NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Lelaki dalam pasungan

Lelaki dalam pasungan

Sebuah mobil mercy hitam mewah berhenti tepat di depan sebuah gedung megah yang menjulang tinggi. Seorang office boy terlihat bergegas membukakan pintu mobil mercy itu. Tak lama kemudian seorang lelaki berpenampilan rapi dan necis tampak keluar dari dalam mobil. Usianya memang sudah tidak bisa dibilang muda lagi, namun wajahnya tetaplah memancarkan pesona dan kharisma yang membuat setiap wanita yang memandangnya menjadi bengong terpesona akan ketampanannya. Posturnya yang tinggi dan atletis semakin menambah pesonanya itu dibalik penampilannya yang eksekutif layaknya direktur-direktur perusahaan lainnya.
“Pagi, pak.” Sapa office boy itu dengan sopannya sambil sedikit membungkukkan badan setelah membukakan pintu mobil.
“Pagi juga.” Jawabnya diikuti senyumnya yang ramah.
“Pagi, pak.” Seorang office boy yang lainnya kembali menyapanya dengan begitu sopannya setelah membukakan pintu masuk utama bangunan megah menjulang tinggi yang berada di bawah kendali tangannya itu.
“Pagi juga.” Jawabnya ringan kembali disertai senyumnya yang ramah.
“Pagi, pak.”, “Pagi, pak.”, dan “Pagi, pak.” Semua anak buahnya menyapanya dengan sopan dan hormat. Dan, seperti sebelum-sebelumnya dia pun tetap sudi membalas sapa para anak buahnya itu dengan senyumnya yang ramah dan wajah cerianya. Senyum dan keceriaan yang terasa begitu tulus ikhlas, bukan sekedar senyum dan keceriaan yang dipaksa-paksakan, meskipun sebenarnya dibalik senyum ramah dan keceriaan wajahnya itu, tersimpan sebuah duka lara mendalam di lubuk hatinya.
Memang dimanapun berada, sudah selayaknya dan sepantasnya jika anak buah menghormati sang bosnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh para orang-orang di kantor itu terhadap pria yang satu ini. Namun penghormatan yang diberikan oleh mereka bukan sekedar isapan jempol belaka, bukan sekedar pura-pura belaka lalu dibelakang sang bos mereka justru ngegrundel menjelek-jelekkan sang bosnya itu, dan bukan pula sekedar aksi menjilat dan caper belaka kepada sang bos agar gajinya dinaikkan lah, agar jabatannya dinaikkan lah ataupun agar tidak jadi dipecat. Mereka menghormati pria yang satu ini bukan karena di otak mereka sudah tertulis bahwa dialah bos mereka, tapi karena mereka berpikir pria yang satu ini memang layak dan pantas untuk dihormati bahkan melebihi posisinya sebagai seorang direktur di perusahaan itu.
Dia memanglah seorang yang memegang jabatan tertinggi di perusahaan itu. Namun, tidak seperti perilaku bos-bos perusahaan lainnya yang terkesan sombong dan angkuh, dia tetap bersikap ramah kepada setiap anak buahnya dari yang paling atas sampai yang paling bawah para officeboy sekalipun. Sikap ramahnya itu ditunjukkan dari senyum ramahnya yang tulus kepada siapa saja di kantor itu. Dimata para anak buahnya, dia adalah seorang bos yang begitu peduli dengan seluruh bawahannya tanpa membeda-bedakan jabatan. Dia juga tidak segan untuk sekedar berbaur dan berceloteh ringan dengan para anak buahnya itu. Lagi, dia juga tidak gengsi dan jaim untuk sekedar makan siang bareng dan minum teh bareng dengan para office boy, lalu bercanda tawa dengan mereka melepaskan kepenatan kerja, lalu layaknya seorang bapak yang bersedia mendengarkan segala keluh kesah anak-anaknya, dia pun juga bersedia mendengarkan curhat dan keluh kesah berbagai problema yang dihadapi para anak buahnya itu, bukan hanya masalah yang dihadapi di sekitar kantor saja, tapi juga masalah pribadi yang sedang mereka alami, baik itu masalah ekonomi ataupun masalah keluarga. Dan seperti halnya seorang ayah, dia pun tak sekedar menjadi pendengar setia bagi mereka, tetapi juga memberikan nasehat-nasehat dan masukan-masukan bagi mereka dan bahkan memberikan bantuan materi yang nyata bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.
Karena sikap-sikapnya itulah dia begitu sangat disegani oleh para bawahannya. Dia begitu dihormati bukan hanya sebagai seorang direktur perusahaan, tetapi lebih jauh dari pada itu dia begitu dihormati layaknya seorang anak menghormati bapaknya karena memang sifatnya yang begitu kebapakan dan familiar terhadap semua anak buahnya. Dia selalu menanamkan, menganjurkan dan memberi contoh agar semua elemen di kantornya itu saling menganggap seperti saudara dan keluarga sendiri yang harus saling membantu, tolong menolong dan kerja sama Sifatnya itulah yang membuat suasana di kantor itu serasa seperti suasana sebuah keluarga besar yang rukun dan dialah bapaknya. Begitulah kredibilitas dia sebagai seorang bos di kantor di mata para bawahannya.
Namun, kredibilitasnya di rumah sebagai seorang kepala keluarga, tidaklah setali tiga uang dengan apa yang dia peroleh di kantor dari para anak buahnya itu. Di rumahnya yang juga megah bak istana itu, dia tak lebih dari sekedar seorang suami yang begitu tunduk kepada segala perintah sang istri. Lain di kantor, lain pula di rumah. Di kantor dia dihormati bak seorang raja, namun di rumah dia tak lebih dari sekedar bak seorang laki-laki pecundang yang menjadi pesuruh dan di bawah kendali sang istri. Dia tak lebih dari sekedar seorang lelaki dalam pasungan di rumahnya yang begitu megah bak istana itu.
“Kau memang seorang direktur ternama dan begitu dihormati oleh para anak buahmu. Kau memang seorang direktur yang begitu disegani oleh para klien dan kalangan bisnis negeri ini. Tapi itu diluar. Di rumah ini, akulah yang berkuasa. Akulah yang berhak mengatur segalanya di rumah ini. Dan, kau! Kau tak lebih dari sekedar seorang suami yang harus tunduk dan patuh kepada istrimu ini. Ha…ha…ha…!” ucap istrinya disusul tawanya yang menggema ke seluruh ruangan memekakkan telinga.
Sementara dia, dia hanya bisa geleng-geleng kepala saja melihat tingkah laku istrinya itu. Dia hanya bisa pasrah kepada nasibnya itu, nasib berada di bawah kendali dan keotoriteran sang istri. Karena itu pula, di rumah megah yang bak istana itu, dia lebih sering terlihat akrab bercengkerama dengan para pembantunya. Para pembantunya sering merasa trenyuh dan bahkan menggerimis hatinya melihat perlakuan juragan wanitanya terhadap juragan prianya itu. Kadang mereka memberi masukan kepada juragan pria agar sekali-kali melawan keberingasan juragan wanita.
“Maaf, juragan, bukannya saya berniat lancang mencampuri urusan rumah tangga juragan, tapi saya betul-betul kasihan dan tidak tega melihat juragan diperlakukan seenaknya seperti itu oleh istri juragan.” Kata Pak Soleh yang merupakan sopir pribadinya itu.
“Gak apa-apa kok, pak. Justru saya merasa senang kok, karena itu pertanda bapak peduli dan perhatian sama saya. Tapi? Sudahlah, pak. Dia memang pantas memperlakukan diri saya seenaknya sendiri seperti yang sering bapak lihat. Saya ini toh sebenarnya hanya orang miskin saja sebelum menjadi suami juragan wanitamu itu. Itupun hanya karena tak lebih dari sekedar untuk menyelamatkan mukanya dari aib malu karena hamil tanpa suami meskipun akhirnya dia mengalami gugur kandungan. Dan, itupun juga kebetulan karena saya dianugerahi wajah dan postur yang kata para wanita tampan dan gagah. Seandainya saya ini berwajah jelek dan bertubuh pendek, tidak mungkin dia mau menikah dengan saya, pak.”
“Ooo….” Pak Soleh terlihat mengangguk-angguk.
“Maaf, juragan, saya baru tahu kalau dulunya seperti itu.”
“Gak apa-apa kok, pak. Anggap saja kita semua ini satu keluarga. Dan, anggap saja saya ini sedang curhat kepada bapak, karena bapaklah orang yang paling saya percaya bisa menyimpan baik-baik rahasia ini.”
“Insya allah, juragan. Saya akan berusaha menyimpan baik-baik rahasia ini. Tapi, juragan, bukannya selama ini juragan lah yang berhasil mengembalikan stabilitas dan bahkan mengembangkan bisnis perusahaan warisan almarhum bapaknya juragan wanita? Seharusnya juragan wanita lebih menghargai diri anda kerena jasa anda itu.”
“Bapak benar. Dan, sebenarnya saya juga berpikiran sama seperti bapak, cuma saya masih menunggu waktu yang tepat untuk itu. Maaf, pak, sudah larut malam, saya pengen istirahat. Badan saya sudah terasa capek dan pegel-pegel nih, pak.”
“Oh, iya juragan. Silahkan.”
Lalu lelaki yang dipanggil juragan itu segera berlalu menuju kamarnya. Sementara malam itu hujan turun dengan derasnya. Udara juga terasa dingin menusuk pori-pori kulit. Sesampainya di kamar, dia mendapati istrinya telah terbaring pulas di tempat tidur. Dia sendiri memutuskan untuk tidak langsung tidur, melainkan duduk di atas sofa yang ada di salah satu sudut ruangan kamar itu. Dari arah situ, dia tampak tertegun mengamati wajah istrinya yang terlihat sangat pulas sekali.
“Ah, kau memang cantik. Sangat cantik bahkan. Tapi, sayang, kenapa kau tidak mau lebih sedikit menghargai diriku ini. Bukankah aku ini sudah menjadi suamimu yang sah?” Gumamnya dalam hati.
Lalu dia kembali mengamati tubuh istrinya yang terbaring lelap di atas tempat tidur itu. Pakaian tidur yang dikenakannya sedikit transparan yang membuat lekuk tubuhnya terlihat sehingga menggugah hasrat kelelakiannya. Sementara istrinya yang tidak tahu menahu kalau dirinya sedang diamati oleh suaminya itu, tiba-tiba merubah posisi tidurnya dari yang semula miring ke kiri menjadi miring ke kanan. Bagian bawah pakaian tidurnya tampak sedikit tersingkap setelah itu. Pahanya yang putih mulus pun terlihat dengan jelas.
“Ah, kau memang wanita yang sempurna. Wajahmu cantik dan ayu. Tubuhmu juga indah. Dan, ah, pahamu itu benar-benar putih dan mulus, benar-benar menggugah seleraku.” Gumamnya kembali dalam hati.
Sebagai lelaki normal, siapa yang tidak akan tergugah hasrat biologisnya jika di hadapannya terbaring wanita cantik, bertubuh indah dan bagian bawah pakaian tidurnya sedikit tersingkap. Bahkan wanita itu adalah tak lain dan tak bukan istrinya sendiri yang sah. Namun apa mau dikata. Istrinya toh sama sekali tidak menghargainya. Istrinya toh memperlakukan dirinya dengan seenaknya sendiri. Istrinya toh yang berkuasa di rumah itu. Istrinya telah menjadi seorang ‘suami’ di rumah itu, sementara dia telah menjadi seorang ‘istri’ yang harus patuh pada sang ‘suami’. Segalanya diatur oleh istrinya. Bahkan urusan nafkah bathin pun istrinya yang menentukan. Jangan harap dia bisa menikmati kehangatan tubuh istrinya itu jika bukan istrinya sendiri yang memintanya. Meskipun hasrat biologisnya sudah sedemikian memuncak, dia sama sekali tidak berani untuk langsung ‘menerkam’ istrinya. Atau jika dia nekat, maka justru caci maki dari istrinya lah yang bakal dia dapat. Dan, sebaliknya ketika dia sendiri sedang lelah dan tak berselera, sementara istrinya sedang begitu bergairah, maka dengan seenaknya sendiri istrinya itu akan menyuruhnya menjilati seluruh lekuk tubuhnya yang indah itu, memuaskan nafsu birahinya, menuntaskan hasrat biologisnya sampai menggelinjang-gelinjang dan sampai dia sendiri terbaring lemas di atas tempat tidur.
***
Sore itu langit di atas sana tampak kelabu sama halnya dengan langit di hatinya yang juga entah kenapa tiba-tiba saja berubah menjadi kelabu. Mungkin karena mengingat selama ini dirinya yang merupakan seorang direktur yang begitu disegani seluruh bawahannya itu, ternyata tak lebih dari sekedar sosok lelaki pecundang dan pengecut yang sama sekali tak berkutik di hadapan sang istri. Karena itu pula, sepanjang perjalanan pulang ke rumah dari kantor, yang ada di benaknya adalah bagaimana caranya mengungkapkan segala curahan isi hatinya itu kepada sang istri.
Sesampainya di rumah, dia melihat sang istri tampak sedang duduk santai membaca koran di teras depan rumah. Dia memutuskan untuk duduk di sebelahnya.
“Bagaimana keadaan di kantor?” Tanya istrinya dengan nada dingin.
“Baik-baik saja. Segalanya berjalan lancar-lancar saja selama ini.”
“Baguslah kalau begitu.” Timpalnya dengan dingin tanpa mempedulikan orang yang dia ajak bicara. Matanya terfokus pada sebuah kolom pada surat kabar yang sedang dia baca.
“Ada yang ingin aku omongkan ke kamu.”
“Masalah apa?” Tanya istrinya sambil masih tetap fokus pada membaca surat kabar yang ada di tangannya itu. Seolah mengacuhkan keberadaan orang yang dia tanya begitu saja.
Dan, sebenarnya dia juga sedikit tersinggung karena merasa tidak diperhatikan sama sekali oleh istrinya. Namun akhirnya dia memberanikan diri untuk mengungkapkan segala unek-unek yang terpendam dalam-dalam di lubuk hatinya selama ini.
“Aku merasa selama ini kamu sama sekali tidak bisa sedikit pun untuk lebih menghargaiku sebagai seorang suami.”
“Maksudmu?” Tanya istrinya yang mulai memperhatikan orang yang dia tanya, suaminya.
“Maskudku, aku sadar memang aku bukanlah siapa-siapa sebelum menjadi suamimu. Namun, tidakkah kamu bisa lebih sedikit menghargaiku. Bukankah selama ini aku pun telah berjasa menyelamatkanmu dari aib malu sebagai wanita yang hamil tanpa suami? Dan bukankah pula aku juga telah berjasa menstabilkan bahkan memajukan perusahaan warisan almarhum ayahmu itu? Dan, selama ini aku pikir, dengan lebih banyak diam, dan menuruti saja apa perkataanmu, kamu akan menjadi sadar sendiri serta akan menjadi lebih menghargaiku sebagai seorang suamimu. Tapi, kenyataannya kamu justru malah semakin seenaknya sendiri memperlakukanku, mengaturku bahkan mencacimaki dan mengumpat diriku. Sebenarnya kamu anggap apa diriku ini?” Ungkapnya terus terang dengan nada suara yang sedikit meninggi.
Sementara sang istri tampak kaget mendengar keterusterangan suaminya itu. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah padam menahan marah. Matanya membelalak Dan, sontak dia langsung berdiri dari tempat duduknya sambil berkacak pinggang siap memarahi balik sang suami.
“Oooo…begitu ya? Jadi kamu kini sudah berani melawan saya, gitu? Jadi sekarang kamu sudah berani merasa sok di depanku? Jadi kamu sekarang sudah mulai berani bicara soal jasamu kepadaku selama ini? Dan, kamu pikir aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpamu, gitu? Kamu pikir aku tergantung kepadamu, gitu? Seharusnya kamu pikir-pikir dulu dong kalau bicara! Seharusnya kamu tuch sadar siapa sebenarnya diri kamu itu? Apakah kamu tidak ingat waktu aku memungutmu dari jalanan? Apakah kamu sudah lupa dengan dirimu dulu yang berpenampilan kusut, kumal dan compang-camping dan hanya untuk mencari sesuap nasi saja susahnya minta ampun, kamu harus ngamen kesana-kemari di jalanan dan di tengah terik matahari. Seharusnya kamu bersyukur dengan keberadaanmu sekarang. Dasar laki-laki tak tau diuntung!” Ucap sang istri dengan judesnya sambil menjungkalkan kepala sang suami dengan jari lentik telunjuknya. Lalu berlalu ke dalam rumah begitu saja.
Sementara sang suami yang ditinggalkannya berlalu kedalam rumah begitu saja itu, tampak terdiam seribu bahasa, apa hendak dikata untuk melawan sang istri karena memang begitulah adanya dirinya dulu, seorang gembel jalanan yang tak punya apa-apa bahkan harga diri sekalipun.
***
Mata lelaki itu tampak menatap kosong ke depan ke arah luar jendela kamarnya dimana dia menghabiskan seluruh hari-harinya disitu. Ya, semenjak dia terkena stroke, akibat stress dan tekanan bathin yang begitu berat, yang menyebabkannya lumpuh total, hari-harinya hanya dia habiskan di dalam kamar itu bersama sebuah kursi roda yang setia menemaninya. Matanya tampak berkaca-kaca teringat akan masa lalunya itu. Bibirnya tampak bergetar. Air matanya tak terasa menetes membasahi pipinya yang sudah tampak keriput dan layu. Sejenak, lalu dia memejamkan kedua matanya. Tangan kanannya tampak bergerak menggapai sesuatu yang tergeletak di atas meja di sampingnya. Sebuah pistol. Ya, sebuah pistol berisi dia lekatkan kuat-kuat tepat ke samping kepalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar