang deretan angka-angka yang harus dia bayar, tak tega ia untuk sekedar membayangkan bagaimana caranya sang Ayah dan Ibu mencari uang sebanyak itu. Menangis ia dalam pelukan kedua orang tuanya. Ingin sekali ia mengurungkan niatnya, dan merubahnya untuk merantau mencari nafkah saja. Namun, kedua orang tuanya nampaknya begitu arif dan bijaksana.
“jangan menangis, Nak. Ibu tidak ingin melihatmu pergi dengan membawa kesedihan di hatimu. Jika kau menangis, maka kau sama saja membuat Ibu menangis. Jika kau bersedih, maka kau juga sama saja membuat hati Ibu bersedih. Karena itu, tersenyumlah, Nak, jika kau ingin melihat Ibu dan Ayahmu tersenyum melepasmu.” Ujar sang Ibu mencoba untuk tersenyum, meskipun raut wajah dan matanya yang berkaca-kaca tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
“berangkatlah, Nak. Pergilah, dan gapailah ilmu setinggi-tingginya. Buatlah Ayah dan Ibumu bangga setelah kepulanganmu nanti. Kau pergi untuk menuntut ilmu, Nak. Ilmu yang bermanfaat, tidak hanya bagi dirimu tapi juga orang-orang di sekitarmu. Ingat itu! Kau pergi bukan untuk memperoleh ijazah untuk masa depanmu. Karena itu, jangan kau khawatir soal masa depanmu kelak. Pergilah, Nak, pergilah.” Ujar sang Ayah mencoba kuat, meskipun dari sorot matanya juga terlihat suatu kesedihan disana.
“Baik Bu, Yah. Aku akan buat kalian bangga akan putramu ini. Ketika Ayah dan Ibu datang menjengukku saat wisuda kelak, akan aku buat kalian bangga karena putramu ini, meskipun hanya anak seorang nelayan dari desa, tapi mampu menjadi seorang sarjana lulusan terbaik sepanjang perjalanan berdirinya almameter tempat aku menuntut ilmu.” Ujarnya lalu berlalu pergi. Namun baru beberapa langkah saja, dia kembali menoleh ke arah Ayah dan Ibunya. Tak kuasa ia menahan tangis sedihnya, apalagi melihat Ayah dan Ibunya saling berdekapan menahan tangis yang tertahan di bibir mereka yang tampak bergetar. Namun, bagaimanapun juga dia telah berjanji bahwa dia akan membuat kedua orang tuanya itu bangga, bangga akan dirinya.
Lelaki itu masih tampak rebahan di atas batu karang, kedua tangannya dia gunakan untuk menyangga kepalanya. Kedua bola matanya masih lekat-lekat menatap bulan yang bersinar terang di malam itu. Sementara itu, kenangan lima belas tahun silam itu, seolah dengan jelas sekali terhampar di depan matanya. Ya, lima belas tahun silam ketika dengan segala berat hati dia nekat merantau kuliah, lalu empat tahun lamanya dia berhasil menyelesaikan studinya dengan hasil yang sangat memuaskan sebagai lulusan terbaik sepanjang perjalanan berdirinya almameter tempat dia kuliah, dan itu berarti satu tahap dalam kehidupannya telah tercapai, yaitu membuat kedua orang tuanya merasa bangga akan dirinya. Dan, ketika satu tahap dalam hidup telah tercapai, maka tahap berikutnya pasti akan lebih mudah tercapai. Dia begitu yakin akan hal itu. Namun semuanya berubah ketika dia kembali ke masyarakat dimana dia dibesarkan yang mempunyai pola pikir berbeda dengan masyarakat dimana dia kuliah, dimana seseorang bukanlah dinilai dari siapa dia, apa gelarnya, atau sedalam apa pengetahuannya melainkan dari apa yang dia punya dan apa yang bisa dia peroleh untuk memenuhi kebutuhan lahiriahnya, untuk memenuhi kebutuhan dunianya. Materi? Ya, materi seolah telah menjelma menjadi Tuhan bagi mereka. Dan, karena berhadapan dengan masyarakat macam itulah yang membuat keyakinan dan keteguhan hatinya goyah. Mereka tidak mau tahu apa gelar dia. Mereka tidak mau tahu tentang prestasinya sebagai lulusan terbaik sepanjang perjalanan berdirinya kampusnya dengan IPK yang hampir mendekati angka empat. Yang mereka tahu hanyalah bahwa dia selama empat tahun kuliah itu, hanyalah membuang-buang uang dan waktu saja dan tidak ada hasilnya sama sekali. Pikir mereka uang sebanyak itu, yang telah dia habiskan untuk kuliah selama empat tahun itu, mending buat buka usaha, atau untuk biaya membuat perahu. Bukankah dengan demikian bisa lebih menghasilkan uang? Daripada buat kuliah tapi akhirnya pulang-pulang ke rumah masih nganggur juga, atau kalau tidak mau disebut nganggur, masih harus nunggu pekerjaan yang pas dan cocok dengan gelarnya, dan kalau sudah mentok akhirnya jadi nelayan juga.
“Mau jadi nelayan saja kok harus sekolah tingggi, buang-buang duit saja.”
Ya, sindiran seperti itulah yang selalu dia dengar dari masyarakat desa tempat tinggalnya. Dan, dia sama sekali tidak bisa menyalahkan mereka karena memang kenyataannya dia harus menganggur dulu selama setahun, menunggu pekerjaan yang cocok dengan bidang yang digelutinya dulu di bangku kuliah. Dan, pikirnya daripada selama setahun itu waktunya terbuang percuma, dia putuskan untuk membantu ayahnya berlayar menangkap ikan di laut. Namun, satu tahun dirasakan sudah lebih dari cukup bagi telinganya untuk panas dan jengah mendengar sindiran-sindiran bernada sinis itu. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah, pergi merantau entah kemana, dan tidak akan pulang sebelum dia benar-benar sukses dan bergelimangan uang agar bisa dibuat olehnya untuk menyumbat mulut-mulut yang telah menyindirnya.
Lelaki itu bangkit duduk kembali seperti semula, duduk menekuk lutut dengan kedua tangan berpangku di atas kedua lututnya.
“ah, tak terasa sudah sepuluh tahun lamanya kau tidak pernah pulang ke rumah,” lelaki itu berbicara kepada dirinya sendiri.”ah, kau sendiri pasti tak akan pernah mengira akan selama itu kau meninggalkan kedua orang tuamu yang selalu resah gelisah menanti kepulanganmu.”
Ya, dia sendiri sama sekali tiada pernah terpikir untuk mengembara selama itu, namun semua itu terjadi bukan kaena kemauan dirinya, melainkan kehidupan yang serba tiada menentu ini. Awalnya dia berencana akan pulang ke rumah setelah tiga tahun berlalu, karena dia yakin tiga tahun adalah waktu yang cukup buat dirinya untuk menjadi seoang perantau yang sukses, atau paling tidak cukup sukses sehingga paling tidak setelah kepulangannya ke rumah nanti, tidak akan pernah dia dengar lagi sindiran-sindiran bernada sinis dari lingkungan masyarakat desa dia tinggal. Paling tidak seperti itulah kemauannya.
“ah, kau ternyata salah besar. Kau pikir setelah tahap pertama dalam hidup bisa kau gapai dengan sempurna, maka tahap-tahap berikutnya dalam hidupmu pasti akan bisa kau gapai juga dengan mudah. Kau salah besar kali ini. Kau melupakan hukum siklus roda kehidupan yang serba tiada menentu ini.” Lelaki itu kembali berbicara kepada dirinya sendiri.
Ya, tiga tahun dia tidak bisa menghasilkan apa-apa yang bisa dia banggakan kepada masyarakat desa dimana dia tinggal, melainkan hanya sekedar penghasilan yang cuma cukup untuk ongkos makan dan biaya kostnya tiap bulan. Putus asa dia. Hingga akhirnya dia putuskan untuk tidak akan pulang ke rumah dulu, untuk kembali mengembara mengarungi segala ketidakpastian dalam hidup hingga tujuh tahun berikutnya. Dan, itu berarti sepuluh tahun sudah jadinya dia tak pernah tahu bagaimana keadaan kedua orang tuanya di rumah.
“ah, sepuluh tahun aku rasa sudah cukup bagimu. Kau kini kurang apalagi? Rumah megah bak istana kau sudah punya. Tiga buah mobil mewah menghiasi garasi depan rumahmu. Kau kini tak usah bersusah payah banting tulang peras keringat untuk mencari uang. Dalam lima menit saja, puluhan bahkan ratusan juta rupiah sudah ada dalam genggaman tanganmu. Sudah waktunya kau pulang menjenguk kedua orang tuamu. Dan, sudah waktunya kau sumpal mulut-mulut yang pernah menyindirmu itu dengan gelimangan lembaran uang kertas yang kau punya. Aku rasa uangmu itu sangat lebih dari cukup untuk menyumpal mulut semua orang di desamu.” Kembali ia berbicara kepada dirinya sendiri.
Ah, gila! Sudah sesukses itukah dia sekarang? Ya, dia kini telah menjadi seorang konglomerat kaya raya yang tidak hanya disegani di kalangannya, tapi juga begitu di takuti. Lalu, tidakkah tujuh tahun terlalu cepat untuk merubahnya menjadi seorang yang kaya raya? Ah, kau tidaklah usah terkejut. Masyarakat desa tempat dia tinggal yang tidak hanya berpikiran tradisionalis dan konservatif tapi juga kapitalis dan materialistis, telah merubah jalan pikiran dan hidupnya. Kini dia sama saja dengan masyarakat kapitalis dan materialistis itu yang men-Tuhan-kan materi dan kekayaan. Seperti halnya para penganut ajaran agama yang taat dan rela melakukan apa saja demi mendapat pahala dan ridho dari Tuhan, dia pun rela melakukan apa saja demi menggapai Tuhannya itu, yaitu materi dan kekayaan yang berlimpah. Karena putus asa, karena telah terbutakan oleh nafsu keduniawian, dia yang seorang sarjana anak seorang nelayan yang pernah mengukir prestasi bersejarah sepanjang perjalanan berdirinya almameter tempat dia kuliah itu, rela menjadi seorang pembunuh bayaran professional. Ah, keputusasaan dan nafsu keduniawian memang bisa membutakan mata hati siapa saja, tak terkecuali lelaki itu.
Lelaki itu kini bangkit berdiri. Bayangan kampung halamannya yang sangat jelas berkelebat di dalam benaknya. Besok dia akan pulang, untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun ini. Semuanya sudah dia persiapkan. Mobil termewah dan termahal yang akan dia kendarai pulang. Oleh-oleh buat kedua orang tuanya, dan tak lupa tumpukan uang kertas untuk menyumpal mulut-mulut yang pernah menyindirnya. Biar mereka semua tahu bahwa dirinya kini adalah seorang sarjana yang kaya raya. Meskipun mereka semua tak akan pernah tahu bahwa dirinya kini adalah seorang sarjana yang telah berubah menjadi seorang pembunuh bayaran professional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar