Tidak ada surga di telapak kaki ibuku
Ini adalah untuk kesekian kalinya sepulang sekolah aku bukannya langsung ngegembel di jalanan mengamen dan meminta-minta belas kasihan orang lain seperti apa yang selalu diajarkan oleh perempuan itu kepadaku, perempuan yang aku panggil ibu itu, tetapi aku justru malah ikut si Putra, teman sekelasku, untuk pulang ke rumahnya. Biar saja nanti perempuan yang aku panggil ibu itu ~ ah, bukan, bukan aku yang memanggilnya ibu, tetapi dia yang mengaku sebagai ibuku dan memaksaku untuk memanggilnya ibu ~ memarahiku, mengomeliku dan mencaci makiku habis-habisan.
“Ah, biarin saja Bud, ibumu itu ngomel sesuka hatinya sendiri, kamu kan punya kuping, ya dengerin sajalah omelannya itu, tapi gak usah digubris, ntar dia juga capek sendiri ngomel-ngomel melulu. Gitu aja kok repot. He..he..he..” kata si Wawan, teman seperjuanganku ngegembel di jalanan suatu ketika.
Biar saja nanti perempuan yang aku panggil ibu itu memukuliku dan menghajarku habis-habisan.
“Ah, biarin sajalah Bud, gak usah dilawan, ntar kalo udah capek, dia pasti berhenti sendiri memukuli kamu. Lagian kamu cengeng amat sih Bud, kaya anak-anak orang kaya itu saja. Kita ini gembel jalanan Bud. Kita ini dilahirkan untuk menjadi seorang petarung yang harus kuat luar dalam, bukannya cengeng kaya kamu gitu. Ya gak Wan?” kata si Anto, teman seperjuanganku ngegembel yang lain sambil meminta persetujuan si Wawan, suatu ketika aku berkeluh kesah kepada mereka berdua. Sementara si Wawan, setali tiga uang dengan si Anto, mengiyakan saja ucapan si Anto itu.
“butul sekali kau, To.” Ucap si Wawan dengan lucunya menirukan logat preman-preman ambon yang berkeliaran di Jakarta itu disusul tawa mereka berdua. Aku yang sebelumnya lagi bersedih pun tak bisa menahan diri untuk ikut-ikutan ketawa bersama mereka. Bersama mereka berdualah aku saling berbagi suka dan duka menjalani nasib menjadi gembel jalanan. Karena memang pada dasarnya kami bertiga mengalami nasib yang sama, ya sama-sama bernasib menjadi gembel jalanan, ya sama-sama punya ibu yang dipanggil lonte yang seolah tiada punya rasa kasih sayang sedikitpun kepada kami, dan satu lagi nasib sama yang menimpa kami bertiga yang membuat kami benar-benar trauma berat menjadi gembel jalanan, yaitu sama-sama pernah menjadi korban sodomi preman-preman ambon kurang ajar itu gara-gara tidak menyetorkan uang keamanan kepada mereka karena memang uang hasil ngegembel kami sudah habis buat membeli perlengkapan sekolah kami.
“Anjing! Bangsat! Biadab! Awas, ntar kalo aku sudah dewasa nanti, dan preman-preman ambon itu sudah mulai tua dan pikun, akan aku bunuh mereka dengan ku potong-potong kemaluannya.” Begitulah kata-kata yang terucap dari mulut kami bertiga waktu itu .
Sementara lonte-lonte yang kami panggil ibu itu masih tetap saja menyuruh kami untuk ngegembel mengamen dan meminta-minta belas kasih orang lain jika masih ingin tetap sekolah.
“Ah, dasar lonte! Katanya kita ini anak kandungnya, masa biayain sekolah anaknya sendiri saja gak mau, malah uangnya dibuat untuk membeli bedak lah, lipstik lah, untuk perawatan kecantikan lah. Padahal setahu aku sih, kata Mbak Sri tetanggaku yang juga lonte itu, jadi lonte itu uangnya banyak lho!” kata si Wawan.
“Ah, namanya juga lonte, hatinya ya juga hati lonte, sekali lonte tetap lonte forever!” kataku dan si Anto hampir berbarengan.
“Eh, tapi kan denger-denger pemerintah menyediakan dana BOS buat mereka yang pengen sekolah tapi gak punya biaya.” Kata si Wawan kembali.
“Alaaahhh…! Dana BOS apaan?! Dana BOS kok dikorupsi. Dasar pemerintah!” kataku dan si Anto kembali hampir berbarengan.
“Masa sih? Kata siapa?” tanya si Wawan.
“Makanya, sekali-kali nonton TV dong, jangan ngegembel melulu, biar gak kuper!” timpal si Anto.
Tak terasa sudah setengah jam kami berjalan, akhirnya kedua kaki kami sampai juga di depan rumahnya si Putra. Dalam hati aku benar-benar salut dengan si Putra, meskipun dia itu anak orang kaya, namun dia tidak seperti kebanyakan anak-anak orang kaya lainnya yang setiap hari minta diantar jemput ke sekolah pakai mobil. Dia lebih suka jalan kaki ke sekolah. Katanya sih jalan kaki itu sangat baik sekali untuk kesehatan tulang kita. Dia juga tidak suka membeda-bedakan dan memilih-milih dalam berteman. Dan, satu hal lagi yang membuat aku suka berteman dengannya adalah kefasihannya dalam mengaji. Karena itu pula aku sering minta diajarin ngaji sama dia.
“Eh, Budi nanti sore mau ikut Putra gak?”
“Emangnya Putra mau kemana?”
“Khusus setiap hari sabtu sore, Ustadz Husein memberikan ceramah kepada anak-anak TPQ di Masjid.”
“Ustadz Husein itu siapa?”
“Dia itu yang mengajari aku mengaji.”
“Emang boleh kalo aku ikut? Aku kan bukan termasuk anak-anak TPQ disini.”
“Boleh kok, malahan Ustadz Husein senang sekali kalo kita mengajak teman-teman kita menghadiri pengajiannya.”
Akhirnya sore itu aku ikut si Putra menghadiri pengajian yang diasuh oleh Ustadz Husein. Biasanya sore hari begini aku sudah harus berada di rumah. Tentunya ngapain lagi kalo bukan melaporkan uang hasil aku ngegembel kepada si perempuan yang ku panggil ibu itu dan lalu disuruh olehnya bersih-bersih dan jagain rumah, sementara dia sudah mulai berdandan menor siap-siap menjajakan dirinya kepada setiap lelaki hidung belang yang lewat. Ah, peduli amat dengan perempuan itu. Aku akan pulang ke rumah setelah maghrib nanti, setelah mendengarkan ceramah Ustadz Husein dan setelah ikut belajar mengaji kepada beliau. Biarin saja dia nanti marah-marah kepadaku. Aku sudah bosan dengan kehidupan di daerah perkampunganku yang begitu kering akan siraman rohani.
“Surga itu ada di telapak kaki ibu. Karena itu kalian semua harus menghormati dan patuh kepada ibu kalian masing-masing. Jangan sampai kalian membuat ibu kalian murka kepada diri kalian, karena jika ibumu sudah murka dengan kamu, maka Tuhan pun juga akan murka dengan kamu. Kalian tentunya pernah mendengar legenda Malin Kundang, karena dia itu durhaka kepada ibunya, dia dikutuk menjadi patung. Nah, karena itu jangan sampai kalian itu bernasib sama seperti Malin Kundang.”
Kata-kata Ustadz Husein itulah yang selalu terngiang di kepalaku sepanjang perjalanan pulang ke rumah.
“Malin Kundang memang pantas mendapat murka dan kutukan dari ibu kandungnya karena dia tidak mau mengakui ibu kandungnya itu yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang hanya karena malu kepada istrinya karena ibunya itu orang miskin yang berpenampilan kusut dan kumuh. Tapi? Apakah aku juga akan mendapat murka dari perempuan yang aku panggil ibu itu jika aku membuatnya murka kepadaku? Ah, tidak, sama sekali tidak. Perempuan itu sama sekali tiada punya rasa kasih sayang kepadaku seperti halnya seorang ibu menyayangi anaknya. Dia tidak pernah mengurusi diriku yang dianggap sebagai anak kandungnya ini. Dia hanya mengurusi dirinya sendiri. Jadi, buat apa aku menghormatinya? Buat apa pula aku selalu patuh kepadanya?” gumamku sendirian dalam hati.
Langit sudah tampak semakin gelap pertanda hari sudah beranjak malam ketika aku sampai di depan rumah. Ku kira perempuan yang aku panggil ibu itu sudah pergi mangkal ke tempat dia biasa menjajakan dirinya kepada setiap lelaki hidung belang yang lewat. Dalam hati aku merasa gembira karena tidak akan ada orang yang akan memarahiku dan mengomeliku lagi. Setidaknya untuk malam ini saja, sehingga aku bisa langsung tertidur lelap dalam mimpi yang indah, perkara besok perempuan itu akan melipatgandakan kemarahannya kepadaku, itu urusan nanti. Hari ini ya hari ini. Besok ya besok.
Ku buka pintu rumah tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Ku buka pintu rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu karena aku pikir perempuan itu sudah berangkat pergi dari rumah. Tapi? Ah, mataku terbelalak kaget ketika membuka pintu rumah. Di depan kedua mata dan kepalaku sendiri, aku mendapati perempuan yang aku panggil ibu itu sedang berhubungan badan dengan seorang lelaki hidung belang yang telah membayarnya persis di ruang tamu tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuh mereka. Sementara ekspresi wajah mereka berdua tak jauh berbeda denganku. Terperanjat, terbelalak, dan kagetnya setengah mati ketika melihat kedatanganku yang tiba-tiba itu. Nafas mereka terdengar terengah-engah seperti orang yang habis berlari-lari karena dikejar anjing saja. Lalu mereka tampak segera menghentikan tindakan tak senonoh itu dan bergegas mengenakan pakaian mereka ala kadarnya.
“Aduuuhhh! Kenapa harus jadi begini? Mati aku!” gumamku dalam hati,”ah, lebih baik aku segera kabur saja meninggalkan mereka berdua. Biar mereka berdua kembali melanjutkan kenikmatan sesaat mereka yang tertunda gara-gara kedatanganku yang tiba-tiba ini.”
Aku segera membalikkan badan membelakangi mereka dan hendak segera berlari meninggalkan mereka berdua yang terlihat masih saja sibuk membetulkan pakaian yang kembali mereka kenakan serta nafas mereka yang masih terdengar terengah-engah. Namun, tiba-tiba perempuan yang ku pangggil ibu itu mendadak ku dengar memanggilku dengan begitu galaknya. Sementara lelaki hidung belang itu terlihat berlalu keluar dari rumah begitu saja meninggalkan kami berdua setelah meninggalkan beberapa lembaran uang kertas di atas meja.
Sementara aku hanya terdiam saja tidak bereaksi apa-apa ketika perempuan itu memanggilku. Aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa waktu itu. Yang bisa ku lakukan hanyalah diam dan diam saja mendengarkan caci maki, marah, dan omelan perempuan yang aku panggil ibu itu.
“Dari mana aja kamu?! Kok jam segini baru pulang ke rumah?!” tanya perempuan itu sambil menjewer telinga sebelah kiriku yang kurasakan begitu panas dan sakit.
“Ampun Bu. Budi minta ampun, Bu. Budi minta maaf sama Ibu. Budi tadi sama sekali tidak tahu kalau Ibu sedang menerima tamu di rumah. Budi tidak sengaja Bu. Sungguh, Bu. Ampun Bu, ampun.” Aku hanya bisa meng’ampun’ dan meng’ampun’-‘ampun’ dan memelas di hadapannya.
“Ampun, ampun, ampun saja kamu itu. Aku tanya kamu itu dari mana saja, ha?! Kok malah ampun, ampun saja kamu. Enak saja kamu minta ampun. Nih, ampun buat kamu!” ucapnya sambil semakin keras menjewer telingaku.
“Aduuuhhh!!! Sakiiittt, Bu!!! Ampun, Bu!!!” aku mengerang kesakitan menahan panas kupingku mendapat jeweran yang begitu keras dari perempuan itu. Lalu kurasakan perempuan itu perlahan melepaskan jewerannya. Namun, ku tangkap di balik sorot tajam matanya sebuah kemurkaan dan kemarahan yang sangat kepadaku.
“Dari mana saja kamu, ha?!” tanyanya kembali masih dengan nada galak dan marahnya sambil berkacak pinggang.
“Budi habis main dari rumahnya si Putra, Bu.” Jawabku memelas, namun ku lihat sorot mata perempuan itu justru semakin tajam dan buas seperti seekor burung elang yang akan menerkam mangsanya.
“Main?! Main-main sampai jam segini?!”
“Bu…bu…bukan, Bu, Budi tadi ikut mendengarkan pengajian dan belajar ngaji sama Ustadz Husein, guru ngajinya si Putra, Bu.”
“Apa?! Kamu itu anak seorang pelacur, tahu! Mana mungkin ikut mendengarkan pengajian dan ikut belajar ngaji pula! Ooo…jadi sekarang kamu mulai berani membohongi ibu, gitu?!” ujarnya dengan nada suaranya yang terdengar semakin marah. Ku rasakan tangannya kembali menjewer telingaku keras-keras. Keras sekali sehingga ku rasakan telingaku seolah akan terlepas. Kedua bola matanya tampak membelalak menakutkan. Wajahnya ku tangkap terlihat begitu memerah padam menandakan marahnya bukannya semakin mereda tapi justru semakin memuncak saja. Perempuan itu lalu menyeretku ke dapur belakang. Pikiranku seolah bisa memastikan bahwa dia akan memukuliku dan menghajarku habis-habisan seperti yang biasa dia lakukan terhadapku. Lalu, dia melepaskan seretannya terhadapku begitu saja sehingga membuatku tersungkur ke lantai. Perempuan itu kulihat tampak mencari-cari sesutau. Pikiranku kembali mengatakan bahwa dia mencari sesuatu untuk memukuliku dan menghajarku. Dan, benar dugaanku. Dia mengambil sebilah kayu yang tersandar di dinding dapur.
Kedua bola mataku terperanjat kaget dan entah kenapa tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku merasakan sebuah ketakutan yang sangat secara tiba-tiba ketika perempuan itu kulihat menggenggam sebilah kayu keras dan berukuran cukup besar itu yang hendak dia hujamkan ke seluruh tubuhku. Ya, Tuhan! Sebegitu marah dan murka kah dia sehingga tega menghajar aku, anak kandungnya sendiri.
Dalam ketakutan tiba-tiba yang mencekamku, aku spontan segera menyungkurkan tubuhku untuk berlutut, bersimpuh dan bersujud meng’ampun’-‘ampun’ dihadapan perempuan itu.
“Ampun, Bu. Jangan hajar Budi, Bu. Ampun, Bu. Budi mengaku salah. Budi seharusnya minta izin terlebih dulu kepada Ibu. Tapi sungguh Budi tidak berbohong kepada Ibu. Budi sungguh tidak main-main saja di rumah si Putra. Budi sungguh benar-benar ikut pengajian dan belajar ngaji bareng si Putra. Ampuni Budi, Bu. Budi mohon jangan hajar Budi lagi, Bu.”
Perempuan itu sama sekali tidak mengindahkan ‘ampun’ memelasku. Perempuan itu benar-benar telah terasuki iblis jiwanya. Dia dengan kejam dan ganasnya memukuli seluruh badanku dengan sebilah kayu itu yang membuat seluruh badanku memerah lebam-lebam. Dia sama sekali tiada merasa kasihan sedikitpun kepadaku yang terus menerus meng’ampun’ dan mengerang kesakitan. Ah, barangkali benar dugaanku. Dia bukanlah ibuku. Tapi sesosok iblis yang menyerupai ibuku. Seorang ibu tiada mungkin tega menghajar anak kandungnya sendiri. Merasa ‘ampun’ melasku dan erangan kesakitanku sama sekali tak membuatnya merasa kasihan kepadaku, aku berpikiran untuk melawannya. Peduli amat dengan posisi dia sebagai ibuku. Peduli amat dengan ceramah ustadz itu yang katanya surga ada di telapak kaki ibu. Tidak mungkin surga berada di bawah telapak kaki seorang ibu yang tak berperikemanusiaan seperti ini.
“Cukup! Cukup! Aku bilang cukup, wahai wanita jalang!” Ucapku dengan nada suara meninggi namun terdengar serak karena menahan tangis.
Sementara perempuan itu seolah mendengar petir di siang bolong mendengar ucapanku itu. Ku tangkap kedua bola matanya tampak memelototiku tajam-tajam. Terbersit aura kemurkaan yang begitu sangat di balik sorot tajam matanya itu. Sekilas ku lihat wajahnya bukan lagi menampakkan wajah asli perempuan itu, tapi wajah sesosok iblis yang begitu kejam yang bertubuhkan perempuan itu.
“Kau bilang apa tadi, ha?!”
“Kau bukan Ibuku. Seorang ibu tiada mungkin tega menghajar anak kandungnya sendiri. Kau adalah wanita jalang yang mengaku-aku sebagai ibuku.”
Matanya menunjukkan kesemakin murkaannya, kedua bola matanya tampak begitu sangat murka sekali menatapku. Dan beberapa saat kemudian ….
“Buuggghhhkkk…!!!”
Sebilah kayu itu dia pukulkan tepat ke arah kepalaku. Aku roboh terkapar dan menggelepar-gelepar di lantai. Darah merah kental mengucur dari kepalaku. Sesaat kemudian ku rasakan diri ini melayang di udara. Dan ku lihat perempuan itu tampak memeluk erat-erat jasadku yang sudah terbaring tiada berdaya sambil terdengar menangis sesenggukan menyesali perbuatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar