NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Minggu, 25 April 2010

Memasyarakatkan Budaya Baca

Anak itu tidak hentinya pontang panting seperti tak kenal lelah. Di saat orang tuanya duduk santai melepas lelah di sebuah sudut pusat perbelanjaan buku terbesar di Kota Bandung, anak itu tetap tak mau diam. Matanya seperti tak puas-puasnya memandang deretan buku yang terpampang rapih di setiap sudut dan dinding toko. Sesekali langkahnya terhenti ketika menyaksikan gambar-gambar buku yang dianggapnya menarik. Tangannya terkadang membolak-balik buku yang entah mengerti atau tidak terhadap isi bukunya.


Anak seusia 4-5 tahun itu memang menurut orang tuanya bukan target membaca ketika harus dibawa bermain ke pusat perbelanjaan buku, tetapi hanya sekedar mengenalkan buku agar anak keranjingan membaca di kemudian hari itu sudah sangat cukup. Sayang tidak banyak anak yang memiliki kesempatan seperti anak tadi. Kebanyakan anak-anak kita lebih sering di bawa untuk mempertontonkan berbagai barang serba lux yang ada di supermarket dan mall-mall ternama. Anak-anak hari ini lebih senang pada mainan-mainan yang kurang mendukung perkembangan keilmuan mereka. Bahkan hari ini kita juga sering menyaksikan anak yang lebih memilih menghabiskan masa-masa yang sangat menentukannya itu di jalanan.


Bukankah setiap anak berhak untuk mengenal lebih dekat dengan dunia buku, seperti halnya anak di atas. Persoalannya, sejauhmana setiap orang tua dapat mengakses pusat-pusat ilmu ini untuk diperkenalkan ke dunia anak. Karenanya hanya orang-orang tertentu dan mereka yang berada pada level sosial tertentu yang dapat mengakses pusat-pusat buku ini.


Perpustakaan yang diharapkan dapat menjadi alternatif pencerahan kepada masyarakat dengan mengenalkan buku kepada masyarakat luas hari ini masih sangat menghawatirkan, baik dari sisi jumlah Perpustakaannya, jumlah koleksi bukunya hingga kualitas layanannya. Keberadaan Perpustakaan umum hari ini masih berada di titik-titik tertentu yang jauh dari kalangan masyarakat bawah. Baik perputakaan maupun toko-toko buku lebih memilih lokasi pusat perkotaan dari pada mendekati daerah-derah yang masih berada pada level menengah ke bawah. Paling banter, perpustakaan saat ini tersebar di sekolah dan kampus-kampus. Itupun jumlah koleksinya sangat terbatas dan banyak buku yang sudah out of date, sehingga tidak mampu memberikan masukan tentang perkembangan ilmu terkini terhadap para pelajar dan mahasiswa.



Perlu Terobosan


Sesungguhnya banyak cara jika pemerintah memiliki niat baik untuk mencerdaskan masyarakat yang salah satunya dengan meningkatkan minat baca. Namun keinginan ini memang harus didukung oleh niat baik dan keberpihakan pemerintah terhadap pentingnya tradisi baca di masyarakat. Saya kira ini penting, sebab bagaimanapun, pemerintah sangat berkepentingan terhadap masyarakat yang cerdas. Bagaimana mungkin misalnya sebuah pemerintah daerah akan dapat membuat kebijakan yang didukung oleh masyarakat jika masyarakatnya sendiri masih belum pintar. Dan salah satu indikasi masyarakat yang belum pintar adalah mereka bukan hanya dilihat dari tingkat pendidikannya, tetapi juga dari kuantitas dan kualitas bacanya. Sebab banyak orang yang berpendidikan tetapi malas membaca, sehingga yang timbul adalah kekerasan di sekolah atau kampus, atau perkelahian antar pelajar atau mahasiswa.


Jika pemerintah daerah memiliki keinginan ke arah itu, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana dia membuat kebijakan strategis untuk memperkenalkan ilmu lewat buku kepada masyarakatnya. Beberapa peluang yang sesungguhnya dapat dilakukan oleh pemerintah dalam memasyarakatkan budaya baca.


Pertama, unsur sarana. Sarana ini sangat penting sebab keberadaan buku-buku yang akan menjadi konsumsi masyarakat harus berada pada tempat yang aman – dari gangguan alam dan manusia. Selain itu sarana juga harus refresentatif untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi masyarakat yang akan membaca. Tempat ini jangan hanya dapat dijangkau masyarakat tetapi juga harus kondusif untuk membaca. Walaupun belum tentu harus mahal dan mewah, namun dengan tempat-tempat yang ada dapat dijadikan sarana perpustakaan masyarakat.


Dalam konteks sarana ini, Pemerintah Daerah dapat melakukan dua pendekatan, yaitu jalur pertikal dan horizontal. Secara pertikal Pemda dapat melakukan instruksi misalnya kepada pejabat pemerintah di bawahnya baik Camat ataupun lurah untuk menyediakan tempat untuk ruang baca masyarakat. Semakin bawah tingkat struktur yang berfungsi, maka sekain banyak titik-titik perpustakaan masyarakat ini. Tempat ini belum tentu harus berlolasi di kantor pemerintahan, tetapi yang penting setiap satu kecamatan atau satu kelurahan harus ada satu perpustakaan masyarakat atau taman bacaam masyarakat yang terbuka untuk umum.


Sedangkan jalur horizontal, Pemda dapat menghimbau atau agak memaksa para pemilik perusahaan untuk menyediakan fasilitas baca bagi masyarakat. Terkhusus misalnya bagi kantor-kantor yang mengundang banyak orang dan sangat kondusif untk membaca. Bank misalnya, sambil masyarakat mengantri dan melamun tanpa aktivitas berarti, lebih baik mereka baca. Dan pihak Bank menyediakan satu space kecil untuk menyimpan buku-buku yang diperuntukan bagi masyarakat yang sedang antri. Bisa juga di kantor Pos, PLN, lising, bahkan yang paling ekstrim adalah di setiap pangkalan ojeg. Sambil menunggu muatan, apa salahnya kalau tukang ojeg membaca buku. Atau perusahaan Bis Kota menyediakan buku di dalam kendaraannya. Bagi bis-bis yang ber-AC saat ini sangat memungkinkan untuk melakukan hal ini.


Kedua, buku itu sendiri. Pada prinsipnya setiap pusat bacaan masyarakat ini dapat menyediakan fasilitas baca yang dapat menambah ilmu dan pengetahuan masyarakat. Tetapi pada konteks tertentu, buku yang disediakan tentu akan sangat berbeda, ketika disajikan di perpustakaan pada masyarakat yang ada di pusat kota dengan yang agak terpencil misalnya. Atau buku yang disediakan pihak Bank akan berbeda dengan yang ada di pangkalan-pangkalan ojeg.


Ketiga, Sumber Daya Manusia. Bagi tempat-tempat tertentu pusat bacaan ini tentu memerlukan petugas khusus yang berfungsi untuk mengatur regulasi buku dan melakukan perawatan. Pada saat yang sama Pemda telah memberi peluang kerja bagi masyarakat walaupun jumlahnya tidak signifikan. Walaupun demikian pada tempat tertentu juga tidak perlu petugas khusus cukup saja dengan petugas kantor yang ada. Yang penting ada tingkat keamanan, perawatan, juga dinamisasi kehadiran buku (tidak monoton) dapat terjaga.


Ini mungkin langkah sederhana bagi Pemda, tetapi saya kira akan memberikan efek yang cukup signifikan bagi masyarakat. Sebab pada dasarnya masyarakat bukan tidak mau melakukan aktivitas membaca, tetapi ada beberapa keterbatasan, yaitu sulit mengakses tempat-tempat baca (perpustakaan), juga keterbatasan dana untuk membeli buku yang harganya cukup mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar