NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Bukan Wayang

Bukan Wayang


Di tengah kerumunan penonton yang menyaksikan pertunjukan itu, aku tertegun sendirian. Ya, aku tertegun dan terpesona dengan kelihaian sang dalang yang lihai sekali melakonkan wayang-wayangnya. Seolah dia benar-benar menghayati dan meresapi betul setiap lakon dari wayang-wayang yang dijalankannya. “Luar biasa!” kata itulah yang pantas dilayangkan kepada sang dalang atas kelihaiannya memainkan deretan wayang-wayangnya itu. Ah, tapi, tepuk tangan riuh dari penonton yang berulang-ulang setiap kali sang dalang dengan penuh penghayatan dan penjiwaan beraksi dengan wayang-wayang di kedua tangannya, aku pikir hal itu justru lebih luar biasa daripada kata ‘luar biasa’ itu sendiri.
“hmmm, dalang ini benar-benar menjiwai semua aspek dari setiap lakon wayang yang dimainkannya. Aspek suara, sikap penjiwaan, dan emosinya seolah benar-benar memancarkan jiwa setiap wayang-wayang yang dijalankannya itu. Hmm, sungguh ekspresif dan intuitif sekali dalang ini. Bahkan kalau boleh aku membandingkan, tak ada seorang artis pun yang sanggup menandingi penghayatan dan penjiwaannya dalam memerankan suatu lakon.” Ucapku lirih.
“ya, Ki Gendeng Pewayangan memang seorang dalang yang luar biasa. Tidak ada seorang dalang pun yang mampu menyamai kelihaiannya dalam memerankan lakon-lakon dalam pewayangan.” Timpal seorang tua disampingku tiba-tiba. Aku sedikit terkejut dan sedikit diliputi perasaan aneh, karena perasaan sedari tadi tidak ada seorangpun yang berada disampingku. Tapi, tiba-tiba saja seorang tua itu muncul disampingku. “Ah, mungkin saja dia datang ketika aku sedang hanyut dalam tontonan pertunjukan wayang itu.” Ucapku dalam hati mencoba menenangkan diri.
“Ki Gendeng Pewayangan? Jadi, nama dalang itu adalah ……”
“ya, dia terkenal dengan nama itu, Ki Gendeng Pewayangan. Tak lain karena dia seolah menjadi gila ketika sedang memerankan setiap lakon dari wayang-wayangnya itu. Dia seolah hilang akal dan kesadaran setiap kali dia naik dan beraksi ke panggung pertunjukan pewayangannya. Setelah akal dan kesadarannya hilang itulah, jiwa dari setiap wayang-wayang yang dilakonkan olehnya itu satu persatu bergantian merasuk ke dalam jiwanya sesuai dengan lakon wayang yang sedang dimainkannya. Karena itulah, dilihat dari segi aspek suara, sikap penjiwaan dan emosi, dia benar-benar mewakili setiap lakon dari wayang-wayang yang dijalankan olehnya itu.” jelas seorang tua itu panjang lebar.
“benarkah seperti itu?” tanyaku mengernyitkan dahi.
“kau kelihatannya kurang percaya dengan penjelasanku barusan, anak muda?” ucapnya sembari menoleh ke arahku. Ah, sorot matanya? Sorot matanya ….? Ah, tak kuasa aku memandang sorot matanya yang begitu tajam menusuk seolah hendak mencukil kedua bola mataku keluar.
“mm…mm…mmaaf, aku bukannya kurang percaya, Pak, tt…tt…tapi, aku hanya ingin memastikan saja.” Ucapku terbata-bata sembari menundukkan pandangan mataku ke tanah. Entah kenapa tiba-tiba aku diliputi perasaan takut yang sangat setelah sekilas menangkap sorot mata itu. Sorot mata yang ku rasakan begitu penuh diliputi aura magis dan mistis. Dan, sorot mata itu…..sorot mata itu bukanlah sorot mata….., ah, entah kenapa tiba-tiba perasaanku seolah menakut-nakuti diriku sendiri hingga membisikiku bahwa sorot mata itu bukanlah sorot mata seorang manusia biasa melainkan sorot mata sesosok makhluk halus sebangsa jin atau apalah aku tidak tahu pasti. Yang jelas firasatku berbisik bahwa sorot mata itu bukanlah sorot mata manusia biasa.
Tak ada jawaban ataupun kata-kata lebih lanjut dari seorang tua itu. Aku beranikan diri untuk menoleh kesamping ke arah seorang tua itu berada. Ah, dia sudah tidak ada disitu! Kemana perginya dia gerangan? Ku lihat ke sekelilingku, pandangan mataku mencari-cari ke arah mana seorang tua itu pergi. Tapi, tak ku temukan sosoknya. Sekali lagi ku lihat ke sekelilingku mencari-cari dan memastikan bahwa seorang tua itu tidaklah menghilang begitu saja. Barangkali dia sedang pergi membeli rokok sebentar, atau sekedar membeli kacang buat cemilan teman ngobrol ataupun memesan kopi agar kuat begadang menonton pertunjukan wayang itu. Tapi, tak ku temukan sosoknya sama sekali.
“ah, jangan-jangan firasatku ini benar adanya. Jangan-jangan dia memanglah bukanlah manusia, melainkan sebangsa makhluk halus yang menampakkan diri seperti wujud manusia.”
Seketika keringat dingin bercucuran keluar dari sekujur tubuhku, kedua kakiku terasa lemas tak berdaya, lalu terduduk lemas begitu saja di tempat. Aku sekali lagi menoleh kesamping ke arah dimana seorang tua itu tadi berada. Pada itu, ku temukan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat dan sebuah pesan;
‘JIKA KAU KURANG PERCAYA, ANAK MUDA! DAN, KAU HENDAK MEMASTIKANNYA, TEMUI AKU BESOK DI ALAMAT TERSEBUT.’
Ah! Aku tercengang membaca sebuah pesan pada secarik kertas itu. Seorang tua itukah yang meninggalkan pesan tersebut?
***

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah dari nonton acara pertunjukan wayang itu, seharusnya hatiku tenang, riang dan senang karena terpesona dan kagum akan kelihaian dalang itu dalam memerankan setiap lakon dari wayang-wayangnya. Tapi, justru pikiranku lah yang kini sedang mengontrol diriku. Pikiranku selalu saja tertuju kepada sosok seorang tua aneh itu. Seorang tua yang tiba-tiba berada disampingku dan tiba-tiba pula menghilang begitu saja entah kemana. Hanya secarik kertas bertuliskan sebuah alamat dan sebuah pesan agar aku menemui seorang tua itu besok pagi.
Entah untuk yang keberapa kalinya aku mengalami peristiwa-peristiwa aneh seperti ini semenjak samudera di dalam jiwaku ini terguncang, terguncang hebat oleh badai kehidupan yang bertubi-tubi menerpa hingga akhirnya kokohnya batu karang iman di dalam diri ini pun luluh lantak berserakan ke tepi pantai samudera jiwaku ini, berubah menjadi kerikil-kerikil kecil. Seolah belum puas, hujan badai derasnya kehidupan pun turun yang lambat laun melemahkan kerikil-kerikil kecil berserakan itu, hingga akhirnya kerikil-kerikil kecil itupun luluh lantak berubah menjadi dan menyatu dengan pasir pantai samudera jiwaku.
“ah, sejak kecil, hidupku memang penuh pengalaman pahit dan kelam.” Ucapku lirih, sementara pikiranku melayang-layang jauh ke masa silam.
Masih ingat aku ketika masih kecil dulu, kami sekeluarga, Ayah, Ibu dan aku disusir dari rumah nenek dengan alasan keberadaan kami disitu hanya menambah beban hidup keluarga mereka saja. Sementara Ayahku saat itu belumlah juga memperoleh pekerjaan yang tetap dan berpenghasilan cukup untuk membiayai keluarganya. Padahal setahuku, keluarga nenek adalah keluarga yang kaya raya. Bahkan harta nenek tidak akan habis bila dipakai untuk menafkahi seluruh keluarga besarnya. Ah, mungkin benar adanya bisik-bisik tetangga yang aku dengar dulu itu, bahwa nenek itu orang kaya yang pelitnya setengah mati, bahwa nenek itu orangnya suka pilih kasih terhadap anak-anaknya sendiri. Buktinya nenek sama sekali tidak peduli dengan Ibuku yang merupakan putri sulungnya, sementara dengan anak-anaknya yang lain, nenek begitu perhatian dan ringan tangan. Hingga akhirnya Ibu nekat lari dengan Ayah mengikuti program transmigrasi ke Aceh.
Lima tahun merantau ke Aceh, membuat kami sekeluarga kini merasa sudah bisa mandiri, bahkan terkesan lebih dari berkecukupan. Ayah, Ibu dan aku benar-benar hidup bahagia disana. Ayah dan Ibu bertemu dengan para tetangga yang ramah, baik hati dan suka menolong sesama. Aku bertemu dengan teman-teman sebayaku yang selalu mengajakku bermain bersama-sama tanpa saling membeda-bedakan. Hingga akhirnya genap sepuluh tahun kami merantau di Aceh, Ayah dan Ibu memutuskan untuk kembali ke Jawa. Saat itu, Ayah bilang bekal yang dia kumpulkan selama ini, selama sepuluh tahun sudahlah lebih dari cukup untuk membeli tanah, membangun rumah serta membangun sebuah ruko untuk buka usaha jualan sembako. Aku pun setuju saja dengan keputusan mereka berdua.
Namun, masih ingat aku, ingat sekali, belum sempat kami mudik kembali ke tanah jawa, badai lautan ganas itu, yang seolah berubah menjadi seekor naga lautan raksasa yang meluluhlantakkan semuanya, memangsa ribuan manusia, lalu memuntahkan mereka kembali. Hingga tinggallah puing-puing reruntuhan saja, hingga tinggallah ribuan mayat bergelimpangan saja. Aku selamat memang dari terkaman seekor lauatan naga besar itu. Mungkin dia kasihan kepadaku, atau dia tidak melihatku saat itu hingga dia melewatkanku. Ah, sejujurnya kalau aku boleh memilih, aku lebih memilih ikut mati bersama Ayah dan Ibuku. Tapi, para relawan itu bilang bahwa aku harus bersabar menerima semua kenyataan ini. Katanya orang sabar itu disayang Tuhan. Para da’i itu juga selalu bilang sampai kuping ini kadang-kadang sampai panas dan bosan mendengarnya bahwa pasti ada suatu hikmah di balik semua kejadian ini, karena itulah aku harus memasrahkan semuanya kepada Yang di Atas sana. Ah, persetan dengan celoteh mereka! Tai kucing semuanya! Kalau cuma soal nasehat menasehati aku sendiri juga bisa, semua orang juga bisa. Mereka enak saja ngomong seperti itu karena keluarga mereka tidaklah menjadi korban keganasan seekor naga lautan besar itu. Tambahan lagi, mereka juga dibayar karena itu.
Hingga akhirnya datanglah sepasang suami-istri yang hidupnya lebih dari berkecukupan mengambilku sebagai anak angkat mereka. Aku pun bahagia dengan mereka karena aku merasa tatapan mereka kepadaku seperti tatapan Ayah dan Ibu kepadaku. Seolah ada diri Ayah dan Ibu didalam diri mereka berdua.
Namun, masih ingat aku, ingat sekali, ketika sekawanan perampok itu menyatroni rumah kami, menguras habis uang dan barang-barang berharga seisi rumah. Seolah tidak lah puas sampai disitu, mereka membunuh mereka berdua, Ayah dan Ibu angkatku di depan mata kepalaku sendiri. Kalau boleh memilih, aku lebih baik ikut mati bersama mereka berdua saja daripada harus hidup menanggung beban psikologis yang berat untuk kedua kalinya. Namun, entah kenapa mereka membiarkanku tetap hidup. Kasihankah mereka kepadaku? Ah, tidak! Aku pikir mereka justru sangat kejam kepadaku dengan membiarkan aku hidup, hidup di bawah trauma bayang-bayang kematian orang-orang yang mencintai dan menyayangiku dan tentunya hidup dibawah tekanan psikologis yang berat, berat sekali. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menggelandangkan diri, menjadi anak jalanan, melakukan apa saja untuk bertahan hidup seperti halnya anak-anak jalanan yang lain. Mengamen, menyemir sepatu, jadi penjual asongan, sampai mencopet pun pernah beberapa kali aku lakukan. Semua itu ku lakukan demi satu alasan : bertahan hidup! Pikirku mencopet dengan alasan seperti itu lebih bermoral daripada korupsi untuk memperkaya diri. Aku menggelandang sampai ke kota budaya Jogjakarta. Hingga akhirnya aku bertemu dengan sepasang kakek nenek yang merasa iba dengan diriku, lalu mengambilku menjadi cucu mereka dan kemudian mendidikku serta mengajariku bagaimana caranya bertahan hidup yang baik.
Namun, masih ingat aku, ingat sekali ketika seekor naga lautan besar yang dulu pernah memangsa ribuan nyawa termasuk Ayah dan Ibuku, kini merasuk ke dalam jiwa tanah budaya Jogjakarta dan mengguncang seluruh kota budaya itu dengan hebatnya hingga bangunan-bangunan dan sarana-sarana umum roboh, pun banyak nyawa melayang, termasuk sepasang kakek dan nenek angkatku itu.
Aku pun kembali menggelandang, menjadi anak jalanan, mengembara tanpa arah dari satu kota ke kota yang lain. Mencoba bertahan sendirian dari ganas dan kejamnya kehidupan. Hingga akhirnya setelah sekian tahun lamanya aku mengembara tanpa arah menjadi anak jalanan dan gelandangan, aku kembali lagi ke kota budaya Jogjakarta.
Entah kenapa aku ingin kembali lagi ke kota budaya itu. Aku hanya merasa tertarik dengan ramah tamah, tutur kata lembut dan sopan santun warga Jogjakarta. Pun kekayaan akan budayanya. Termasuk seni memerankan lakon dalam pewayangan. Ya, wayang. Aku kangen dengan wayang. Kakek angkatku lah yang mengenalkan aku dengan budaya wayang. Dia juga mendidik dan mengajarkanku tentang apa itu arti kehidupan yang sebenarnya dengan media wayang. Seperti halnya Sunan Kalijaga yang berdakwah di tanah jawa dulu dengan menggunakan media wayang.
“ah, pikiranku sudah melayang-layang ke belakang sejauh itu.” Ucapku tersadar setelah aku sampai di depan pintu rumahku. Ah, bukan, bukan. Rumah ini bukanlah rumahku. Aku hanyalah seorang gelandangan jalanan yang tak punya rumah. Rumah ini adalah bekas reruntuhan rumah kakek-nenek angkatku yang aku coba perbaiki semampuku seadanya.
“ah, dari dulu pemerintah bisanya cuma janji dan janji belaka akan memperbaiki saja. Tanpa ada kepastian yang jelas. Sama halnya dengan mereka yang bisanya cuma men‘sabar-sabar’kan orang lain tanpa mau turun tangan langsung membantu. Ah, dasar kampret! Persetan! Tai kucing! Dakwah sekarang sudah dijadikan ladang bisnis! Dakwah sekarang sudah dijadikan sebuah profesi! Dasar munafik! Sama saja dengan korupsi ilmu namanya!”
Aku merebahkan tubuhku di atas amben tua peninggalan almarhum kakek nenek angkatku, ku gunakan kedua tanganku untuk menyangga kepalaku. Pandangan mataku menatap kosong ke langit-langit atap rumah yang sudah sangat jauh sekali dari kata baik kalau tidak mau dibilang amburadul. Merenung aku disitu. Teringat akan masa laluku yang kelam itu. Teringat akan wayang-wayang itu. Teringat akan Ki Gendeng Pewayangan yang lihai memerankan setiap lakon dari wayang-wayangnya itu. Teringat akan seorang tua itu.
“ah, aku merasakan diriku ini tak jauh beda dengan wayang-wayang itu. Aku sama halnya sebuah wayang yang sedang dilakonkan oleh Sang Dalang kehidupan ini. Sang Dalang bisa dengan seenaknya dan semau Dia melemparku kesana kemari, ke satu kota ke kota yang lain. Dan, aku hanya mengikuti lelakon saja, tak bisa berbuat apa-apa. Seperti halnya wayang-wayang itu yang membiarkan sang dalang berbuat apa saja terhadap diri mereka. Ah, tapi, begitulah hidup adanya. Hidup itu memang susah dan capek. Tak usahlah dibuat pusing dan diperdebatkan. Bikin tambah susah dan capek saja.”
“tapi kau tidaklah sama dengan wayang-wayang itu, tolol! Kau pun punya kehendak! Kau jangan diam saja dipermainkan seenaknya oleh Sang Dalangmu itu!” ah, suara itu tiba-tiba kembali muncul setelah sekian lama, suara yang datangnya dari dalam jiwaku, jiwa yang selalu ingin memberontak.
“ah, sudahlah. Aku sudah pasrah. Aku sudah capek. Mungkin memang sudah beginilah jalan takdirku.”
“tolol! Kau tidak boleh pasrah seperti itu! Kau bukanlah sebuah wayang yang tiada berdaya sama sekali! Kau bukanlah pula sebuah wayang yang bisa dipermainkan seenaknya oleh Sang Dalangmu itu! Kau punya kehendak dan kemauan! Kau bisa protes kepada Sang Dalangmu itu! Kau pun juga bisa berontak kepada Sang Dalang yang telah memberikanmu peran seperti ini dalam hidupmu!”
“ah, sudahlah! Dalangku ini sangatlah jauh berbeda sekali dari dalang-dalang yang lain.”
“ah, kenapa kau sekarang jadi pecundang dan pengecut seperti itu!”
“terserah kau mau bilang apa tentang diriku ini”
“ya sudah kalau begitu, aku hanya ingin bilang bahwa kau tidaklah sama dengan wayang-wayang itu, kau bukan wayang………kau bukan wayang……kau bukan wayang…..!!!!”
Tiga kata itu terdengar begitu menggema berulang-ulang di telingaku, menggema keras sekali, dan terus menggema hingga akhirnya kedua mataku ini tak terasa sudah terpejam, lelah dan capek aku, larut dan lelap dalam tidur aku.

***

Aku cocokkan alamat rumah itu dengan alamat yang diberikan oleh seorang tua itu dengan seksama.
“hmmm, tidak salah lagi. Ini pasti rumah seorang tua itu. Hmm, benar-benar rumah yang kaya akan budaya jawa.”
Setelah benar-benar yakin bahwa rumah joglo itu adalah rumah seorang tua itu, aku beranjak melangkah ke depan pintu masuk rumah dan mengetuk pintu.
Seorang tua dengan badan sedikit bungkuk membukakan pintu.“monggo, bade kepanggih bapak nggih? Monggo pinarak, Mas. Dientosi sekedap nggih? Kulo haturaken teng bapak rumiyin.”1 Ucap seorang tua bungkuk itu dengan logat dan tingkah laku yang sangat sopan sekali. Ah, pemandangan seperti inilah yang membuatku selalu kangen dengan kota budaya Jogjakarta.
Aku layangkan pandangan mataku ke sekeliling ruangan.
“ah, banyak sekali wayang-wayang yang terpajang di dinding. Apakah seorang tua itu juga seorang dalang?”
Tak lama kemudian, seorang tua bungkuk itu kembali muncul dengan membawakan beberapa makanan kecil dan dua cangkir teh hangat.
“monggo, Mas. Dicicipi lan diunjuk.”2 Ucapnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan saja.
“nuwun sewu, Mas. Menopo Mas sampun dangu kepanggih kalihan Pak Ki Gendeng Pewayangan?”3 tanya seorang bungkuk itu yang membuatku benar-benar terkejut.
Ya, aku benar-benar terkejut dengan pertanyaan seorang bungkuk itu. Bukankah aku datang ke rumah ini untuk menemui seorang tua itu? Tapi, kenapa dia bertanya soal Ki Gendeng Pewayangan itu? Jj..jj…jangan-jangan rumah ini adalah rumah Ki Gendeng Pewayangan? Dan, ah, jj…jj…jangan-jangan seorang tua itu adalah ….
Belum habis rasa terkejutku, tiba-tiba seorang tua itu sudah duduk di hadapanku. Lalu menyuruh seorang tua abdi dalemnya yang bungkuk itu meninggalkan kami berdua. Ah, kapan datangnya seorang tua itu? Kenapa aku tidak melihatnya? Kenapa dia tiba-tiba saja sudah berada di hadapanku?
“jangan terlalu terkejut seperti itu, anak muda. Kau datang kesini memang untuk menemuiku, bukan?” tanya seorang tua itu seolah bisa membaca kecamuk dalam benakku.
Aku mengangguk pelan.
“itu berarti kau datang kesini juga untuk menemui Ki Gendeng Pewayangan yang kau bilang sangat luar biasa sekali dalam memainkan wayang-wayangnya itu.”
aa…aa…apa? Jadi seorang tua ini adalah Ki Gendeng Pewayangan itu? Ah, benarkah? Ah, selama ini aku memang hanya bisa menyaksikan Ki Gendeng Pewayangan dari arah belakang saja ketika dia sedang mempermainkan wayang-wayangnya. Belum pernah sekalipun aku melihat mukanya secara langsung.
“kau tak usahlah sangsi seperti itu, anak muda. Aku tahu kau belum pernah melihat wajahku sebelumnya, karena itulah saat pertunjukan wayang itu aku berani menampakkan sukmaku disampingmu.”
Ah, jadi waktu itu, Ki Gendeng Pewayangan bisa menjadi dua? Yang satu sedang mempertontonkan kelihaian memainkan wayang, dan yang satu lagi sedang berada disampingku?
“anak muda, bukankah sudah pernah aku bilang kepadamu bahwa setiap kali aku sedang memainkan wayang-wayangku itu, akal dan kesadaranku hilang sesaat, sukmaku melayang, jasadku menjadi kosong sehingga jiwa-jiwa dari wayang-wayang itu merasuk ke dalam jasadku. Karena itulah orang-orang bilang kalau aku seperti sedang kesetanan dan kerasukan ketika sedang memainkan wayang-wayang itu. Karena itulah kau bilang kalau aku benar-benar menjiwai dan meresapi setiap lakon wayang yang sedang aku mainkan. Dan, karena itu pulalah, saat itu kau melihat diriku sedang tampil di atas panggung dan juga melihat diriku ada disampingmu.”
Ah, seorang tua itu selalu saja tahu apa yang sedang ada dalam benakku. Ah, seorang tua ini memanglah Ki Gendeng Paweyangan, seorang dalang mahir yang juga terkenal denga kesaktian dan daya linuwihnya.
“aku tidak punya kesaktian atau pula daya linuwih apapun, anak muda. Aku hanyalah manusia biasa sepertimu yang kebetulan saja dianugerahi sedikit kelebihan oleh Sang Pencipta.”
Ah, kau dengar itu. Seorang tua itu kembali bisa tahu apa yang ada dalam benakku. Ah, kalau begitu, tak ada gunanya aku berbenak-benak.
“baiklah, kalau begitu. Apa gerangan Ki Gendeng Pewayangan menyuruhku datang kesini?”
“aku ingin melihatmu memainkan wayang-wayang itu,”jawabnya sembari menunjuk deretan wayang-wayang yang ada di pojok kanan ruang tamu,”aku dengar aku juga mahir memainkan wayang.”
“apa? Darimana Ki Gendeng Pewayangan mendengar omong kosong seperti itu? Aku bahkan sama sekali tidak bisa memainkan wayang, Ki. Aku hanya suka saja.”
“itu bukan omong kosong, anak muda! Aku mendengar sendiri dari diriku. Sekarang, cobalah kau mainkan wayang-wayangku itu. Aku ingin menyaksikannya.”
Ah, aku semakin bingung dengan ucapan Ki Gendeng Pewayangan barusan. Semakin bingung aku dengan semua ini.
“sudahlah, anak muda! Tak usah kau berbingung-bingung seperti itu. Ayo, mainkan saja wayang-wayang itu.”
Dan, entah darimana datangnya keberanian itu. Tiba-tiba aku seolah memberanikan diri begitu saja menuruti pemintaan Ki Gendeng Pewayangan, memainkan deretan wayang-wayang yang ada di pojok kanan ruang tamu itu. Dan, entah pula darimana datangnya kemampuanku itu, tiba-tiba aku merasakan diriku ini seperti halnya seorang dalang sekelas Ki Gendeng Pewayangan yang memainkan wayang-wayang itu dengan penuh penghayatan jiwa. Ah, aku sendiri heran kenapa tiba-tiba aku bisa mamainkan wayang-wayang itu dengan sebegitu lihainya seperti Ki Gendeng Pewayangan.
Aku mainkan setiap lakon dari wayang-wayang itu dengan penuh pengahayatan. Aku dendangkan dialog-dialog antara wayang-wayang itu dengan penuh penjiwaan suara. Ah, aku benar-benar terpesona dengan diriku sendiri. Ya, aku terpesona dengan kelihaianku dalam memainkan wayang-wayang itu.
“ah, bagus sekali, anak muda! Teruskan! Teruskan, anak muda! Kau memang sangat lihai sekali memainkan wayang-wayang itu ternyata.” Ucap Ki Gendeng Pewayangan.
Ah, iya. Saat ini, aku memang dengan lihainya sedang memainkan wayang-wayang itu, tapi aku tidaklah sedang merasakan keberadaan diriku disitu. Aku merasa bukanlah diriku sendiri yang memainkan wayang-wayang itu, melainkan ada sesuatu yang lain yang telah merasuk ke dalam jiwaku yang membuat diriku secara sekejap bisa mahir memainkan wayang-wayang itu. Ah, adakah sukma dari Ki Gendeng Pewayangan telah merasuk ke dalam jiwaku?
“teruskan, anak muda! Teruskan! Aku kagum dan bangga sekali dengan kau, anak muda! Teruskan!” Ki Gendeng Pewayangan terus saja menyuruhku untuk terus memainkan wayang-wayang itu.
Dan, aku? Ah, aku merasa sudah tak sadarkan diri. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku merasakan diriku seperti sedang kesetanan dan kerasukan memainkan wayang-wayang itu dengan penuh semangat seolah saja aku sedang ditonton oleh ribuan orang.
“tt….tt….tapi? aa…aa…apa yang sedang terjadi sebenarnya sekarang?!!”
Tiba-tiba aku terperanjat kaget, tersadarkan diri ketika aku tidak lagi bisa menggerakkan wayang-wayang itu sama sekali. Ah, bukan! Bukan begitu! Lebih tepatnya wayang-wayang itulah yang tidak mau digerak-gerakkan dan dimain-mainkan seenaknya oleh diriku.
Aku semakin terperanjat kaget tak percaya hingga diliputi perasaan merinding ketakutan ketika wayang-wayang itu, wayang-wayang yang ada di ruang tamu itu saling beterbangan melayang-layang di langit-langit ruangan itu. Ketakutanku semakin bertambah ketika ku dengar wayang-wayang itu bisa berbicara lantang. Ya, wayang-wayang itu sedang protes lantang kepadaku. Wayang-wayang itu sedang lantang berdemo kepadaku.
“aku bukan wayang, anak muda!!!” ucap sebuah wayang yang sedang melayang-layang di samping atas kananku dengan lantangnya.
“aku juga bukan wayang, anak muda!!!” ucap sebuah wayang yang sedang melayang-layang di samping atas kiriku dengan lantangnya.
“aku pun juga bukan wayang, anak muda!!!” ucap sebuah wayang yang sedang melayang-layang tepat di depan atas mukaku dengan lantangnya.
“kami bukan wayang, anak muda!!! Kami bukan wayang yang bisa seenaknya kau permainkan begitu saja. Kami juga punya kehendak untuk bergerak sendiri, anak muda!!! Kami juga bisa memberontak anak muda!!! Kami bukan wayang, anak muda!!! Kami bukan wayaaaannnnggggg….!!!” Ucap wayang-wayang itu dengan lantangnya, melayang-layang mengelilingi diriku yang semakin menggigil ketakutan. Pekik suara wayang-wayang itu terdengar menggema memekakkan telingaku.
Aku semakin merinding, menggigil dingin penuh ketakutan ketika ku tatap segerombol wayang-wayang yang melayang-layang di atas langit-langit ruangan mengelilingi dan mengerubuti diriku itu bersiap-siap hendak menukik tajam ke arahku yang ku rasakan kini sudah lemas pasrah tiada berdaya, seperti halnya segerombolan burung elang yang bersiap-siap hendak menukik tajam memangsa seekor ayam yang sudah tiada berdaya sama sekali.
“apakah kalian semua hendak membunuhku?” tanyaku lirih pasrah kepada wayang-wayang yang melayang-layang di atasku itu.
“Ya!” jawab salah satu dari mereka.
“apa salahku?” tanyaku, suaraku terdengar serak.
“baaahhhh!!! Kau tanya apa salahmu, anak muda! Kau telah dengan seenaknya sendiri memainkan kami semua! Kau telah dengan seenaknya sendiri melemparkan tubuh kami semua kesana kemari! Kau telah dengan seenaknya sendiri mempertarungkan diantara kami semua! Dan, sekarang, saatnya kami semua memperlakukan kau seenaknya, anak muda! Serbuuuu…..!!!! bunuuuuhhhh…..!!!!!” salah satu dari mereka terdengar memberi aba-aba.
Ah, tubuhku benar-benar lemas tak berdaya sama sekali mendengar teriakan ‘bunuuuuhhhh….!!!!!’ itu. Akankah aku akan mati konyol di tangan wayang-wayang itu. Aku hanya bisa memejamkan mata pasrah ketika wayang-wayang itu sekonyong-konyong menyerbu berbondong-bondong menukik ke arahku.
“buuuggghhh….! Pletaaaakkk….! Buuuggghhh! Pletaaaakkk…! Buuuggghhh…! Pletaaakkk…!”
Dengan mata terpejam, aku sama sekali tidak merasakan serangan wayang-wayang itu menyentuh diriku sedikitpun. Hanya suara-suara gaduh seperti suara pukulan dan suara barang yang berjatuhan ke lantailah yang aku dengar.
Ku buka mataku. Ku lihat wayang-wayang itu jatuh bergelimpangan di lantai. Sementara tepat di depan mataku, berdiri membelakangiku Ki Gendeng Pewayangan, dan berujar,”kalian semua tetaplah wayang-wayang biasa. Kalian semua tetaplah wayang-wayang yang hanya bisa bergerak atas kehendakku saja. Karena akulah dalang kalian yang sesungguhnya, bukan anak muda di belakangku ini!” ujar Ki Gendeng Pewayangan kepada wayang-wayang yang sudah tergeletak berserakan tak berdaya di atas lantai ruangan itu.
Sementara aku, ku rasakan pandangan mataku semakin memutih kabur, lalu gelap, sama sekali gelap. Dan, tak berapa lama kemudian, mataku kembali terbuka. Aku terbangun dan menemukan diriku sedang terbaring di atas amben tua peninggalan kakek nenek angkatku.
“ah, aku baru saja bermimpi rupanya,”ucapku lirih,”tapi, mimpi itu sungguh bermakna sangat dalam bagiku untuk mengarungi kehidupan yang serba tidak menentu ini, kehidupan yang serba tidak pasti ini, kehidupan yang serba tidak bisa diprediksi. Hanya Tuhan sajalah yang tahu dan menetukan arah kehidupan ini, karena Dialah Sang Dalang Kehidupan di dunia ini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar