NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Sabtu, 08 Mei 2010

Kemerdekaan dan Reformasi Jilid II

Dirgahayu Republik Indonesia 64 tahun.Dalam usia kemerdekaan yang tidak lagi muda—relatif hampir sama dengan rata-rata usia harapan hidup manusia Indonesia sekarang ini—, sepatutnya kita melakukan retrospeksi dan refleksi.

Dengan begitu kita dapat menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dalam sejarah; dan sebaliknya melangkah lebih pasti menuju Indonesia yang lebih jaya, berharkat, dan bermartabat baik ke dalam maupun ke luar.

Dalam retrospeksi dan refleksi itu,suatu hal sudah pasti: di tengah berbagai masalah dan agenda yang belum terselesaikan,Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir adalah Indonesia yang lebih demokratis dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya,baik di era Orde Lama maupun Orde Baru. Hal itu tidak lain berkat Reformasi (jilid I) yang terjadi sejak 1998 yang terbukti menjadi ”gerbang emas”menuju Indonesia yang demokratis.

Indonesia dengan transisi dan konsolidasi demokrasinya yang berjalan secara damai bagi sementara kalangan—khususnya para Indonesianis asing—merupakan salah satu dari “keajaiban Indonesia” (Indonesian miracles). Dengan tingkat keragaman, kesenjangan, dan masalah-masalah lain yang membebaninya, kalangan ini sulit membayangkan bahwa Indonesia bisa survive di tengah perubahan- perubahan yang begitu cepat dan berdampak luas dan panjang sejak bermulanya era Reformasi 1998.

Bahkan, sebaliknya, cukup banyak di antara mereka yang memprediksikan “skenario kiamat” (doomsday scenario) bahwa Indonesia segera mengalami proses “Balkanisasi”—terpecahbelah seperti terkeping-kepingnya wilayah Balkan di Eropa Timur–– begitu demokrasi diperkenalkan. Namun,menghapus segala bentuk skeptisisme itu, Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tapi malah sebaliknya terus melangkah dengan transisi dan konsolidasi demokrasinya.

Meski proses-proses demokrasi yang dijalankan Indonesia seperti terlihat dalam pemilu legislatif pada 1999, pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung 2004 dan 2009 tetap mengandung masalah- masalah tertentu, secara umum pengalaman Indonesia dengan demokrasi cukup mencengangkan banyak kalangan luar. Inilah “keajaiban Indonesia” yang sulit dipahami banyak orang—tidak hanya kalangan asing,tetapi juga bahkan sebagian warga Indonesia sendiri.

Sebab, bukan rahasia lagi, terdapat kalangan masyarakat Indonesia—meski jumlahnya relatif sangat kecil—yang menolak demokrasi karena bagi mereka, demokrasi yang berangkat dari prinsip vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) bertentangan dengan konsep politik yang mereka yakini bahwa vox dei vox populi (suara Tuhan adalah suara rakyat).Bagi mereka, tidak ada “kedaulatan rakyat”, yang ada hanyalah “kedaulatan Tuhan” (hakimiyyah Allah) yang bisa dipersoalkan lagi.

Adalah “keajaiban Indonesia” bahwa negara ini diberkahi pemahaman keagamaan “jalan tengah”— khususnya Islam yang merupakan agama yang dipeluk mayoritas mutlak bangsa Indonesia. Pemahaman dan praktik Islam “jalan tengah” (washat) memungkinkan negara ini tanpa kesulitan yang berarti menerima dan menerapkan demokrasi.

Hal ini sudah berlangsung sejak Indonesia secara resmi mencapai kemerdekaannya meski kemudian pengalaman demokrasi itu berubah-ubah, sejak “Demokrasi Liberal”,“Demokrasi Terpimpin”, “Demokrasi Pancasila”, dan terakhir “Demokrasi Reformasi”sekarang ini. Tidak kurang pentingnya, pemahaman “jalan tengah” itu ditopang mayoritas terbesar umat beragama, yang tergabung ke dalam ormas-ormas yang sering saya sebut sebagai religious-based civil society—masyarakat sipil (kewargaan atau madani) berbasis agama.

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta beberapa waktu lalu menemukan, umat beragama yang menjadi anggota atau terlibat dalam kegiatan ormas-ormas ini memandang demokrasi sebagai sistem politik paling tepat bagi Indonesia yang demikian plural dari berbagai segi. Mereka tidak melihat demokrasi sebagai sistem politik yang tidak cocok (incompatible) dengan agama—dalam hal ini Islam.

Karena itu ke depan, ormasormas yang juga memainkan peran penting sebagai civil society mestilah diberdayakan, bukan hanya untuk memastikan agar demokrasi terus dapat terkonsolidasi dengan baik,tetapi sekaligus juga guna memastikan tetap terpeliharanya paradigma tentang kesesuaian di antara Islam dan demokrasi.Tanpa pemberdayaan yang kontinu, bukan tidak mungkin argumen mereka yang menolak demokrasi mendapatkan kian banyak pendukung.

Dalam kaitan itu, kepemimpinan nasional sepatutnya menjalin komunikasi politik yang efektif dengan figur-figur masyarakat sipil dengan memberikan akses seluas- luasnya kepada mereka untuk berdialog dan menyampaikan langsung concern mereka. Sulitnya akses kepada kepemimpinan nasional dapat kontraproduktif dalam upaya pengembangan iklim sosial-politik dan bahkan keagamaan yang kondusif bagi kemajuan bangsa dan negara.

Jika Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya menyambut Hari Kemerdekaan pada 14 Agustus lalu menyebut tentang perlunya reformasi gelombang kedua, hal itu mengisyaratkan tentang masih banyaknya agenda reformasi pasca-1998 yang belum selesai. Reformasi gelombang kedua itu dimaksudkan untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi 10 tahun lalu.Jika reformasi “jilid II”ini berhasil, pada 2025 Indonesia dapat benar-benar bergerak menuju negara yang maju.

Pernyataan itu mengisyaratkan semacam optimisme meski tahun 2025 merupakan masa yang agaknya terlalu lama bagi Indonesia untuk bisa menjadi sebuah negara yang benar-benar maju. Memang—sekali lagi—masalahmasalah yang dihadapi Indonesia dewasa ini masih tetap saja sangat berat dan kompleks.Namun langkah- langkah terobosan perlu dilakukan sehingga dapat mencegah terjadinya akumulasi ketidakpuasan yang boleh jadi meledak sewaktu-waktu sehingga bukan tidak mungkin bisa mencabikcabik negara-bangsa ini.

Dalam konteks itu,konsolidasi demokrasi seyogianya diarahkan menjadi sistem politik yang lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Target ini hanya bisa dicapai dengan kebijakan dan program pembangunan afirmatif untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan berbagai bentuk kenestapaan kehidupan lainnya. Jika tidak, bukan tidak mungkin masyarakat kehilangan kepercayaan pada demokrasi yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menerima alternatif-alternatif sistem politik lainnya.

Karena itulah ke depan, pengelolaan negara tidak bisa secara business as usual atau cepat berpuas diri dengan pencapaian tertentu—yang secara angka dan statistik kelihatan cukup membesarkan hati. Namun, sebaliknya, mestilah dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri untuk melakukan perubahan dan perbaikan sesegera mungkin.(*)

Azyumardi Azra,
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar