NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

CINCIN

CINCIN

Langit senja tampak begitu indah. Di seberang lautan, matahari sore kan terbenam terlihat begitu mempesona mata yang memandangnya. Segerombolan burung sore yang kan segera pulang ke sarang mereka, seolah saja tampak terbang melintasi sang surya yang sebentar lagi akan tenggelam di balik hamparan lautan biru yang luas.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…!”. Kumandang suara adzan maghrib terlantun indah dari masjid sebelah. Masyarakat sekitar tampak segera bergegas memenuhi panggilan suci itu. Tua dan muda, setelah mengambil air wudhu di rumah mereka masing-masing, dengan tenang dan khidmat, melangkahkan kaki-kaki mereka menuju baitullah. Sungguh langkah-langkah ibadah. Wajah mereka terlihat begitu cerah. Terpancar aura berseri-seri, aura wajah-wajah calon penghuni surga-Nya kelak. Yang pria tampak tampan dan berwibawa di balik kopyah, baju koko, dan balutan sarung yang mereka kenakan. Yang wanita tampak cantik dan anggun di balik kerudung mukena dan busana sholat yang mereka pakai. Wajah mereka tertunduk sambil dengan penuh kekhusyu’an melangkah menuju masjid. Ah, alangkah sopannya para calon bidadari surga ini. Tak ketinggalan pula, anak-anak kecil dengan riangnya berlari menuju ke arah suara adzan, menuju tempat wudhu di masjid, berkecipak kecipuk disitu sambil masih dengan riang bercanda dengan teman-teman sejawatnya, membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap sebagian kepala, diakhiri dengan membasuh kedua kaki. Lalu segera mereka bergegas menempati barisan sholat bersama para jama’ah yang lainnya.
‘Allahu Akbar, Allahu Akbar…! Lailahaillallah…!”. Muadzin terdengar menyudahi lafal adzan. Beberapa saat kemudian, tampak pria setengah baya dengan balutan surban hijau di kepalanya serta jubah putih panjang yang dia kenakan, melangkah dengan penuh khidmat dan wibawa ke arah paling depan. Ustadz Husein Al-Munawwar namanya. Nama yang indah, seindah akhlaknya yang sinarnya terpancar ke sekelilingnya. Karena itulah, beliau sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat sekitar. Jika tidak ada halangan, beliaulah yang selalu diminta untuk menjadi imam sholat di masjid itu.
Muadzin segera mengumandangkan iqomah. Para jama’ah segera beranjak berdiri menyusun dan meluruskan barisan sholat. Lalu segera mereka menunaikan sholat. Imam terdengar melantunkan ayat-ayat suci al-qur’an dengan tartil dan indah menyejukkan jiwa, seolah menyihir hati para jama’ah di belakangnya untuk khusyu’ menghadapkan jiwa raga mereka kepadaNya. “Dan celakalah bagi orang-orang yang sholat, yaitu mereka yang lalai dalam sholatnya”,”Dan sesungguhnya sholat yang khusyu’ itu bisa mencegah kejelekan dan kemunkaran”.
Betapa sebuah pemandangan yang menyejukkan jiwa yang menyaksikannya. Mereka bersujud, dan seluruh alam raya pun ikut pula bersujud.

***
Sementara itu, dari arah tak begitu jauh dari masjid, terlihat sebuah pemandangan yang sangat begitu kontras. Tampak seorang pemuda berpenampilan kusut dari ujung rambut sampai ujung kaki, berjalan sempoyongan menuju serambi masjid. Sesekali dia terjatuh, tiada mampu menjaga keseimbangan tubuhnya, layaknya anak balita yang baru mulai beranjak belajar berjalan. Mulutnya sedari tadi ngomel-ngomel tidak jelas ngelantur kesana kemari. Sesekali dia terdengar mengumpat-umpat sendiri lalu tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. Tangannya tampak menggenggam sebotol miras. Pemuda itu sedang mabuk. Aroma alkohol begitu menyengat tercium dari mulutnya. Matanya kelihatan memerah. Wajahnya sebenarnya cukup tampan, namun tampak kusut seiring dengan penampilanya yang kusut pula. Ada sedikit kerutan di wajahnya, tapi bukan kerutan tua seperti yang terlihat pada wajah-wajah orang yang sudah cukup berumur. Pemuda itu tampaknya sedang memendam sebuah beban duka yang mendalam. Mungkin karena itu pula dia lari ke minuman keras. Namun, sesampainya di serambi masjid, dia lalu duduk terdiam, terpaku menundukkan wajahnya.

***
Seperti biasanya, sehabis memimpin jama’ah sholat maghrib, Ustadz Husein menyampaikan ceramah keagamaan kepada jama’ah sembari menunggu waktu sholat isya’ tiba.
“Jama’ah sholat maghrib rahimakumullah, Allah SWT berfirman bahwa sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Orang yang sabar senantiasa berada dalam naungan rahmat Allah. Allah Maha Pengasih, Allah Maha Penyayang. Allah memberikan cobaan kesulitan kepada kita bukan berarti Allah tidak sayang kepada kita, tetapi justru karena Allah sayang kepada kita dan ingin meningkatkan derajat keimanan kita dengan menurunkan cobaan kesulitan itu kepada kita. Allah Maha Tahu siapa sebenarnya hamba-hambaNya. Allah lebih tahu sejauh mana kemampuan kita dari pada diri kita sendiri. Allah tidak mungkin memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita. Percayalah, dan yakinkanlah selalu di hati anda semua, bahwa Allah lebih Maha Tahu segala-galanya. Di balik segala musibah ini pasti ada hikmah tersembunyi yang hendak Allah sampaikan kepada kita….”
Belum sempat Ustadz Husein hendak melanjutkan ceramahnya, tiba-tiba saja jama’ah dikejutkan oleh datangnya seorang pemuda dari arah belakang dengan sebotol minuman keras di tangannya. Seolah tanpa mempedulikan sama sekali keberadaan para jama’ah disitu, pemuda itu melangkah maju begitu saja ke arah persis di depan Ustadz Husein menyampaikan ceramahnya.
“Wahai Ustadz…! Engkau salah. Engkau sama sekali tidak tahu menahu dengan apa yang kau ucapkan itu. Engkau sama sekali tidak tahu menahu tentang siapa Allah. Allah itu tiadalah Maha Pengasih. Allah tiadalah Maha Penyayang kepada kita, ustadz…! Hiiikkss…!”. Teriak si pemuda sambil sesekali sesenggukan akibat pengaruh minuman syetan yang dia tenggak.
Mendengar ucapan si pemuda, seperti mendengar suara petir menggelegar saja bagi para jama’ah disitu. “Astaghfirullaaaahhh…!”. Sebagian ada yang spontan beristighfar, lalu menasehati pemuda tadi untuk juga beristighfar dan mencabut kembali apa yang dia ucapkan barusan. Sebagian juga ada yang langsung berdiri dengan penuh emosi sembari melaknat dan menyumpah serapahi pemuda tadi. Suasana pun menjadi semakin gaduh. Namun, dengan penuh ketenangan dan kewibawaannya, Ustadz Husein meminta seluruh jama’ah untuk tetap tenang dan tidak terpancing emosi atas ucapan pemuda tadi.
“Ya, akhii…! Wahai saudaraku, apa gerangan yang membuat dirimu berujar seperti itu?”
“Ustadz, Ustadz…! Hiiikkksss…! Betapa dungunya engkau, Ustadz! Apakah kedua matamu telah terbutakan oleh kehormatan yang kau dapat? Apakah kedua telingamu telah tersumbat oleh berbagai pujian yang dilayangkan kepadamu? Tidakkah kau melihat nasib rakyat kecil di negeri ini? Mereka hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan, dan segala bentuk penindasan. Sementara para pejabat dan orang kaya tak berperikemanusiaan itu tidur dengan nyaman di istana mereka yang megah, di halaman berjejer mobil-mobil mewah. Tidakkah kedua matamu melihat kenyataan yang begitu timpang itu, Ustadz?! Tidakkah pula kau mendengar jerit tangis perih jiwa dan batin mereka? Sementara para pemerintah dan pengusaha kaya raya tak berperikemanusiaan itu dengan seenaknya sendiri merampas hak-hak mereka, menyengketa tanah-tanah mereka, menggusur rumah-rumah mereka. Tidakkah kedua telingamu mendengar jeritan itu, Ustadz?! Dimana kasih sayang Allah, ya Ustadz?! Dimanaaaa…???!!!”. Teriak pemuda itu. Matanya tampak sedikit berkaca-kaca, seolah hatinya tersentuh oleh perkataannya sendiri. Ustadz Husein menangkap sekelumit kesyahduan di mata pemuda itu. Hatinya mengatakan bahwa sebenarnya pemuda ini masih berhati nurani, namun goretan di wajahnya menunjukkan sebuah beban psikologis sangat berat yang membuat jiwanya guncang gundah gulana, dan Ustadz Husein menyadari akan hal itu.
“Engkau benar, wahai saudaraku. Begitu banyak kezaliman di negeri tercinta kita ini. Tapi, itu bukan berarti Allah sama sekali tiada mengasihi dan menyayangi kita. Sama sekali tidak, wahai saudaraku. Allah lebih tahu apa yang Dia kehendaki dari pada kita. Allah seolah memberikan pemandangan berbagai kezaliman dan ketidakadilan di negeri kita ini sebagai teguran kepada para pejabat lainnya, kepada para orang kaya lainnya, kepada para penegak hukum lainnya yang masih berhati nurani untuk tergerak bersama-sama melawan berbagai bentuk ketidakadilan itu, serta berbagi dan menolong para rakyat miskin itu. Hidup itu adalah suatu keseimbangan, itulah jawabannya, saudaraku. Kasih sayang Allah tidak diwujudkan secara langsung spontan, tapi Dia wakilkan kepada kholifah-kholifahNya di bumi, yaitu manusia-manusia yang berjiwa sosial, berhati nurani, dan bertaqwa kepadaNya.”
“Ah, engkau terlalu banyak beretorika ya Ustadz! Kenapa Allah tidak langsung saja memusnahkan mereka-mereka yang bejat itu di negeri ini ya ustadz?! Itu tandanya Dia sudah tidak sayang lagi sama kita. Kenapa Allah membiarkan bencana tsunami meluluhlantakkan tanah aceh tercinta kita ini? Kenapa Allah membiarkan mayat-mayat bergelimpangan di tanah serambi mekkah ini dan membiarkan mereka yang selamat menangis pedih terampas kebahagiaannya bersama keluarga mereka dan orang-orang yang dicintainya, kehilangan rumah dan harta benda mereka, kenapa ya ustadz? Kenapa bukan Jakarta itu saja yang telah jelas-jelas begitu banyak kemaksiatan, kebiadaban, dan kemunafikan tumbuh subur disitu, kenapa ya ustadz? Karena Tuhan sudah tiada peduli lagi dengan kita, Tuhan sudah tiada, ya ustadz! Tuhan telah mati ditelan bencana tsunami itu sendiri…!!! Hiiikkksss…!!!”. Ujar pemuda itu panjang lebar, membuat para jama’ah disitu seolah kembali mendengar petir di siang bolong. Suasana pun kembali gaduh, mayoritas jama’ah terpancing emosi atas ucapan pemuda itu. Namun, Ustadz Husein kembali menghimbau para jama’ah untuk tetap tenang, karena dia merasa tahu siapa sebenarnya pemuda aneh yang ada di hadapannya itu.
“Wahai saudaraku, astaghfiruka ilallah. Aku mohonkan ampun kepada Allah atas dirimu. Wahai saudaraku, aku tahu sebenarnya masih ada cahaya di hatimu. Namun, kulihat jiwamu sedang terguncang. Cabutlah kembali ucapanmu itu, saudaraku. Tuhan itu Maha Kekal. Tuhan itu Maha Hidup. Tuhan sama sekali tiada kan pernah mati. Engkau telah terasuki paham setan merah komunis itu, wahai saudaraku. Istighfarlah! Ucapkanlah syahadat kembali, saudaraku.”
“Ha…ha…ha…! Hiikkss…! Engkau tahu apa tentang komunis ya ustadz? Kau sama sekali tidak tahu apa-apa tentang komunis. Kau hanya terlalu banyak membaca buku-buku keagamaan saja ya ustadz, sementara kau lupa untuk membaca buku yang sebenarnya, yaitu alam raya sekitarmu ini. Iqra’…iqra…iqra’…ya ustadz! Bacalah…bacalah…bacalah…ya ustadz! Bacalah kenyataan hidup di Negara kita ini, jangan hanya kau baca buku-buku keagamaanmu itu saja ya ustadz! Hiikkss…! Wahai Ustadz, seandainya aku ini berpakaian sepertimu, lalu duduk di tempat yang kau duduki itu, kemudian aku berceramah tentang hal-hal yang baik menurut agama, maka aku pun akan dianggap suci dan dihormati layaknya mereka menghormatimu. Tapi, jika aku berkoar tentang berbagai ketidakadilan dan penindasan, kau sebut aku komunis. Tahu apa kau tentang komunis, ya Ustadz?! Ha…ha…ha…! Hiikkkss…! Wahai alam raya, kau lihat…! Lihatlah…! Betapa masih banyaknya pemuka agama di negeri ini yang belum mampu membaca dirimu, belum mampu membaca kenyataan hidup yang sebenarnya! Mereka hanya mampu membaca buku-buku keagamaan saja, mereka hanya mampu berceloteh dan berceramah saja! Hai, Ustadz! Kalau cuma ceramah begituan saja, semua orang juga bisa ya ustadz!”
“Masya Allah! Istighfarlah anak muda! Jangan kau biarkan dirimu disesatkan oleh iblis yang sedang mengguncang jiwa dan imanmu itu!”
“Wahai ustadz, bukankah Tuhanmu, Allah, telah berfirman bahwa Barang siapa yang Allah telah memberi hidayah kepadanya, maka tiada pernah dia kan tersesat, sebaliknya barang siapa yang Allah telah menyesatkannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Apa maksud ayat itu ya Ustadz, apaaa…?! Kenapa Allah seolah tidak adil. Kenapa satu sisi Dia memberi hidayah kepada hambaNya, tapi disisi yang lain justru membiarkan hambaNya tersesat, kenapa harus seperti itu ya Ustadz, kenapaaa…?!”. Teriak pemuda itu. Ucapan pemuda tadi membuat hati Ustadz Husein tersentuh, membuat dia semakin bertanya-tanya siapa sebenarnya pemuda di hadapannya itu, serta membuat dirinya sedikit memeras otak untuk mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan yang dilontarkan pamuda itu barusan. Namun, belum sempat Ustadz Husein mengemukakan jawabannya, tiba-tiba seorang jama’ah yang sedari tadi sudah terpancing emosinya, melangkah mendekat ke arah pemuda itu sambil menggenggam sebuah benda keras di tangannya, tampaknya sebuah kayu pemukul bedug masjid, dan sesaat kemudian, “Buuuggg…!!!” sekali pukul tapi begitu kerasnya seorang jama’ah tadi mengarahkan pukulannya tepat di bagian tengkorak belakang kepala pemuda itu. Dan, seketika pemuda itu roboh, sejenak matanya masih terbuka, menatap kerumunan orang di sekelilingnya, namun tampak berkunang-kunang, samara-samar, dan akhirnya gelap, sama sekali gelap. Pemuda itu tak sadarkan diri.

***
“Abdullah, nanti sore kamu antar si fikri ke Madrasah ya?” Ustadz Husein berkata kepada pemuda yang dipanggilnya Abdullah itu.
“Baik, ustadz.” Pemuda yang dipanggil Abdullah itu mengiyakan saja. Pemuda itu sebenarnya bukanlah bernama Abdullah, namun semenjak dia terkena pukulan benda keras di bagian belakng kepalanya, dia seolah menjadi lupa ingatan. Dia sama sekali lupa akan siapa dirinya yang sebenarnya, bahkan dia pun sama sekali tidak tahu menahu peristiwa yang membuatnya pingsan, lalu terbaring di rumah sakit selama satu minggu, dan akhirnya setelah siuman dia benar-benar telah lupa ingatan. Dan, sekarang kira-kira sudah hampir satu bulan lebih lamanya pemuda itu tinggal bersama keluarga Ustadz Husein. Dilihat dari segi pribadi, perilaku, dan kehidupan sehari-harinya selama ini, Ustadz Husein sama sekali tiada menyangka bahwa pemuda itu adalah pemuda yang pernah menghebohkan seluruh jama’ah nasjid waktu itu. Bahkan masyarakat sekitar pun yang pernah dibuatnya naik pitam gara-gara ucapan-ucapan nyelenehnya sama sekali seolah tak percaya bahwa dialah pemuda dulu itu, karena pribadinya yang santun dan ramah yang membuatnya cepat akrab dan berbaur dengan masyarakat sekitar. Pemuda itu sama sekali lain dulu lain sekarang. Di mata Ustadz Husein, Abdullah adalah tipe pemuda yang cerdas, bahkan berpendidikan jika dilihat dari ucapan dan pemikiran-pemikirannya sewaktu di saat-saat senggang Ustadz Husein iseng mengajaknya berdiskusi seputar topik yang sedang hangat dibicarakan di negeri ini. Selain itu, Abdullah adalah sosok pemuda yang religius, cukup mendalam ilmu agamanya, dan fasih membaca al-qur’an. Sifat-sifat itulah yang membuat Ustadz Husein bertanya-tanya siapa sebenarnya gerangan pemuda itu.
***\

Pagi itu langit begitu cerah. Matahari pun bersinar terang seperti biasanya. Suasana sejuk pagi masih terasa menyelimuti. Embun pagi juga masih tampak sejuk menempel di atas rumput dan dedaunan. Di lain kesempatan, seorang gadis dengan balutan busana muslimahnya, sepagi ini sudah terlihat duduk termangu di kebun belakang rumah. Wajahnya yang ayu, tampak semakin anggun dibalik jilbab putih yang dia kenakan. Kedua bola matanya yang mungil nan indah menatap kosong ke depan tertuju ke arah bunga-bunga yang pagi itu mulai tampak bermekaran dengan indahnya. Namun, di balik ayu wajahnya ternyata tersimpan sebuah trauma kesedihan yang mendalam.
“Nissa’, kok pagi-pagi sudah melamun sih sayang, kita ke dalam saja yuk, bibi sudah buatin roti bakar sama susu hangat kesukaanmu.”
Nissa hanya geleng-geleng kepala saja tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Dia masih saja terpaku di tempatnya. Kedua bola matanya masih saja menatap kosong ke depan ke arah bunga-bunga yang sedang mulai bermekaran itu serta kupu-kupu yang hinggap terbang di atasnya. Entah apa yang ada di benaknya sepagi itu.
Nissa adalah nama panggilannya. Nama aslinya adalah khoirunnisa’. Kedua orang tuanya memberinya nama itu dengan harapan agar kelak dia benar-benar menjadi sebaik-baiknya wanita. Namun semenjak musibah tsunami melanda tanah aceh yang telah merenggut jiwa seluruh keluarganya, dan seorang Luthfi Hakim Maulana, seorang Sarjana S1 Studi Ilmu Al-qur’an Al-Azhar University Cairo, tunangannya sekaligus seorang yang begitu dia cintai dan kagumi, seorang yang telah mengajarkannya banyak ilmu-ilmu keagamaan, seorang yang telah mengajarkannya banyak ilmu kehidupan, seorang yang telah membuat hidupnya terasa sempurna, semenjak itu pula jiwanya seolah terguncang, seolah lenyap tak berbekas begitu saja segala apa yang telah diajarkan oleh Luthfi Hakim Maulana, kekasihnya yang begitu sangat dia cintai itu. Seorang dokter bilang dia mengalami trauma mendalam yang menyebabkan jiwanya mengalami tekanan psikologis yang berat. Meskipun dia masih bisa melakukan segala aktifitas pribadi sehari-harinya sendiri sebagaimana orang-orang normal lainnya, namun kesehariannya lebih banyak dia habiskan dengan duduk diam termangu sendirian. Bahkan sampai sekarang pun dia sama sekali tiada pernah menjalin komunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya. Dia gila, tapi sebenarnya dia tidak. Dia bisu, tapi sebenarnya dia juga tidak. Suatu ketika dia berniat hendak bunuh diri, namun niat buruknya itu dipergoki oleh paman iparnya, H. Salman, suami dari pada bibinya. Hj. Zulaikha. Bersama keluarga itulah Nissa sekarang tinggal. Paman dan bibinya sangat menyayanginya layaknya putri mereka sendiri karena kebetulan mereka tidak dikaruniai keturunan.

***
Jam dinding menunjukkan pukul 10.00 malam. Namun Ustadz Husein dan Abdullah tampak masih berbincang-bincang di teras rumah. Dari raut wajah mereka, tampaknya mereka sedang membicarakan suatu hal yang cukup serius.
“Jadi, kau benar-benar sama sekali belum ingat siapa sebenarnya dirimu, padahal sudah sebulan lebih kira-kira kau tinggal bersamaku setelah peristiwa malam itu.”
“Iya, Ustadz. Saya sudah mencoba untuk mengingat masa lalu saya, tapi tetap saja tidak bisa. Saya benar-benar telah lupa ingatan total, Ustadz. Bahkan, seandainya Ustadz tidak menceritakan penyebab pingsannya saya, saya sama sekali tidak akan ingat kejadian yang menyebabkan saya lupa ingatan seperti ini. Ah, saya benar-benar merasa hina, Ustadz. Kenapa saya bisa bertindak bodoh seperti itu, kenapa saya bisa terjerumus kedalam minuman keras. Kenapa saya sampai menyangsikan kasih sayang Allah, bahkan saya telah meniadakanNya. Ya, Allah betapa besarnya dosa hambaMu yang hina dina ini”. Kedua mata Abdullah tampak berkaca-kaca menyesali perilaku bodohnya waktu itu.
“Sudahlah, nak Abdullah. Waktu itu jiwamu sedang terguncang. Dan, manusia tetaplah manusia yang kadang-kadang bisa berbuat khilaf karena melemahnya iman. Yang paling penting kau kini telah benar-benar menyesali segala perbuatanmu itu dan benar-benar bertaubat sepenuhnya kepada Allah. Allah Maha Pemurah lagi Pengampun segala dosa hamba-hambaNya selama hamba-hambaNya itu benar-benar bertaubat sepenuhnya. Oh iya, kulihat kau mengenakan sebuah cincin di jarimu. Tampaknya sebuah cincin pertunangan. Barangkali saja cincin itu bisa mengingatkanmu akan masa lalumu sekaligus siapa dirimu yang sebenarnya”
Abdullah menatap tajam-tajam cincin itu, cincin yang sebenarnya sudah cukup lama melekat di jarinya namun dia sendiri sama sekali tak menghiraukannya. Bahkan Ustadz Husein sendiri, yang selama ini selalu mencoba untuk mengembalikan ingatannya, baru kali ini menyinggung soal cincin itu. Sejenak, Abdullah seolah merasa pernah mengenal, bahkan sangat mengenal cincin itu. Dan, aneh, tiba-tiba saja alam bawah sadarnya seolah mengantarkannya kembali ke suatu masa yang pernah dilaluinya. Masa-masa bahagia yang tersimpan dalam sebuah cincin yang dikenakannya itu.
“Nak…,nak Abdullah, kok malah bengong.” Ustadz Husein menepuk bahu Abdullah yang sedari tadi tampak termangu cukup lama menatap cincin itu,”kau tidak apa-apa kan?”
“Ah…ustadz, i…i…iya, saya baik-baik saja kok, Ustadz.” Jawab Abdullah sekenanya sedikit terperanjat kaget.
“Ya sudah kalau begitu. Sudah malam, saya sudah mulai merasa ngantuk. Saya mau istirahat.”
“Iya, ustadz.”
Malam semakin larut. Tapi, Abdullah masih saja tampak terjaga. Pikiran dan jiwanya masih saja terasa melayang dituntun oleh cincin itu entah kemana ke suatu masa tertentu. Namun, segalanya masih tampak samara-samar, hanya bayangan-bayangan sekejap masa lalunya saja yang sesekali muncul. Meskipun begitu, hal itu sedikit membantu untuk menguak siapa sebenarnya dirinya.
Dan, malam pun tampak segera beranjak dini hari. Abdullah masih saja terasa sulit untuk memejamkan mata, bukan karena dia tidak lelah ataupun tidak mengantuk sama sekali, tapi kenangan yang masih samara-samar di balik cincin itulah yang membuatnya tidak bisa tidur. Sesaat kemudian, dia putuskan untuk mengambil air wudhu, menunaikan sholat hajat dan sholat tahajjud, berdo’a memohon petunjuk kepada Allah akan siapa sebenarnya dirinya.
Selesai sholat, dia bersujud merendahkan diri di hadapan kemahaagungan Allah, memanjatkan do’a, memohon ampunan serta memohon petunjuk dariNya.
“Ya Allah ya Rabbi, Robbana dholamna anfusana fa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin. Ya Allah, betapa besar dosa hambaMu yang hina dina ini, betapa hambaMu yang hina dina ini telah menyangsikan kasih dan sayang Mu, betapa hambaMu yang hina dina ini telah lancang meniadakanMu. Ya Allah ya Rabbi, hambaMu yang hina dina ini mohon ampun atas segala dosa, dan hamba mohon ya Allah, berikanlah hamba petunjuk akan siapa diri saya yang sebenarnya. Ya Allah ya Rabbi, ighfirli…ighfirli…ighfirli…ihdinashshiratalmustaqim shiratalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhu bi ‘alaihim waladhdhallin. Amin ya rabbal ‘alamin.”
Abdullah begitu larut dalam do’anya. Sampai tiada terasa hatinya menggerimis, matanya berkaca-kaca, air matanya menetes, lidahnya terasa kelu, bibirnya bergetar tiada lagi mampu tuk sekedar memanjatkan do’a, hanya hatinya yang terus menerus memanjatkan do’a, memohon ampunanNya, serta mohon petunjuk dariNya. Dalam larut sujudnya, jiwa Abdullah seolah melayang-layang ke suatu tempat sampai akhirnya dia dapati dirinya tersungkur di tempat itu, dia lalu bangun, sesaat dia memalingkan muka silau akan pancaran cahaya di depannya.
“wahai Abdullah, janganlah kau palingkan mukamu itu. Biarkan Nurku ini menyinarimu.”
“Ta…ta…tapi, si…si…siapa dirimu gerangan, wahai Nur?”
“Aku adalah dirimu Abdullah. Aku adalah pancaran dari Nur suci dalam jiwamu. Hatimu suci Abdullah, karena itulah Allah telah berkenan mengampuni dosa-dosamu.”
“Ta…ta…tapi, dosaku sangatlah begitu besar, wahai Nur!”
“Allah maha lebih tahu apa yang sebenarnya ada dalam hati dan jiwa hamba-hambaNya, Abdullah. Dia lebih tahu apa yang ada dalam hati dan jiwamu. Dan, satu lagi, Abdullah, kau akan segera mendapat petunjuk akan siapa sebenarnya dirimu.”
“Si…si..siapa sebenarnya diri saya, wahai Nur?”
Sekejap Nur itu lenyap dari hadapan Abdullah. Lalu berubah menjadi sebuah pemandangan yang mengerikan sekaligus mengharukan. Di hadapannya seperti terpampang sebuah layar lebar yang menampilkan sesosok gadis berjilbab yang sedang menyusuri pantai yang dipenuhi oleh mayat-mayat yang bergelimpangan. Dan, dia, Abdullah, mendapati dirinya sendiri disitu berada dalam kondisi sekarat di bawah tindihan mayat-mayat yang lainnya. Hati dan kedua matanya menggerimis menyaksikan seluruh keluarganya sudah tiada bernyawa semuanya. Sementara gadis berjilbab itu seolah masih saja menyusuri mayat-mayat yang bergelimpangan tak beraturan itu. Bibirnya tampak berulang kali memanggil-manggil nama seseorang. Ya, gadis berjilbab itu sedang meneriakkan nama seseorang yang sedang dia cari-cari. Dan, nama itu terdengar akrab di telinga Abdullah, akrab, bahkan sangat begitu akrab. Namun, bukan Abdullah nama yang berulang kali diteriakkan oleh gadis itu, bukan, sama sekali bukan Abdullah. Lalu siapa?. Siapa yang sedang dicari oleh gadis itu?. Dan, gadis itu, gadis berjilbab itu, Abdullah merasa pernah mengenalnya pada suatu masa tertentu. Tapi, siapa sebenarnya gadis itu?. Ah, kenapa pula wajahnya masih tampak samara-samar?. Dan, ah, kenapa gadis itu tiba-tiba berteriak histeris, lalu pergi begitu saja. Ah, apakah karena dia tidak menemukan seseorang yang dicari-carinya. Ataukah karena orang yang dicarinya itu telah mati di telan bencana tsunami?. Tapi, ah, kenapa hati Abdullah berbisik bahwa dialah yang dicari oleh gadis berjilbab itu?. Lalu, kenapa gadis itu pergi begitu saja?. Bukankah dirinya masih hidup tertimbun di balik gelimpangan mayat-mayat yang lainnya?. Ah, tapi siapa sebenarnya gadis berjilbab itu?.
“Nak…,nak…,nak Abdullah!”, terdengar suara Ustadz Husein dari arah luar pintu kamar Abdullah yang membuatnya tergeregap dari mimpi anehnya,”bangun nak, sudah masuk waktu subuh”.
***
Pagi itu Abdullah menikmati sejuknya udara pagi sendirian. Pikirannya masih tertuju pada mimpi aneh yang dialaminya semalam, sebuah mimpi yang berawal dari rasa penasarannya akan cincin yang melekat di jarinya itu. Pagi itu ia sengaja sendirian berjalan menyusuri indahnya dan sejuknya suasana jalanan di pagi hari. Dia memang sedang membutuhkan kesendirian untuk coba memahami makna di balik mimpinya. Namun, sejauh kakinya melangkah, segalanya masih saja tampak samar. Dia sama sekali tidak bisa menerka-nerka siapa sebenarnya gadis berjilbab dan nama seseorang yang berulang-ulang kali diteriakkannya itu. Samar, samar, dan masih saja semuanya tampak samar. Hingga akhirnya perutnya terasa lapar. Sesaat dia melihat kedai kopi dan roti bakar di seberang jalan. Lalu dia pun berniat untuk mampir sarapan disitu. Namun, ketika dia hendak menyeberang dia sama sekali tiada tahu menahu bahwa dari arah kanannya sebuah mobil tampak melaju dengan cukup kencang. Dan, “ccciiitttt…”, terdengar bunyi rem mobil yang mendadak, si pengemudi tampak sudah tidak mampu lagi mengontrol laju mobilnya. Sementara dua perempuan dalam mobil itu, salah satunya yang duduk di jok belakang berteriak histeris, lalu “ buugghhh…!”. Mobil menabrak. Massa segera berdatangan hendak menolong. Pengemudi tampak panik. Sejenak dia tampak mengeluarkan handphone dari saku celananya, menekan tombol-tombol,dan berbicara dengan raut wajah tergesa-gesa. Sesaat kemudian, bunyi suara ambulance terdengar menderu-deru. Dan, korban yang terkapar tak sadarkan diri segera diangkut ke rumah sakit.

***
“Begitulah, Pak, kira-kira kejadiannya. Sekali lagi saya mohon maaf dan mengakui segala kekhilafan saya. Biarlah dari pihak saya yang menanggung segala perawatannya.” H. Salman tampak begitu menyesal dan meminta maaf kepada Ustadz Husein.
“Sudahlah, Pak, namanya juga musibah, pastinya tidak ada seorang pun dari kita yang menginginkan musibah itu terjadi. Allah pasti hendak memberikan hikmah di balik semua ini.” Jawab Ustadz Husein
“Terima kasih, Pak, sekali lagi saya benar-benar meminta maaf telah membuat putra bapak harus terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit.”
“Pemuda itu sebenarnya bukan putra kandung saya, Pak. Tapi dia sudah saya anggap seperti anak saya sendiri.”
Perbincangan mereka terhenti ketika seorang dokter mendekati mereka.
“Bagimana keadaannya, Dok?”. Tanya Ustadz Husein segera ingin tahu, sementara sang dokter tampak sedikit menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya dia menjawab.
“Kondisinya cukup stabil. Tapi…” Dokter terdengar menahan ucapannya.
“Tapi apa, Dok?” tanya Ustadz Husein penasaran.
“Tapi, benturan kepalanya ke aspal tampaknya bisa menyebabkannya lupa ingatan.”
“Tapi, Dok, sebelum kecelakaan ini terjadi dia sama sekali sudah hilang ingatan total, Dok.”
Dokter tampak mengernyitkan keningnya, seolah berpikir sejenak, lalu melepas kacamatanya, sebelum akhirnya berhipotesa.
“Berarti ada kemungkinan ingatannya akan kembali pulih seperti sedia kala.”
Dokter berlalu meninggalkan Ustadz husein, H. Salman, Hj. Zulaikha, beserta keponakannya Nissa’. Kecelakaan itu terjadi bermula dari keinginan Nissa’ yang minta diantar jalan-jalan menikmati indahnya pemandangan laut di pagi hari. Namun, naas menghampiri mereka, belum sempat mereka sampai ke tempat tujuan, mobil yang dikendarainya menabrak seorang pemuda yang tak lain dan tak bukan adalah Abdullah.
Mereka berempat tampak segera memasuki kamar pasien dimana Abdullah terbaring terkulai tak berdaya. Ustadz Husein, yang berada di barisan terdepan, segera membukakan pintu. Abdullah tampak masih terbaring pingsan dengan bantuan infus di pergelangan tangannya. Sementara itu, H. Salman dan Hj. Zulaikha tampak saling pandang mengekspresikan rasa seolah tak percaya melihat sosok pemuda yang terbaring di hadapannya itu. Dan, nissa?. Dia?. Dia terperanjat, begitu terperanjat, seolah tiba-tiba sadar dari tidur panjangnya. Seperti halnya H. Salman dan H. Zulaikha, dia juga seolah sama sekali tidak bisa percaya bahwa sosok pemuda yang sedang terbaring tak berdaya itu adalah kekasihnya, tunangannya, yang tak lain dan tak bukan adalah Luthfi Hakim Maulana, yang dia anggap telah lama tiada ditelan musibah tsunami yang melanda tanah aceh waktu itu. tapi, sebuah cincin itu, ya, sebuah cincin yang melekat di jari pemuda itu, membuat Nissa yakin dan percaya bahwa pemuda itu adalah Luthfi Hakim Maulana. Luthfi Hakim Maulana masih hidup. Sesaat semangat hidup Nissa seolah seluruhnya kembali dalam sekejap, kedua matanya berbinar, berkaca-kaca, ada sedikit rasa haru bahagia disana. Namun, tiba-tiba saja dia sekonyong-konyong roboh jatuh pingsan tak sadarkan diri.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar