NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Bukan Salah ‘Cinta’

Bukan Salah ‘Cinta’


Senja di Pantai Parang Tritis Jogjakarta memang indah, indah sekali hingga bisa membuat hati dan pikiran yang sedang gundah gulana kembali jernih dan tenang. Itulah alasan mengapa aku selalu pergi ke Pantai Parang Tritis ini setiap kali aku merasakan hati ini sedang sedih dan pikiran ini sedang buntu. Duduk di atas pasir pantai disana, menyaksikan ombak laut selatan yang bergulung-gulung dari kejauhan, memandang matahari senja yang memerah padam dimana sesekali burung-burung sore seolah tampak terbang melintas di depannya hendak pulang ke sarang mereka masing-masing.
Hmmm, senja di Pantai Parang Tritis memang sepi. Tak ada lagi kerumunan orang-orang yang sedang berekreasi disana. Tak ada lagi tawa-tawa riang anak-anak kecil yang saling berlarian dan berkejaran di tepian laut dengan sekujur tubuh mereka yang basah kuyup terkena terpaan ombak. Tak ada lagi pemandangan pasangan muda-mudi yang sedang memadu kasih, berjalan bergandengan tangan dengan hati berbunga-bunga menyusuri tepian laut.
Sepi, sepi dan sepi. Namun, suasana itulah justru yang sedang aku inginkan saat ini. Suasana pantai di senja hari yang sepi dan sunyi, hanya terdengar suara melodi hembusan angin sore pantai dan suara deburan ombak yang bergulung-gulung. Suasana sepi dan sunyi alam raya seperti itulah yang aku butuhkan untuk menenangkan hati dan pikiran yang sedang gundah gulana.
“bentar lagi malam, Tom, mending kita pulang aja yuk.” Ajak temenku, Denny. Ya, aku dan Denny memang selalu bersama-sama pergi ke Pantai ini setiap kali salah satu dari kami sedang sedih. Kami berdua memang sahabat akrab yang bisa saling mengerti satu sama lain. Kami sudah saling paham dan mengerti bagaimana caranya menghibur dan menenangkan hati dan pikiran jika salah satu dari kami sedang bersedih.
“entar aja Den, aku masih ingin menikmati suasana alam ini. Aku masih belum puas memandang deburan ombak lautan. Lagi pula, hati dan pikiranku belum tenang betul, Den. Aku ingin menikmati malam kesedihanku di pantai ini, Den. Tapi, kalau kamu pengen pulang dulu, aku gak apa-apa kok sendirian.”
“ah, kamu Tom, nyantai aja kali. Bukankah kamu pernah bilang kalau teman sejati adalah teman yang selalu berada di samping kita dalam suka maupun duka? Tom, jika kamu bersedih, aku pun ikut bersedih. Dan, jika kamu ingin menikmati malam kesedihanmu di pantai ini, aku pun juga.”
Ah, kau memang benar, Den. Teman sejati adalah teman yang selalu ada di kala suka maupun duka. Tapi? Ah, kata-kata itu justru mengingatkan diriku dengan kata-kata yang membuatku bersedih seperti sekarang. Kata-kata manis yang keluar dari bibir merah delima indah seorang gadis bernama Cinta.

***

Di Pantai Parang Tritis ini, Aku dan Cinta, selalu memadu kasih. Bercanda riang berlarian dan saling berkejaran seperti halnya anak-anak kecil itu. Berjalan bergandengan tangan menyusuri tepian lautan, membiarkan bagian bawah celana kami basah kuyup terkena deburan ombak. Lalu, kalau dia sudah merasa capek, dengan manja dia memintaku untuk menggendong tubuhnya menepi dan menjauh dari tepian laut, mencari tempat yang nyaman untuk duduk berdua berteduh, memandang orang-orang yang sedang beriang gembira di tepian lautan dan memandang deburan ombak yang bergulung-gulung dari kejauhan dari arah kami berdua duduk.
“Say, kamu lihat deburan ombak yang bergulung-gulung itu?” ucapnya.
“Ya, indah sekali bukan?” timpalku balik bertanya.
“Ya, alam raya ciptaan Tuhan memang indah. Tapi, kamu harus hati-hati, Sayang. Dibalik keindahan pasti ada sesuatu yang menyakitkan. Gulungan ombak itu memang indah, tapi jika kita lengah dan tidak hati-hati, deburan ombak yang bergulung-gulung itu bisa saja menyeret dan menenggelamkan kita ke tengah lautan. Bukankah begitu, Sayang?”
“Ya, kamu betul Cinta. Dan, layaknya deburan ombak yang bergulung-gulung itu, begitu pun dengan indahnya cinta. Jika kita terlena dan terbutakan dengan indahnya cinta, maka bisa-bisa cinta itu justru akan menghancurkan kita.”
“tapi, aku tidak ingin menjadi cinta yang seperti itu, Sayang. Aku ingin menjadi cinta sejatimu. Cinta sejati adalah cinta yang selalu berada di sisi kita dalam suka maupun duka.” Ucapnya sembari menyandarkan kepalanya ke pundakku.
“tentu, Cinta. Apapun yang akan terjadi, cinta kita tidak boleh terkikis sedikitpun. Cinta kita harus sekuat batu karang yang tiada pernah menyerah lelah meskipun setiap hari diterjang gulungan ombak yang begitu besar.”
“Ya, setelah kita berdua lulus kuliah dan sudah punya kerja nanti, aku ingin kita cepat-cepat menikah, Sayang.”
“Tentu, Cinta. Itu pasti.”
Ku rangkul Cintaku. Dan, dia pun membalas rangkulanku dengan lebih erat.
“Ah, seandainya aku bisa menghabiskan hari-hariku seperti ini dengan Cintaku.”
Tapi, orang bilang cinta itu bagian dari kehidupan. Dan, kita tidak akan pernah bisa menebak kemana arah jalan kehidupan kita. Meskipun kita melihat jalan kehidupan kita sedang menuju ke selatan, tapi tiba-tiba saja jalan kehidupan kita bisa berbalik total menuju ke utara. Begitu pula dengan cinta kita. Kita sama sekali tidak bisa menebak kemana arah cinta kita akan berlabuh. Dan, seperti halnya kehidupan, di dalam cinta pun ada berbagai cobaan yang menguji ketangguhan dan kesejatian cinta di dalam hati kita.
Setahun berlalu sudah sejak hari wisuda kelulusan kuliahnya. Setahun berlalu sudah sejak dirinya memutuskan untuk menerima tawaran kerja di kota Surabaya. Hanya setahun memang, tapi semuanya berubah total dalam rentang waktu setahun itu. Cintaku sudah lulus kuliah, sudah punya kerja yang layak dan bisa dibilang sudah mapan. Sementara aku? Ah, kuliahku masih terkatung-katung tak jelas nasibnya, aku pun malah asyik masyhuk dengan dunia tulis menulis yang sejauh ini belum memberikan penghasilan seberapa buatku.
Dan, hari itu, hari pertama kali kami berjumpa kembali setelah setahun lamanya kami berpisah. Hari itu senja, kami duduk berdua di atas Pasir Pantai Parang Tritis memandang deburan ombak dari kejauhan dan menyaksikan sinar matahari senja yang mulai meredup.
“aku kecewa dengan kamu, Tom.” Ucapnya langsung.
“maksud kamu?”
“aku pikir, satu tahun waktu yang cukup buatmu untuk menyelesaikan kuliahmu, lalu segera mencari kerja seadanya, baru kemudian kita menikah.”
“maafkan aku, Cinta. Semua ini diluar prediksi kita. Karena memang kita tidak bisa memprediksi kemana arah hidup kita.”
“ah, kamu selalu saja bilang seperti itu, Tom. Bosan sudah aku mendengarnya. Kamu telah terbutakan oleh dunia tulis menulismu, Tom. Kamu telah hanyut dalam dunia sastra. Hingga kamu pun tak sempat menyeriusi kuliahmu.” Ucapnya dengan nada suara sedikit meninggi.
“Cinta, maksud kamu apa ngomong seperti itu?”
“aku ingin hubungan kita melangkah ke jenjang yang lebih serius, Tom! Tapi, kamu? Kamu sudah kadung membuatku kecewa, Tom. Kau terlalu hanyut kedalam dunia sastramu yang melankolik itu. Kamu pikir kisah Romeo-Juliet itu benar-benar nyata? Bagiku tidak, Tom. Tidak ada kisah cinta konyol seperti itu. Kalaupun ada, itu hanya terjadi di dalam cerita-cerita dan film-film saja. Di kehidupan nyata, cinta bagaimanapun butuh logika, Tom. Cinta bukan cuma soal hati seperti yang selalu kamu katakan kepadaku itu.” Nada suaranya terdengar semakin meninggi dan penuh emosi.
“aku juga ingin hubungan kita melangkah ke jenjang yang lebih serius, Cinta. Tapi, bukankah kamu sendiri tadi bilang bahwa cinta juga butuh logika? Aku harus menyelesaikan kuliahku dulu, lalu mencari kerja yang layak, baru kita menikah, Cinta.”
“sudah terlambat, Tom.”
“ss..ss…sudah terlambat?! Mm..mm..maksud kamu apa, Cinta?”
“bukankah tadi aku sudah jelaskan kepadamu? Aku sudah kadung kecewa denganmu, Tom. Setahun itu waktu yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan kuliahmu dan mencai kerja, Tom. Tapi, kenyataannya berlainan. Kamu telah membuatku kecewa, Tom. Dan, seperti yang kau pun bilang barusan, cinta pun juga butuh logika. Jika di depan mata kita ada dua pilihan, logika kita pasti akan memilih yang lebih baik dan lebih pasti. Maafkan aku, Tom. Aku telah memilih untuk menerima lamaran seseorang yang sudah jauh lebih mapan dan matang darimu. Aku tidak bermaksud untuk menjadi cewek matre, Tom. Tapi, aku juga butuh kepastian dan kemapanan dalam berkeluarga. Sebenarnya, seandainya saja saat ini kamu sudah bisa menyelesaikan kuliahmu dan mendapatkan kerja seadanya saja, aku masih bisa menerimamu, Tom. Aku masih mau melangkah bersama-sama denganmu menghadapi suka dan duka dalam kehidupan rumah tangga kita. Tapi, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, kenyataan sudah berbicara lain. Kamu sudah kadung membuatku kecewa, Tom. Dan, seperti yang kamu bilang, ini semua di luar prediksi kita, bukan? Maafkan aku, Tom. Aku tidak bisa menepati janji untuk menjadi cinta sejatimu.” Jelasnya panjang lebar, lalu beranjak bangkit melangkah meninggalkanku yang termenung tak percaya.
Aku hanya bisa berdiam diri seribu bahasa mendengar penjelasan darinya. Aku seolah tak percaya sama sekali Cintaku bisa mengambil keputusan seperti itu. Tapi? Ah, apa mau dikata, semuanya sudah kadung terjadi, nasi pun sudah kadung menjadi bubur.
“Cinta!”panggilku yang membuat langkahnya terhenti.
“apa lagi, Tom? Tidak ada lagi yang perlu di jelaskan. Semuanya sudah jelas.”
“aku hanya ingin minta maaf, Cinta. Maafkan aku, Cinta. Semua ini salahku.”
“sudahlah, Tom. Yang terjadi biarlah terjadi, yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang, sudah saatnya kita berpisah melangkah ke jalan masing-masing. Selamat Tinggal, Tom.”

***
Ah, kenangan itu masih terngiang dengan jelas di benakku. Dan, kesedihan itu juga masih membekas di hatiku. Tapi, begitulah cinta. Kita sama sekali tidak bisa menebak kemana arah cinta kita akan berlabuh. Berlabuh di dermaga hati atau terdampar entah dimana, seperti halnya cintaku ini yang akhirnya terdampar di Pantai Parang Tritis ini.
But, it’s all not about love, it’s all just about the circumstances.
Tapi, semua ini bukanlah salah cinta, semua ini hanya soal keadaan yang memaksa cinta kita untuk melangkah dan menentukan jalannya sendiri.
Tak terasa sudah berjam-jam aku termenung merenungi kesedihanku di Pantai Parang Tritis ini.
“ah, kau memang betul Cinta, yang terjadi biarlah terjadi, yang berlalu biarlah berlalu.” Benakku.
Aku segera beranjak bangkit mengajak Denny pergi pulang, meninggalkan semua kenangan pahit di Pantai Parang Tritis itu jauh di belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar