NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Nyanyian Hati Tanah

Nyanyian Hati Tanah


“ Hai, kawan! Bagaimana kabarmu?. Sudah sangat lama sekali kita tiada pernah berjumpa, kawan!. Ah, kawan! tapi ada apa dengan dirimu gerangan? Kenapa kau kini tampak begitu kurus kering seperti ini?. Sedang sakitkah dirimu, kawan? ataukah kau sedang menghadapi suatu masalah yang begitu pelik selama ini?. Ah, tapi kawan, bukankah setahuku kau selama ini hidup di daerah ibu kota itu?. Bukankah disana manusia – manusianya pada hidup makmur semua?. Aku lihat banyak sekali mobil – mobil mewah berjejer disana. Aku lihat begitu banyak bangunan gedung – gedung megah disana. Aku lihat keglamoran setiap malam disana. Bukankah itu semua menunjukkan bahwa manusia – manuisa ibu kota itu hidup makmur sejahtera?. Ah, tapi kawan! ada apa dengan raut mukamu itu? Kenapa dengan auara wajahmu itu?. Ah, kawan, wajahmu…wajahmu, kawan, wajahmu memancarkan kegersangan yang sangat. Bukankah di ibu kota itu banyak sekali berdiri perusahaan – perusahaan raksasa yang menyediakan begitu banyak lapangan kerja? Bahkan saking banyaknya , menyebabkan tingkat kepadatan di ibu kota itu semakin lama semakin meningkat terus, seolah tiada tanah yang tersisa saja di ibu kota itu. Sementra perusahaan – perusahaan itu masih saja membutuhkan area lagi untuk membuka cabang – cabang demi ekspansi imperium perusahaan – perusahaan mereka. Ah, walhasil kawan, apapun mereka lakukan demi ekspansi imperium perusahaan – perusahaan mereka itu. Kau lihat, kawan! rumah – rumah rakyat mereka gusur, tanah – tanah rakyat mereka sengketa dengan paksa. Ah, begitu kejamnya dunia! Ah, bukan, bukan dunia yang kejam, kawan, tapi…tapi, manusia – manusia tak berperikemanusiaan itulah yang begitu rakus dan kejam. Ah, sudahlah kawan! tapi, ada apa dengan dirimu kawan? tiada kerasankah kau tinggal di ibu kota itu? Ataukah barangkali kau juga menjadi korban keganasan manusia – manusia ibu kota itu?. Ayolah, kawan! ceritakanlah kepadaku”.
“ Ah, kawan! pertanyaanmu sebegitu banyaknya. Kau menggelontoriku dengan pertanyaan – pertanyaanmu itu. Kau kini layaknya seorang wartawan saja, kawan!”
“ Ah, kawan! maafkan aku. Kita kan sudah sangat lama sekali tiada pernah bercakap – cakap sepertti ini. Aku rindu kepadamu, kawan!. karena itulah, kawan, aku curahkan segala kerinduanku ini kedalam bentuk pertanyaan – pertanyaan itu. Ah, aku tadi memang terlalu semangat dan menggebu – gebu, kawan!. ah, sudahlah, kawan. Kini, kau ceritakan sajalah kepada kawanmu ini apa yang membuatmu tampak kurus kering dan gersang seperti ini, kawan?!”.
“ Ah, terima kasih, kawan. Kau begitu perhatian akan keadaanku, tidak seperti manusia – manusia ibu kota itu, kawan! ”
“ Ah, ada apa gerangan dengan manusia – manusia ibu kota itu, kawan?!. Apa yang telah mereka lakukan terhadapmu, kawan?!. Kau tampaknya begitu murka dengan mereka, kawan!. Wajahmu memancarkan aura kemurkaan itu, kawan!”
“ Ah, kau memang betul, kawan. Aku memang benar – benar jengkel, marah, murka dengan mereka. Mereka itulah yang telah membuat diriku kurus kering dan gersang seperti yang kau lihat ini, kawan. Mereka dengan seenaknya saja memanfaatkan diriku, mereka mendirikan bangunan gedung – gedung megah di atasku, mereka membangun supermarket – supermarket di atasku, tapi mereka sama sekali tidak peduli dengan kondisiku. Meskipun satu sisi harga diriku semakin mahal dan tinggi di banding harga dirimu yang tinggal di pedesaan, kawan, tapi di sisi yang lain aku merasa tiada ada bedanya dengan seorang pelacur – pelacur ibu kota yang bertarif mahal itu. Ah, tapi, aku pikir para pelacur ibu kota itu lebih baik nasibnya dari pada aku. Mereka menjual harga diri mereka, lalu mereka mendapat uang melimpah dari para lelaki hidung belang yang membookingnya, mereka masih sempat menikmati uang itu, mereka masih bisa merawat kecantikan dan kemolekan tubuhnya dari uang yang diperolehnyua itu. Ah, tapi kawan! coba kau bayangkan, apa yang aku dapat dari manusia – manusia industrialis dan kapitalis itu?!. Mereka toh hanya mencari profit keuntungan belaka dengan memeras sumber dayaku, kawan!. Aku tiada pernah mendapat sepeserpun dari mereka yang telah memeras habis – habisan sumber dayaku. Mereka tiada pernah sedikitpun menyadari bahwa aku ini adalah bagian dari keseimbangan alam raya ini yang harus dijaga dan dilestarikan. Kau lihat kawan!, banjir besar yang melanda sebagian besar wilayah ibukota beberapa waktu yang lalu itu, secara tidak langsung merekalah penyebab semua itu. Banjir itu akibat dari ulah mereka sendiri, dan mereka sendiri pulalah yang menanggung akibatnya. Tapi, meskipun begitu, dalam hati, aku sungguh merasa sangat sedih sekali, kawan!. Aku merasa tiada bisa menolong mereka – mereka yang sama sekali tiada tahu menahu soal penyebab terjadinya banjir itu. Seharusnya aku mampu menyerap luapan air banjir itu masuk kedalam tubuhku. Tapi, bagaimana mungkin aku melakukanya, kawan!, sementara manusia – manusia tak tak tahu diri itu telah memasang paving – paving di atas tubuhku, menjadikan diriku ini kering, keras dan gersang sehingga ketika banjir itu melanda aku sama sekali tiada mampu menyerap luapan air itu. Aku sedih, kawan!, aku benar – benar sedih!. Aku, tanah, yang merupakan bagian dari keseimbangan alam raya ini, ternyata sama sekali tiada berkutik sedikitpun ketika bahaya mengancam keseimbangan alam raya ini, kawan!. Ah, aku benar – benar tiada berguna bagi kelangsungan alam ini, kawan!. Aku sama sekali tiada mampu berbuat apa – apa, kawan!. aku hanya bisa menyaksikan luapan banjir itu menenggelamkan sebagian besar kawasasn ibu kota, mematikan kegiatan perekonomian masyarakat, memakan kerugian miliaran rupiah. Ah, aku sama sekali memang tiada berguna!”
“ Ah, sudahlah kawan!. Kau jangan bersedih seperti itu, kau jangan menyalahkan dirimu sendiri, kawan!. Itu sama sekali bukan salahmu, kawan!, itu salah mereka, itu salah mereka sendiri, kawan!”
“ Ah, terima kasih kawan!. Kau memanglah kawan terbaikku. Ah, kawan, tapi aku benar – benar iri kepadamu kawan!. Kau dulu tampak segar bugar, kini kaupun masih terlihat segar bugar pula seperti sedia kala. Apakah sebegitu nyamankah tinggal di pedesaan, kawan?!. Bukankah yang kudengar dari manusia – manusia ibu kota itu bahwa manusia – manusia di pedesaan itu begitu bodoh, lugu, dan tak berpendidikan pula, sehingga mudah saja bagi para pejabat – pejabat korup itu untuk memanipulasi mereka. Betulkah itu kawan?!. Lalu, jika mereka itu memang bodoh, tapi kenapa mereka masih bisa menjagamu, merawatmu, dan melestarikanmu sehingga kau masih tampak segar bugar seperti ini kawan?!”
“ Ah, kau betul kawan! dan apa yang diucapkan manusia – manusia ibu kota itu memang betul adanya, kawan. Sebagian besar dari mereka memang tidak berpendidikan, tapi setidaknya mereka masih bermoral dan berperikemanusiaan daripada manusia – manusia ibu kota yang katanya intelek dan berpendidikan itu, tapi kenyataanya moral dan perikemanusiaanya sudah terkikis oleh budaya industrialis dan kapitalis. Bahkan, bisa dibilang mereka sudah tiada bermoral lagi sekarang. Manusia – manusia pedesaan itu masih peduli dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Mereka masih peduli menjaga kelestarian, keasrian, dan keseimbangan alam pedesaan mereka. Sekali – sekali, mainlah ke desaku kawan! kau pasti akan takjub melihat indahnya panorama desa. Kau akan menemui pemandangan alam kehijau – hijauan yang begitu menyejukkan mata. Kau akan merasakan betapa sejuk dan segarnya menghirup udara di pedesaan, kawan!”
“ Betulkah seperti yang kau katakan itu suasananya, kawan?!”
“ Ah, kawan! buat apa aku membohongimu. Kalau kau tidak percaya, ayo! Kau ikut kau sekarang juga melihat suasana di desaku!”
“ Ah, kau kawan! baiklah kalau bagitu. Lagi pula aku sudah merasa sangat jenuh sekali melihat suasana ibu kota yang setiap hari bukanya semakin baik, malah semakin tidak karuan saja. Dadaku ini terasa sesak menghirup udara ibu koa yang penuh dengan polusi. Ah, aku benar – benar rindu akan udara sejuk dan segar seperti yang kau ceritakan itu, kawan!”

***
“ Kawan! kau lihatlah hamparan alam kehijau – hijauan itu, adakah aku berbohong kepadamu, kawan?!”
“ Ah, kau benar kawan! sejuk sekali mataku ini memandangnya. Ah, beda sekali dengan pemandangan di ibu kota itu, setiap hari yang ku lihat hanyalah gedung, gedung, dan gedung saja!”
“ Kawan! kau lihatlah aliran hulu sungai itu! Terlihat bening, bersih, dan sejuk bukan?!”
“ Ah, kau benar juga kawan! menyegarkan sekali melihatnya. Ah, sangat berbeda sekali dengan sungai ciliwung itu, kotor, keruh, kecoklatan, dan penuh sampah pula. Ah, membayangkanya saja sudah terasa sangat menjijikkan sekali!”
“ Kawan! sekarang kau hirup dan nikmatilah udara sejuk dan segar disini!”
“ Ah, kau memang benar, kawan! aaahhh…! Betapa sejuk dan segarnya udara di desamu ini. Segar sekaliii…! Sejuk sekali…!. Ah, beda sekali dengan udara di ibu kota itu, merusak paru – paru saja, bikin manusia cepat mati saja. Ah, tapi…tapi, kawan! Ada apa itu disana?! kau coba lihat pemandangan itu! Kenapa para warga di desamu ini terlihat begitu berkerumun ramai, ada apa gerangan sedang, kawan?! ah, kenapa pula manusia- manusia ibu kota itu juga berada di tengah – tengah kerumunan warga desa itu?! Sedang apakah mereka disini gerangan, kawan?!”
“ Ah, aku juga sama sekali tiada tahu menahu, kawan!. Ayo, kita menguping pembicaraan mereka saja, kawan! kita cari tahu sedang tengkar apa meraka gerangan, kawan!”
“ Ayo…!”

***

“ Heeiii…!!! Bapak jangan macam – macam dengan kamiii…!!! Jangan mentang – mentang kami ini hanya orang – orang kampungan yang tiada berpendidikan, lalu bapak – bapak ini mau seenaknya saja mengakali kami, menggusur rumah – rumah kami, menyengketa tanah – tanah kami! Kami semua membangun rumah – rumah kami ini di atas tanah yang sudah menjadi warisan secara turun temurun sejak leluhur kami dulu.sampai sekarang, dan iniii…!!! Lihat iniii…!!! Kami juga punya bukti – bukti surat kepemilikan atas rumah – rumah dan tanah – tanah kami tersebut…!!!”
“ Maaf, bapak – bapak! Kami sama sekali tiada bermaksud menggusur dan menyengketa rumah – rumah serta tanah - tanah bapak semua, kami hanyalah menjalankan tugas dari bapak – bapak berdasi yang berdiri disana itu, mereka baru saja membeli lahan yang ditempati bapak – bapak ini dari seseorang yang juga memiliki bukti – bukti surat kepemilikan tanah lengkap seperti yang bapak – bapak punya. sekali lagi, kami mohon maaf sebesar – besarnya kepada bapak – bapak semua, kami ini hanyalah menjalankan tugas dari atasan kami belaka.”

***

“ Ah, biadab! Kurang ajar! Tak berperikemanusiaan! Kenapa manusia – manusia ibu kota itu kini melakukan ekspansi ke desaku yang sudah sangat begitu asri ini?! Ah, sengketa lagi, sengketa lagi! Ah, lagi – lagi sengketa! Lagi – lagi sengketa! Dan lagi – lagi rakyat kecil yang kalah. Ah, memang negara ini sudah seperti tiada berhukum saja. Berhukum tapi sama sekali tiada berhukum. Ah, lebih tepatnya negara ini memakai konsep hukum rimba, siapa yang lebih kuat, dialah yang menang dan yang berkuasa.”
“ Ah, tapi, kenapa mereka bisa sampai kesini, kawan?! kenapa pula mereka bisa dengan mudah dan seenaknya sendiri menggusur rumah - rumah warga dan memiliki tanah - tanah itu?!”
“ Ah, kau….! kau…! kau jangan sok pura – pura tidak tahu menahu soal itu, kawan! bukankah kau yang menginformasikan kepada mereka bahwa tanah - tanah di desaku ini masih sangat begitu luasnya untuk membangun imperium perusahaan – perusahaan manusia – manusia industrialis dan kapitalis ibu kotamu itu?! Bukankah kau ada di balik semuanya ini, kawan?! kau lakukan ini semua karena kau iri padaku, bukan?!”
“ Tidak, kawan! sama sekali tidak! Aku memang iri dengan nasib baikmu, tapi aku sama sekali tiada pernah berpikir untuk melakukan tindakan bodoh dan konyol itu, kawan! aku tiada sekejam dan serakus manusia – mnusia ibu kota itu sama sekali!”
“ Ah, bukankah lingkungan dimana kita tinggal sangat mempengaruhi pola pikir kita?! kau sudah sekian lama hidup dan tinggal di ibu kota itu, dan kau kini sama saja dengan mereka!”
“ Ah, kawan! janganlah kau menuduhku yang bukan – bukan seperti itu! Percayalah padaku, kawan! percayalah!”\
“ Baiklah! Aku akan percaya kepadamu, tapi dengan syarat, kau juga harus ikut aku mengamuk membabi buta manusia – manusia ibu kota kurang ajar itu! Aku benar – benar telah murka dengan mereka!”
“ Maksudmu kita membuat gempa seperti di jogja kemarin?!”
“ Ya! Aku ingin manusia – manusia angkuh dan sombong itu tahu bahwa mereka tiada apa – apanya dibandingkan dengan kekuatan alam raya ini. Aku ingin merobohkan bangunan gedung – gedung dan perusahaan – perusahaan mereka! Biar mereka juga merasakan bahwa betapa pedihnya jerit tangis rakyat kecil yang rumah dan tanahnya mereka gusur dan sengketa!”
“ Baiklah! Aku juga sangat setuju denganmu, kawan!”


Lalu…
Tiba – tiba tanah bergetar dengan dahsyatnya…
Sebuah gempa besar telah terjadi…
Sebuah kota luluh lantak rata dengan tanah…!!!
Jakartakah itu…???

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar