NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Sabtu, 08 Mei 2010

Virus Kapitalisme dalam Keberagamaan

Adam, seorang guru sekolah menengah pertama, yang berwajah lugu, santun, dan sederhana, membawa sepeda onthel diiringi murid-muridnya yang berjilbab ke tengah panggung "mencari jodoh" Take Me Out, yang disiarkan Indosiar, di malam awal Ramadan. Murid-muridnya bersaksi, Pak Adam adalah seorang guru yang baik, ikhlas, dan penuh perhatian kepada murid-muridnya.

Tapi apa yang terjadi? Semua wanita cantik yang ada di panggung tak ada satu pun yang memilihnya. Semua lampu mati. Pedih rasanya hati ini. Kita semua, sebagai orang yang dibesarkan dan dididik oleh guru, rasanya terenyuh melihat kejadian itu. Betapa tak berharganya profesi guru di mata para wanita cantik tersebut.

Di malam harinya, sebuah ulasan berita yang lebih memilukan umat Islam ditayangkan televisi: bungkusan heroin seberat 60 gram seharga Rp 600 juta diselipkan dalam paket berisi Al-Quran. Betapa hebatnya taktik para penyelundup narkoba dalam melakukan aksinya. Tega-teganya barang haram dan menjijikkan itu diselipkan dalam Al-Quran, kitab suci yang amat dihargai umat Islam, untuk mengecoh para petugas Bea-Cukai di Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Dua kasus ini, secara koinsidensi, muncul menjelang dan awal bulan Ramadan. Apakah kasus ini datang secara kebetulan? Albert Einstein menyatakan, tak ada sesuatu yang datang secara kebetulan di jagat raya. Sekecil apa pun, tulis Einstein, setiap kejadian bukanlah muncul dari hasil permainan dadu. Meminjam istilah Al-Quran, dalam setiap kejadian, niscaya ada ibarat, ada kritik, ada peringatan. Bahkan dalam penciptaan lalat pun Tuhan berfirman, di sana ada "pelajaran" yang bisa diambil manusia (Al-Haj 73).

Jebakan kapitalisme

Dunia kapitalis yang menilai "kekuatan, kedigdayaan, kehormatan, dan kemuliaan" dari aspek materi ternyata telah menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Pengabdian, pengorbanan, keimanan, dan ketulusan yang menghiasi kehidupan orang-orang suci di dunia telah tercampakkan di kehidupan modern yang kapitalistik. Seorang guru, seperti Adam, yang hidup di desa untuk mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya dengan mendidik anak-anak manusia agar "berilmu, berakhlak, dan beriman", ternyata tak ada harganya di panggung jodoh Take Me Out. Semua wanita cantik yang menginginkan jodoh tampaknya tak sudi mendampingi sang guru yang lugu itu. Apa makna semua itu?

Penolakan wanita cantik terhadap Adam di Take Me Out mungkin adalah cermin kita semua; cermin manusia modern yang telah terjebak dunia kapitalisme. Apalah arti pengabdian dan pengorbanan seorang guru jika apa yang didapat dari hasil kerjanya bukanlah uang yang bisa menaikkan derajat fisik kehidupannya? Bandingkan, misalnya, kalau sang pria yang lajang itu seorang direktur utama atau pemilik perusahaan. Semua wanita cantik itu nyaris tak ada yang mematikan lampu. Semuanya memberikan peluang untuk pria tajir tersebut. Materi telah jadi ukuran kesuksesan, kegemilangan masa depan, dan kebahagiaan. Semua kriteria lelaki yang baik menurut ajaran agama--berakhlak mulia, saleh, dan berilmu--tersingkir oleh pilihan harta dan uang.

Idealisme tanpa uang, nonsense. Itulah moto hidup para pengikut kapitalisme. Dan Adam adalah orang yang masih percaya kepada idealisme. Kepercayaannya yang masih tinggi terhadap idealisme itulah yang membuat Adam masih tetap tersenyum setelah keluar dari panggung Take Me Out tanpa hasil. Adam tampaknya yakin bahwa idealisme adalah kehormatan yang tetap harus didekapnya meski para epigon kapitalis tetap menolaknya.

Puasa adalah sebuah idealisme. Umat Islam melaksanakan puasa di bulan Ramadan untuk sebuah cita-cita yang amat idealistis: menambah takwa dan rasa cinta terhadap sesamanya. Dengan puasa yang menimbulkan lapar dan dahaga, setiap pribadi muslim diajarkan merasakan derita orang-orang lapar dan dahaga agar nanti bisa merasakan kesengsaraan kaum miskin yang terpinggirkan. Begitulah cara Tuhan mendidik manusia agar tidak terjebak pada hedonisme dan materialisme yang picik.

Tapi betulkah puasa kita benar-benar idealistis? Melihat kenaikan harga sandang-pangan menjelang dan di bulan puasa, bisa kita duga, puasa justru membuat orang makin konsumtif. Kenaikan harga barang-barang itu niscaya mengikuti hukum pasar, antara permintaan dan penawaran. Makin besar permintaannya, makin tinggi harganya. Inilah indikasi bahwa, di bulan puasa, masyarakat Islam makin konsumtif, makin membutuhkan banyak sandang dan pangan. Semua itu menunjukkan bahwa puasa kita telah gagal menerapkan idealisme Al-Quran.

Kasus yang nyaris sama terjadi ketika kita melihat penyelundupan heroin melalui paket kitab suci Al-Quran. Demi sebuah "kemuliaan" uang--dari mana pun hasilnya--mereka tega menyelundupkan heroin yang diselipkan pada paket Al-Quran. Mungkin kita sedih dan terenyuh, kenapa mereka tega menjadikan Al-Quran sebagai "media" untuk mendapatkan uang dengan cara haram itu?

Namun, jika fakta kriminal penyelundupan heroin dengan mendompleng paket Al-Quran itu kita renungkan, bukankah tidak sedikit umat Islam melakukan hal yang nyaris sama dengan modus yang berbeda? Bukan rahasia lagi, sebagian dari kita, umat Islam, sering menjual ayat-ayat Al-Quran untuk kepentingan politik, kepentingan jabatan, dan kepentingan pribadi. Sekian banyak partai politik yang "berjubah" Islam, misalnya, ternyata kader-kadernya melakukan perbuatan nista, seperti korupsi dan manipulasi--yang bertentangan dengan Islam.

Ayat-ayat Al-Quran berkumandang di mana-mana--apalagi di bulan Ramadan. Namun, faktanya: kejahatan mengatasnamakan perintah Al-Quran--seperti terorisme--terus menghantui bangsa Indonesia. Mana yang lebih berbahaya, ideologi dan aktivitas terorisme yang mengacu pada Al-Quran dibandingkan dengan heroin dan narkoba dalam paket Al-Quran?

Perjalanan Adam di Take Me Out dan heroin dalam Al-Quran di Indonesia tampaknya bukan sekadar fakta--tapi juga simbol kekacauan paradigma pemikiran yang yang menjadikan materi adalah segala-galanya. Padahal Allah melalui perintah puasa Ramadan menepis itu semua. Lantas mampukah umat Islam mengambil intisari puasa Ramadan tersebut? Jawabannya ada di hati kita masing-masing.

M. Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama UIN, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar