NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Minggu, 25 April 2010

Yang Dikejar, Kok Tak Membuat Bahagia?

JAKARTA, KOMPAS.com - Bila keinginan kita terpenuhi, kita akan senang (bungah), lalu berkembang keinginan baru yang lebih besar (mulur). Sebaliknya, bila keinginan tidak terpenuhi, kita menjadi sedih (susah), dan kita dapat menyusut (mungkret).

Dalam hidup ini tidak mungkin keinginan seseorang terus-menerus terpenuhi. Kadang terpenuhi, kadang tidak. Itulah sebabnya, tidak ada keadaan bungah ataupun keadaan susah yang langgeng. Senang dan susah selalu silih berganti.

Sebagai salah satu contoh adalah pengalaman hidup Nova (bukan nama sebenarnya). Ia wanita lajang berusia sekitar 35 tahun. Bila orang lain banyak yang mengalami susah payah mencari pekerjaan pada masa-masa awal, Nova justru sudah dapat bekerja di sebuah perusahaan ketika masih duduk di bangku kuliah di sebuah kota pelajar.

Dengan bekal sebagai sarjana ekonomi akuntansi dari perguruan tinggi ternama, dan juga keterampilan yang tinggi di bidangnya, setelah lulus ia dengan mudah mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta.

Selama sembilan tahun Nova menekuni pekerjaan pada sebuah perusahaan. Namun, dalam masa kerja selama sembilan tahun itu ternyata ia tidak bahagia dengan pekerjaannya. Pertama, ia tidak puas dengan gaji yang diterima. Setelah menempuh negosiasi dengan pimpinan, akhirnya toh gajinya dinaikkan.

Setelah itu ia masih merasakan ketidakpuasan yang lain, yakni merasa tidak dapat berkembang karena lingkungan kerja yang tidak menantang. Hal yang sulit diterimanya adalah ”jiwa sosial” pimpinan perusahaan yang mudah menerima siapa saja yang butuh pekerjaan.

Akibatnya banyak karyawan yang kurang berketerampilan sehingga pekerjaan tidak dapat berjalan efisien, sementara pimpinan tidak melakukan program-program pembinaan karyawan.

Dengan keadaan seperti itu akhirnya Nova memilih pindah ke perusahaan yang lain. Namun, ternyata keadaan perusahaan baru ini juga kurang sesuai dengan keinginan Nova, lalu sekali lagi ia pindah ke perusahaan yang lain. Lebih satu tahun ia bekerja pada perusahaan ini, ternyata akhirnya perusahaan gulung tikar. Alhasil, sudah tiga bulan ini Nova menganggur.

Dapat dibayangkan bagaimana rasanya sekian lama menganggur. Keinginan untuk kembali mendapatkan pekerjaan sangat kuat. Hal ini membuat Nova mengalami perasaan panik, terutama dalam saat-saat mengikuti seleksi masuk pekerjaan. Semakin kuat keinginannya untuk mendapatkan pekerjaan, ia semakin panik, semakin takut tidak diterima.

Keadaan ini akhirnya membuat Nova merindukan untuk kembali bekerja di perusahaan yang dulu sudah tidak disukai dan ditinggalkannya. Sifat sosial pimpinan (mudah menerima orang yang butuh pekerjaan) yang dulu tidak disukainya, kini justru didambakan.

Nah, tampak sekali betapa bahagia (bungah) dan sedih (susah) merupakan buah ”permainan” keinginan (karep) yang ada dalam diri sendiri. Kebahagiaan di awal masa muda karena cepat memiliki pekerjaan telah berkembang (mulur) menjadi keinginan akan pekerjaan yang lebih ideal.

Setelah keinginan tidak terpenuhi, keinginan itu kemudian menyusut (mungkret): Nova kembali menginginkan pekerjaan yang lama. Tampak bahwa Nova justru menjadi tidak bahagia karena mengejar pekerjaan yang disangkanya lebih ideal. Pada akhirnya toh ia kembali menginginkan pekerjaannya semula yang dulu sudah ditolaknya.

Penting: Menemukan Sebab
Suryomentaram, seorang tokoh Psikologi Jawa, menemukan bahwa kebahagiaan itu sesungguhnya hanyalah akibat belaka, seperti halnya kesusahan. Hal yang lebih penting adalah menemukan sebab dari rasa susah dan rasa bahagia.

Orang perlu menemukan bahwa egoisme adalah sebab rasa celaka (tidak bahagia), dan hanya dengan menemukan naluri dalam diri yang seperti itu kita dapat menumbuhkan sebab bagi lahirnya rasa bahagia. Untuk itu Suryomentaram mengajarkan tentang Pengawikan Pribadi, yaitu pengetahuan akan rasa senang dan rasa bencinya sendiri.

Dalam hal olah rasa menemukan pengawikan pribadi ini Ki Ageng Suryomentaram mengungkapkan:

“Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari, atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian, manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak, atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya.”

Apabila orang mengerti bahwa semua peristiwa itu tidak ada yang mengkhawatirkan dan tidak ada pula yang sangat menarik hati, teranglah pandangannya, serta bebaslah ia dari keterikatan pada barang-barang.

Barang-barang di atas bumi dan di kolong langit itu tidak menyebabkan orang bahagia atau celaka. Juga tidak menyebabkan orang senang atau susah. Karena pada hakikatnya, yang menyebabkan senang itu ialah keinginannya tercapai, dan yang menyebabkan susah itu ialah keinginannya tidak tercapai. Jadi, bukanlah barang-barang yang diinginkannya.

Apa yang dialami oleh Nova di atas merupakan contoh yang cukup jelas, bahwa ternyata pekerjaan itu sendiri (barang duniawi) bukanlah hal yang mendatangkan kesenangan. Semakin ia mengejar keinginannya akan pekerjaan yang disangkanya mendatangkan kesenangan, ternyata semakin susahlah dia.

Perlu diketahui bahwa keinginan manusia itu pada umumnya bergerak dalam usaha mencari drajat, semat, dan kramat. Mencari semat berarti mencari kekayaan, keenakan, dan kesenangan. Mencari drajat berarti mencari keluhuran, kemuliaan, kebanggaan, keutamaan. Mencari kramat berarti mencari kekuasaan, kepercayaan, agar disegani dan dipuji-puji.

Keinginan merupakan sesuatu yang abdi, yang selalu ada sepanjang hidup manusia. Manusia itu keinginan. Manusia itu abadi (lestari), sebentar senang, sebentar susah.
Bila keabadian ini dimengerti, kita akan bebas dari penderitaan neraka penyesalan dan kekhawatiran, keluar dari penderitaan neraka iri dan sombong serta rasa celaka. Muncullah yang disebut dengan ”manusia tatag”, yaitu manusia yang berani (tidak khawatir) menghadapi keadaan apa pun. Masuklah ia dalam surga tenteram dan tabah yang menyebabkan orang bersuka-cita dan bahagia.

Hal lain yang juga diajarkan berkaitan dengan pengawikan pribadi, agar dapat menjadi tatag diharapkan orang bertindak sesuai dengan prinsip ”enam sa”: sabutuhe (sesuai kebutuhan), saperlune (sesuai keperluan), sacukupe (secukupnya), sakepenake (menjalani dengan enak), samestine (sebagaimana mestinya), sabenere (secara benar).

Mengawasi Keinginan
Setelah bersuka-cita dan bahagia, dapatlah orang menyadari dirinya sendiri sewaktu timbul keinginan apa pun. Setiap keinginan itu pasti mengandung rasa takut kalau-kalau tidak tercapai.

Untuk itu harus segera diyakini bahwa ”Keinginan itu jika tercapai tidak menimbulkan bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi. Bila tidak tercapai pun tidak menyebabkan celaka, hanyalah susah sebentar yang kemudian akan senang lagi.”

Bila kita sudah menyatakan demikian, selanjutnya kita dapat menantang, ”Silakan keinginan berusaha mati-matian mencari senang-senang abadi, dan mati-matian menolak susah abadi, pastilah tidak berhasil. Kamu (keinginan) tidak mengkhawatirkannya lagi.

Bila kita dapat meyakini keinginan diri seperti itu, lenyaplah rasa prihatin. Berbarengan dengan lenyapnya rasa prihatin, tumbuhlah si pengawas keinginanya sendiri yang paham akan keinginannya sendiri. @ (Bersambung)

MM Nilam Widyarini M.Si
Kandidat Doktor Psikologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar