NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 13 Agustus 2010

Desaku masih berselimut mendung

Desaku masih berselimut mendung

Semenjak kasus tabrak lari itu, hubungan antara warga desaku dengan warga desa sebelah menjadi agak renggang, bahkan condong semakin memuncak saja karena kasus itulah yang seolah menjadi embrio awal terjadinya pertikaian-pertikaian yang lain. Ya, semenjak kasus tabrak lari yang dilakukan oleh Paijo, 28, salah seorang warga desaku yang menyebabkanya sempat menjadi buronan pihak berwajib selama kurang lebih dua minggu, sebelum akhirnya dijebloskan ke penjara, dikarenakan Suparman, 30, korban daripada tabrak lari itu, yang merupakan warga tetangga desa, Desa Sumbersari, meninggal seketika di TKP.
“Eh, Mat, kamu di rumah, tho, lagi liburan panjang ya?”. Tanya Anto, anak tetangga sebelah, sewaktu melihatku sedang bersih-bersih jendela depan rumah.
“Eh, kamu, To. Iya, pihak kampus memberikan liburan panjang setelah UAS, jadi ya saya pilih pulang ke rumah saja. Lagi pula saya juga sudah kangen dengan suasana di rumah.”
“Alaahh…! Kangen suasana di rumah atau kangen sama si Sulastri, anak Pak Lurah tetangga desa itu? Hayoo…?”. Goda Anto sambil disusul tawa ringan kami berdua.
“Ah, kamu bisa aja, To!. Siapa juga yang bilang kangen sama dia.”. Ah, aku memang tak bisa berbohong kepada diriku sendiri kalau kepulanganku ini sebenarnya memang karena rasa kangenku dengan Sulastri. “Ah, Sulastri…, Sulastri…, kau selalu saja membuatku ingin pulang, lalu aku langsung mengejutkanmu dengan tiba-tiba saja datang menjengukmu, dan kemudian kita pun langsung saling melepaskan segala kerinduan dengan duduk ngobrol di sebuah gubuk sawah kecil sambil menikmati panorama desa yang hijau nan menyejukkan mata sampai tak terasa hari pun sudah beranjak petang. Ah, Sulastri, satu yang membuatku selalu terbayang akan dirimu adalah senyummu, Sulastri. Ah, senyum manismu itu, yang membuat lesung pipitmu terlihat itu, semakin membuat paras ayu wajahmu semakin ayu saja.”
“Hei…kok malah ngelamun,” Anto melambai-lambaikan tanganya tepat persis di depan mukaku, membuatku sedikit terperanjat. ”nah, ketahuan ‘kan, kalau kamu memang kangen sama si Sulastri, yah, gitu kok ngomongnya tadi gak kangen. Huuu…! Dasar kamu! Eh, ngomong- ngomong, udah sejak kapan kamu di rumah, Mat?”
“Sudah sejak seminggu yang lalu, emang kenapa, To?”
“Ah, ga ada apa-apa kok. Tapi, kok aku baru ngelihat kamu sekarang, ya!”
“Ah, kamunya aja yang gak pernah lewat depan rumahku, orang aku tiap hari sering duduk-duduk di teras depan rumah kok!”
“Eh, Mat, kamu udah denger belum kalau si Sony, anak Pak Lurah kita itu, kemarin sehabis pulang dari sekolah, dia itu kan ngeboncengin si Dewi, anak desa sebelah itu. Maksud si Sony sih cuma sekedar pengen nganter pulang tok, ga ada maksud yang lain-lain, eh, pas sudah nyampe rumahnya si Dewi, cowoknya ngelihat, eh ga tahunya, itu cowok langsung aja ngeluyur memukuli si Sony sampai babak belur, alasannya sih katanya anak desa kita ga boleh ngeboncengin cewek desa sumbersari.”
“Ah, masa sih, To?” jawabku seolah belum tahu. Ah, sebenarnya aku sudah bosan mendengar cerita dari warga sekitar tentang berbagai pertikaian antara warga desa kami dengan warga Desa Sumbersari yang semakin lama seolah semakin dengan mudah saja terjadi. Dan, cerita dari Anto itu adalah yang kesekian kalinya kudengar, dan itu belum seberapa. Suatu ketika pernah ada seorang pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan di jalan raya pas di depan gang masuk ke desaku, warga desaku yang melihat hendak langsung menolong, eh mereka masih sempat-sempatnya bertanya,”Sampean warga desa mana, Mas?”, si pengendara sepeda motor itu menjawab,”Desa Sumbersari, Mas.”, begitu mereka tahu bahwa orang itu warga desa sumbersari, mereka jadi enggan menolongnya, mereka seolah dengan santainya meninggalkanya terkapar bercucuran darah begitu saja di jalan raya. Dan, begitupun sebaliknya, suatu ketika juga ada seorang warga desa kami yang kebetulan mengalami kecelakaan di jalan raya pas di depan gang masuk ke desa Sumbersari, juga diperlakukan sama persis dengan si pengendara sepeda motor tadi. Ah, aku gak habis pikir sama sekali, setan apa yang telah merasuki jiwa-jiwa warga desaku dan warga Desa Sumbersari? Hanya karena suatu masalah akhirnya merembet ke masalah-masalah yang lain. Ah, mungkin ada benarnya juga orang-orang kota itu bilang “Orang-oarang kampung itu memang lebih bersosial, bermoral, beradat istiadat, tapi mereka itu tak berpendidikan, karena tak berpendidikanya itulah mereka bisa jadi berubah menjadi tak bermoral bahkan tak berperikemanusiaan sama sekali.”


***

Sore yang cerah nan indah terasa semakin indah saja bila kita bisa berkumpul bareng bersama seluruh keluarga, bercengkrama bersama mereka di teras depan rumah ditemani hidangan hangat serta teh panas.
“Gimana perkembangan kuliahmu, Mat?” Bapakku memulai pembicaran.
“Alhamdulillah, Pak, nilai-nilai kuliahku baik-baik semua, bahkan IPKnya juga lebih baik dibanding semester lalu.”
“Baguslah, kalau begitu. Mat, bapak mau tanya soal hubunganmu dengan Sulastri anak Pak Lurah tetangga desa itu, apa kamu masih berhubungan denganya?”
“Iya, Pak. Dan, besok rencananya saya mau berkunjung ke rumahnya. Memangnya kenapa, Pak? Kok tiba-tiba bapak bertanya soal itu?”
“Begini, Mat, bukanya bapak mau melarang hubungan kalian berdua, cuma melihat situasi sekarang, hubungan antara warga desa kita dengan warga desa sumbersari itu kan sedang kurang rukun lah, kalau ga mau dibilang sedang memanas. Jadi, menurut bapak, sebaiknya untuk sementara kalian berdua jangan saling bertemu atau saling mengunjungi dulu.”
“Iya, Mat, kamu ga usah kesana dulu unutk sementara waktu ini, bukannya baPak dan ibu mau melarang hubungan kalian, bukan, tapi ini semua justru demi hubungan kalian berdua juga.” Ibu menambahi.
“Tapi kan yang punya masalah itu bukan semua warga desa kita dan semua warga desa sumbersari, cuma hanya berawal dari masalah kasus tabrak lari itu kan, Pak, jadi kenapa seluruh warga kedua desa ini harus diikutsertakan dan menimbulkan masalah-masalah yang lainya, bahkan masalah yang sebenarnya sangat begitu sepele pun menjadi dibesar-besarkan. Ah, pokoknya saya besok akan tetap kesana, toh saya merasa ga bersalah apa-apa dengan mereka itu, jadi apa hak mereka memusuhi saya, karena saya pun juga ga merasa memusuhi mereka, bahkan saya ingin dengan kedatanganku kesana itu paling tidak bisa sedikit meredakan ketegangan antara dua warga desa ini.”
“Bapak juga berpandangan sama denganmu, Mat, seharusnya warga yang lain yang tidak tahu menahu dengan inti permasalahanya itu apa, tidak usah disangkut pautkan. Tapi kenyataannya tetap saja masalahnya menyerempet kemana-mana. Bahkan berbagai cara juga sudah dicoba, seperti mengumpulkan para tokoh masyarakat desa kita dan desa sumbersari untuk saling urun rembug bareng-bareng, musyawarah untuk menemukan solusi yang tepat atas ketegangan ini, tapi justru ketika musyawarah itulah bukannya mengurangi masalah malahan menambah masalah, gara-garanya terjadi ketegangan dalam perbedaan pendapat, masing-masing pihak saling merasa paling benar sendiri pendapatnya. Walhasil ya masalah jadi semakin rumit. Ya, begitulah, Mat, orang-orang kampung itu kalau sudah merasa tidak sreg satu sama lain, ya mau sampai berapa turunan pun akan tetap begitu terus, sedikit-sedikit masalah, sedikit-sedikit main pukul, sedikit-sedikit tawuran, maklumlah, Mat, orang-orang kampung itu kan mayoritas berpendidikan rendah, jadi kalau sudah tersulut emosinya, otak mereka langsung pindah ke dengkul.”
“Tuh, dengerin omongan bapakmu itu!” ibu menimpali.
“Maaf, Bu, Pak, bukanya saya mau melawan orang tua, tapi saya akan tetap kesana, toh saya kesana dengan niat baik-baik ingin bersilaturrahmi sekaligus paling tidak mendinginkan suasana panas antar warga dua desa ini, apa gunanya saya kuliah jauh-jauh dari rumah, mengambil jurusan Ilmu Komunikasi, kalau saya tidak bisa mengamalkan ilmu yang saya dapat dari kampus.”
Bapak dan Ibu cuma bisa bengong saling memandang mendengar keputusanku, seolah terpancar sedikit rasa khawatir yang ku tangkap dari raut wajah mereka. Ah, maafkan anakmu ini, Bu, Pak, bukan maksud Amat untuk tidak mempedulikan nasehat Bapak dan Ibu berdua. Ini semua Amat lakukan juga demi kebanggaan Bapak dan Ibu, orang tua mana yang tidak berbangga kepada anaknya jika dia mampu meredakan ketegangan hubungan antara dua warga desa yang semakin memanas ini.


***

Esok paginya, seperti yang telah kurencanakan sebelumnya, aku pergi berkunjung ke desa sumbersari, selain guna melepas rindu dengan Sulastri belahan jiwaku, aku juga ingin menemui ayahnya yang kebetulan adalah Kepala Desa Sumbersari, aku berinisiatif untuk bisa berdiskusi empat mata dengan beliau, ya berdiskusi apalagi kalau bukan seputar masalah ketegangan antar dua warga desa itu.
“Bismillahirrahmanirrahiiiimmm…” aku lafalkan basmalah ketika menapakkan kakiku di desa sumbersari ini. Ah, kenapa tampak sepi dan lengang?. Kemana para warga sekitar gerangan?. Ah, peduli amat dengan kemana perginya mereka, bukankah tujuan utamaku ke desa ini adalah berkunjung ke rumah Pak Lurah?. Tapi, kenapa tiba-tiba saja suasana yang sepi dan lengang ini membuat sekujur badanku merinding? Kenapa tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri?. “Ah, ada apa dengan dirimu? Bukankah kau sudah terbiasa melewati setiap jengkal jalan di desa sumbersari ini?” bisikku dalam hati,”Kau dalam bahaya, lebih baik kau segera bergegas pulang saja. Kau tahu kenapa suasana desa ini tampak sepi dan lengang? Kau tahu kemana perginya para warga sekitar? Mereka itu sedang pada berkumpul di rumah Kepala Desa ini, mereka sedang menyusun rencana hendak menyerang desamu, jadi Ku sarankan kepadamu agar kau mengurungkan niatmu untuk mengunjungi rumah kepala desa itu, kau lebih baik pulang saja sebelum kau menjadi bulan-bulanan mereka disini”. “Ah, dari mana datangnya suara itu? Perasaan tidak ada satu orang pun disini, dari dalam hatiku kah suara itu berasal? Tapi, kenapa hatiku tiba-tiba berbisik seperti itu? Betulkah bisikan itu? Atau cuma semacam halusinasiku saja? Ah, tapi kenapa tubuhku ini kurasakan semakin merinding saja?”. “Hei, sudahlah! Kau tak perlu berpikir beberapa kali, kau segeralah cepat pulang, sebelum kau menjadi bulan-bulanan warga desa ini. Cepat! Cepatlah kau segera tinggalkan tempat ini, cepaaaatttt…!!!”. “ Ah, bisikan suara itu kembali menggema, dan dari nada suaranya tampaknya dia benar-benar mengkhawatirkanku, dia menyuruhku segera bergegas pulang, tapi….ah, bukanya aku sudah bertekad untuk tetap berkunjung ke rumah Pak Lurah? Ah, tapi….kenapa bisikan suara itu bilang…., ah, tapi…, tapi…,tapi…, ah, aku harus bagaimana?!” aku tampak mondar-mandir bingung sendirian disitu, sebelum akhirnya mataku terperanjat kaget akan datangnya segerombolan massa warga bersenjatakan lengkap, “Ah! Ma…ma…mau apa mereka?! Ke…ke…kenapa mereka membawa senjata tajam segala?!”. “Hei, bukankah tadi sudah ku bilang supaya kau segera cepat pulang saja! Ah, kau mampuslah kini! Sudah ga ada kesempatan lagi buatmu untuk melarikan diri dari mereka!”. “ ah, suara itu kembali menggema. Ah, tapi kenapa kini justru suara itu memojokkan diriku?! Ah, peduli amat! Lari! Ya, satu-satunya cara yang harus aku lakukan adalah lari! Lari! Lari sekencang-kencangnya! Lari sekuat-kuatnya!”
“Heeiii…!!! Mau lari kemana kau! Ayo! Kejar dia! Dia mata-mata desa sebelah! Kejar dia! Kejjaaarrrr…!!! Bunuh saja dia…!!! Bunnuuhhh…!!!”
Terdengar teriakan salah satu dari mereka. Ah, apa?! Mereka mau membunuhku?! Ah! Celaka aku!. Aku dengan sekuat tenaga lari sekencang-kencangnya, terus berlari, dan terus berlari, sambil terus berlari aku menoleh ke arah mereka, ah! Mereka semakin mendekat saja! Ah! Celaka aku! Ah, semakin merinding saja tubuhku ini, teriakan “bunuh!” dari mereka semakin membuat sekujur tubuhku semakin merinding, keringat dingin bercucuran membasahi sekujur badan, dan! Ah! Ke…ke…kenapa tiba-tiba saja kedua kaki ini melemas, serasa lumpuh tak berdaya?! Ah, sekonyong-konyong aku roboh ke tanah, tepat di tengah-tengah batas wilayah antara desaku dan desa sumbersari, sementara dari arah belakang mereka terlihat semakin ganas menyerbu ke arahku. Ah! Mampuslah aku kini! Tamat sudah riwayatku! Ku tatap mereka tajam-tajam. Semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat…Dan…! Ah! Ta…ta…tapi!! Kenapa mereka tampak terbelalak mundur?! Mengurungkan niatnya untuk membunuhku?! Aku menoleh ke belakang. Ah! A…a…apa! Mataku juga sontak terbelalak kaget seolah tak percaya. Ah! Warga desaku! Mereka juga bersenjatakan lengkap, bahkan lebih lengkap dibandingkan warga desa sumbersari. Ah! Mata mereka juga menyorotkan pancaran keganasan, kebengisan, kehausan akan darah! Ah! Aku hanya bisa terbaring lemas menyaksikan warga desaku melewatiku begitu saja, lalu mereka dengan ganasnya menyerbu membabi buta warga desa sumbersari. Tawuran antar warga desa pun terjadi, ah! Aku sama sekali tak mampu mencegah tawuran itu, ah! Berdiri saja aku tiada mampu. Aku benar-benar lemas, lumpuh, tak berdaya, aku hanya bisa menyaksikan tawuran itu, aku hanya bisa menyaksikan korban berjatuhan dari kedua pihak masing-masing, aku hanya bisa menyaksikan darah bercecer dimana-dimana. Ah, kepalaku…kepalaku…kepalaku menjadi pening melihat ceceran darah segar kental dimana-mana. Ah, aku bagaikan berada di hadapan lautan darah. Darah! Darah! Darah! Yang ada hanya darah. Kepalaku semakin pening. Mataku berkunang-kunang, hingga akhirnya aku tak sadarkan diri….

***

Untuk seluruh warga desaku dan warga desa “ Msn”, kalian semua berdamailah!. Bukankah Damai itu Indah?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar