NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Sabtu, 08 Mei 2010

Jika Negeri Tanpa Oposisi

Partai oposisi sudah sejak lama menjadi wacana yang menggoda dalam diskusi, debat, seminar, artikel, buku, majalah, literatur, dan sebagainya.

Menjadi sangat menggoda karena di masa Orde Baru semua orang takut bicara oposisi. Jangankan bicara oposisi secara terbuka, dua atau tiga orang berkumpul, kemudian membicarakan keburukan pemerintah,bisa langsung dianggap sebagai persekongkolan melawan negara alias subversif. Jadi bisa dimaklumi betapa lamanya kita terkekang dan takut beroposisi.

Situasi berubah drastis setelah reformasi bergulir pada 1998/1999. Semua orang sudah bebas bicara dan bertindak apa saja, Indonesia mengalami euforia politik luar biasa.Pemerintahan masa transisi mampu memberikan jalan bagi pelaksanaan pemilihan presiden langsung untuk kali pertama dalam sejarah pada 2004.

Partai-partai politik tumbuh menjamur, meskipun kemudian banyak yang berjatuhan karena seleksi alamiah. Fungsi dan wewenang DPR pun mengalami lompatan sangat besar di masa reformasi.Mereka benar-benar berfungsi sebagai lembaga kontrol pemerintah, bukan tukang stempel atau lembaga pengesahan bagi pemerintah.Ini berarti checks and balances sebagai landasan penting berdemokrasi sudah diberi ruang.

Wakil-wakil rakyat yang telah memperoleh mandat suci tidak boleh main-main dengan kepercayaan yang mereka sandang. Demikian pula parpol yang hidupnya bergantung pada dukungan rakyat. Terlebih presiden dan wakil presiden terpilih yang telah mendapatkan kepercayaan dari puluhan juta orang untuk menuntaskan harapan besar mereka.

Berkaca pada semangat itu, kita mengingatkan kembali pentingnya oposisi sebagai penopang sistem checks and balances dalam berdemokrasi. Karena akhir-akhir ini sudah ada tanda-tanda dari elite parpol bahwa beroposisi itu tidak berguna lagi,tidak seksi lagi,tidak menggoda lagi.

Parpol kita (terutama para elitenya) memang belum ada yang memiliki karakter kuat untuk beroposisi jika kalah dalam pemilu.Berpolitik masih dipahami secara sempit sebagai cara untuk mencari kekuasaan ataupun mendapatkan akses kekuasaan.

Bagi yang menang ya sudah seharusnya mereka yang mendapatkan kekuasaan.Tapi yang kalah pun tetap bermanuver dengan segala cara agar tetap mendapatkan akses ke kekuasaan. Godaan kekuasaan memang sulit untuk ditaklukkan.

Semakin banyaknya parpol yang ingin merapat ke koalisi parpol pendukung pasangan SBY-Boediono adalah tanda-tanda meredupnya api kecil oposisi yang mulai menyala lima tahun belakangan.Angin kekuasaan yang bertiup kencang pasti akan memadamkan api kecil itu.

Sungguh sayang kalau kita gagal menjaga agar api kecil itu tetap menyala. Sulit membayangkan bagaimana jalannya sidang-sidang DPR nanti kalau partai-partai politik besar dan berpengaruh sudah merapat ke kekuasaan. Tidak ada perdebatan,tidak ada adu argumen yang sesekali boleh diikuti gebrak meja.Mayoritas anggota parlemen akan bersuara sama dengan pemerintah.

Kalaupun ada yang berani menentang, jumlahnya tidak akan signifikan dan mampu memengaruhi pengambilan keputusan. Tanpa oposisi, demokrasi akan mati suri. Bibit-bibit otoritarianisme akan menjadi virus yang sangat berbahaya yang bisa menyerang kapan saja.

Karena itu,dengan segenap keteguhan hati kita menggugah agar para elite parpol tidak hanya memikirkan bagaimana nikmatnya kekuasaan. Oposisi adalah tindakan luhur,mulia,dan ksatria.Oposisi adalah investasi besar jangka panjang yang akan menyejukkan kehidupan demokrasi.(Tajuk Sindo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar