NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Minggu, 25 April 2010

Elitisme Sekolah

Sudah sejak lama pemerintah kita diintervensi oleh kekuatan-kekuatan lain yang menghendaki terjadinya penghentian berbagai bentuk subsidi kepada rakyat. Sebab katanya, subsidi tidak sesuai lagi dengan Neoloberal dan bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan privatisasi semua perusahaan milik negara, termasuk pendidikan di dalamnya. Gagasan untuk menghentikan berbagai bentuk subsidi pendidikan dan menyerahkan kepada pasar, ternyata telah menimbulkan persoalan tersendiri, terutama yang berhubungan dengan masalah pembiayaan oleh rakyat.

Pendidikan nasional saat ini, kata Mu’arif (2005: 115), memang semakin jauh dari visi kerakyatan. Bahkan dengan otonomi sekolah, jelas-jelas menunjukan kapitalisme sekolah benar-benar terjadi. Sekolah saat ini dikelola dengan manajemen bisnis, kemudian menghasilkan keuntungan yang melangit. Biaya sekolah makin mahal, bahkan terkesan telah menjadi komoditas bisnis para pemilik modal. Dengan menggunakan label “sekolah unggulan”, “sekolah pavorit”, sekolah percontohan”, “sekolah model”, atau yang lainnya, biaya sekolah semakin mencekik wong cilik. Di manakah letak keadilan pendidikan kita, jika sekolah-sekolah bermutu hanya milik mereka yang punya uang saja?

Sesungguhnya sekolah itu bukan urusan bisnis melulu, tetapi juga harus bisa memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak mampu. Yang tidak mampu harus disantuni dan tetap diberi kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan. Diberi kesempatan yang sama dalam arti, sekolah harus juga bisa dijangkau rakyat jelata, baik secara geografis maupun biaya. Jika orang kaya menganggap iuran sekolah hari ini biasa-biasa saja, maka lain lagi ang dirasakan masyarakat miskin. Ekspresi demikian, terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan harian Kompas (9/6/03). Jajak pendapat itu menggambarkan, tidak kurang dari 42 % responden berpendapat, biaya sekolah SD saatini sangat mahal. Kemudian 45 % mengatakan biaya SLTP saat ini mahal, dan 51 % menyatakan biaya SLTA saat ini mahal. Jangan tanya bagaimana biaya Perguruan Tinggi, tentu jauh lebih mahal. Dan sekali lagi, dengan kondisi ini masyaraka miskin sangat tidak mungkin bisa mengakses ruang-ruang kelas untuk anak-anak tercintanya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya komersialisasi sekolah. Pertama, masih kuatnya idiologi kapitalisme mencengkram bangsa Indonesia. Kedua, ketika Orde Baru menginginkan kesan pendidikan murah, tetapi rakyat tidak diberi topangan ekonomi yang kuat, maka otonomi sekolah tetap menjadi malapetaka. Ketiga, kemampuan pengelolan sekolah yang hanya terbatas pada didaktik-metodik semata, ini menjadi masalah ketika disuruh memenej sekolah sendiri. Yang dilakukan adalah pungut sana-sini, dan siswa menjadi objek pemerasan (Darmaningtyas, 2004: 239).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar