NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Sabtu, 08 Mei 2010

Belajar Hidup dari Mbah Surip

SOSOK bersahaja itu telah meninggal dunia. Dia meninggalkan kesan yang sungguh membanggakan. Semua orang mengenang kebaikan-kebaikannya, pun humor dan semangat hidupnya yang tak pernah padam. Mbah Surip menjadi oase di tengah kerontang kejernihan pikir dan sikap yang saat ini begitu kentara ada di sekitar kita.

Mbah Surip adalah sosok yang pantang menyerah menghadapi kesulitan hidup. Pantang menyerah dengan ejekan orang lain. Pantang mundur atas identitas diri yang dianggap sebagai orang bodoh, meski sejatinya dia terpelajar.


Komitmen dan Ketekunan

Kalau kita membaca kisah para orang sukses dan orang yang mendapatkan kebahagiaan, akan kita temukan sebuah simpulan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ketekunan dan komitmen di atas manusia kebanyakan. Inilah yang dimiliki dan dipraktikkan Mbah Surip.

Mbah Surip mengajari kita tentang betapa fundamentalnya ketekunan dan komitmen ini. Kesuksesan yang dia peroleh adalah di antara hasil ketekunan dan komitmen itu. Ketekunan dan komitmen bagi orang-orang sukses ibarat makanan yang bisa meningkatkan semangat, vitalitas, dan kerja keras. Dengan demikian, mereka tidak akan pernah tidak melakukannya. Artinya, ketekunan dan komitmen akan terus mereka praktikkan dan proklamasikan.

Sebaliknya, orang yang gagal adalah orang yang tidak memiliki ketekunan dan komitmen tersebut. Mereka mudah sekali mengeluh dan putus asa. Ada aral kecil saja, cita-cita yang tadinya bertengger di puncak rasionalitas langsung menyusut-habis. Langkah yang tadinya begitu semangat, dengan sedikit masalah menghadang, seketika itu pula limbung.

Para orang sukses dan orang yang berhasil memeluk kebahagiaan begitu memegang teguh komitmen untuk maju dan berubah. Bagi mereka, komitmen untuk sukses dan bahagia harus diperjuangkan dengan sekuat tenaga. Pasalnya, bagi mereka, komitmen adalah "janji" dalam diri dan kepada diri sendiri. Karena sudah berjanji, mereka pun akan berusaha menepatinya. Janji ini disikapi dengan senang ceria dan riang hati. Eksesnya, mereka dengan mantap menjalani kehidupan ini, meski pelbagai cobaan dan badai penghalang selalu merongrong.

Sama hal dengan ketekunan, mereka pun menjadikannya kekasih ketika menjalani, menyapa, dan menyambut hidup dan kehidupan. Ketekunan selalu mereka sandang setiap menjejakkan kaki, di mana pun dan kapan pun. Pada kehidupan sehari-hari, misalnya, ketekunan dipraktikkan dengan anggun. Dalam kehidupan berkeluarga, entah sebagai anak, orang tua, atau bagian keluarga yang lain, ketekunan juga diamalkan. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat.

Mbah Surip berkomitmen untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain, siapa pun itu. Dia memiliki niat mulia, yaitu agar semua rakyat Indonesia senang dan bahagia. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki para pemimpin bangsa ini, sebab mereka adalah wakil rakyat: mereka bertanggung jawab atas kehidupan rakyat.

Rendah Hati

Banyak yang memberikan simpulan bahwa orang yang kelihatan seperti orang pasif dan terkesan menunggu, atau bahkan suka mengalah, adalah orang yang lemah. Pertanyaannya, apa memang demikian? Jawabannya adalah belum tentu dan bahkan tidak.

Bahkan, pada momentum-momentum tertentu, mereka yang terkesan diam dan lemah adalah mereka yang sukses dan mereka yang berhasil hidup dalam gelimang kebahagiaan. Atau pula, merekalah orang yang sebenarnya sukses dan besar itu, yang menyembunyikan keberhasilannya dalam baju kebersahajaan.

Sikap rendah hati yang tecermin dalam sikap diam dan lebih cenderung wait dan see, merupakan indikasi kebesaran jiwa. Itu pula yang dipraktikkan Mbah Surip, walaupun dia mendapatkan kesuksesan. Meski pula memiliki pengetahuan yang tidak kalah dengan parah aktivis, mahasiswa, dan juga dosen -apalagi Mbah Surip pun telah melanglang buana ke banyak tempat di dunia, yang belum tentu pengalaman ini dimiliki orang-orang di atas- Mbah Surip tidak menunjukkan itu.

Dia lebih asyik dalam kerendahan hati. Ketika banyak orang yang sebenarnya tidak memiliki ilmu namun mengaku-aku berilmu, hal itu pantang dilakukan oleh Mbak Surip. Dia merendahkan hati dan senantiasa berusaha memberikan kebahagiaan bagi orang lain, tanpa pernah mengatakan bahwa dia adalah orang terpelajar. Dia tahu, tapi tidak ingin orang lain tahu ketahuannya itu.

Alangkah indah jika semua rakyat bangsa ini, khususnya para pemimpin, politikus, dan akademisi (orang-orang terpelajar) mempraktikkan sikap rendah hati ini. Sebab, sikap rendah hati membimbing untuk bersikap jujur, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

Sikap koruptif dan anarkis yang banyak kita temukan pada banyak orang di negeri ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kerendahan hati, sehingga mereka tidak jujur dan melakukan hal-hal tidak manusiawi. Mbah Surip mengajari kita bagaimana memakni, memahami, dan menjalani hidup.

Maka dari itu, jika kita ingin merengkuh kesuksesan dan kebahagiaan, bersikap rendah hati merupakan keharusan. Sebab, sikap itu tidaklah merupakan sebuah kelemahan, apalagi kesalahan dan kekalahan. Sebaliknya, sikap rendah hati membuat kita memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan langkah sendiri.

Semua orang sukses dan bahagia adalah mereka yang bebas. Artinya, mereka bisa menentukan sendiri apa yang harus dipikirkan, apa yang harus dipilih, dan apa yang harus dilakukan. Ketika kita bersikap demikian, semua arah pikiran dan sikap kita akan bermuara pada kreativitas dan orisinalitas.

Selain itu, sikap rendah hati mampu mengatasi rasa tidak tahu. Alhasil, semua hal akan kita pahami maksudnya, yang kemudian kita pun mampu memberikan pengaruh positif di dalamnya.

Mbah Surip, apa yang engkau pahat akan selalu menjadi pengingat bagi generasi setelahmu. Kebijaksanaan dan kearifan yang engkau tunjamkan akan terus mengabadi. Terima kasih dan selamat jalan, Mbah Surip. (*)

*) Asef Umar Fakhruddin , peneliti di Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar