NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Sabtu, 28 Agustus 2010

Tetaplah Berdiri

Sang pemimpi, trus berlari
mencari arti yang dinanti
rana indah jauh disana
seakan itu takkan terdulang

Biar cahaya terang
menyinari ruang mimpi
mimpi ...


Tersenyumlah dalam langkah
bulatkan hati demi mimpi
jangan pernah rasa lelah
dikejar mimpi yang kita nanti
tetaplah berdiri

Tahan lelah
berdiam gerah
menghadapi makna kehidupan
rana indah jauh disana
seakan itu takkan terdulang

Laut Yang Sepi

Usah kau takut
Usah kau ingat kejamnya
Jangan menjauh
Mendekatlah seperti dulu
Air laut tempat kehidupan
Usah resahkan bencana lalu
Mendekatlah seperti dulu
Memeluknya bersetubuh air nan sejuk
Laut kesunyian tanpamu
Rindukan engkau
Senantiasa berlari berjemur dipantainya
Sungguh menangis, kesepian

Teruslah Bermimpi

Apa yang kau takutkan
Dengan semua ini
Bukankah kesedihan
Sering kita alami
Keadaan ini
Buat kita terbiasa

Dengarkan ku bicara
Teruslah bermimpi
Walau kenyataannya jauh berbeda
Teruslah bermimpi
Jangan berhenti


Percayalah
Lelah ini hanya sebentar saja
Jangan menyerah
Walaupun tak mudah meraihnya

Menghentikan pikiran dengan mata terpejam
Menunggu malam bisa hapus kenyataan
Biar saja mimpi jauh membawa kita


Tetap tersenyumlah
Biar semakin mudah
Karena kesedihan pun
Ternyata hanya sementara

Rindu Diatas Ombak

Debur ombak membelai Belah hatiku...
Tertanam nama sebatang kasih...
Untukmu hanya kau seorang...
Debur ombak membuai...
Seakan rindu tertuang...
Karna kamu aku hanyut dalam cinta...
Hari-hariku labuhi dengan kisah khayalan...
Anginpun berbisik memintamu tuk pahami aku...
Semakin bergetar dalam skala hati..
Aku titipkan kesyahduan diatas bulan sabit...
Malam menjadi sangat panjang seperti ombak yang tak henti berdebur...
Andai kau angin laut...
Aku adalah nelayan ditengah samudra malam...
Karnamu setiap pori tubuh ini mendingin...
Kasih mulai berbuih menunggu tuk kau pahami...

Rabu, 18 Agustus 2010

KAU WANITA, KAU BURUH MIGRAN

KAU WANITA, KAU BURUH MIGRAN

Kuharap lagu air matamu terdengar disini, dan membius mereka yang terkuat
Kau wanita, kau buruh migran yang terkurung dalam sesaknya ruang kelam
Mencari sejahtera tetapi mendapat sayatan hati yang merobek jiwamu
Memohon naungan hanya diskriminasi yang kau dapat, kemudian tersingkirkan
Kau hanya dianggap sekedar komoditi yang senantiasa menjadi perbudakan
Betapa…! kau wanita terkoyak oleh kemiskinan dan ketidakadilan

Kuharap… kuharap… mereka yang terkuat dinegeri ini ada disana
Saat tubuhmu dihempaskan kelantai hitam, dibenamkan kelembah lumpur ternodakan
Meronta percuma, tali-tali nista menjerat tanganmu, mulutmu terbungkam kain hitam
Kepalamu dibenturkan, terluka hebat lalu kaupun tak tahu lagi tentang nasib tubuhmu
Air mata darahmu menetes, melagu surga menjadi neraka, jiwamu terbang bersama perih
Dan kaupun pulang, ada dalam pelukan orang terkasih yang merana merajut luka-luka
Mengenangmu yang tak akan pernah bangun lagi.

Kuharap… kuharap… mereka yang terkuat dinegeri ini ada disana
Saat hari-harimu terlilit cambuk perkasa yang menembus tulang-tulang putihmu
Makian dari mulut-mulut tuan besar menggelegar menyambar panas daun telingamu
Mata-mata besar menatap tajam pengawas atas dirimu yang bekerja tiada henti
Kekejaman telah membuatmu lumpuh dan kaupun dipulangkan kedesamu
Kau hanya berstatus kelas dua, terminal kelas tiga yang pantas bagimu
Kasusmu terkatup rapat dikotak besi, dan terlupakan sampai berkarat

Lalu, mereka yang terkuat apa yang bisa kau lakukan ?
Ada nyawa-nyawa melayang diantara wanita buruh migran
Ada tubuh-tubuh cacat diantara wanita buruh migran
Kuharap… kuharap mereka yang terkuat ada disana
Merubah perihnya biru langit, menjadi nirwana
Merubah lilitan miskin menjadi samudera sejahtera
Merubah yang tertindas menjadi yang terangkatkan

Kau wanita, kau buruh migran
Harapan bunga hidupmu berebah dipadang-padang harapan waktu
Namun duri-duri selalu saja menghiasi bungamu yang justru melukaimu
Mencoba memanjat tangga pelangi menuju langit, tuk meraih bintang seutuhnya
Namun separuh bintang saja itu sudah keberuntunganmu
Karena tanganmu selalu berdarah dalam genggaman tangan-tangan yang terkuat

Kuingin… kuingin kerajaan berbasis diskriminasi gender dihancurkan
Demi kau wanita, kau buruh migran
Dan dedikasikan buat kau wanita-wanita

~Nenen Gunadi~
19-Des-2007

ketika Hawa singgah didamainya khayalanku

ketika Hawa singgah didamainya khayalanku
Bulan membiru lambangkan rinduku yang menghimpit
Terbuai mimpi-mimpi mengulum tiap malamku
Melenggang anganku tak pernah terhenti menari
Hasrat menembus dinding mimpi kealam nyata

Tercipta kata-kata menjanjikan masa depan
Seia mengiringi langkah asmara menuju cita
Tertunda asaku bertabur keraguan dan kepastian
Disaat aku tertembus oleh ganasnya racun cinta
Bahagia singgah disetiap bilik hatiku yang kujaga

Ketika Hawa memadam diam dalam ruang cintanya
Kupanggil namanya namun tersia-sia, dia kini menjauh
Tatkala kata-kata tajam melukai hatinya yang tulus
Pintu pengampunan bagiku telah terkunci rantai luka
Disini aku menyesal ingin menghapus lontaran kasar itu

Ketika Hawa membunuh cintanya dalam terluka hati
Disini aku gundah gulana berharap untuk termaafkan
Segala karma yang akan datang menemuiku
Dimanapun aku pijakkan tapak kaki ini
Cinta alamiku untuknya tak akan terbunuhkan

Alunan Senja

Di ufuk barat
Cahaya rinduku meredup sendu
Bias mega seakan memenggal kenangan
Tentang sekeping hati
yang melekat di lamunan

Sungguh
Alunan senja nan teduh
Meredam asmara yang kian rapuh
Nada-nada tak berirama
Mengusik jiwa dalam peraduannya

Wahai yang meronta di simpang impian
Entah di mana derita ini hendak kusimpan
Gigil rindu yang menyimpul pilu
Seakan menusuk setajam sembilu

Wahai yang mengusik di ujung petang
Kutahu kelam akan datang
Tapi alunan senja ini jangan sampai hilang
Di situlah hati terusik tembang
Dan harap pun mulai mengembang

"Puisi Doa Sang Bumi"

Sejuk aroma sejuk dalam hisapan..
Mereguk ke dalam rongga paruku hingga sesak..
Membasahi setiap keringnya kisi hati..
Mengusap semua nestapa dan hibur kelam yang ada..
Membuat kita kian terlena..

Begitu dalam dan sangaaat dalam..
Membuat lubang angkara tanpa terasa..

Kita hanya bisa berdecak kagum..
Saat bumi berpanorama asri..
Saat angin semilir melambaikan setiap pepohonan nan hijau..
Dan kita terbuai tidur hingga lengah..
Akan amanah yang harus kita jaga..

Demi gemerlap suatu kisi kehidupan..
Angkara terukir segaris, setitik, dan kelamaan kian menggunung..
Entah pada sang alam ataukah manusia dan mahluk hidup di sekitarnya..

Mencontreng keelokan paras sang bumi..
Merobek setiap koreng yang bernanah..
Dan terus membuat palung yang begitu curam..

Lihatlah tanah kian mengkerut..
Mengernyit dengan gemeretak lelah..
Menahan angkara manusia di atas perutnya..

Peluh tanpa dirasa …
hingga gembur nuansa kian nyata..
Aku perih, pedih, menangis, seperti teriris sembilu..
Sadarkah aku telah tua dan renta ?
Menahan semua ambisi dan angkara manusia …
Terinjak-injak dan terus menusukku tanpa nurani..
Aku kan terbelah …
Lambat laun …

Maafkan aku sang manusia
Jikala kiamat datang melalui diriku..
Tanpa dapat ku halangi dan ku sangkal..
Aku telah renta setelah sekian abad aku berputar..

Aku tak lagi baik untukmu …
Aku kan gersang tak lama lagi …
Aku semakin panas …

Ku mohon … dan kumohon …
Tentang belas kasihan melalui belai kasihmu..
Menuai kedamaian di atas perutku..

"Puisi Doa Sang Bumi"

Sejuk aroma sejuk dalam hisapan..
Mereguk ke dalam rongga paruku hingga sesak..
Membasahi setiap keringnya kisi hati..
Mengusap semua nestapa dan hibur kelam yang ada..
Membuat kita kian terlena..

Begitu dalam dan sangaaat dalam..
Membuat lubang angkara tanpa terasa..

Kita hanya bisa berdecak kagum..
Saat bumi berpanorama asri..
Saat angin semilir melambaikan setiap pepohonan nan hijau..
Dan kita terbuai tidur hingga lengah..
Akan amanah yang harus kita jaga..

Demi gemerlap suatu kisi kehidupan..
Angkara terukir segaris, setitik, dan kelamaan kian menggunung..
Entah pada sang alam ataukah manusia dan mahluk hidup di sekitarnya..

Mencontreng keelokan paras sang bumi..
Merobek setiap koreng yang bernanah..
Dan terus membuat palung yang begitu curam..

Lihatlah tanah kian mengkerut..
Mengernyit dengan gemeretak lelah..
Menahan angkara manusia di atas perutnya..

Peluh tanpa dirasa …
hingga gembur nuansa kian nyata..
Aku perih, pedih, menangis, seperti teriris sembilu..
Sadarkah aku telah tua dan renta ?
Menahan semua ambisi dan angkara manusia …
Terinjak-injak dan terus menusukku tanpa nurani..
Aku kan terbelah …
Lambat laun …

Maafkan aku sang manusia
Jikala kiamat datang melalui diriku..
Tanpa dapat ku halangi dan ku sangkal..
Aku telah renta setelah sekian abad aku berputar..

Aku tak lagi baik untukmu …
Aku kan gersang tak lama lagi …
Aku semakin panas …

Ku mohon … dan kumohon …
Tentang belas kasihan melalui belai kasihmu..
Menuai kedamaian di atas perutku..

Tak Rindukah pada Langit

Sayapnya patah mengibas keangkuhan
Kepakannya kandas di daun-daun hijau
Kicaunya memekak anak semut yang kesiangan
Tuhan…izinkan aku terbang
Rintihnya …

Separuh pagi menjejalkan kekenyangan diperutnya
Dan ia lupa siang membayang dalam terik yang tak sudah
Belum pun petang menjemput
Ia akan mati dalam dahaga musyafir yang ngeri
Tuhan…izinkan aku bertemu malam
Pujuknya…

Kupu-kupu hinggap dihelaannya
Ia masih bersiul-siul dalam kebisuan
Hingga sakit mati memutus nadi
Tuhan…izinkan aku menjemput langit
Sesalnya…

Dompetmu Kosong

Dompetmu Kosong

Aku heran kenapa tak seorangpun menyukaiku
Kulihat wajahku sangat tampan
Setiap hari aku berkaca, sampai kacaku berdebu
Kulihat wajahku tetap tampan

Lalu aku bertanya pada bundaku
“Bunda, kenapa tak ada yang menyukaiku?”
Bunda menjawab dengan nada datar,
“Nak, karena dompetmu kosong.”
“Bunda, kenapa tetangga kita wajahnya jelek,
tetapi gonta-ganti pasangan?”
Bunda menjawab dengan nada kesal,
“Nak, karena dia berdompet tebal, dan Bapaknya
pejabat koruptor.”
“Bunda, kenapa dia tidak ditangkap?”
Bundaku menjawab dengan gemetaran,
“Nak, karena dia anaknya dari jendralnya jendral.”

Tabir Senja di Dusun Kecil

Kidung bulan di kaki langit
Mengalun tembang mentari
merah saga
Menarik selimut langit kelam
sang kegelapan

Siang meronta, dibalik bayangan
megah kerdip bintang
di atas tanah bulan sabit
desa batang hari

Dusun secuil gambut
senja merona kian menghujam
lenyap dalam cerita
bersama surya
timbul tenggelam

Hujan Pergi Sendiri

Hujanku sudah berkalang tanah
ditebas lalang malam petang
berdarah lehernya agak kekiri
terguling kengarai melantak tunggu,
menyeringai ia bersakitan
merasa benar sebelum lalu.
Ibaku menengok dari kejauhan
Rintik terisak menengadah
mengjangkau-jangkau, ingin turut
pun teguh kutegah, [Selebihnya...]
hilang sudah kawan sepermainan.
Tak niat menega hilang keduanya,
hujan dengan rintik
membujukku pada rintik,
biar hujan pergi sendiri
tinggallah rintik denganku
acuh meraung saja pesenyum rintik
Kuturut lalang hendak bertanya,
bercakap sejenaklah sudah
lalang mengapa engkau menebas hujan?
berjawab tidak dari lalang, menekur ia
Hujan kan sudah begitu semenjak dulu,
menitik air, benar melebatkah ia?
atau kau diasung pawang-pawang?
picik kau lalang!
kemudian, rintik menyanyi
sambil mencangkung
umpama beruk tidak terjual
Hujan telah dulu,
rintik tetapkah serupa dulu?

Hancur Dan Hancur

Hancur Dan Hancur


Presiden enggan menyapa rakyat miskin
Komunikasi hancur
Ada jaksa menerima suap
Keadilan hancur
Para pemimpin partai obral omongan
Kebenaran hancur
Perempuan pekerja pabrikan pulang malam demi hidup
Malah ditangkap dianggap pelacur
Martabat hancur
Aneh apa salah kaprah, linglung apa keblinger
Ada Pemkot yang menangkapi perempuan justru korupsi
Syariat hancur
Gedung-gedung dibakar-bakar
Kedamaian hancur
Saling mencaci-maki dan teriak-teriak ngamuk
Kehidupan sosial hancur
Seorang Ibu dan bayinya mati kelaparan
Ekonomi hancur
Biaya sekolah dari TK sampai Universitas mahal
Kecerdasan hancur
Saatnya mulai
Kritik!
Bangkit!

Nenen Gunadi (Kanada, 5/Mar/08)

KETIKA SUARA BERHENTI

KETIKA SUARA BERHENTI

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Lamunan menggapai-gapai
Terlentang dibelenggu rantai

Setiap generasi baru meronta-ronta
Namun tak mampu bereskpresi
Melompat dari jendela tanpa suara
Membuka pintu juga tanpa suara

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Bungkam terkatup kekuasaan
Pendengaran disumbat politik

Bagaimana dengan revolusi
Darah muda meluap-luap
Berkaca pada masa depan tak ingin berhenti
Tangan meraih cahaya tapi dihantam tembok

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Kita semakin lelah kebingungan
Sampai terhempas ketanah gersang

Apa yang mereka lakukan
Pada bangsa kita dan saudara kita
Ingin mendengar jawaban langsung
Semuanya bungkam tak ada suara

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Tangisan bayi tak akan terdengar lagi
Nyanyian riang anak kecil tak terdengar lagi

Kota-kota besar terhening
Desa-desa terisolasi
Derap lunglai langkah kaki tak terdengar lagi
Keluhan terjerat dalam ruang besi

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Meraung menahan luka sampai memerah
Tak ada yang peduli dan menenangkan

Wajah menua dimakan gelisah
Ingin bernyanyi bibir bergetar
Nafas kita tersenggal-senggal
Diinjak kaki-kaki perkasa

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Dan tubuh dililit pagar diktaktor
Suara-suara jujur dipetikan

Apa yang mereka lakukan
Pada keadilan kita dan kedamaian kita
Pada kesejahteraan kita
Terdiam… sampai akhir…

Nenen Gunadi
Tuesday, may6,08
Edmonton, AB, Can

GUBUK DIBUKIT

GUBUK DIBUKIT

Jika ada yang ragu dimanakah istanaku
Lalu jawabku “Gubuk dibukit!”
Dimana disana ada hutan hijau-hijau
Dan akan selalu kujaga pohon hijau-hijau

Aku dilahirkan dikota, tetapi aku cinta bukit-bukit
Aku punya mimpi berbagi kisah bersama alam-alam
Dimana ada gunung yang menyentuh biru langit-langit
Yang melindungiku dari penderitaan dan masalah-masalah

Bagaimana dapat perasaanku mengungkapkan kata-kata
Ketika sinar mentari pagi menyentuh puncak gunung-gunung
Dari atas bukit aku berdendang lagu damai-damai
Terdengar siulan cinta bersahutan dari burung-burung

Dedaunan dipepohonan berirama alam bergoyang-goyang
Suara gendang memanggilku dari balik bukit menghentak-hentak
Alunan merdu seruling bambu dilembah padang rumput-rumput
Seromantis irama musik alam pagi, kuhentakan kakiku menari-nari

Jika ada yang ragu dimanakah istanaku
Lalu jawabku “Gubuk dibukit!”
Karena aku lelah, dengan istana kota yang kotor-kotor
Dan aku takut menjadi bagian sang koruptor-koruptor

Istana kota berhiaskan gemerlap warna lampu kelam-kelam
Dihuni oleh manusia-manusia cerdas tetapi kelam-kelam
Yang suka ngomong lantang tetapi berkarya kelam-kelam
Suka mengatur-ngatur tetapi pribadinya adalah kelam-kelam

Nenen Gunadi
Huntsville, 15Jan08

MELATI..KURASA KULIHAT PUTIHMU

MELATI..KURASA KULIHAT PUTIHMU

Kala sumber cahya memancarkan rona
Sinar semburatnya merekah di ufuk
Ketika mata terbuka kedua kelopaknya
Terjaga dari lelapnya tidur

Berdengung dalam pendengaran
Menyapa suara kehidupan
Dengung duka, raung petaka
Menyelimuti pribadi manusia-manusia

Dikala tumbuh MELATI PUTIH
Rekah kembang diatas dahan
Pembuka masuknya cahya kehidupan
Tumbuhlah kuncup nan segar

Ketika kupu-kupu beterbangan
Lincah menari-nari keliling ranting
Mengitari lapangan dan dusun
Menyapa riang setiap mekar dan kuncup

Nafas kembang aroma MELATI PUTIH
Hembusan semerbaknya nan wangi
Ketika mata menatap gunung nan tinggi

Tinggi, emoh kemewahan diniawi
Telanjang dalam zuhud dan kepapaan
Saling menjawab hembusan MELATI PUTIH
Memenuhi gurun sahara gersang
Wanginya…
Memberikan secercah asa kehidupan

Tak kenal diam, tak pula reda
Ketika hati riang menari
Bersuka ria gembira
Menggema….
Gema arumnya wangi MELATI PUTIHKU

Oleh Adie Syaridillah

bilamana aku dapat bermimpi berjumpa dengan ibu

bilamana aku dapat bermimpi berjumpa dengan ibu
akan kubawakan sebidang tanah penuh bunga
kuajak ia berjalan dalam hamparan flamboyan
lalu dari atas dahan kuperintahkan seribu burung
beryanyi tentang embun dan sinar mentari

bilamana ibu bersedih,akan kuhibur ia sambil
melihat lucunya kumbang cumbui kembang ditaman
lalu kubiarkan seribu kupu-kupu berterbangan
diatas rambutnya yang bermahkota pelangi

bilamana ibu letih,kan kukumpulkan butiran embun
dari pucuk-pucuk daun.dan kutaburkan pada tiap langkahnya
agar ibu merasa sejuk.lalu kubawa ibu menanam
masa depanku dalam warna bunga
agar ibu bangga anaknya lahir dinegeri daun
yang hijau penuh kicau

bilamana nanti ibu tertidur
kan kupagari ia dengan kemilau doa
dan kuajak burung-burung menjaganya
dari gemuruh dunia luar

bilamana ibu bertanya mengapa aku mengirim keindahan
hanya dalam mimpi,akan kukatakan pada ibu
bahwa hanya lewat mimpi anaknya bisa memberikan
kebahagiaan.kerna dinegeri yang kini hilang wangi,
telah tumbuh pohon-pohon berakar besi,kembang plastik,binatang yang di mumikanserta gemuruh pabrik yang
memproduksi polusi.biar ibu tahu
negeri yang subur telah hilang dalam peta.

mesranya sapaan angin

mesranya sapaan angin
menjamah tubuhku yang gersang
terbangkan semua kegersangan

cakrawala tampil cemerlang
berselendang pelangi
bumbui kemegahan alam

gemuruh ombak berkejaran di pantai
perjuangan yang tiada putus
sempat bangkitkan semangatku
nyalakan nyaliku
dari tidur panjangku

hamparan hijau tergelar
berpagar sungai peluntur kelelahan
berdinding gunung perkasa
tegar menyongsong zaman

kulahap kenikmatan yang hadir
dengan segenap inderaku
keindahan alam begitu sempurna
sulit tergambarkan lewat taburan kata
istana raya penuh kedamaian
kandung selaksa kasiat
ubat penolak duka
pendobrak kepengapan

gema alunan burung bervokal
serukan tembang kedamaian
keantero jagat gemerlapan
peredam gejolak emosi
peluruh keangkuhan

sekeluarga kelinci berpesta
diatas permadani hijau
berselimut kebahgiaan

panoramanya alam kian gemilang
matapun enggan berlalu
serasa berenang di telaga kedamaian

aku adalah seekor burung

aku adalah seekor burung
mungkin engkau talah lama mengenalku
kerna aku sering menggodamu pagi hari
tak peduli apakah engkau sedang bercumbu dengan mimpi

aku adalah seekor burung
mungkin engkau tahu tentang aku
yang tak pernah lelah berceloteh
yang tak pernah bosan berkencan dengan dahan-dahan dan dedaunan

aku adalah seekor burung
dulu,memang aku selalu begitu
terbang mengarak darah dan harapan
kepak sayap sarat angan-angan masa depan
sementara paruhku
tak pernah kubiarkan menyimpan keluh-kesah

tapi,O siapakah gerangan
yang diam-diam mengubur arti dulu
membungkam mulutku dan menyekat suaraku
hingga aku tak mampi lagi bersenandung
padahal dalam benakku
masih kusimpan rindu melagukan nyanyian

setelah aku kehilangan pepohonan
tempat bercanda bersama teman-teman
haruskah sekarang aku kehilangan kehidupan
ah,laras senjatamu itu
belum jera juga menguliti kebebasanku

entahlah telah berapa banyak
nyawa sesamaku yang terampas
di terjang tangan-tangan gagah
ditelan langkah-langkah pongah

sebenarnya,aku masih ingin akrab dengan matahari
mengadukan segala rupa persoalan
tapi,begitulah akhirnya
hari-hariku di sini kian tak utuh

biarlah,kukabarkan pada dunia
bahwa sekarang di sini
aku adalah seekor burung
yang menanti jatuh

Katanya kalian adalah tanganNya untuk kami

Katanya kalian adalah tanganNya untuk kami
Nyatanya kalian hanya panjang tangan
Malang melintang di hutan kami
Menebar benci dan dengki

Katanya ajaran yang di amanatkan kepada kalian adalah cinta kasih
Nyatanya sekedar cinta pada diri yang tak terkendali
Katanya kalian pencinta alam
Nyatanya sekedar suka bercinta dengan alam

Dari kami kalian berasal
Tapi kami asing dengan kalian
Kalian toreh kulit kayu dan batu kami
"hanya tuk sekedar nama-nama kecil

Jinjinglah terompahmu
Injaklah kaki di batu-batu kecil kami yang memberi refleksi
Berwudhu'lah di air kami
Basuh mukamu sepuas syukurmu

Syukur jauh dari sekedar memuji-Nya
Syukur jauh dari sekedar menikmati
Makanlah dengan tangan telanjang di tepi kolam kami
Bersama teratai,capung,burung,katak dan burung-burung kami
Bersatulah dengan kami

Binalah tempat berpijakmu ini
Niscaya akan kami mintakan kepadaNya
Pemilik jagad ini
"tuk meneguhkan kedudukanmu dimuka bumi

Sampai suatu saat,
Kami kehilangan dari pandanganmu
Karena kami hanya segelintir ayat-Nya
Di jagad-Nya yang luas ini

pohon dan laut

di pepohonan aku tahu,
burung-burung mencuba berbicara
dengan lidah kecilnya,
yang menyimpan beribu rahsia.
tapi akankah aku mengerti
apa yang d**eluhkannya?
di laut aku tahu
ikan-ikan terbang
dengan sayap yang keperak-perakan,
kian kemari tak tentu arah.
tapi akankah aku mengerti
apa yang di resahkannya?
kerana aku sendiri hanyalah
seekor katak kecil
yang tak lagi bisa berlindung
diantara akar-akar yang dulu perkasa
sekarang hilang tak berbekas.

tembang cinta burung yang luka

hendak kemana burung yang luka
istirahatlah dulu saja
dalam sangkar sementara
hingga kering luka yang kau derita

hendak kemana burung yang luka
tinggal disini saja kita bisa bersama
bermain tralala
di luar tak ada lagi yang bisa kau mangsa
sawah telah di tanami gedung-gedung raksasa
hutan rimba sudah langka
di angkasa pun hanya ada mega
dan bianglala
tak usah mengembara
nanti kembali terluka!

Rinduku terpahat dalam batu suaraku mengalir bersama air

Rinduku terpahat dalam batu
suaraku mengalir bersama air
bertebaran menjadi bunga-bunga keabadian.

Aku patrikan diriku pada alam
cinta,tembang,lara,berlagu di pucuk cemara
angin semilir padamkan gelora.

Aku tak,kaupun tak,kita tak paham
bagaimana laut dengan cintanya
mematrikan diri pada tebing terjal.

Aku ingin belah sepi
tatkala bulan bersemi
tapi kemana kan kupautkan rindu
ketika air tak lagi bergemericik jernih.

Kepada alam jiwaku bermalam

Bila angin kehilangan desirnya

Bila angin
kehilangan desirnya
daun-daun kering
takkan mau
meluruhkan tubuhnya

Bila langit
kehilangan kebiruannya
burung-burung
takkan mau
mengepakkan sayapnya

Bila sungai
kehilangan kejernihannya
ikan-ikan
takkan mau
mengibaskan ekornya

Bila bulan
kehilangan sinarnya
malam-malam
akan gelap tanpa cahaya

Bila hutan
kehilangan pohon-pohon
hewan-hewan
kehilangan tempat tinggalnya

Bila bukit
kehilangan kehijauannya
sungai-sungai
akan kering selamanya

Bila petani
kehilangan sawah ladangnya
kanak-kanak
akan menitikkan air mata

Bila manusia
kehilang kemanusiaannya
alam semesta
akan tertimpa bencana
dan bertanya angin kering
"Perlukah memanusiakan manusia?".

Jumat, 13 Agustus 2010

Terdiam Di Balik Kebingungan

Terdiam Di Balik Kebingungan


Pernah aku pergi ke pantai
Terduduk sendirian disitu penuh tanya
Memandang kosong ke lautan lepas
Kosong, kosong dan kosong
Hanya deburan gulungan ombak yang sesekali terdengar

“Adakah Tuhan bersemayam disana? Sehingga aku bisa bertanya kepadaNya?”
Ah, tidak, tidak. Tuhan tiadalah bersemayam disana
Orang bilang Tuhan bersemayam di atas Arasy sana
Di langit paling ujung sana

Ah, tapi bukankah orang-orang juga bilang
Bahwa Tuhan itu ada dimana-mana
Bahwa Tuhan itu ada di setiap jengkal bumi ini
Menyaksikan dan mengawasi setiap gerak-gerik hamba-hambaNya

Kalau begitu
Tuhan tentunya juga bersemayam di lautan lepas sana
Kalau begitu
Biar aku berlari ke tepian lautan
Berdiri membentangkan kedua tanganku disana
Bertanya kepadaNya
Mengharap jawaban dariNya

Aku berteriak tanya

“Tuhan! Aku bingung denganMu!”
Tidak ada jawaban dariNya
Hanya gulungan ombak yang menerpaku dan membasah kuyupkanku tiba-tiba
Gulungan ombak yang seolah menyampaikan jawaban yang terlontar dari mulutNya
“Kenapa kau bingung denganKu?”

Aku berteriak menjawab

“Kenapa Kau membiarkan ketidakadilan di negeri ini merajalela?”
“Kenapa Kau tega melihat rakyat kecil di negeri ini terlilit kesulitan dan kemiskinan?”
Tidak ada jawaban dariNya
Hanya gulungan ombak yang menerpaku dan membasah kuyupkanku tiba-tiba
Gulungan ombak yang seolah menyampaikan jawaban yang terlontar dari mulutNya
“Siapa bilang begitu? Bukankah Aku telah menanamkan jiwa keadilan kedalam hati sebagian dari mereka yang lain di negeri ini? Agar mereka berjuang melawan ketidakadilan itu?”
“Bukankah Aku telah melimpahkan kekayaan dan kelapangan kepada sebagian dari mereka yang lain di negeri ini? Agar mereka bersedekah membantu mereka yang terlilit kemiskinan dan kesulitan?”

Aku berteriak menjawab

“Tapi ketidakadilan di negeri ini terlalu kuat, Tuhan! Banyak dari mereka yang berjiwa keadilan justru mati dan hilang sia-sia di tengah-tengah perjuangan mereka melawan ketidakadilan itu! Sebelum sempat mereka merobohkan dan menghancurkan gedung ketidakadilan itu! Gedung ketidakadilan itu terlalu kuat, Tuhan! Terlalu kuat untuk kami tembus karena dijaga para militer bersenjata! Terlalu kuat untuk kami robohkan karena telah terbangun sebegitu kokohnya sejak puluhan tahun yang lalu!”

“Dan, tidakkah Kau tahu, Tuhan? Bahwa mereka yang terlilit kemiskinan dan kesulitan di negeri ini sangatlah jauh lebih banyak sekali dibanding mereka yang Kau anugerahi kekayaan dan kelapangan!”

“Dan, tidakkah Kau juga tahu, Tuhan? Bahwa mereka yang Kau anugerahi kekayaan dan kelapangan, hanya sedikit dari mereka yang tersentuh hati dan mau bersedekah membantu mereka yang terlilit kemiskinan dan kesulitan!”

“Tidakkah Kau tahu itu, Tuhan?”

“Ah, tidak, tidak. Kau pasti sudah tahu. Karena Kau Maha Tahu segala-galanya, bukan?”
“Lalu? Kenapa Kau hanya diam saja menyaksikan semua itu?! Kenapa Kau tidak melakukan sesuatu?! Kenapaaaaaa…..???!!!”

Tidak ada jawaban dariNya
Pun tidak ada gulungan ombak yang menerpaku
Yang ada hanyalah hening, senyap dan sunyi
Alam raya seperti berhenti bergerak, terdiam
Angin seperti berhenti berhembus, mengambang
Awan di atas langit sana seperti berhenti berjalan, mematung
Ombak lautan seperti berhenti berdebur, membeku
Waktu pun seperti berhenti berputar, terpaku

Masih tidak ada jawaban dariNya
Yang ada hanyalah aku yang berdiri terdiam dan bingung di tepian lautan
Terdiam menunggu jawaban dariNya
Bingung menyaksikan semuanya ikut terdiam
Adakah mereka terdiam sepertiku yang sedang menunggu jawaban dariNya?
Ataukah mereka terdiam menunggu kata-kata terlontar dari mulutNya?
Agar lalu mereka sampaikan kata-kataNya itu kepadaku?
Entahlah, aku tidak tahu
Aku masih menunggu, menunggu dan menunggu apa yang akan terjadi

Seketika alam raya kembali bergerak
Seketika angin kembali berhembus
Seketika awan kembali berjalan
Seketika ombak lautan kembali berdebur
Seketika waktu pun kembali berputar

Tapi?
Ah, aku semakin bingung

Alam raya bergerak begitu hebatnya, mengguncang apa saja
Angin berhembus begitu kencangnya, merobohkan apa saja
Awan berjalan begitu cepatnya berubah menjadi gumpalan mendung hitam gelap tebal
Ombak lautan berdebur begitu tinggi bergulung-gulung, menerjang dan menenggelamkan apa saja
Waktu pun berputar begitu cepatnya, tiada melambat sedikitpun untuk memberikan kesempatan buat mereka menyelamatkan diri
Membiarkan semuanya terjadi

Murkakah Tuhan kepadaku?
Ataukah kepada mereka penguasa yang tidak adil itu?
Ataukah pula kepada mereka yang kaya yang tidak mau berbagi?

Tapi?
Ah, aku semakin bingung

Kenapa justru mereka rakyat kecil pedesaan yang sedang terlilit kemiskinan dan kesusahan yang menjadi korban?
Kenapa justru mereka yang harus menanggung beban bencana alam raya itu?
Adakah Tuhan sudah murka dengan mereka?
Adakah Tuhan sudah muak dengan rakyat kecil dan kaum miskin yang selalu berkeluh kesah, bersimpuh dan menangis di hadapanNya serta memohon pertolongan dariNya?
Adakah pula semua ini karena Tuhan telah disuap oleh mereka penguasa yang tidak adil dan mereka yang kaya itu?

Entahlah, aku tidak tahu
Aku bingung memikirkan semua ini
Sungguh, aku semakin bingung saja
Semakin bingung saja aku, sungguh

Lelaki dalam pasungan

Lelaki dalam pasungan

Sebuah mobil mercy hitam mewah berhenti tepat di depan sebuah gedung megah yang menjulang tinggi. Seorang office boy terlihat bergegas membukakan pintu mobil mercy itu. Tak lama kemudian seorang lelaki berpenampilan rapi dan necis tampak keluar dari dalam mobil. Usianya memang sudah tidak bisa dibilang muda lagi, namun wajahnya tetaplah memancarkan pesona dan kharisma yang membuat setiap wanita yang memandangnya menjadi bengong terpesona akan ketampanannya. Posturnya yang tinggi dan atletis semakin menambah pesonanya itu dibalik penampilannya yang eksekutif layaknya direktur-direktur perusahaan lainnya.
“Pagi, pak.” Sapa office boy itu dengan sopannya sambil sedikit membungkukkan badan setelah membukakan pintu mobil.
“Pagi juga.” Jawabnya diikuti senyumnya yang ramah.
“Pagi, pak.” Seorang office boy yang lainnya kembali menyapanya dengan begitu sopannya setelah membukakan pintu masuk utama bangunan megah menjulang tinggi yang berada di bawah kendali tangannya itu.
“Pagi juga.” Jawabnya ringan kembali disertai senyumnya yang ramah.
“Pagi, pak.”, “Pagi, pak.”, dan “Pagi, pak.” Semua anak buahnya menyapanya dengan sopan dan hormat. Dan, seperti sebelum-sebelumnya dia pun tetap sudi membalas sapa para anak buahnya itu dengan senyumnya yang ramah dan wajah cerianya. Senyum dan keceriaan yang terasa begitu tulus ikhlas, bukan sekedar senyum dan keceriaan yang dipaksa-paksakan, meskipun sebenarnya dibalik senyum ramah dan keceriaan wajahnya itu, tersimpan sebuah duka lara mendalam di lubuk hatinya.
Memang dimanapun berada, sudah selayaknya dan sepantasnya jika anak buah menghormati sang bosnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh para orang-orang di kantor itu terhadap pria yang satu ini. Namun penghormatan yang diberikan oleh mereka bukan sekedar isapan jempol belaka, bukan sekedar pura-pura belaka lalu dibelakang sang bos mereka justru ngegrundel menjelek-jelekkan sang bosnya itu, dan bukan pula sekedar aksi menjilat dan caper belaka kepada sang bos agar gajinya dinaikkan lah, agar jabatannya dinaikkan lah ataupun agar tidak jadi dipecat. Mereka menghormati pria yang satu ini bukan karena di otak mereka sudah tertulis bahwa dialah bos mereka, tapi karena mereka berpikir pria yang satu ini memang layak dan pantas untuk dihormati bahkan melebihi posisinya sebagai seorang direktur di perusahaan itu.
Dia memanglah seorang yang memegang jabatan tertinggi di perusahaan itu. Namun, tidak seperti perilaku bos-bos perusahaan lainnya yang terkesan sombong dan angkuh, dia tetap bersikap ramah kepada setiap anak buahnya dari yang paling atas sampai yang paling bawah para officeboy sekalipun. Sikap ramahnya itu ditunjukkan dari senyum ramahnya yang tulus kepada siapa saja di kantor itu. Dimata para anak buahnya, dia adalah seorang bos yang begitu peduli dengan seluruh bawahannya tanpa membeda-bedakan jabatan. Dia juga tidak segan untuk sekedar berbaur dan berceloteh ringan dengan para anak buahnya itu. Lagi, dia juga tidak gengsi dan jaim untuk sekedar makan siang bareng dan minum teh bareng dengan para office boy, lalu bercanda tawa dengan mereka melepaskan kepenatan kerja, lalu layaknya seorang bapak yang bersedia mendengarkan segala keluh kesah anak-anaknya, dia pun juga bersedia mendengarkan curhat dan keluh kesah berbagai problema yang dihadapi para anak buahnya itu, bukan hanya masalah yang dihadapi di sekitar kantor saja, tapi juga masalah pribadi yang sedang mereka alami, baik itu masalah ekonomi ataupun masalah keluarga. Dan seperti halnya seorang ayah, dia pun tak sekedar menjadi pendengar setia bagi mereka, tetapi juga memberikan nasehat-nasehat dan masukan-masukan bagi mereka dan bahkan memberikan bantuan materi yang nyata bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.
Karena sikap-sikapnya itulah dia begitu sangat disegani oleh para bawahannya. Dia begitu dihormati bukan hanya sebagai seorang direktur perusahaan, tetapi lebih jauh dari pada itu dia begitu dihormati layaknya seorang anak menghormati bapaknya karena memang sifatnya yang begitu kebapakan dan familiar terhadap semua anak buahnya. Dia selalu menanamkan, menganjurkan dan memberi contoh agar semua elemen di kantornya itu saling menganggap seperti saudara dan keluarga sendiri yang harus saling membantu, tolong menolong dan kerja sama Sifatnya itulah yang membuat suasana di kantor itu serasa seperti suasana sebuah keluarga besar yang rukun dan dialah bapaknya. Begitulah kredibilitas dia sebagai seorang bos di kantor di mata para bawahannya.
Namun, kredibilitasnya di rumah sebagai seorang kepala keluarga, tidaklah setali tiga uang dengan apa yang dia peroleh di kantor dari para anak buahnya itu. Di rumahnya yang juga megah bak istana itu, dia tak lebih dari sekedar seorang suami yang begitu tunduk kepada segala perintah sang istri. Lain di kantor, lain pula di rumah. Di kantor dia dihormati bak seorang raja, namun di rumah dia tak lebih dari sekedar bak seorang laki-laki pecundang yang menjadi pesuruh dan di bawah kendali sang istri. Dia tak lebih dari sekedar seorang lelaki dalam pasungan di rumahnya yang begitu megah bak istana itu.
“Kau memang seorang direktur ternama dan begitu dihormati oleh para anak buahmu. Kau memang seorang direktur yang begitu disegani oleh para klien dan kalangan bisnis negeri ini. Tapi itu diluar. Di rumah ini, akulah yang berkuasa. Akulah yang berhak mengatur segalanya di rumah ini. Dan, kau! Kau tak lebih dari sekedar seorang suami yang harus tunduk dan patuh kepada istrimu ini. Ha…ha…ha…!” ucap istrinya disusul tawanya yang menggema ke seluruh ruangan memekakkan telinga.
Sementara dia, dia hanya bisa geleng-geleng kepala saja melihat tingkah laku istrinya itu. Dia hanya bisa pasrah kepada nasibnya itu, nasib berada di bawah kendali dan keotoriteran sang istri. Karena itu pula, di rumah megah yang bak istana itu, dia lebih sering terlihat akrab bercengkerama dengan para pembantunya. Para pembantunya sering merasa trenyuh dan bahkan menggerimis hatinya melihat perlakuan juragan wanitanya terhadap juragan prianya itu. Kadang mereka memberi masukan kepada juragan pria agar sekali-kali melawan keberingasan juragan wanita.
“Maaf, juragan, bukannya saya berniat lancang mencampuri urusan rumah tangga juragan, tapi saya betul-betul kasihan dan tidak tega melihat juragan diperlakukan seenaknya seperti itu oleh istri juragan.” Kata Pak Soleh yang merupakan sopir pribadinya itu.
“Gak apa-apa kok, pak. Justru saya merasa senang kok, karena itu pertanda bapak peduli dan perhatian sama saya. Tapi? Sudahlah, pak. Dia memang pantas memperlakukan diri saya seenaknya sendiri seperti yang sering bapak lihat. Saya ini toh sebenarnya hanya orang miskin saja sebelum menjadi suami juragan wanitamu itu. Itupun hanya karena tak lebih dari sekedar untuk menyelamatkan mukanya dari aib malu karena hamil tanpa suami meskipun akhirnya dia mengalami gugur kandungan. Dan, itupun juga kebetulan karena saya dianugerahi wajah dan postur yang kata para wanita tampan dan gagah. Seandainya saya ini berwajah jelek dan bertubuh pendek, tidak mungkin dia mau menikah dengan saya, pak.”
“Ooo….” Pak Soleh terlihat mengangguk-angguk.
“Maaf, juragan, saya baru tahu kalau dulunya seperti itu.”
“Gak apa-apa kok, pak. Anggap saja kita semua ini satu keluarga. Dan, anggap saja saya ini sedang curhat kepada bapak, karena bapaklah orang yang paling saya percaya bisa menyimpan baik-baik rahasia ini.”
“Insya allah, juragan. Saya akan berusaha menyimpan baik-baik rahasia ini. Tapi, juragan, bukannya selama ini juragan lah yang berhasil mengembalikan stabilitas dan bahkan mengembangkan bisnis perusahaan warisan almarhum bapaknya juragan wanita? Seharusnya juragan wanita lebih menghargai diri anda kerena jasa anda itu.”
“Bapak benar. Dan, sebenarnya saya juga berpikiran sama seperti bapak, cuma saya masih menunggu waktu yang tepat untuk itu. Maaf, pak, sudah larut malam, saya pengen istirahat. Badan saya sudah terasa capek dan pegel-pegel nih, pak.”
“Oh, iya juragan. Silahkan.”
Lalu lelaki yang dipanggil juragan itu segera berlalu menuju kamarnya. Sementara malam itu hujan turun dengan derasnya. Udara juga terasa dingin menusuk pori-pori kulit. Sesampainya di kamar, dia mendapati istrinya telah terbaring pulas di tempat tidur. Dia sendiri memutuskan untuk tidak langsung tidur, melainkan duduk di atas sofa yang ada di salah satu sudut ruangan kamar itu. Dari arah situ, dia tampak tertegun mengamati wajah istrinya yang terlihat sangat pulas sekali.
“Ah, kau memang cantik. Sangat cantik bahkan. Tapi, sayang, kenapa kau tidak mau lebih sedikit menghargai diriku ini. Bukankah aku ini sudah menjadi suamimu yang sah?” Gumamnya dalam hati.
Lalu dia kembali mengamati tubuh istrinya yang terbaring lelap di atas tempat tidur itu. Pakaian tidur yang dikenakannya sedikit transparan yang membuat lekuk tubuhnya terlihat sehingga menggugah hasrat kelelakiannya. Sementara istrinya yang tidak tahu menahu kalau dirinya sedang diamati oleh suaminya itu, tiba-tiba merubah posisi tidurnya dari yang semula miring ke kiri menjadi miring ke kanan. Bagian bawah pakaian tidurnya tampak sedikit tersingkap setelah itu. Pahanya yang putih mulus pun terlihat dengan jelas.
“Ah, kau memang wanita yang sempurna. Wajahmu cantik dan ayu. Tubuhmu juga indah. Dan, ah, pahamu itu benar-benar putih dan mulus, benar-benar menggugah seleraku.” Gumamnya kembali dalam hati.
Sebagai lelaki normal, siapa yang tidak akan tergugah hasrat biologisnya jika di hadapannya terbaring wanita cantik, bertubuh indah dan bagian bawah pakaian tidurnya sedikit tersingkap. Bahkan wanita itu adalah tak lain dan tak bukan istrinya sendiri yang sah. Namun apa mau dikata. Istrinya toh sama sekali tidak menghargainya. Istrinya toh memperlakukan dirinya dengan seenaknya sendiri. Istrinya toh yang berkuasa di rumah itu. Istrinya telah menjadi seorang ‘suami’ di rumah itu, sementara dia telah menjadi seorang ‘istri’ yang harus patuh pada sang ‘suami’. Segalanya diatur oleh istrinya. Bahkan urusan nafkah bathin pun istrinya yang menentukan. Jangan harap dia bisa menikmati kehangatan tubuh istrinya itu jika bukan istrinya sendiri yang memintanya. Meskipun hasrat biologisnya sudah sedemikian memuncak, dia sama sekali tidak berani untuk langsung ‘menerkam’ istrinya. Atau jika dia nekat, maka justru caci maki dari istrinya lah yang bakal dia dapat. Dan, sebaliknya ketika dia sendiri sedang lelah dan tak berselera, sementara istrinya sedang begitu bergairah, maka dengan seenaknya sendiri istrinya itu akan menyuruhnya menjilati seluruh lekuk tubuhnya yang indah itu, memuaskan nafsu birahinya, menuntaskan hasrat biologisnya sampai menggelinjang-gelinjang dan sampai dia sendiri terbaring lemas di atas tempat tidur.
***
Sore itu langit di atas sana tampak kelabu sama halnya dengan langit di hatinya yang juga entah kenapa tiba-tiba saja berubah menjadi kelabu. Mungkin karena mengingat selama ini dirinya yang merupakan seorang direktur yang begitu disegani seluruh bawahannya itu, ternyata tak lebih dari sekedar sosok lelaki pecundang dan pengecut yang sama sekali tak berkutik di hadapan sang istri. Karena itu pula, sepanjang perjalanan pulang ke rumah dari kantor, yang ada di benaknya adalah bagaimana caranya mengungkapkan segala curahan isi hatinya itu kepada sang istri.
Sesampainya di rumah, dia melihat sang istri tampak sedang duduk santai membaca koran di teras depan rumah. Dia memutuskan untuk duduk di sebelahnya.
“Bagaimana keadaan di kantor?” Tanya istrinya dengan nada dingin.
“Baik-baik saja. Segalanya berjalan lancar-lancar saja selama ini.”
“Baguslah kalau begitu.” Timpalnya dengan dingin tanpa mempedulikan orang yang dia ajak bicara. Matanya terfokus pada sebuah kolom pada surat kabar yang sedang dia baca.
“Ada yang ingin aku omongkan ke kamu.”
“Masalah apa?” Tanya istrinya sambil masih tetap fokus pada membaca surat kabar yang ada di tangannya itu. Seolah mengacuhkan keberadaan orang yang dia tanya begitu saja.
Dan, sebenarnya dia juga sedikit tersinggung karena merasa tidak diperhatikan sama sekali oleh istrinya. Namun akhirnya dia memberanikan diri untuk mengungkapkan segala unek-unek yang terpendam dalam-dalam di lubuk hatinya selama ini.
“Aku merasa selama ini kamu sama sekali tidak bisa sedikit pun untuk lebih menghargaiku sebagai seorang suami.”
“Maksudmu?” Tanya istrinya yang mulai memperhatikan orang yang dia tanya, suaminya.
“Maskudku, aku sadar memang aku bukanlah siapa-siapa sebelum menjadi suamimu. Namun, tidakkah kamu bisa lebih sedikit menghargaiku. Bukankah selama ini aku pun telah berjasa menyelamatkanmu dari aib malu sebagai wanita yang hamil tanpa suami? Dan bukankah pula aku juga telah berjasa menstabilkan bahkan memajukan perusahaan warisan almarhum ayahmu itu? Dan, selama ini aku pikir, dengan lebih banyak diam, dan menuruti saja apa perkataanmu, kamu akan menjadi sadar sendiri serta akan menjadi lebih menghargaiku sebagai seorang suamimu. Tapi, kenyataannya kamu justru malah semakin seenaknya sendiri memperlakukanku, mengaturku bahkan mencacimaki dan mengumpat diriku. Sebenarnya kamu anggap apa diriku ini?” Ungkapnya terus terang dengan nada suara yang sedikit meninggi.
Sementara sang istri tampak kaget mendengar keterusterangan suaminya itu. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah padam menahan marah. Matanya membelalak Dan, sontak dia langsung berdiri dari tempat duduknya sambil berkacak pinggang siap memarahi balik sang suami.
“Oooo…begitu ya? Jadi kamu kini sudah berani melawan saya, gitu? Jadi sekarang kamu sudah berani merasa sok di depanku? Jadi kamu sekarang sudah mulai berani bicara soal jasamu kepadaku selama ini? Dan, kamu pikir aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpamu, gitu? Kamu pikir aku tergantung kepadamu, gitu? Seharusnya kamu pikir-pikir dulu dong kalau bicara! Seharusnya kamu tuch sadar siapa sebenarnya diri kamu itu? Apakah kamu tidak ingat waktu aku memungutmu dari jalanan? Apakah kamu sudah lupa dengan dirimu dulu yang berpenampilan kusut, kumal dan compang-camping dan hanya untuk mencari sesuap nasi saja susahnya minta ampun, kamu harus ngamen kesana-kemari di jalanan dan di tengah terik matahari. Seharusnya kamu bersyukur dengan keberadaanmu sekarang. Dasar laki-laki tak tau diuntung!” Ucap sang istri dengan judesnya sambil menjungkalkan kepala sang suami dengan jari lentik telunjuknya. Lalu berlalu ke dalam rumah begitu saja.
Sementara sang suami yang ditinggalkannya berlalu kedalam rumah begitu saja itu, tampak terdiam seribu bahasa, apa hendak dikata untuk melawan sang istri karena memang begitulah adanya dirinya dulu, seorang gembel jalanan yang tak punya apa-apa bahkan harga diri sekalipun.
***
Mata lelaki itu tampak menatap kosong ke depan ke arah luar jendela kamarnya dimana dia menghabiskan seluruh hari-harinya disitu. Ya, semenjak dia terkena stroke, akibat stress dan tekanan bathin yang begitu berat, yang menyebabkannya lumpuh total, hari-harinya hanya dia habiskan di dalam kamar itu bersama sebuah kursi roda yang setia menemaninya. Matanya tampak berkaca-kaca teringat akan masa lalunya itu. Bibirnya tampak bergetar. Air matanya tak terasa menetes membasahi pipinya yang sudah tampak keriput dan layu. Sejenak, lalu dia memejamkan kedua matanya. Tangan kanannya tampak bergerak menggapai sesuatu yang tergeletak di atas meja di sampingnya. Sebuah pistol. Ya, sebuah pistol berisi dia lekatkan kuat-kuat tepat ke samping kepalanya.

Kopyah Putih

Kopyah Putih

Entah kenapa akhir-akhir ini setelah aku pulang dari pondok pesantren, aku benar-benar gandrung memakai kopyah putih, bukan cuma ketika sedang berbusana muslim, pakai baju koko dan sarung, ketika hendak shalat atau hendak menghadiri acara tahlilan ataupun hajatan saja, tapi ketika aku sedang bersantai-santai pakai kaos putih oblong dan celana batik kolor panjang lagi nyangkruk, ngopi dan udut bal bu1l sama teman-teman sekampung pun kopyah putih selalu melekat di kepalaku. Bahkan ketika aku sedang ikut kerja bakti di kampungku pun, kopyah putih selalu ku kenakan. Pokoknya kemanapun dan sedang apapun aku, kopyah putih selalu gak pernah jauh dari atas kepalaku. Kopyah putih bagiku seolah seperti halnya sebuah topi biasa yang selalu dipakai oleh teman-teman sekampungku kemanapun mereka pergi. Mungkin karena aku sudah terpengaruh dengan budaya para santri di pondok pesantren tempat aku menuntut ilmu agama. Selama mondok2 di pesantren, aku sering melihat para ustadz dan santri senior atau kakak kelas yang sudah cukup lama nyantri disitu selalu mengenakan kopyah putih kemanapun mereka pergi, ke sekolah, belanja ke pasar, dan bahkan ketika sedang ada kerja bakti bersih-bersih lingkungan pondok serta ketika sedang bermain sepak bola pun sebagian dari mereka ada juga yang memakai kopyah putih. Sejak itulah aku tertarik ikut-ikutan selalu memakai kopyah putih seperti mereka. Padahal sebelum itu, sebelum kedua orang tuaku mengirimku ke jogjakarta untuk menuntut ilmu agama di salah satu pondok pesantren di kota gudeg itu, aku sama sekali risih bila memakai kopyah putih, seolah ada suatu beban tersendiri di balik kopyah putih itu. Karena sepengetahuanku sebelumnya menurut adat kebiasaan masyarakat desa sekitarku, kopyah putih itu cuma dipakai oleh orang-orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji ke mekkah sana. Dan biasanya yang memakai kopyah putih itu beliau-beliau para kyiai pengasuh pondok pesantren, itu pun karena beliau-beliau itu sudah punya titel haji, sementara beliau-beliau para kyiai yang belum pernah sama sekali pergi haji lebih memilih mengenakan kopyah hitam seperti yang dipakai oleh kebanyakan masyarakat awam lainnya.
“Kamu itu kok selalu pakai kopyah putih terus sih. Gak sedang sholat, gak sedang kerja bakti, gak sedang nyangkruk, pasti pakai kopyah puith, kaya gak tahu sikon dan waktu saja.” Kata teman sekampungku suatu ketika.
“Lho, memangnya kenapa? Apa salah kalau aku selalu memakai kopyah putih terus?”
“Ya gak juga sih, cuma orang-orang kan biasanya pakai kopyah itu ketika sedang sholat saja atau ketika sedang tahlilan ataupun ketika sedang menghadiri hajatan gitu, gak kaya kamu itu. Lagian, kata orang-orang kan kalo kita belum pernah pergi haji, kita gak boleh pakai kopyah putih. Kopyah putih itu sebagai simbol bagi mereka yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Emang kamu sudah pernah pergi haji kok berani-beraninya pakai kopyah putih.”
“Haji raokah kali…!!!” celetuk temanku yang lain.
“Apa itu haji raokah?”
“Haji ora weroh mekkah3 maksudnya. Ha..ha..ha..” jawabnya sambil tertawa, lalu diikuti tawa seluruh anak-anak yang lain tak terkecuali aku sendiri.
Ah, ada-ada saja teman-teman sekampungku itu. Yah, namanya juga anak muda, kalau sedang nyangkruk bareng-bareng bawaannya pasti bercanda melulu. Pokoknya apa saja bisa di buat canda tawa oleh mereka, termasuk ya haji raokah itu tadi.
Masyarakat desa sekitarku bisa dibilang masih tergolong kolot, atau istilahnya zaman sekarang kata para mahasiswa dan intelek negeri ini, masyarakat desa kami itu masih berpikiran tradisionalis lah, konservatif lah, simbolis lah, atau –is dan –if apa pun yang lainnya yang penting jangan anarkhis dan teroris saja deh pokoknya. Dan, ku pikir-pikir ada benarnya juga omongan mereka para mahasiswa dan intelek itu. Masyarakat desa sekitarku memang termasuk masyarakat desa yang masih kolot, konservatif dan simbolis. Mereka, masyarakat desa sekitarku, seolah melihat dan menilai suatu ajaran agama itu dari simbol ataupun dari sisi luarnya saja. Dan bahkan bukan cuma mereka yang notabenenya masyarakat biasa yang bisa dibilang masih awam dan ikut-ikutan saja dalam hal beragama, tapi juga mereka para sesepuh desa kami atau yang biasa dipanggil pak kyai di desa kami, atau lebih tepatnya kyiai desa, yang notabenenya lebih tahu dan paham dengan litertatur ajaran agama mereka, juga masih berpikiran simbolis sama halnya dengan mereka masyarakat awam desa. Jadi islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat desa sekitarku itu masih terbilang islam secara kulitnya saja. Pokoknya segala hal yang berbau arab, pasti dianggap islam oleh mereka, padahal kan belum tentu. Ada juga lagu-lagu atau kasidah berbahasa arab tapi isinya bukan syair-syair ajaran agama islam, tapi justru syair-syair jorok seperti halnya lagu-lagu dangdut jaman sekarang. Tapi karena mereka itu memang tidak paham dan tidak ngerti dengan bahasa arab, mereka cuma berpikiran bahwa pokoknya yang arab-arab itu pasti islam meskipun sebenarnya justru malah ‘arabpatigenah’4. Ah, menurutku kan cuma kebetulan saja islam itu diturunkan di tanah arab dan Nabi Muhammad sendiri juga kebetulan keturunan bangsa arab, makanya ajaran-ajarannya memakai bahasa arab. Coba kalau islam itu pertama kali mencul di tanah jawa, pastilah ajaran-ajarannya memakai bahasa jawa, dan bahasa jawa pun akan dianggap suci dan sakral pula oleh mereka. Dan lagi, karena memang pada dasarnya masyarakat desa kami memanglah pengikut setia NU semua, jadi pokoknya simbol dan atribut yang dipakai oleh para kyiai NU itulah yang dianggap islam yang paling baik menurut mereka. Nah, saking setianya mereka dengan NU, mereka pun jadi berpikiran kolot yang cenderung mengarah ke semangat separatisme dan puritanisme. Pokoknya merekalah satu-satunya golongan yang paling ahlussunah wal jama’ah yang akan masuk surga, yang lainnya bukan, yang lainnya sudah sesat dan melenceng dari islam semua, yang lainnya masuk neraka.
Ah, enak saja mereka itu, kok seenaknya sendiri mengecap mereka bakal masuk surga dan yang lainnya masuk neraka. Memangnya surga itu surganya mbahmu apa? Katanya gak boleh nepotisme, tapi surga kok malah di nepotisme. Tuhan kok mau dinepotisme. Tuhan gak mungkin nepotisme. Tuhan itu Maha Bijaksana lagi Maha Pengasih dan Penyayang. Lagian kan kita masuk surga itu bukan karena kita ini telah berbuat baik ini dan itu, telah beramal ini dan itu, atau pun kita ini beragama ini dan itu, tapi kita bisa masuk surga karena tak lain dan tak bukan rahmat kasih sayang Tuhan kepada hamba-hambaNya.
Ah, memang sangat sulit sekali kalau kita sedang berdebat dengan orang-orang yang superkolotnya minta ampun. Pernah pula suatu ketika aku didebat oleh seorang sesepuh di desaku hanya karena aku tidak memakai sarung ketika sholat, tapi justru memakai celana panjang.
“kamu itu NU atau bukan sih, sholat kok pakai celana panjang, gak sopan sama sekali” katanya ketika itu.
“Lho NU itu kan bukan agama, Pak. Agama kita itu islam, bukan NU. Dalam ajaran islam, kalau kita sholat ya kita harus menutupi aurat kita, dan penutup aurat itu tidak hanya sebatas sarung saja, Pak. Dan, sarung itu kan sebenarnya juga budaya masyarakat jawa. Celana panjang ini kan juga sudah menutupi aurat.”
“Iya, tapi gak sopan.” Katanya membantah.
“Lho, gak sopan bagaimana? Lha wong orang-orang saja menyebut celana panjang seperti yang saya pakai ini celana panjang sopan.”
“Ah, pokoknya nabi muhammad itu gak pernah pakai celana panjang ketika sholat. Titik. Dasar anak muda zaman sekarang memang gak mau percaya sama yang lebih tua.”
“Ah, masa bodoh. Memang di zaman Nabi Mmuhammad belum ada celana panjang kaya gini. Nabi Muhammad pun gak pernah pakai sarung ketika sholat, tapi pakai jubah lebar yang bisa menutup aurat, karena memang zaman dulu belum ada sarung. Ah, dasar orang tua kolot sok tahu, sok benar. Gimana kita mau menghormati yang lebih tua, kalau yang lebih tua gak mau menghormati kita.” Gumamku dalam hati.
Aku kadang terheran-heran sendiri dengan umat islam negeri ini. Islam itu kan cuma satu, tapi kenapa jadi ada istilah Islam Tradisionalis, Islam Konservatif, Islam Radikalis, Islam NU, Islam Muhammadiyah dan islam-islam yang lain. Ah, masa ada banyak islam sekarang? Ah, tidak. Islam tetap hanya ada satu. Islam is Islam. Kalau sekarang islam seolah muncul dalam berbagai wajah dan istilah, itu kan cuma prespektif orang-orang yang memandang dan menilai saja. Itu cuma sekedar istilah saja, tak banyak dan tak lebih. Dan karena ulah umat islam sendiri lah orang-orang baik dari kalangan umat islam sendiri ataupun dari kalangan luar islam mempolarisasikan islam ke dalam berbagai wajah dan istilah itu tadi. Yah, karena tak lain dan tak bukan islam yang mereka anut itu masih dalam sebatas kulitnya saja, belum sampai isi dari pada islam itu sendiri sebagai sebuah agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Lho, gimana bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin kalau sesama umat islam saja, hanya karena beda aliran saja, hanya karena beda sedikit saja sudah tawuran lah, berantem lah, gontok-gontokkan lah. Lho, gimana mau bisa menghormati ajaran agama lain jika sesama umat islam saja, hanya karena beda luarnya sedikit saja sudah saling menyesatkan. Ah, umat islam zaman sekarang memang lebih banyak mengedepankan simbol-simbol belaka, bukannya malah mengedepankan ‘rahmatan lil ‘alamin’nya. Umat islam zaman sekarang bisanya cuma berdalil, ceramah ngomong gedebus doang, tapi aplikasinya nol besar. Ah, ujung-ujungnya sama juga dengan kopyah putih tadi, kopyah putih yang menurut adat kebiasaan masyarakat desa sekitarku merupakan simbol bagi mereka yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Jadi yang belum pernah pergi haji, gak pantas mengenakan kopyah putih.
“Apa kamu gak merasa risih memakai kopyah putih?” tanya teman sekampungku suatu ketika.
“Lho, risih kenapa? Risih sama siapa?”
“Ya risih sama masyarakat lah dan tentunya risih sama beliau-beliau di kampung kita yang sudah pernah pergi haji. Gak sopan kamu itu, belum haji kok pakai kopyah putih. Itu sama saja dengan sombong.”
Ah, ada-ada saja mereka itu. Masa pakai kopyah putih saja dianggap gak sopan. Masa pakai kopyah putih saja dianggap sombong. Apanya yang dianggap gak sopan? Apanya yang dianggap sombong? Ah, dasar masyarakat kolot, dasar masyarakat konservatif, kopyah putih saja pakai disakralkan segala.
“Nah, tuch liat! Kalau beliau Pak Haji Abdul Muis itu pantas mengenakan kopyah putih, karena beliau memang sudah pernah pergi haji, bahkan sudah tiga kali beliau itu pergi haji.” Kata temanku itu sembari menunjuk seseorang, tentunya pula sedang mengenakan kopyah putih, yang terlihat sedang duduk santai membaca surat kabar di teras depan rumahnya.
“Ah, dia! Haji Abdul Muis itu! Mentang-mentang sudah haji kok gak mau noleh kalau dipanggil tanpa embel-embel haji di depan namanya! Haji apaan dia itu? Haji kok dibangga-banggakan. Sudah jadi Haji bukannya malah lebih banyak bersedekah kepada fakir miskin, malah pelitnya minta ampun. Kalau pun bersedekah niatnya cuma biar dapat pujian dari orang sekampung saja.” Umpatku dalam hati tentunya.
Ah, dasar haji egois, apa gunanya pergi haji tiga kali, tapi tidak peka dengan lingkungan sekitarnya, tidak peka dengan masyarakat sekitarnya yang lebih membutuhkan uluran tangan. Ah, aku yakin haji kaya dia itu paling niatnya cuma buat memperoleh kebanggaan di mata masyarakat saja, bukan murni niat beribadah menyempurnakan rukun islam yang kelima.

Masih bisa cinta

Masih bisa cinta

Matahari sore di seberang lautan luas memang terlihat begitu indahnya bila dilihat dari bibir pantai. Aku duduk termangu sendirian di atas lembutnya pasir pantai Parangtritis menunggu datangnya sunset. Sementara pikiranku entah kenapa tiba-tiba saja teringat ucapan setiap wanita yang ku cintai. Semua laki-laki di dunia ini sama saja. Sama-sama bisanya cuma ngegombal dan merayu doang, sama-sama cuma bisa janji-janji doang, sama-sama gampang sekali ngomong cinta kepada setiap wanita yang ditemuinya. Dasar lelaki! Maunya menang sendiri. Lelaki memang buaya darat. Mereka pandai sekali melambungkan hati setiap wanita yang menjadi korbannya, mereka mahir sekali merayu wanita dengan janji-janji seabrek yang kenyataannya cuma kemprus doang, mereka seolah sudah paham betul bagaimana cara meyakinkan ‘cinta’ kepada setiap wanita yang menjadi korban sifat kebuaya daratannya itu.
Mayoritas kaum hawa pasti akan berpendapat sama seperti di atas tentang seorang lelaki. Ah, betapa hinanya kredibilitas sosok lelaki di mata mereka. Betapa jengkelnya mereka dengan kaum adam sampai-sampai mereka menyamakannya dengan seekor buaya yang merupakan tak lebih dari seekor hewan melata yang buas dan ganas. Memang ada benarnya juga jika mereka para wanita berprasangka buruk seperti itu terhadap lelaki. Gak usah jauh-jauh lah, teman-temanku sendiri juga sering gonta-gonti cewek. Mereka seolah dengan mudahnya mendapatkan cewek yang mereka inginkan. Lalu, habis manis sepah dibuang. Dengan mudahnya mereka bilang ‘cinta’ mati, dengan entengnya pula mereka bilang putus, atau karena sudah gak cocok lah, atau mereka bilang si cewek itu egoislah, atau seabrek alasan yang lainnya yang bisa me’legal’kan sebuah kata yang akan mereka ucapkan kepada si cewek, yaitu ‘putus’. Lalu, hilang satu tumbuh seribu, bersatu kita teguh, bercerai kita kawin lagi kata mereka.
“Ah, bukan salah mereka para wanita jika menganggap semua lelaki di dunia ini sama saja, sama-sama buaya darat. Justru letak kesalahannya ada pada diri para lelaki itu sendiri. Kenapa mereka suka mempermainkan wanita sehingga membuat diri mereka sendiri dicap jelek di mata kaum hawa? Ah, dasar naluri lelaki! Tak pernah lelah mencari wanita.” Gumamku dalam hati, ”ah, tapi? Tapi bukankah aku sendiri ini seorang lelaki? Ya, aku memanglah seorang lelaki, tapi bukankah aku ini tidak seperti mereka para lelaki buaya darat itu? Ah, aku pikir mereka para wanita kurang bijak jika menganggap semua lelaki itu sama saja. Buktinya aku sendiri tidak sama seperti teman-temanku yang suka gonta-ganti cewek itu. Aku sendiri juga sebenarnya tidak setuju dengan ulah teman-temanku itu. Tapi toh kenapa para cewek itu tetap mau menjalin ‘cinta’ dengan mereka? Bukankah mereka para cewek itu juga sudah tahu kalau teman-temanku itu terkenal playboy? Lalu, salah siapa dong kalau begitu? Ah, sudahlah, gak baik saling menyalahkan.”
Aneh juga memang, dan sedikit membingungkan. Bagai makan buah simalakama. Satu sisi kaum hawa mengecap kaum adam sebagai buaya darat yang pandai merayu, pandai ngegombal, pandai ngobral janji, tapi di sisi yang lain kenapa mereka sendiri suka dirayu dan dipuji oleh kaum adam? Kenapa mereka sendiri mau termakan rayuannya dan menjalin ‘cinta’ dengan kaum adam yang telah mereka cap seperti itu? Jadi cowok memang selalu serba salah di mata para cewek. Kalau lagi ngomong puitis dibilang ngegombal, kalau gak puitis dibilang gak romantis. Ah, bingung aku. Maunya apa sih sebenarnya mereka?
“Wuooii…! Ngelamun aja dari tadi.” Si Rio tiba-tiba menepuk pundakku dari arah belakang yang sedikit mengagetkanku, ”ngelamunin siapa sih? Ngelamunin si Vie2 ya? Sudahlah Ki, ngapain juga mikirin cewek yang udah nolak kita, hilang satu tumbuh seribu, gitu donk!” lanjutnya.
Ah, dasar si Rio, mengingatkanku saja dengan si Vie2, si cewek cute n imut yang pernah aku taksir abis itu. Dialah cewek yang terakhir kali kepadanya aku mencurahkan rasa cintaku dengan ungkapan kata-kata yang begitu puitis ala Kahlil Gibran, dan lagi-lagi aku mendapatkan jawaban yang sama, ‘alaah! Ngegombal banget sih loe!’ alias ditolak mentah-mentah. Ah, hidup ini kadang terasa aneh dan membingungkan. Kenapa aku yang selalu memandang serius dalam urusan cinta selalu saja ditolak oleh cewek, sementara teman-temanku yang hanya menganggap Love is just for fun malah seolah mudah sekali mendapatkan cinta yang mereka inginkan? Gak cuma sekali dua kali aku ditolak cewek, tapi berulang kali. Ah, nasib! Dasar nasib, sekali cinta diterima cewek, justru si cewek itu yang mempermainkanku, menghianati cintaku dan terang-terangan berselingkuh dengan cowok lain. Ah, kenapa aku yang mesti menanggung karma dari ulah teman-temanku itu? Ah, bukan! Aku bukannya kena karma dari teman-temanku, tapi zaman sekarang memang telah berubah, ini zamannya emansipasi wanita, Bung! Wanita pun sekarang bisa menjadi wanita buaya darat. Wanita zaman sekarang sudah gak jauh beda dengan para lelaki. Mereka juga sudah menganggap Love is just for fun. Mereka juga bisa dengan mudahnya melambungkan hati sang cowok, lalu membenamkan hatinya jauh-jauh ke dasar jurang kesedihan dengan berpaling kepada cowok yang lain, lalu berpaling lagi kepada cowok yang lainnya lagi dan seterusnya. Ah, sudahlah! Aku gak mau mendramatisir dan larut dalam nasib cintaku. Aku gak akan jatuh cinta lagi pokoknya. I never fall in love again. Love is just a bullshit. Love is only on the cinema. Romantika dan indahnya cinta itu hanya ada di sinetron-sinetron, di film-film dan di novel-novel saja. Di kehidupan nyata? Ah, jangan harap kamu bisa meniru romantika cinta seperti yang sering kamu lihat di sinetron. Yang ada dalam benakku sekarang adalah segera menyelesaikan kuliahku, lalu mendapatkan kerja yang layak guna membiayai sekolah adik-adikku.
Matahari tampak segera kan tenggelam dan seolah saja lenyap ditelan hamparan lautan Parangtritis yang luas. Pertanda hari kan segera berganti malam. Aku pun segera bergegas pulang ke kost bareng sama si Rio. Jarak dari kostku ke Parangtritis memang relatif cukup dekat, karena itu pula aku dan Rio sering menikmati indahnya pemandangan matahari sore sambil sekedar duduk-duduk santai di tepi pantai Parangtritis.
***
“Ki, kamu kan sudah cukup dewasa nak, sudah waktunya kamu mencari pendamping hidup. Lagi pula adik-adikmu sekarang juga sudah bisa hidup mandiri, cuma si Budi yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Masalah biaya sekolah si Budi gak usah kamu pikirkan, nak. Dari hasil bulanan penjualan di kios kita saja sudah cukup kok.” Kata Ibuku.
“Iya mas, betul kata Ibu, mas Uki kan udah hampir berkepala tiga, sudah waktunya mas Uki cari calon istri, ya nggak Na?” Si Fitri adikku yang pertama menimpali sambil meminta persetujuan dari si Nana adikku yang kedua.
“Betul, mas. Lagian aku sama mbak Fitri kan sudah bisa cari uang sendiri sekarang, jadi mas Uki gak usah repot-repot lagi mikirin kita berdua. Terus si Budi kan cuma masih duduk di bangku sekolah dasar, jadi biar kita saja yang gantian menanggung biayanya. Mas Uki kan udah kerja keras banting tulang demi mengkuliahkan kita. Nah, sebagai ungkapan rasa terima kasih kita, mas Uki sekarang gak usah pusing-pusing lagi mikirin uang bulanan rumah dan uang sekolah si Budi. Biar aku sama mbak Fitri saja yang ngurusin. Ya nggak, Bud?” ujar si Nana sambil seolah bercanda meminta pendapat si Budi yang notabenenya masih kecil. Sementara si Budi sendiri cuma ikut-ikutan mengiyakan saja seperti kedua kakaknya itu.
“Iya mas, mas Uki cepetan nikah saja. Mas Uki gak usah mikirin Budi deh. Ntar Budi mau kerja cari uang sendiri biar gak ngerepotin mas Uki lagi” ujar si Budi polos disambut gelak tawa seisi rumah.
“Tuch, kamu udah denger sendiri kan pendapat adik-adikmu, mereka juga pengen segera punya kakak ipar, dan ibumu ini kan sudah cukup tua, jadi sudah gak sabar lagi pengen segera punya cucu.” Ibuku kembali angkat bicara.
Ah, waktu memang terasa begitu cepat berjalan. Tanpa ku sadari sudah hampir lima tahun berlalu setelah aku melepaskan statusku sebagai seorang mahasiswa. Dan selama itu pula semenjak kepergian almarhum ayahku, akulah yang harus menjadi kepala keluarga kerja keras membanting tulang demi mengkuliahkan kedua adikku. Terbersit rasa haru bercampur bangga dan bahagia di hati ini karena aku ternyata mampu menggantikan posisi ayahku sebagai kepala rumah tangga. Namun, selama itu pula, selama menyibukkan diri berkecimpung dengan dunia kerja, tak bisa kubohongi ada yang terasa kurang dan kosong di lubuk hatiku yang terdalam. Selama itu tak pernah sekalipun ada seorang wanita yang singgah di hatiku. Tapi aku anggap wajar-wajar saja karena selain diriku masih trauma dengan yang namanya cinta, aku sendiri waktu itu memang harus fokus total pada keluargaku. Waktu, tenaga, dan pikiran aku curahkan hanya untuk keluargaku. Everything is for my family only. Tapi, sekarang sudah lain ceritanya. Segalanya telah berubah seiring berjalannya waktu. Kedua adikku sudah bisa mandiri. Sementara usiaku juga sudah mulai beranjak kepala tiga. Ibuku juga sudah pantas untuk dipanggil ‘nenek’. Ah, ada benarnya juga pendapat ibu dan adik-adikku itu. Sudah waktunya bagiku untuk mengakhiri masa lajangku. Dan, lagi pula semua teman-teman seangkatanku juga sudah pada menikah, bahkan juga sudah ada yang punya momongan. Ah, segalanya memang telah berubah. Karena perubahan memang hanya soal waktu. Tapi kenapa perasaanku tetap saja belum bisa berubah. Pengalaman cinta masa laluku seolah membuatku paranoid akan cinta.
Aku termenung sendirian sambil berbaring di tempat tidur memikirkan lika-liku kehidupanku sendiri. Seharian kerja membuat otak dan tubuhku ini terasa penat dan lelah. Namun, kata-kata ibu dan adik-adikku serta para kerabat dan tetangga dekatku membuat mata ini sulit terpejam. Ah, biarlah mereka mau bilang apa, terserah mereka, itu hak mereka, itu juga pertanda mereka peduli denganku. Dan lagi pula mereka juga sama sekali tidak tahu menahu apa yang sebenarnya ada di hatiku. Mereka juga tidak tahu pengalaman masa laluku itu seperti apa. Ah, perubahan memang hanyalah soal waktu. Biarlah waktu yang kan merubah segalanya. Biarlah waktu yang menjawabnya. Dan biarlah waktu pula yang kan mempertemukanku dengan pendamping hidupku kelak.
Dua buah lagu Bang Iwan Fals yang berjudul ‘Masih bisa cinta’ dan ‘Yang cinta’ mengantarkanku ke dalam tidur lelap di balik keheningan malam yang semakin sunyi. Sementara sebuah lagu lama dari Dewa 19 yang berjudul ‘Cinta kan membawamu kembali’ yang terdengar samar-samar di telingaku karena kedua mata ini sudah mulai tertutup rapat, semakin membenamkanku ke dalam lelapku serta menenggelamkanku ke dalam sebuah mimpi. Ya, sebuah mimpi yang merupakan suatu titik tolak perubahan dalam kehidupanku, terutama kehidupan cintaku.
***
Di sebuah pasar loakan buku itu, kedua bola mataku tiba-tiba terbelalak ketika melihat sesosok wanita yang pernah ku kenal, bahkan lebih dari itu juga pernah hadir dan bersemayam dalam lubuk hatiku. Aku pun berubah menjadi sedikit salah tingkah ketika kedua bola matanya juga menatap tajam ke arahku. Kami berdua saling pandang hingga akhirnya aku putuskan untuk menyapanya lebih dulu.
“Vie2 ya?” sapaku.
“Uki ya?” dia balik menyapaku. Lalu kami berdua pun saling berjabatan tangan, saling bertanya kabar, dan saling bercerita tentang aktifitas kami masing-masing selama ini.
Sudah sangat lama sekali aku tiada pernah berjumpa dengannya setelah pertemuan terakhirku dengannya di acara wisuda itu. Kurang lebih hampir lima tahun. Empat tahun lamanya kami menghabiskan waktu bersama-sama di bangku kuliah. Kami dulu memang selalu terlihat akrab berdua karena karena kebetulan kita satu jurusan dan satu kelas pula. Lagi pula kami juga merasa cocok satu sama lain. Dimataku dia adalah sosok wanita yang selalu nyambung serta enak diajak ngomong dan juga enak dijadikan teman diskusi. Karena itu pulalah akhirnya tumbuh benih-benih cinta di hatiku kepadanya. Dan aku pun berpikiran kalau dia juga merasakan hal yang sama sepertiku. Namun, ternyata dugaanku salah. Dia justru malah menolak cintaku mentah-mentah. Sejak saat itu, hubungan kami berdua pun menjadi semakin renggang. Kami pun jarang terlihat akrab seperti sedia kala. Ketika berpapasan pun kami berdua menjadi terlihat sama-sama kaku dan kikuk seolah saling terbersit rasa risih di hati kami masing-masing.
Ah, tapi kan itu dulu. Itu kan cuma sekadar sekelumit kenangan masa lalu. ‘dulu’ dulu, ‘sekarang’ sekarang. Yang telah berlalu biarlah berlalu, gak usah diungkit-diungkit lagi. Dan, kini kami berdua juga sudah sama-sama lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu. Ah, tapi? Bukankah dia itu wanita yang terakhir kali kepadanya aku mengungkapkan cintaku? Meskipun akhirnya aku ditolak. Dan, bukankah setelah itu belum ada seorang wanita pun yang hadir kembali ke dalam hatiku menggantikan posisi dirinya? Ah, aku memang tidak bisa berbohong kepada diriku sendiri. Aku memang cinta mati kepadanya. Bahkan sampai sekarang pun, sampai selama ini pun benih-benih itu masih ku rasakan ada di hatiku. Ah, Vie2. Kau masih tetap cantik dan manis seprti dulu. Kau masih tetap terlihat imut seperti sedia kala.
“Eh, denger-denger teman-teman seangkatan kita udah pada nikah semuanya ya? Bahkan udah ada yang punya momongan juga katanya. Kamu sendiri gimana, Ki?” tanya dia.
“Aku belum nikah kok, Vie.” Jawabku ringan.
“Tapi udah ada calonnya kan?” Tanyanya kembali.
“Belum juga. Terus kamu sendiri?” Aku balik tanya.
“Aku juga belum nikah kok, Ki”
“Tapi udah ada calonnya kan?” Tanyaku meniru pertanyaan yang dilontarkannya kepadaku.
“Belum juga.” Jawabnya sambil senyum tersipu.
Ah, jawaban itu seolah terasa seperti angin sepoi nan sejuk yang menusuk ke hatiku. Seolah ada sekelumit rasa bahagia dan senang mendengar jawaban darinya itu. Rasa cinta dalam hatiku yang telah sekian lama terpendam seolah kembali bersemi. Dan, entah pula kenapa tiba-tiba saja aku memberanikan diri untuk memegang kedua tangannya sembari mengungkapkan keinginanku.
“Maukah kamu menikah denganku.”
Ku tatap tajam-tajam kedua bola matanya yang menampakkan sedikit rasa keterkejutan. Namun di balik itu aku bisa melihat secercah sinar binar dari kedua bola matanya itu yang seolah membisikkan kata ‘iya’ kepadaku meskipun belum terucap kata itu secara langsung dari bibirnya. Cukup lama kami bertatap mata, cukup lama pula aku menunggu kata ‘iya’ terucap dari bibirnya yang memerah indah. Tapi dari lubuk hatiku yang terdalam aku benar-benar yakin dia akan mengucapkannya. Karena diamnya seorang wanita berarti setuju. Dan……
“Kkrrriiiinnnggggg…!!!” Terdengar bunyi nada dering dari handphoneku yang membuyarkan suasana. Ah, bukan. Itu sama sekali bukan suara dari handphone, tapi….
Aku tergeregap kaget. Aku terbangun dari tidurku karena bunyi jam waker yang begitu kerasnya. Ah, aku cuma bermimpi saja rupanya.
Aku masih saja duduk termangu di atas tempat tidur memikirkan mimpi yang ku alami itu. Ah, apa sebenarnya makna mimpi itu? Ponselku tiba-tiba berdering. Ada satu pesan baru masuk. Aku sedikit kaget ketika melihat nama ‘Vie2’ terpampang di daftar pesan masuk di layar ponselku. Ku buka dan ku baca sebuah sms tiba-tiba darinya itu.
“hi uki, pa kbr? Dah lama bgt ya Qta ga prnah saling krm kbr. Dah sukses ne skrg? Eh, denger2 tmn2 seangkatan Qta dah pd nikah ya? & malah dah ada yg pnya anak jg katanya. Km sndri gmn ki? Dah nikah blm? Kalo aq blm nikah ki, soalnya blm ada calonnya gitu. Mo daftar jd calonnya ga ki?Formulirnya masih banyak tuch, soalnya blm ada yg daftar sm sekail, gituuu. He…he…he…”
Aku tersenyum membaca sms darinya. Dan, kali ini aku bukan cuma sekedar bermimpi lagi. Kali ini segalanya benar-benar ku rasakan nyata adanya.
***
Untuk seorang Lutfi Wulandari (Vie2) in somewhere she is.

Mawar Berduri

Mawar Berduri

Dia tampak begitu sibuk mengamati bermacam-macam bunga yang terhampar indah penuh warna-warni di depannya. Kedua bola matanya yang bulat indah terlihat begitu berbinar dan sumpringah di balik wajahnya yang ayu memandangi hamparan warna-warni bunga-bunga yang tumbuh dan terawat dengan baik di pekarangan belakang rumahku itu. Aku sendiri memang suka dengan keindahan warna-warni bunga-bunga itu, namun aku sebenarnya tidak terlalu hobby dengan yang namanya bunga, apalagi mengoleksi berbagai jenis tanaman bunga lalu mengurus dan merawatnya dengan baik dan teliti. Aku tidak ingin repot-repot setiap pagi dan sore menyirami bunga-bunga itu. Tapi, karena koleksi berbagai jenis bunga yang memenuhi hampir seluruh pekarangan belakang rumahku itu merupakan peninggalan almarhumah ibuku, dan sebelum meninggal beliau berwasiat kepadaku agar aku mengurus dan merawat baik-baik bunga-bunga di pekarangan belakang rumahku itu, maka mau tak mau aku pun harus merawat dan mengurus bunga-bunga itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Karena memang pada dasarnya aku ini tidak terlalu hobby repot-repot dengan yang namanya bunga, maka aku memutuskan untuk menyewa jasa Pak Narno seorang tukang kebun yang di mataku beliau benar-benar terlihat paham dan mengenal betul dengan yang namanya bunga, beliau begitu telaten mengurus dan merawat bunga-bunga warisan almarhumah ibuku itu, selain itu meskipun Pak Narno hanyalah seorang tukang kebun, tapi di mataku beliau adalah sosok lelaki dewasa yang bijak, berwibawa, dan penuh kebapakan, karena itulah beliau sudah ku anggap seperti ayahku sendiri karena setelah ayahku menceraikan ibuku dan memutuskan untuk menikah dengan wanita yang lain serta setelah kepergian almarhumah ibuku, hanya dengan Pak Narno lah aku menempati rumah warisan turun temurun peninggalan nenek moyang kami yang berukuran cukup besar itu. Pak Narno pula lah yang selama ini selalu menyemangatiku untuk selalu tabah dalam menjalani kehidupan yang serba tak tentu ini. Beliau selalu mampu membangkitkan jiwaku dengan kata-kata dan petuah-petuah bijaknya yang kurasakan begitu dalam menyentuh lubuk hatiku. Ah, beliau memang seolah sosok ayahku sendiri, bahkan lebih, karena selama ini sosok ayah di mataku adalah seorang yang workaholic, pagi buta berangkat ke kantor, malam baru pulang lalu langsung istirahat, begitu saja terus berjalan setiap hari sehingga dia seolah lupa dengan keluarganya sendiri, istrinya dan putra satu-satunya ini. Memang, secara materi, kami merasa sangat berkecukupan bahkan lebih berkat hasil kerja kerasnya itu. Tapi dia pikir hanya dengan uang berlimpah saja kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga bisa di dapat. Sama sekali tidak. Dan, kredibilitas sosok ayah di mataku semakin jelek ketika lama-lama ayah sering telat pulang ke rumah, bahkan tidak jarang pula ayah tidak pulang ke rumah sama sekali dengan alasan lembur meskipun ketika ibu mencoba mengecek dengan menelepon ayah ke kantor, ternyata ayah tidak sedang lembur sama sekali. Ibu pun menaruh kecurigaan semenjak saat itu sampai akhirnya suatu ketika Ibu memergoki ayah sedang berduaan dengan wanita lain di sebuah restoran ternama di ibu kota. Sejak itu pula Ibu meminta cerai dengan ayah meskipun sebenarnya ayah sudah berulangkali meminta maaf kepada Ibu dan berjanji tidak akan menyeleweng lagi, namun keputusan Ibu sudah bulat, Ibu menginginkan perceraian. Akhirnya Ibu dan ayah pun cerai. Aku memilih untuk ikut dengan ibu dari pada dengan ayah, karena selain akhirnya ayah menikah lagi dengan WILnya itu, tapi juga karena memang selama ini aku merasa lebih dekat dengan Ibu dari pada dengan ayah.
Sebetulnya aku sama sekali tidak membenci ayah, karena secara materi ayah telah benar-benar menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga untuk menafkahi dan mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Justru dengan WILnya itulah aku menaruh kebencian yang mendalam. Dasar wanita kegatelan! Sudah tahu orang sudah punya istri dan anak, masih saja di rayu, ah, paling-paling dia juga mau mengincar uang ayahku saja. Dasar wanita mata duitan!
Dan, entah kenapa pula setelah perceraian itu, aku seolah merasa paranoid dengan yang namanya wanita. Bahkan aku seolah merasakan kebencian mendalam kepada yang namanya wanita meskipun sebenarnya aku pun sendiri sadar bahwa tidak semua wanita itu sama karena Ibuku sendiri juga adalah seorang wanita. Mungkin saja kebencianku akan wanita ini karena didasari kebencianku dengan wanita yang telah merebut ayahku dari sisi Ibuku. Ah, wanita itu memang lebih segar, lebih semok, dan lebih cantik serta lebih muda dari pada Ibuku, pantas saja ayah terpikat dengannya. Ah, dasar wanita cantik kegatelan dan mata duitan! Wanita memang layaknya sebuah bunga mawar yang begitu indah yang membuat kita serasa ingin memetiknya, namun dibalik keindahannya, durinya yang menusuk tajam bisa menggoreskan luka berdarah pada tangan kita.
Kedua bola matanya yang sedari tadi mengamati hamparan warna-warni bunga-bunga yang ada di pekarangan belakang rumahku itu, kini berbalik menoleh ke arahku.
“Mas Budi pasti hobby banget menanam bunga, dan tentu sangat paham betul bagaimana cara merawat dan mengurus bunga-bunga ini dengan baik.” Kata gadis itu diringi senyumnya yang manis dan mempesona.
Ah, lelaki mana yang tidak terpikat jika seorang gadis jelita yang berwajah ayu dan bertubuh putih mulus nan ramping melemparkan senyum terindahnya kepada kita.
“Kok kamu bisa bilang begitu?”
“Lho, bunga-bunga di pekarangan ini kan begitu terurus dan terawat dengan baik, gak ada satu pun bunga-bunga disini yang tampak layu, pokoknya bunga-bunga itu tampak segar dan indah kaya aku gitu deh, soalnya aku pandai merawat dan mengurus diri, he..he..he..ya gak Mas? Nah, kalau bunga-bunga itu pasti Mas Budi yang mengurus dan merawat mereka, makanya terlihat segar dan indah semua, ya kan?” Jawabnya kembali diringi senyumnya yang indah dan terkesan manja menggoda.
Ah, kau memang segar dan indah sama halnya dengan bunga-bunga itu. Tapi lebih tepatnya kau bagaikan setangkai mawar merah nan indah di pagi hari yang baru mekar, karena namamu sendiri memanglah Mawar dan usiamu sendiri yang memang masih muda belia meskipun cara pandang dan cara pikirmu jauh lebih dewasa daripada usiamu itu. Ya, kebetulan nama gadis itu adalah Mawar Ayu Sekarningrum dan orang-orang memanggilnya Mawar. Ah, gadis itu memang seindah dan seayu namanya. Dan aku pun tidak bisa membohongi hatiku sendiri kalau aku sebenarnya memang telah jatuh hati dengan pesona kecantikan gadis itu.
“Kamu salah, Mawar, aku sama sekali tidak hobby menanam bunga-bunga dan bukan aku yang mengurus dan merawat bunga-bunga itu.”
“Lho, terus kok bisa ada banyak bunga-bunga di pekarangan rumah Mas Budi?”
“Itu warisan peninggalan almarhumah Ibuku, dan sebelum meninggal beliau memintaku untuk selalu merawat dan mengurus bunga-bunga itu dengan baik.”
“Lalu, kalau begitu siapa dong yang mengurus dan merawat bunga-bunga itu?”
“Karena pemahamanku seputar bunga sangatlah minim, aku menyewa seorang tukang kebun untuk merawat dan mengurus bunga-bunga itu dan itu semua kulakukan tak lain dan tak bukan demi almarhumah ibuku, bukan karena aku ini hobby menanam dan merawat bunga seperti dugaanmu itu.”
“Ooo…begitu. Eh, ngomong-ngomong di antara bunga-bunga itu bunga apa yang paling Mas Budi suka.” Tanya dia sembari menunjuk ke arah hamparan bunga-bunga itu.
“Menurutku semua bunga-bunga itu sama-sama bagus dan indahnya.” Jawabku ringan dan datar.
“Mas Budi kok jawabnya gitu sih, tadi kan Mawar tanya yang paling disukai Mas Budi itu bunga apa, gitu? kok malah disukai semua, gimana sih?” Protesnya kepadaku. Ah, wajahnya yang berubah cemberut menunjukkan ketidakpuasannya atas jawabanku itu. Ah, cemberut atau tidak, kau sama saja, tetap cantik.
Ah, namanya juga wanita. Dimana-mana yang namanya wanita selalu saja bersikap manja dan kekanak-kanakan ketika dia sedang berdua dengan seorang lelaki. Aku cuma tersenyum kecil melihat rona mukanya yang berubah cemberut.
“Lho, kok Mawar jadi berubah cemberut dan sewot gitu sih? Coba kamu lihat bunga mawar itu, bunga mawar itu aja dari dulu gak pernah cemberut dan sewot sama aku.”
“Habisnya Mas Budi sih, ditanya bener-bener kok jawabnya seenaknya sendiri. Ayo sekarang jawab yang bener!” pintanya manja dan terkesan kekanak-kanakan.
“ehmmm…bunga apa ya? Aha, bunga mawar! Ya, bunga mawar menurutku bunga yang paling indah diantara hamparan bunga-bunga di pekarangan ini. Coba kamu lihat lagi bunga mawar itu, terlihat paling indah kan?”
“Bener nih? Mas Budi gak bohong ‘kan?”
“Lho, ngapain aku bohong sama Mawar? Mawar itu gak pantas untuk di bohongi, sama halnya dengan bunga mawar itu gak boleh di biarkan terlantar begitu saja, tapi harus dirawat dan diurus agar keindahannya tetap terjaga, begitu.”
Ah, sebenarnya aku berbohong saja. Aku bahkan sebenarnya paling benci dengan bunga mawar karena berulang kali aku tertusuk durinya ketika hendak memetiknya waktu aku dulu sedang iseng-iseng membantu Ibuku menyiram bunga-bunga di pekarangan rumah kami itu, begitu pula ketika aku juga sedang membantu Pak Narno merawat dan menyirami bunga-bunga itu, lagi-lagi tanganku tertusuk duri mawar ketika aku hendak memetiknya. Tapi, bukan karena itu saja aku membenci bunga mawar yang memanglah sangat indah dan mempesona mata itu, melainkan juga karena wanita cantik yang telah merebut ayah dari sisi Ibuku itu juga bernama depan Mawar, Mawar Kusumaningrum, dan entah hanya karena kebetulan saja atau tidak, Pak Narno, tukang kebun yang sudah aku anggap seperti ayahku sendiri itu, juga pernah dikhianati oleh seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah mantan istrinya sendiri yang lagi-lagi bernama depan Mawar, Mawar Wulaningrum. Tapi, aku berbohong karena terpaksa, hanya semata tidak ingin melihat wajah ayu Mawar yang satu ini ternodai oleh cemberutnya, meskipun di mataku wajahnya tetap saja terlihat ayu mempesona dibalik cemberutnya itu.
“Berarti kita sehati dong, Mas. Mawar juga paling suka sekali sama bunga mawar.”
“Ah, itu kan karena kebetulan aja nama kamu juga Mawar, makanya kamu pura-pura suka bunga mawar itu, ya kan?” ujarku sedikit menggoda.
“iihh, Mas Budi gak percaya banget sih sama Mawar, memangnya muka Mawar menunjukkan muka pembohong apa? Mawar suka bunga mawar karena menurutku bunga mawar itu memang begitu indah dan begitu mempesona setiap mata yang memandangnya sehingga membuat kita ingin sekali memetiknya, tapi hati-hati lho Mas, kalau ingin memetik bunga mawar, bisa bisa tangan kita berdarah karena tertusuk durinya.”
Kau memang betul Mawar. Bunga mawar memanglah bunga yang indah dan mempesona setiap mata yang memandangnya, namun dibalik keindahannya itu terdapat duri-duri tajam menusuk yang bisa membuat tangan kita luka berdarah ketika hendak memetiknya. Dan kau Mawar, kau memang seindah dan semempesona namamu. Kau benar-benar telah mempesona mata hatiku. Kau telah membuatku ingin memetikmu dan memilikimu. Tapi aku berharap kau tiadalah seperti mawar-mawar berduri itu, mawar-mawar yang bisa menancapkan duri luka di balik keindahannya. Aku berharap kau hanyalah sebuah Mawar indah saja yang tiada berduri sama sekali.
“Nak, Nak Budi…”
“Eh, Pak Narno.” Aku yang sedari tadi tampak termenung menatap kosong ke arah hamparan warna-warni bunga di pekarangan itu menjadi sedikit tergeregap, tersadar dari lamunan panjangku ketika tiba-tiba saja Pak Narno menepuk pundakku dari arah belakang.
Ah, aku benar-benar hanyut dalam lamunan panjang akan masa laluku yang membuatku begitu trauma dengan mawar-mawar itu, mawar-mawar berduri itu. Mawar Ayu Sekarningrum ternyata sama halnya dan sama berdurinya dengan Mawar Kusumaningrum yang telah merebut ayah dari sisi ibuku, serta Mawar Wulaningrum yang telah mengkhianati Pak Narno. Mawar Ayu Sekarningrum, gadis cantik jelita yang akhirnya berhasil aku persunting sebagai istriku kini menghilang entah kemana. Mawar Ayu Sekarningrum, seorang istri yang begitu aku cintai dan percayai, ternyata telah mengkhianatiku pergi begitu saja dengan menggondol seluruh uang hasil kerja kerasku selama ini serta uang hasil gono gini ayah dan ibu yang telah diwariskan kepadaku. Ah, semua mawar memang sama, sama-sama penuh duri melukai.
“Nak Budi dari tadi terlihat melamun memandang bunga-bunga itu, sebenarnya apa yang sedang Nak Budi pikirkan?”
“Ah, gak ada apa-apa kok, Pak. Saya cuma sedang memikirkan bagaimana seandainya kalau bunga-bunga mawar itu kita tiadakan saja, kita cabuti lalu kita buang jauh-jauh dari pekarangan ini, atau kita bakar saja sekalian.”
“Maksud Nak Budi?”
“Saya benar-benar benci dan trauma dengan mawar-mawar itu, Pak. Saya tidak ingin melihat ada bunga-bunga mawar itu lagi di pekarangan ini.”
Pak Narno tampak mengangguk-anggukkan kepala mengiyakan saja seolah paham dan mengerti betul arti ucapanku tadi.

Tidak ada surga di telapak kaki ibuku

Tidak ada surga di telapak kaki ibuku

Ini adalah untuk kesekian kalinya sepulang sekolah aku bukannya langsung ngegembel di jalanan mengamen dan meminta-minta belas kasihan orang lain seperti apa yang selalu diajarkan oleh perempuan itu kepadaku, perempuan yang aku panggil ibu itu, tetapi aku justru malah ikut si Putra, teman sekelasku, untuk pulang ke rumahnya. Biar saja nanti perempuan yang aku panggil ibu itu ~ ah, bukan, bukan aku yang memanggilnya ibu, tetapi dia yang mengaku sebagai ibuku dan memaksaku untuk memanggilnya ibu ~ memarahiku, mengomeliku dan mencaci makiku habis-habisan.
“Ah, biarin saja Bud, ibumu itu ngomel sesuka hatinya sendiri, kamu kan punya kuping, ya dengerin sajalah omelannya itu, tapi gak usah digubris, ntar dia juga capek sendiri ngomel-ngomel melulu. Gitu aja kok repot. He..he..he..” kata si Wawan, teman seperjuanganku ngegembel di jalanan suatu ketika.
Biar saja nanti perempuan yang aku panggil ibu itu memukuliku dan menghajarku habis-habisan.
“Ah, biarin sajalah Bud, gak usah dilawan, ntar kalo udah capek, dia pasti berhenti sendiri memukuli kamu. Lagian kamu cengeng amat sih Bud, kaya anak-anak orang kaya itu saja. Kita ini gembel jalanan Bud. Kita ini dilahirkan untuk menjadi seorang petarung yang harus kuat luar dalam, bukannya cengeng kaya kamu gitu. Ya gak Wan?” kata si Anto, teman seperjuanganku ngegembel yang lain sambil meminta persetujuan si Wawan, suatu ketika aku berkeluh kesah kepada mereka berdua. Sementara si Wawan, setali tiga uang dengan si Anto, mengiyakan saja ucapan si Anto itu.
“butul sekali kau, To.” Ucap si Wawan dengan lucunya menirukan logat preman-preman ambon yang berkeliaran di Jakarta itu disusul tawa mereka berdua. Aku yang sebelumnya lagi bersedih pun tak bisa menahan diri untuk ikut-ikutan ketawa bersama mereka. Bersama mereka berdualah aku saling berbagi suka dan duka menjalani nasib menjadi gembel jalanan. Karena memang pada dasarnya kami bertiga mengalami nasib yang sama, ya sama-sama bernasib menjadi gembel jalanan, ya sama-sama punya ibu yang dipanggil lonte yang seolah tiada punya rasa kasih sayang sedikitpun kepada kami, dan satu lagi nasib sama yang menimpa kami bertiga yang membuat kami benar-benar trauma berat menjadi gembel jalanan, yaitu sama-sama pernah menjadi korban sodomi preman-preman ambon kurang ajar itu gara-gara tidak menyetorkan uang keamanan kepada mereka karena memang uang hasil ngegembel kami sudah habis buat membeli perlengkapan sekolah kami.
“Anjing! Bangsat! Biadab! Awas, ntar kalo aku sudah dewasa nanti, dan preman-preman ambon itu sudah mulai tua dan pikun, akan aku bunuh mereka dengan ku potong-potong kemaluannya.” Begitulah kata-kata yang terucap dari mulut kami bertiga waktu itu .
Sementara lonte-lonte yang kami panggil ibu itu masih tetap saja menyuruh kami untuk ngegembel mengamen dan meminta-minta belas kasih orang lain jika masih ingin tetap sekolah.
“Ah, dasar lonte! Katanya kita ini anak kandungnya, masa biayain sekolah anaknya sendiri saja gak mau, malah uangnya dibuat untuk membeli bedak lah, lipstik lah, untuk perawatan kecantikan lah. Padahal setahu aku sih, kata Mbak Sri tetanggaku yang juga lonte itu, jadi lonte itu uangnya banyak lho!” kata si Wawan.
“Ah, namanya juga lonte, hatinya ya juga hati lonte, sekali lonte tetap lonte forever!” kataku dan si Anto hampir berbarengan.
“Eh, tapi kan denger-denger pemerintah menyediakan dana BOS buat mereka yang pengen sekolah tapi gak punya biaya.” Kata si Wawan kembali.
“Alaaahhh…! Dana BOS apaan?! Dana BOS kok dikorupsi. Dasar pemerintah!” kataku dan si Anto kembali hampir berbarengan.
“Masa sih? Kata siapa?” tanya si Wawan.
“Makanya, sekali-kali nonton TV dong, jangan ngegembel melulu, biar gak kuper!” timpal si Anto.
Tak terasa sudah setengah jam kami berjalan, akhirnya kedua kaki kami sampai juga di depan rumahnya si Putra. Dalam hati aku benar-benar salut dengan si Putra, meskipun dia itu anak orang kaya, namun dia tidak seperti kebanyakan anak-anak orang kaya lainnya yang setiap hari minta diantar jemput ke sekolah pakai mobil. Dia lebih suka jalan kaki ke sekolah. Katanya sih jalan kaki itu sangat baik sekali untuk kesehatan tulang kita. Dia juga tidak suka membeda-bedakan dan memilih-milih dalam berteman. Dan, satu hal lagi yang membuat aku suka berteman dengannya adalah kefasihannya dalam mengaji. Karena itu pula aku sering minta diajarin ngaji sama dia.
“Eh, Budi nanti sore mau ikut Putra gak?”
“Emangnya Putra mau kemana?”
“Khusus setiap hari sabtu sore, Ustadz Husein memberikan ceramah kepada anak-anak TPQ di Masjid.”
“Ustadz Husein itu siapa?”
“Dia itu yang mengajari aku mengaji.”
“Emang boleh kalo aku ikut? Aku kan bukan termasuk anak-anak TPQ disini.”
“Boleh kok, malahan Ustadz Husein senang sekali kalo kita mengajak teman-teman kita menghadiri pengajiannya.”
Akhirnya sore itu aku ikut si Putra menghadiri pengajian yang diasuh oleh Ustadz Husein. Biasanya sore hari begini aku sudah harus berada di rumah. Tentunya ngapain lagi kalo bukan melaporkan uang hasil aku ngegembel kepada si perempuan yang ku panggil ibu itu dan lalu disuruh olehnya bersih-bersih dan jagain rumah, sementara dia sudah mulai berdandan menor siap-siap menjajakan dirinya kepada setiap lelaki hidung belang yang lewat. Ah, peduli amat dengan perempuan itu. Aku akan pulang ke rumah setelah maghrib nanti, setelah mendengarkan ceramah Ustadz Husein dan setelah ikut belajar mengaji kepada beliau. Biarin saja dia nanti marah-marah kepadaku. Aku sudah bosan dengan kehidupan di daerah perkampunganku yang begitu kering akan siraman rohani.
“Surga itu ada di telapak kaki ibu. Karena itu kalian semua harus menghormati dan patuh kepada ibu kalian masing-masing. Jangan sampai kalian membuat ibu kalian murka kepada diri kalian, karena jika ibumu sudah murka dengan kamu, maka Tuhan pun juga akan murka dengan kamu. Kalian tentunya pernah mendengar legenda Malin Kundang, karena dia itu durhaka kepada ibunya, dia dikutuk menjadi patung. Nah, karena itu jangan sampai kalian itu bernasib sama seperti Malin Kundang.”
Kata-kata Ustadz Husein itulah yang selalu terngiang di kepalaku sepanjang perjalanan pulang ke rumah.
“Malin Kundang memang pantas mendapat murka dan kutukan dari ibu kandungnya karena dia tidak mau mengakui ibu kandungnya itu yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang hanya karena malu kepada istrinya karena ibunya itu orang miskin yang berpenampilan kusut dan kumuh. Tapi? Apakah aku juga akan mendapat murka dari perempuan yang aku panggil ibu itu jika aku membuatnya murka kepadaku? Ah, tidak, sama sekali tidak. Perempuan itu sama sekali tiada punya rasa kasih sayang kepadaku seperti halnya seorang ibu menyayangi anaknya. Dia tidak pernah mengurusi diriku yang dianggap sebagai anak kandungnya ini. Dia hanya mengurusi dirinya sendiri. Jadi, buat apa aku menghormatinya? Buat apa pula aku selalu patuh kepadanya?” gumamku sendirian dalam hati.
Langit sudah tampak semakin gelap pertanda hari sudah beranjak malam ketika aku sampai di depan rumah. Ku kira perempuan yang aku panggil ibu itu sudah pergi mangkal ke tempat dia biasa menjajakan dirinya kepada setiap lelaki hidung belang yang lewat. Dalam hati aku merasa gembira karena tidak akan ada orang yang akan memarahiku dan mengomeliku lagi. Setidaknya untuk malam ini saja, sehingga aku bisa langsung tertidur lelap dalam mimpi yang indah, perkara besok perempuan itu akan melipatgandakan kemarahannya kepadaku, itu urusan nanti. Hari ini ya hari ini. Besok ya besok.
Ku buka pintu rumah tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Ku buka pintu rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu karena aku pikir perempuan itu sudah berangkat pergi dari rumah. Tapi? Ah, mataku terbelalak kaget ketika membuka pintu rumah. Di depan kedua mata dan kepalaku sendiri, aku mendapati perempuan yang aku panggil ibu itu sedang berhubungan badan dengan seorang lelaki hidung belang yang telah membayarnya persis di ruang tamu tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuh mereka. Sementara ekspresi wajah mereka berdua tak jauh berbeda denganku. Terperanjat, terbelalak, dan kagetnya setengah mati ketika melihat kedatanganku yang tiba-tiba itu. Nafas mereka terdengar terengah-engah seperti orang yang habis berlari-lari karena dikejar anjing saja. Lalu mereka tampak segera menghentikan tindakan tak senonoh itu dan bergegas mengenakan pakaian mereka ala kadarnya.
“Aduuuhhh! Kenapa harus jadi begini? Mati aku!” gumamku dalam hati,”ah, lebih baik aku segera kabur saja meninggalkan mereka berdua. Biar mereka berdua kembali melanjutkan kenikmatan sesaat mereka yang tertunda gara-gara kedatanganku yang tiba-tiba ini.”
Aku segera membalikkan badan membelakangi mereka dan hendak segera berlari meninggalkan mereka berdua yang terlihat masih saja sibuk membetulkan pakaian yang kembali mereka kenakan serta nafas mereka yang masih terdengar terengah-engah. Namun, tiba-tiba perempuan yang ku pangggil ibu itu mendadak ku dengar memanggilku dengan begitu galaknya. Sementara lelaki hidung belang itu terlihat berlalu keluar dari rumah begitu saja meninggalkan kami berdua setelah meninggalkan beberapa lembaran uang kertas di atas meja.
Sementara aku hanya terdiam saja tidak bereaksi apa-apa ketika perempuan itu memanggilku. Aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa waktu itu. Yang bisa ku lakukan hanyalah diam dan diam saja mendengarkan caci maki, marah, dan omelan perempuan yang aku panggil ibu itu.
“Dari mana aja kamu?! Kok jam segini baru pulang ke rumah?!” tanya perempuan itu sambil menjewer telinga sebelah kiriku yang kurasakan begitu panas dan sakit.
“Ampun Bu. Budi minta ampun, Bu. Budi minta maaf sama Ibu. Budi tadi sama sekali tidak tahu kalau Ibu sedang menerima tamu di rumah. Budi tidak sengaja Bu. Sungguh, Bu. Ampun Bu, ampun.” Aku hanya bisa meng’ampun’ dan meng’ampun’-‘ampun’ dan memelas di hadapannya.
“Ampun, ampun, ampun saja kamu itu. Aku tanya kamu itu dari mana saja, ha?! Kok malah ampun, ampun saja kamu. Enak saja kamu minta ampun. Nih, ampun buat kamu!” ucapnya sambil semakin keras menjewer telingaku.
“Aduuuhhh!!! Sakiiittt, Bu!!! Ampun, Bu!!!” aku mengerang kesakitan menahan panas kupingku mendapat jeweran yang begitu keras dari perempuan itu. Lalu kurasakan perempuan itu perlahan melepaskan jewerannya. Namun, ku tangkap di balik sorot tajam matanya sebuah kemurkaan dan kemarahan yang sangat kepadaku.
“Dari mana saja kamu, ha?!” tanyanya kembali masih dengan nada galak dan marahnya sambil berkacak pinggang.
“Budi habis main dari rumahnya si Putra, Bu.” Jawabku memelas, namun ku lihat sorot mata perempuan itu justru semakin tajam dan buas seperti seekor burung elang yang akan menerkam mangsanya.
“Main?! Main-main sampai jam segini?!”
“Bu…bu…bukan, Bu, Budi tadi ikut mendengarkan pengajian dan belajar ngaji sama Ustadz Husein, guru ngajinya si Putra, Bu.”
“Apa?! Kamu itu anak seorang pelacur, tahu! Mana mungkin ikut mendengarkan pengajian dan ikut belajar ngaji pula! Ooo…jadi sekarang kamu mulai berani membohongi ibu, gitu?!” ujarnya dengan nada suaranya yang terdengar semakin marah. Ku rasakan tangannya kembali menjewer telingaku keras-keras. Keras sekali sehingga ku rasakan telingaku seolah akan terlepas. Kedua bola matanya tampak membelalak menakutkan. Wajahnya ku tangkap terlihat begitu memerah padam menandakan marahnya bukannya semakin mereda tapi justru semakin memuncak saja. Perempuan itu lalu menyeretku ke dapur belakang. Pikiranku seolah bisa memastikan bahwa dia akan memukuliku dan menghajarku habis-habisan seperti yang biasa dia lakukan terhadapku. Lalu, dia melepaskan seretannya terhadapku begitu saja sehingga membuatku tersungkur ke lantai. Perempuan itu kulihat tampak mencari-cari sesutau. Pikiranku kembali mengatakan bahwa dia mencari sesuatu untuk memukuliku dan menghajarku. Dan, benar dugaanku. Dia mengambil sebilah kayu yang tersandar di dinding dapur.
Kedua bola mataku terperanjat kaget dan entah kenapa tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku merasakan sebuah ketakutan yang sangat secara tiba-tiba ketika perempuan itu kulihat menggenggam sebilah kayu keras dan berukuran cukup besar itu yang hendak dia hujamkan ke seluruh tubuhku. Ya, Tuhan! Sebegitu marah dan murka kah dia sehingga tega menghajar aku, anak kandungnya sendiri.
Dalam ketakutan tiba-tiba yang mencekamku, aku spontan segera menyungkurkan tubuhku untuk berlutut, bersimpuh dan bersujud meng’ampun’-‘ampun’ dihadapan perempuan itu.
“Ampun, Bu. Jangan hajar Budi, Bu. Ampun, Bu. Budi mengaku salah. Budi seharusnya minta izin terlebih dulu kepada Ibu. Tapi sungguh Budi tidak berbohong kepada Ibu. Budi sungguh tidak main-main saja di rumah si Putra. Budi sungguh benar-benar ikut pengajian dan belajar ngaji bareng si Putra. Ampuni Budi, Bu. Budi mohon jangan hajar Budi lagi, Bu.”
Perempuan itu sama sekali tidak mengindahkan ‘ampun’ memelasku. Perempuan itu benar-benar telah terasuki iblis jiwanya. Dia dengan kejam dan ganasnya memukuli seluruh badanku dengan sebilah kayu itu yang membuat seluruh badanku memerah lebam-lebam. Dia sama sekali tiada merasa kasihan sedikitpun kepadaku yang terus menerus meng’ampun’ dan mengerang kesakitan. Ah, barangkali benar dugaanku. Dia bukanlah ibuku. Tapi sesosok iblis yang menyerupai ibuku. Seorang ibu tiada mungkin tega menghajar anak kandungnya sendiri. Merasa ‘ampun’ melasku dan erangan kesakitanku sama sekali tak membuatnya merasa kasihan kepadaku, aku berpikiran untuk melawannya. Peduli amat dengan posisi dia sebagai ibuku. Peduli amat dengan ceramah ustadz itu yang katanya surga ada di telapak kaki ibu. Tidak mungkin surga berada di bawah telapak kaki seorang ibu yang tak berperikemanusiaan seperti ini.
“Cukup! Cukup! Aku bilang cukup, wahai wanita jalang!” Ucapku dengan nada suara meninggi namun terdengar serak karena menahan tangis.
Sementara perempuan itu seolah mendengar petir di siang bolong mendengar ucapanku itu. Ku tangkap kedua bola matanya tampak memelototiku tajam-tajam. Terbersit aura kemurkaan yang begitu sangat di balik sorot tajam matanya itu. Sekilas ku lihat wajahnya bukan lagi menampakkan wajah asli perempuan itu, tapi wajah sesosok iblis yang begitu kejam yang bertubuhkan perempuan itu.
“Kau bilang apa tadi, ha?!”
“Kau bukan Ibuku. Seorang ibu tiada mungkin tega menghajar anak kandungnya sendiri. Kau adalah wanita jalang yang mengaku-aku sebagai ibuku.”
Matanya menunjukkan kesemakin murkaannya, kedua bola matanya tampak begitu sangat murka sekali menatapku. Dan beberapa saat kemudian ….
“Buuggghhhkkk…!!!”
Sebilah kayu itu dia pukulkan tepat ke arah kepalaku. Aku roboh terkapar dan menggelepar-gelepar di lantai. Darah merah kental mengucur dari kepalaku. Sesaat kemudian ku rasakan diri ini melayang di udara. Dan ku lihat perempuan itu tampak memeluk erat-erat jasadku yang sudah terbaring tiada berdaya sambil terdengar menangis sesenggukan menyesali perbuatannya.