NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Senin, 15 November 2010

Dekonstruksi Khilafah

Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society

Konferensi Internasional Khilafah oleh Hizbut Tahrir Indonesia, yang diadakan di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, menyisakan sebuah tanda tanya bagi publik. Hal tersebut terkait dengan beberapa pernyataan yang disampaikan oleh sejumlah tokoh yang hadir. Di antaranya, perihal penegakan syariat dan implementasi konsep khilafah dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Dalam beberapa tahun mendatang, kedua isu tersebut tidak akan mengalami penyusutan. Bahkan bisa jadi sebaliknya, yaitu peningkatan yang cukup drastis, mengingat adanya pernyataan yang disampaikan oleh juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) perihal kemungkinan menjadikan organisasi tersebut sebagai partai politik (detik.com, 12).

Pernyataan tersebut semakin mengentalkan aroma menguatnya kelompok yang hendak mengusung Islamisasi negara. Sebaliknya, Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara, serta titik temu di antara keragaman warga negara, sedang berada di persimpangan jalan. Tidak hanya itu, HTI dan kelompok-kelompok lainnya yang seideologi secara nyata menolak demokrasi karena menurut mereka demokrasi adalah paham tentang kedaulatan rakyat.

Paradigma khilafah pada hakikatnya merupakan diskursus yang bersifat historis. Ia bukan sebuah kewajiban yang mengikat bagi setiap muslim. Khilafah dalam arti sistem politik merupakan sebuah paradigma yang hadir dalam konteks masyarakat tertentu, yang pada akhirnya mengalami pemberontakan dari dalam sendiri. Sebab, dalam kurun waktu yang panjang, sejak dinasti Muawiyah, Abbasiyah, sampai Utsmaniyah, umat Islam berada dalam kekecewaan yang bersifat masif. Sistem khilafah pada saat ini bukan tanpa masalah. Konflik internal antara kelompok Sunni dan Syiah, serta perebutan kekuasaan di antara kelompok, merupakan sebuah sejarah yang juga patut diperhatikan.

Begitu halnya bila merujuk pada sistem khilafah yang dipraktekkan oleh para sahabat Nabi. Sebenarnya sistem khilafah pada zaman itu tidak bisa disebut sebagai sistem khalifah sebagaimana dipahami oleh HTI, karena kekuasaan Islam sangat terbatas. Sistem khilafah pada saat ini merupakan sebuah sistem yang bersifat darurat, yang didasari keinginan bersama untuk melanjutkan misi dakwah Rasulullah SAW. Karena itu, mereka memilih pemimpin di antara mereka bukan berdasarkan wasiat dan mandat dari Rasulullah SAW, melainkan berdasarkan realitas dan kapasitas kepemimpinan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sistem yang dianut oleh para pemimpin pasca-Nabi merupakan sebuah sistem yang dibangun di antara kemufakatan dan kebersamaan.

Lalu apa masalah sistem khilafah? Pada mulanya sistem tersebut lebih menyerupai sistem yang dianut dalam demokrasi, yaitu kepemimpinan yang dipilih oleh suara mayoritas dengan tanggung jawab penuh terhadap publik. Tapi pada saat Muawiyah hendak mengambil alih kekuasaan, wacana khilafah mengalami pergeseran makna sebagai kekuasaan Tuhan (hâkimiyatullâh). Khalifah tidak lagi menjadi sebuah konsep kepemimpinan yang berlaku umum, yang dibangun di atas fondasi kehendak untuk membangun kebersamaan dengan menggunakan mekanisme demokrasi.

Sejak saat itu, kepemimpinan yang pada mulanya sebagai sebuah sistem yang dipilih dan dikelola secara demokratis menjadi sebuah sistem yang menganut ideologi kedaulatan Tuhan. Wacana inilah yang dianut sepenuhnya oleh HTI. Ismail Yusanto menyatakan bahwa HTI menolak demokrasi karena menganut paham kedaulatan rakyat. Sedangkan HTI menganut paham sebaliknya, yang menurut mereka lebih sakral, yaitu kedaulatan Tuhan. Tidak hanya HTI, sejumlah kelompok radikal juga mengibarkan bendera kedaulatan Tuhan.

Dalam hal ini harus diakui letak kerentanan dan kerawanan pandangan mereka. Sebab, pandangan tersebut mempunyai sejumlah kelemahan, baik dari segi teologis, historis, maupun konteks sosial-politik. Pertama, secara teologis gagasan tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat, karena pada dasarnya setiap manusia diberi akal budi untuk menentukan masalah mereka. Dalam teologi Asy'ariyah, misalnya, Tuhan mempunyai kedaulatan, tapi manusia juga mempunyai hak untuk memilih dan menentukan. Teologi ini dikenal sebagai "teologi moderat". Sedangkan teologi kedaulatan sesungguhnya dianut oleh kalangan fatalistik (al-jabariyyah), yang dalam ensiklopedi teologi kontemporer sudah mengalami kebangkrutan. Teologi fatalistik, yang mengakui kedaulatan Tuhan, tidak mendapatkan respons positif, kecuali oleh negara-negara yang otoriter. Sebab, mengacu pada "teologi kiri" yang dikumandangkan oleh Hassan Hanafi, kedaulatan Tuhan pada hakikatnya digunakan oleh para penguasa dan ulama untuk memantapkan otoritarianisme.

Kedua, secara historis kedaulatan Tuhan mempunyai makna yang tidak tunggal. Artinya, kedaulatan Tuhan bukanlah berarti bahwa hanya Islam yang diperkenankan dan wajib ada di muka bumi, agama-agama lain juga bisa berkembang dengan pesat. Bukan hanya itu, secara sosiologis agama-agama lain barangkali bisa lebih produktif dan emansipatoris daripada agama Islam. Karena itu, kedaulatan Tuhan yang dimaksud sebenarnya bukan "kedaulatan Islam" sebagaimana dipahami oleh para penggiat politik Islam. Kedaulatan Tuhan adalah kedaulatan agama-agama.

Pandangan ini pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru, karena di dalam Al-Quran sendiri disebutkan bahwa kedaulatan Tuhan merupakan sesuatu yang bersifat historis. Artinya, Tuhan memberikan mandat kepada setiap agama untuk menegakkan hukum dan ajaran moral mereka (QS Al-Maidah [5]: 43-48). Tapi kedaulatan Tuhan yang dimaksud bukan untuk memonopoli kebenaran, melainkan justru membagi kebenaran kepada setiap agama untuk menerapkan ajaran-ajaran yang digariskan Tuhan dalam setiap agama.

Dalam hal ini, paradigma kedaulatan Tuhan sebagaimana dipahami oleh HTI mengalami reduksi dan pembajakan, yang secara literal sangat jauh dari substansi Al-Quran di atas. Dalam pelbagai seminar, penulis menemukan mereka berdakwah tentang ayat anjuran penegakan hukum Tuhan. Ayat tersebut sering kali dipahami secara sepotong-potong. Padahal, kalau dibaca lengkap dan seksama, ayat tersebut berisi tentang kebebasan dan tanggung jawab bagi setiap agama untuk menegakkan ajarannya masing-masing tanpa ada ancaman dan tekanan. Untuk setiap agama yang tidak menegakkan hukumnya, akan ada sanksi tersendiri bagi mereka menurut ajaran yang dianut oleh masing-masing agama, terutama Yahudi, Kristen, dan Islam. Bahkan, tidak sedikit ditemukan kesamaan antara ajaran Islam dan ajaran agama-agama yang lain.

Karena itu, substansi ayat di atas sebenarnya pengakuan atas pluralitas agama-agama dan pluralitas kebenaran yang dibawa agama-agama. Tuhan Maha Esa, tapi jalan menuju Tuhan amat beragam. Ibnu Rusyd bertutur dalam Fashl al-Maqâl fî Taqrîr mâ bayn al-Hikmah wa al-Syarî'ah min al-Ittishâl, "Kebenaran adalah tunggal, tapi jalan menuju kebenaran adalah plural."

Ketiga, dalam konteks keindonesiaan, paham khilafah yang menganut kedaulatan harus diakui sangat bertolak belakang dengan pijakan bersama bangsa ini, yaitu Pancasila, terutama soal Islamisasi negara. Pandangan ini merupakan ancaman yang cukup serius, yang pada saat bersamaan mempunyai sejarah tersendiri. Dulu mereka menggunakan istilah Piagam Jakarta. Kini mereka menggunakan istilah yang lebih desentralistis, yaitu peraturan daerah yang bermuatan syariat.

Dalam hal ini, pandangan mereka harus diakui bertolak belakang dengan suara mayoritas, terutama dalam ranah sosial-politik dan kultural keagamaan. Secara politik sudah bisa dipastikan bahwa partai politik yang mendapat paling banyak suara adalah partai-partai yang beraliran nasionalis-sekuler. Sedangkan dalam konteks kultural keagamaan, ormas terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah secara nyata menolak upaya Islamisasi negara. Keduanya konsisten memilih Pancasila dan menjadikan syariat sebagai sesuatu yang niscaya dalam konteks pemberdayaan umat dan kesalehan sosial tanpa harus melakukan intervensi dalam politik praktis.

Karena itu, beberapa alasan di atas hendak menegaskan bahwa sistem khilafah merupakan sistem yang diyakini hanya oleh minoritas umat Islam, baik di dunia maupun di Indonesia. Pandangan tersebut harus diakui akan mengalami kebangkrutan karena sesungguhnya hanya merupakan mistifikasi atas masa lalu dan respons sesaat atas masalah kekinian.

Barangkali, bagi mereka yang tidak mengenal dengan baik esensi teologi, lanskap historis, dan konteks sosial masyarakat, diskursus sistem khilafah akan memberikan harapan untuk terwujudnya perubahan. Tapi, bagi mereka yang mengenal dengan baik khazanah keagamaan, diskursus khilafah hanya merupakan fenomena kegagapan atas modernitas.

Kendatipun demikian, kita harus menghargai setiap gagasan yang dilontarkan ke publik sejauh menggunakan cara-cara yang demokratis dan jauh dari kekerasan. Ini salah satu keistimewaan HTI yang dalam diseminasi gagasannya jauh dari kekerasan. Tapi sebagai sebuah gagasan yang sudah pernah tumbuh dan melalui masa-masa sulit, sistem khilafah harus diperhatikan dengan seksama, terutama bilamana gagasan tentang "kedaulatan Tuhan" digunakan untuk tujuan kekerasan. Sebab, dalam sejarah, mereka yang menganut paham "kedaulatan Tuhan" kerap kali menggunakan kekerasan, seperti Khawarij yang telah menetaskan darah dengan atas nama agama. Di sini, tidak ada jalan lain kecuali belajar memahami sejarah dan khazanah Islam dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar