NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Jumat, 07 Mei 2010

Nasionalisme sampai Ratu Adil

Jauh ratusan tahun sebelum para founding father bangsa kita berbicara tentang nasionalisme. Raja Kartanegara dari Singasari telah membuktikan tanpa banyak bicara, dengan memotong kuping Meng Chi - utusan Kaisar Kubilai Khan dari Dinasti Mongol – dan mengusirnya pergi. Jelas jelas ia tidak mau tunduk pada permintaan maharaja dari Asia tengah. Singasari adalah negara berdaulat dan tidak mau memberi upeti kepada bangsa asing.
Tindakan ini membangkitkan kemarahan Kubilai Khan. Ia mengutus Shih-pi, Ike Messe dan Kau Hsing memimpin armada 1000 kapal dan tentara sebanyak 20.000 orang untuk menekan Jawa. Armada mereka yang gagah, memenuhi pelabuhan Tuban, tidak membuat gentar Raden Wijaya. Lagi lagi mereka tertipu oleh muslihat pangeran jawa ini, membantu menggulingkan Raja Jayakatwang dari Kediri.

Di tengah pesta pora kemenangan, pasukan Raden Wijaya membantai tentara mongol dan Cina. Ribuan tentara mongol tewas, dan tidak sedikit ditawan atau memutuskan sukarela tinggal di tanah Jawa. Daripada menempuh pelayaran yang keras dan berbahaya ke tanah Tiongkok.
Sejarah ini menunjukan bahwa nusantara adalah bangsa yang besar dan juga pintar. Majapahit menguasai perdagangan dan martim kepulauan nusantara bahkan sampai merambah ke tanah melayu, siam, karena pintar menggunakan komunitas Cina – Mongol yang tertinggal. Mereka adalah pelaut pelaut, nakhoda yang hapal rute rute pelayaran di Asia tenggara.

Itu dulu. Seberapa penting nasionalisme itu. Apakah hanya diukur dengan jumlah saham mayoritas Indosat yang dikuasai asing, atau reog ponorogo yang mati matian dipertahankan dari klaim Malaysia ?
Kita mempertahankan Industri baja Krakatu Steel dari caplokan konglomerat baja dunia, asal India, Laksmi Mittal , yang memulai bisnisnya dari sebuah pabrik baja kecil di Sidoarjo tahun 70an. Padahal kita tahu betapa carut marut dan tidak efisiennya pengelolaan di perusahaan plat merah itu. Sementara negara kecil Luxembourg di Eropa tengah, kehilangan kebanggan ketika perusahaan nasionalnya Arcelor di akuisisi oleh Mittal . Namun disatu sisi menerima pemasukan hampir 1 milyar dollar setahun dari keuntungan perusahaan baja dunia itu.

Kesakralan nasionalisme menjadi bahan ejekan karena justru semakin kita mengepalkan tangan kebanggaan nasional, justru semakin terlihat bodoh. Lebih bodoh lagi, sudah dikuasai asing tetapi justru tidak memberikan manfaat atau keuntungan kepada rakyatnya.
Ini mungkin karena kita sudah terlalu malas untuk bernegoisasi. Belajar transfer of knowledge dari bangsa asing. Selalu ada take and give. Tidak melulu dilihat dari sisi nasionalisme yang kerdil.
Jika sekarang arus globalisasi menyerbu industri film di Indonesia. Banyak sutradara asing – layar lebar, iklan, sinetron – membuat film di Indonesia. Padahal mereka hampir tidak bisa berbahasa atau mengerti budaya lokal. Apakah kita serta merta tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jawabannya relatif. Tapi yang jelas kita bisa belajar dari profesionalisme dan etos disiplin yang mereka miliki.

Korea justru membangkitkan nasionalisme lewat olahraga bulutangkisnya dengan belajar pada pelatih asal Bandung, Olih Solichin awal tahun 80an. Saat itu kita sudah malang melintang di All England dan Piala Thomas.
Sekarang gantian kita yang ngos ngosan mengejar bangsa Korea di lapangan bulutangkis.

Menakjubkan, Pramudya Ananta Toer bisa menelusuri surat negarawan India, Jawahral Nehru kepada puterinya Indira Gandhi. Dalam Glimpses of World History ia mengakui “ Sesungguhnya ekspedisi Tiongkok justru membuat kemaharajaan Jawa ( Majapahit ) menjadi besar. Karena mereka belajar membuat senjata api yang mendatangkan kemenangan berturut turut pada Majapaphit “.
Jadi sejarah – dan diakui oleh bangsa lain – kalau dari dulu kita memang sudah pintar dan mau belajar dari bangsa asing untuk membuat nasionalisme kita berdiri megah. Gagah perkasa.

Tak ada yang salah dengan nasionalisme, karena urat urat nadi itu yang mempersatukan bangsa kita. Yang salah karena kita tak pernah memupuknya membuat menjadi besar, dengan jalan apapun. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta dituduh sebagai kolaborator Jepang, ia mengatakan, ‘ dengan setanpun saya akan bekerja sama asal bisa membawa Indonesia merdeka ‘.
Kalau dulu nasionalisme dibutuhkan untuk meruntuhkan imperaliasme dan kolonialisme, kini nasionalisme dibutuhkan untuk memakmurkan rakyatnya sendiri.

Walhasil nasionalisme hanya ditemui dalam jargon jargon kampanye parpol atau iklan iklan layanan masyarakat. Diam diam kita merindukan kemandirian diatas kaki sendiri , sehingga mudah tertipu oleh bungkus bungkus kebesaran semu. Blue Energy sampai padi ajaib yang bisa panen 3 kali dalam satu batang.
Sampai kapan kita harus menunggu hari baik itu, Kedatangan sang Ratu adil ?
Sang Ratu yang bukan tinggal glanggang colong playu . Menyerah, meninggalkan terbenam lumpur di tanah tarik Sidoarjo. Ditanah yang sama ketika Raden Wijaya dan Laksmi Mittal membangun dinasti kebesarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar