NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Gila Nasionalis

Gila Nasionalis

Namanya Muhammad, Muhammad saja, tidak ada embel-embel tambahan lain di belakangnya seperti Muhammad Yamin, atau Muhammad Hatta, atau Muhammad siapalah terserah kalian, tapi yang jelas namanya cuma Muhammad saja, titik. Tapi, meskipun begitu, semenjak dirinya merantau dari Sumatra kuliah ke pulau jawa, teman-temannya lebih sering memangilnya ‘Alex’.
“kok kamu bisa dipanggil ‘alex’ sih?, bukankah nama kamu yang sebenarnya Muhammad?”
“sebenarnya aku sendiri yang membuat mereka memanggilku ‘Alex’, soalnya setiap aku kenalan dengan orang, aku selalu memakai nama ‘Alex’.”
“kenapa gak memakai nama aslimu saja? Kenapa juga orang tuamu hanya memberimu nama ‘Muhammad’ saja?”
“kamu kan tahu, Nabi Muhammad itu kan sangat disegani sekali baik oleh kawan maupun lawan, beliau juga sosok pemimpin yang adil, lebih mementingkan kepentingan umatnya daripada kepentingannya sendiri, atau istilahnya kalau zaman sekarang beliau itu adalah sosok yang paling nasionalis di jagat raya ini, tidak ada yang bisa menandingi jiwa nasionalis beliau. Kamu tahu kan hadits beliau yang berisi bahwa seandainya fatimah, putriku mencuri, maka akan aku potong tangannya. Itu menunjukkan bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang berjiwa nasionalis sejati, bukan seperti para pemimpin kita sekarang, ngakunya aja nasionalis, tapi seandainya sanak kerabatku tersangkut kasus korupsi, akan aku suruh KPK untuk tidak mengusiknya, dan membersihkan kembali namanya. Nah, dari situlah aku mengambil kesimpulan bahwa orang tuaku mengharapkan diriku untuk meneladani sifat nasionalisme beliau Nabi Muhammad. Sebelum aku bisa meneladani sifat beliau, aku akan tetap memakai nama ‘Alex’.”
Ah, lagi lagi nasionalis. Apa pun tema yang sedang kami perbincangkan, bisa-bisanya si Alex itu menggiring kami ke arah nasionalis. Yah, begitulah dia, semenjak dia memborong buku-buku nasionalis klasik ‘Di bawah Bendera Revolusi’ karya Bung Karno dan buku-buku nasionalis klasik lainya karya Pitut Soeharto-Drs. Zainoel Ihsan yang merupakan kumpulan karangan pilihan dari tokoh-tokoh Angkatan Perintis Pergerakan Nasional serta pejuang-pejuang nasionalis lainnya sebelum kemunculan Bung Karno itu sendiri, kapan saja, dimana saja, dan siapa saja pasti dia ajak diskusi seputar nasionalis itu. Ah, memang buku adalah sarana yang paling efektif untuk merubah cara pandang dan pemikiran seseorang. Betapa tidak, orang sebelum dia memborong buku-buku klasik itu, toh si Alex hanyalah pemuda biasa-biasa saja layaknya pemuda-pemuda kebanyakan lainnya di negeri ini yang kerjaannya hanya cangkrukan di warung kopi saja tiap hari, ngobrol gak jelas sana-sini, lalu sesekali bersiul-siul ngegodain cewek yang kebetulan lewat di depan mereka. Ah, bagaimana mau maju negara ini jika kebanyakan mahasiswanya kerjaannya begitu semua.
Lain ceritanya setelah dia melahap buku-buku naionalis klasik itu, seolah-olah terjadi renaissance dalam otaknya. Setiap kali dia berkongkow-kongkow sama teman-temannya, setiap itu pula dia selalu mengajak diskusi teman-temannya tentang nasionalis, sampai teman-temannya pun keheran-heranan melihat perubahan pada dirinya. Ah, bukan perubahan, tapi lebih tepatnya revolusi. Ya, revolusi pada dirinya. Kadang mungkin saking semangatnya dan telah saking merasuknya isi buku-buku klasik itu, dia seolah tak kenal waktu, situasi, dan kondisi selalu saja ngomong soal nasionalis itu, sehingga membuat teman-temannya sedikit jengah juga. Saking jengahnya mereka mendengar celoteh nasionalis si Alex, mereka kadang mencibir,”hare gene ngomong nasionalis!”.
Ah, tapi tetap saja dia cuek dengan omongan orang lain, tetap saja dia bersikeras untuk menyebarkan konsep nasionalismenya itu, layaknya seorang nabi yang sedang menyebarkan ajaran agamanya. Kadang aku sendiri di buat heran olehnya ketika dia mengajak diriku jalan-jalan tanpa arah dan tanpa tujuan, lalu ditengah perjalanan kami berhenti di tempat parkir becak, kemudian dengan gayanya yang sok sudah akrab, dia asyik berceloteh dengan para tukang becak itu, sembari menyebarkan ajaran nasionalismenya.
“Gimana ni, Pak, kabar negara kita?”
“ah, sama saja, Mas, dari dulu gak pernah berubah, yang kaya makin kaya, yang miskin ya terima sajalah nasibnya. Kasus-kasus korupsi juga gak pernah diusut tuntas, kalaupun toh ada yang diusut, pasti uangnya juga gak bakalan balik, kalaupun balik, paling juga gak ada separonya.”
“Seandainya para pejabat kita itu benar-benar menanamkan jiwa naionalisme dalam-dalam di hati mereka, saya yakin mereka akan enggan untuk mencuri uang Negara.”
“nasionalis apa, Mas, hari gini sampeyan kok ngomong nasionalis. Mereka yang diatas saja gak pernah memikirkan kita, mending kita juga mikirin diri sendiri saja, Mas, gak usah sampeyan repot-repot mikirin negara yang sudah semprawut ini.”
Dia tampaknya kecewa dengan tanggapan tukang becak tadi. Lalu dia pun mengajakku berlalu begitu saja meninggalkan seorang tukang becak itu, melanjutkan perjalanan tanpa arah kami, entah kemana, sampai akhirnya kami berhenti di sebuah kedai kopi tempat kawan-kawan mahasiswa asyik berdiskusi. Dan, seperti biasanya, dengan gayanya yang sok akrab, dia mulai ikut berdiskusi dengan kawan-kawan mahasiswa itu.
“Hallo, kawan-kawan! Salam Reformasi! Hidup Demokrasi”
“Salam Reformasi! Hidup Demokrasi!”
“Bagaimana kawan, apa kabar negara kita sekarang?”
“ah, sama saja kawan, bukannya tambah sembuh tapi tambah parah saja penyakitnya. Bahkan, kawan-kawan mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change, malahan sekarang sudah saling berantem sendiri hanya soal perbedaan bendera organisasi kemahasiswaan, bukannya justru malah bersatu demi mencapai satu tujuan bersama, yaitu Reformasi dan Demokrasi. Ah, kayaknya pergerakan-pergerakan mahasiswa sekarang sudah tidak murni lagi, sudah banyak di latarbelakangi semangat chauvinisme bendera organisasi mereka.”
“seandainya kawa-kawan mahasiswa itu, benar-benar menanamkan dalam-dalam jiwa nasionalisme di hati mereka, gak bakalan lagi ada yang namanya pertikaian antar kawan-kawan mahasiswa sendiri.”
“ah, kau ini, hare gene ngomong soal nasionalisme, nasionalisme tai kucing!. Nasionalisme itu cuma ada di bibir doang. Banyak sekali kawan-kawan mahasiswa yang lain yang dulunya begitu idealis dan nasionalis, namun ketika telah terjun ke dunia percaturan politik, lalu melihat tumpukan uang, akan dengan sendirinya luntur jiwa idealis dan nasionalisnya.”
Dia kembali kecewa dengan tanggapan seorang kawan mahasiswa itu. Lagi, lalu dia pun mengajakku berlalu begitu saja meninggalkan seoang kawan mahasiswa itu, kembali melanjutkan perjalanan kami yang tanpa arah, sampai akhirnya kami berhenti di sebuah warung makan mewah, yang kebetulan disitu juga tampak seorang pria setengah baya yang kami kenal sebagai pejabat dan tokoh politik kawakan negari ini.
“hallo, Pak, bagaimana kabarnya?”
“ah, baik-baik saja, Mas”
“terus, bagaimana kabar negara ini, Pak, apakah juga baik-baik saja seperti bapak?”
“ah, kalau negara kita itu selalu saja buruk kabarnya, bahkan makin hari makin buruk saja. Kawan-kawan pejabat juga sudah tidak lagi memperjuangkan nasib rakyat, seperti yang digembar-gemborkan oleh mereka sebelum menjadi pejabat, tapi malah saling gontok-gontokan sendiri memperjuangkan nasib partai masing-masing.”
“Seandainya para pejabat itu benar-benar menanamkan jiwa nasionalisme dalam-dalam di hati mereka, saya yakin mereka tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti sekumpulan anak kecil yang sedang berebutan permen, gontok-gontokan memperjuangkan nasib partai mereka sendiri, justru mereka akan sadar dan bersatu demi mengatasi berbagai masalah yang melilit negeri ini, serta masih akan selalu ingat akan obral janji-janji mereka kepada rakyat sebelum menjadi pejabat.”
“ah, kau pemuda baru kemarin sore, jangan sok ngomong nasionalis segala lah di depanku.”
“maaf, Pak, saya bukan pemuda kemarin sore, tapi saya pemuda hari ini, dan hari esok.” sanggahnya dengan menukil salah satu judul buku nasionalis klasik yang telah dibacanya.
“ah, kau tahu apa tentang nasionalis, hare gene kok ngomong nasionalis, naionalis zaman sekarang itu sudah rontok menjadi nasionalis kepartaian.”
Kembali dia kecewa dengan tanggapan seorang pejabat itu. Lalu, mengajakku berlalu begitu saja.
Ya, begitulah dia, setiap kali dia gagal menyebarkan ajaran nasionalismenya, dia akan segera pergi begitu saja meninggalkan orang-orang yang mencibir konsep nasionalismenya. Lalu memohon kepada Tuhan semoga berkenan menumbuhkan jiwa nasionalisme kembali di hati mereka. Ah, dia layaknya seorang nabi saja yang gagal menyadarkan kekafiran umatnya, lalu memohonkan ampun kepada Tuhan agar berkenan menuntun mereka ke jalan yang benar.
Lalu, kami pun berlalu kembali melanjutkan perjalanan kami yang tanpa arah sebelum akhirnya kami merasa letih dan lelah lalu berhenti berteduh di bawah sebuah pohon beringin yang begitu besar.
“sudahlah, kawan, kau tak usah lagi melakukan hal yang sia-sia seperti ini, toh aku yakin sebenarnya mereka pun juga masih punya jiwa nasionalisme.”
“ah, kau kini sama saja dengan mereka. Jiwa nasionalisme seperti itu hanya akan muncul ketika negara ini dalam keadaan di serang atau di jajah secara fisik oleh bangsa lain. Namun, sekarang ini kita tidak sedang dijajah secara fisik oleh bangsa lain, tapi negara kita ini sedang dijajah secara non fisik dalam bidang ekonomi, pendidikan, budaya, moral dll. Dan, mereka benar-benar telah berhasil menjajah kita. Faktanya sekarang negara kita benar-benar tergantung dengan bantuan dan belas kasih negara lain, rakyat kita seolah enggan untuk memakai produk-produk dalam negeri, dunia pendidikan kita sekarang lebih percaya kepada para ahli luar negeri daripada yang berasal dari dalam negeri kita sendiri, kau masih ingat kalau dulu kita itu mengekspor guru ke Negara tetangga Malaysia dan Singapura, tapi sekarang justru kita yang belajar kepada mereka. Kau lihat budaya anak-anak ABG dan pemuda zaman sekarang, kiblat moral mereka sudah bukan lagi moral bangsa ketimuran, moral bangsanya sendiri, tapi ukuran moralitas pemuda zaman sekarang adalah moralitas orang barat yang mengagung-agungkan kebebasan yang sebebas-bebasnya itu. Kebebasan yang bukannya bertangung jawab, melainkan kebebasan yang kebablasan.”
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala mengiyakannya saja.
“kau lihat pohon beringin ini?!”. Dia kembali melanjutkan celotehnya,”Negara kita ini layaknya sebuah pohon beringin ini. Pangkalnya umpama keputusan bulat yang mufakat. Ranting, daun, cabang dan buah itulah hasil yang dijalankan oleh pemerintah negara kita ini. Akar umpama rakyat lapisan bawah yang menyalurkan aspirasi dan suaranya. Sementara cabang itu umpama mereka yang berada di lapisan atas yang bertugas menampung aspirasi dan suara mereka itu untuk kemudian diwujudkan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara ini yang merupakan buahnya itu sendiri.”
Ah, sejak saat itu, dia semakin hari seolah semakin gila saja. Kini, setiap hari dia selalu saja pergi ke tempat pohon beringin itu. Berceloteh sendirian disana, berdiri dengan gagahnya berorasi lantang tentang nasionalis sendirian disana layaknya seorang Bung Karno yang sedang menyampaikan pidato kemerdekaan. Ketika dia merasa lelah, dia baru kemudian duduk, tapi, tidak dengan bibirnya, bibirnya sama sekali tidak merasa lelah sedikitpun untuk berceloteh sendirian tentang nasionalisme. Meskipun orang-orang yang berlalu lalang di depannya menganggapnya sudah tidak waras lagi, tapi dia tetap tidak peduli dengan anggapan orang-orang itu.

“sudahlah, kawan. sedang apa kau ngomong sendirian disini?. Apakah kau tidak malu dengan orang-orang yang menganggap dirimu telah menjadi gila?”
“ah, kau sama saja dengan mereka. Kau juga telah menganggapku gila bukan?! Ah, peduli amat dengan mereka, mereka saja sama sekali tiada pernah peduli denganku dan semua konsep nasionalismeku. Biarkan saja mereka menganggapku gila, padahal justru mereka sendiri yang telah gila. Lagian siapa bilang aku hanya ngomong sendirian disini? Apakah kau tidak melihat orang-orang di sekelilingku ini? Kau lihat mereka, ada Dr. Wahidin Soedirohusodo, Dr. Soetomo, Goenawan Mangunkusumo, S. Suryaningrat, H. Samanhoedi, H.O.S Cokroaminoto, bahkan Bung Karno dan Bung Hatta juga ada. Kami semua sedang berdiskusi untuk mencari solusi terbaik atas berbagai problema yang menjerat bangsa ini.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah sekelilingnya, seolah memang benar-benar ada keberadaan mereka disitu.
“maksudmu apa, kawan?! sama sekali tidak ada siapa-siapa disini, kecuali kau dan aku. Ayolah, kawan, lebih baik kita pulang saja.”
“apa?! Kau sama sekali tidak melihat keberadaan mereka?! Kau ini orang Indonesia atau bukan?! Kenapa kau meniadakan mereka?! Apakah kau sama sekali tak tahu kalau mereka itu adalah para pejuang nasionalis kita yang telah bersusah payah menyelamatkan negeri ini dari belenggu penjajah?! Ah, kawan, kau memang sudah tidak ada bedanya dengan orang-orang yang menganggapku telah gila itu. Ah, bangsa macam apa ini?! Sama sekali tidak menghargai jerih payah para Perintis Pergerakan Kemerdekaan Nasional Negara ini. Ah, biarkan saja semua orang di bumi pertiwi ini menganggapku gila, karena aku ini memang telah gila. Aku telah gila akan nasionalis. Aku memang telah Gila Nasionalis, aku Gila Nasionalis, aku Gila Nasionalis…!!!”.
Teriaknya dengan begitu lantang sebelum akhirnya dia berpuisi…





SINAR SETITIK CITA1

Gelap konon masa depan
Di tengah caci…hardik bangsanya sendiri
Cekaman jiwa lama nian
Tiada bebas ulah tingkah
Tabah…pintamu
Kuat…do’a kau mohon kepada Tuhan
Bila…bila…lepas dari jeratan krisis ini
Gerbang terpancang…Negara yang jujur dan adil idaman
Konon Indonesia belah sudah
Jauh nian ikatan persatuan
Namun enggan menyerah kalah
Satu…bangkit kembali…engkau dambakan
Tapak…setapak…selangkah
Satu…dua…tiga…meraih
Satu…satu…himpun tak kenal jerih
Lukisan persatuan…tercipta buah…
Secercah bakti kau pahatkan
Himpun…satu…satu…maju
Gelap…batin tertekan selalu
Nikmat…dapatkan setitik sinar di kegelapan
Ya…dikau penyumbang sejarah
Rintihan ikhtiar di tengah cobaan
Darah mendidih…sudah…
Mimpikan…idamkan Negara yang jujur dan adil
Manusia di atas manusia
Martabat luhur hilang sudah
Pertiwi kering…terhisap…lelah
Penjajah bangsa penindas bangsa sendiri

Benak berdenyut usaha
Hati meronta-ronta
Jasmani menggigil sudah
Inginkan…penjajah lari…enyah
Wahai perintis bangsaku
Jerih…korbanmu…terbayang selalu
Di sini terpampang nama…cintamu
Bangga…nikmat…tuk anak cucumu


Untuk sobatku Muhammad‘Alex’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar