NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Minggu, 25 April 2010

Perubahan Berawal dari Keluarga

Apapun persoalannya, tetap keluarga sangat penting. Keluarga bisa melahirkan dua oup put yang terlawanan sekaligus, yaitu melahirkan sebuah generasi yang sehat atau sebaliknya. Tidak sedikit penyakit masyarakat diawali karena ketikpuasan seseorang di lingkungan keluarga.

Saat ini, ketika seorang anak melakukan perilaku destruktif di lingkungan sosial, sering kali ditimpakan kepada sekolah dia berasal. Memang betul sekolah juga harus turut bertanggungjawab, tetapi ada institutusi yang jauh bertanggungjawab yaitu keluarga. Kenakalan remaja memang ada hubungannya dengan lingkungan sekolah. Sebab sekolah menyediakan ruang yang sangat memungkinkan para remaja untuk berinteraksi, kemudian membuat kelompok yang akhirnya merencanakan sesuatu yang negatif di masyarakat.

Persoalannya, salahkan sekolah? Tentu saja tidak, sebab ruang (lingkungan) sekolah mutlak ada untuk mendukung segala bentuk pembelajaran kepada anak didik. Fasilitas-fasilitas yang ada tentu saja diciptakan untuk mendorong terwujudnya dunia pendidikan yang lebih kondusif. Tetapi tentu saja kebaradaan berbagai fasilitas sekolah memungkinkan orang untuk melakukan apa saja.

Oleh karenanya tidak aneh jika sekolah kemudian menjadi kantong-kantong yang dapat melahirkan sebuah generasi yang dapat dibanggakan sekaligus sangat memalukan. Tidak sedikit pelajar yang dapat mengharumkan nama sekolah dan bangsanya, karena prestasi yang dicapainya. Tetapi tidak sedikit pula keresahan sosial berawal dari sebuah komunitas kecil yang namanya sekolah.

Sekolah dalam konteks ini menjadi serba salah, sebab tentu saja guru tidak dapat melakukan pemantauan orang per orang apalagi dari menit per menit perilaku anak didiknya. Sehingga kembali pada komunitas yang paling menentuka yang dapat melakukan pendidikan sangat intensif yaitu keluarga.

Dari ruang keluarga sesungguhnya seorang anak dibentuk. Mau jadi apa nanti seorang manusia, tergantung dari cetakan apa yang dibuat oleh orang tua dalam mendidik dan membesarkan anaknya. Anak yang dibesarkan dalam kekerasan tentu saja akan menjadi anak yang keras. Anak yang dibesarkan dalam nuansa kasih sayang tentu dia akan menjadi manusia kasih yang sayang terhadap sesama. Anak yang dididik dengan hal-hal bersifat mendidik, tentu anak akan besar dengan padat ilmu. Tetapi anak yang dibesarkan dengan tayangan televisi, maka dia akan hidup dalam hayalan panjang tak berujung. Karenanya seorang anak akan lebih baik jika dia dibesarkan dalam nuansa sarat nilai.

Dalam wacana politik, seorang anak akan besar dengan lapang dada, suka menghormati orang lain, dan tidak tabu atas berbagai berbagai perbedaan yang ada, jika dia dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan sikap demokrasi di rumahnya. Tetapi anak akan kasar dan merasa menang sendiri jika orang tua mendidik anak dengan otoriter. Artinya, warisan pendidikan dan kultur yang dibangun di rumah tangga, sedikit banyak akan memberikan kontribusi pada pola prisip, pengetahuan, dan perilaku anak ketika tumbuh besar nanti.

Ketika kita hari ini selalu resah dengan fenomena sosial, khususnya terhadap berbagai perilaku negatif kaum remaja atau anak muda secara umum. Maka ada salah satu pihak yang mudah untuk dibidik, yaitu keluarga. Sejauhmana keluarga hari ini mendidik anak-anaknya? Pendidikan apa yang dilakukan di keluarga? Pola pendekatan apa yang dilaukkan orang tua dalam mendidik anaknya?

Sepintas memang berat mendidik anak dengan berbagai tuntutan. Sebab pada dasarnya, mengurus anak dengan batas kesehatan saja sudah sangat berat. Misalnya bagaimana agar anak tidak gampang sakit, bagaimana anak terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, dan lain sebagainya. Tetapi juga membesarkan anak dengan hanya berorientasi pada sesuatu yang bersifat fisik semata, itu pun belum cukup.

Sehingga dalam melakukan pendidikan anak tentu saja harus integral. Karenanya mengapa Tuhan menyuruh kita untuk memelihara dan menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Tentu perintah ini menganduk arti bahwa proses membesarkan anak tidak hanya cukup dari aspek fisik tetapi juga aspek intelektual, emosional dan spiritual. Ketiganya akan membawa manusia pada derajat yang tinggi sehingga cenderung akan membawa keselamatan di dunia dan di akhirat. Sebab Tuhan tidak melihat manusia dari sisi fisiknya tetapi dari sisi ketakwaan. Bahkan mereka yang dijanjikan Allah untuk ditinggikan derajatnya adalah orag yang beriman dan memiliki ilmu, bukan yang ganteng atau cantik.

Ketiga aspek pendidikan ini harus diberikan sedini mungkin dengan memperhatikan metode dan bobot materi. Hal ini tentu saja sangat mungkin walaupun dengan kadar yang tepat bagi anak. Tidak sedikit misalnya hari ini anak yang masuk TK sudah bisa baca atau menghitung dasar. Waluapun masih sangat sederhana, tetapi bahwa pembelajaran sejak dini juga dapat dilakukan orang tua di rumah, sebelum mereka sekolah dan bergaul di lingkungan yang lebih luas.

Sayang, kesadaran akan penting bisa membaca atau menghitung bahkan untuk menyanyi pada anak seringkali masih belum diimbangi oleh pendidikan-pendidikan yang sama pentingnya yaitu pendidikan pengelolaan emosi dan spiritual anak. Sebab dalam beberapa kasus banyak orang tua yang terjebak pada pengagungan intelektual saja tanpa memperhatikan unsur emosional dan spiritual anak. Tentu hal ini juga tidak terlalu salah, sebab lembaga pendidikan kita saat ini masih menghitung keberhasilan anak dari aspek intelektual saja – yang dicerminkan oleh raport atau nilai Ujian Nasional.

Padahal dalam faktanya, tidak sedikit anak yang pintas secara intelektual, tetapi dalam hal pergaulan cenderung negatif, baik tidak mau bergaul sama sekali atau bergaul tapi melakukan hal-hal negatif. Karenanya intelektual dalam kenyataannya hanya salah satu faktor pendukung keberhasilan seorang anak. Sehingga dalam hal ini orang tua harus juga melakukan perubahan model pendidikan anak dengan memberikan unsur emosional dan spiritual pada anak. Berbagai perilaku menyimpang yang cenderung meresahkan para orang tua, guru dan masyarakat yang dilakukan para remaja, sesungguhnya membuktikan betapa keringnya para remaja dari unsur emosional dan spiritual.

Saya kira, dengan cara inilah masa depan anak dan remaja sedikit atau banyak akan terselamatkan. Pada satu sisi pendidikan pertama dan utama itu sesungguhnya berada di ruang-ruang keluarga dan pada sisi lain muatan pendidikan juga tidak terjebak hanya pada sisi-sisi intelektualitas semata. Generasi yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual diharapkan yang akan melakukan berubahan ke depan. Namun kuncinya tetap ada di tangan para orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar