NO GOD BUT ALLAH . . .

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ...

Kamis, 04 Maret 2010

Gus Dur

TOKOH besar dan bapak bangsa -dengan beragam predikat- KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah berpulang ke rahmatullah. Gus Dur adalah sosok pemikir Islam genuine Indonesia. Gus Dur adalah sosok pemikir yang lebih menggambarkan wajah Islam Indonesia: akulturatif, moderat, dan toleran.

Pemikiran Gus Dur berbeda dengan pemikiran mereka yang mencoba menampilkan wajah "Islam skripturalis". Berbeda juga dengan mereka yang mencoba menampilkan wajah Indonesia yang sekuleristik.

Saat ini, rasanya hampir semua gagasan dan pemikiran Gus Dur telah terpublikasikan, baik dalam bentuk karya ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi maupun dalam bentuk kumpulan tulisan yang diedit editor dengan beragam latar belakang paham keagamaan.

Begitu tidak sia-sianya perjuangan panjang nan konsisten yang telah Gus Dur lakukan. Gus Dur telah menuai hasil. Gagasan-gagasannya telah merasuk di sebagian besar generasi muda NU dan dalam batas tertentu juga telah merasuk di sebagian angkatan muda Muhammadiyah.

Relasi Agama-Negara

Ketika rezim Orde Baru bermaksud menetapkan asas tunggal Pancasila, melalui Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU 1984, NU menerima asas tunggal. Dan, salah satu motor penerimaan asas tunggal adalah Gus Dur yang dipilih -melalui mekanisme ahlul halli wal aqdhi- sebagai ketua tanfidziyah PB NU pada muktamar tersebut.

Dibanding ormas lain, NU adalah ormas pertama yang menerima asas tunggal. Alasannya bukan didasarkan "strategi perjuangan politik", melainkan keabsahannya di mata fiqh. NU memberi batasan yang jelas antara wilayah "kekuasaan agama" dan "kekuasaan negara". Agama dan negara mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri.

Atas dasar ini, tidak heran kalau NU dengan mudah menerima asas tunggal. Sementara ormas Islam lain kesulitan beradaptasi dengan keinginan negara. Mereka tidak mampu mendudukkan keimanan dan ideologi. Mereka menganggap soal Pancasila berada di luar soal agama. Pancasila hanya diterima sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan alasan keagamaan.

Menurut Gus Dur, hal itu tidak benar karena berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda, setia pada Pancasila dan agama. Dalam pandangan Gus Dur, kalau setia pada Islam, juga harus setia pada negara. Sebab, negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama. Sementara akidah merupakan milik sendiri. Ada perbedaan, tetapi tetap dalam satu kaitan.

Komitmennya yang begitu total terhadap Pancasila menjadikan Gus Dur sebagai salah satu dari sedikit cendekiawan muslim yang menolak setiap upaya menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Namun, bukan berarti Gus Dur tak menghendaki terciptanya "masyarakat islami" (lebih pada value). Gus Dur berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina "masyarakat Islam". Sebab, itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi, karena ia akan menempatkan nonmuslim sebagai masyarakat kelas dua. Tapi, sebuah "masyarakat Indonesia" yang di dalamnya umat Islam tumbuh kuat -berfungsi dengan baik- dianggap lebih baik".

Relasi Muhammadiyah-NU

Gus Dur termasuk sosok yang menginginkan adanya relasi harmoni antara Muhammadiyah dan NU. Beberapa sikap politik dan pandangan Gus Dur setidaknya menggambarkan kuatnya keinginan tersebut. Ketika sebagian nahdliyin mengklaim NU sebagai satu-satunya representasi Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni), Gus Dur berpandangan bahwa Muhammadiyah, Persis, Perti, dan Al-Washliyah juga layak disebut Sunni.

Dalam konteks politik, Gus Dur senantiasa mencoba melibatkan warga Muhammadiyah. Ketika mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), beberapa tokoh Muhammadiyah duduk sebagai pengurus DPP PKB, seperti dr Sukiat, dan Habib Chirzin. Marzuki Usman pernah menjadi ketua DPW PKB DKI Jakarta sebelum digantikan Muslim Abdurrahman. Ketika menjadi presiden, Gus Dur memercayakan Menteri Pendidikan Nasional kepada Yahya Muhaimin dan kepala LKBN Antara kepada Mohamad Sobary.

Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur kerap menceritakan seputar kedekatan KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Kedekatan ini digambarkan Gus Dur ketika menceritakan mula pertama berdirinya Muhammadiyah, yang sempat muncul penilaian ''sesat" di masyarakat. Penilaian ini sempat disampaikan langsung ke KH Hasyim Asy'ari. Ketika KH Hasyim Asy'ari mengetahui bahwa yang menyebarkan "ajaran sesat" itu ternyata KH Ahmad Dahlan -teman seperguruannya ketika nyantri di Pesantren Langitan, Pesantren Soleh Darat, dan di Makkah, serta merta KH Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa ajaran itu "tidak sesat".

Pahlawan Nasional

Hanya sehari selepas meninggalnya Gus Dur, sudah bermunculan usul dan gagasan dari beberapa pihak untuk memberikan gelar pahlawan kepada Gus Dur. Tidak kurang beberapa pejabat negara, seperti menteri sosial, menteri agama, dan partai politik seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Gerindra merespons positif usul tersebut.

Menilik sumbangsih Gus Dur terhadap bangsa ini, terlebih dalam konteks relasi Islam dan negara, pluralisme, pembelaan, dan penghargaannya terhadap kelompok minoritas, toleransi antarumat beragama, rasanya tidak berlebihan usul pemberian gelar pahlawan diterima. Justru mengherankan kalau negara tidak memberikan gelar pahlawan kepada tokoh sekaliber Gus Dur, yang tidak hanya diakui di lingkup internal NU, nasional, tapi juga di dunia internasional yang ditandai dengan pemberian berbagai penghargaan internasional, termasuk beberapa gelar doktor honoris causa dari beberapa universitas di luar negeri.

Dengan reputasinya yang demikian, pemberian gelar pahlawan menjadi sangat wajar. Karena the real, Gus Dur adalah "Pahlawan untuk Semua". (*)

*). Ma'mun Murod Al-Barbasy, ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

2012 dan Teologi Kiamat

Film 2012 yang tengah beredar di bioskop-bioskop dunia adalah film fiksi ilmiah. Ia bukan film teologi atau film tentang agama. Film 2012 mendapat sambutan yang sangat meriah bukan semata karena film itu terkait dengan isu hari kiamat yang diramalkan bakal terjadi pada 2012, tapi karena ia adalah sebuah film bagus yang penuh dengan adegan memukau. Ada banyak film tentang hari kiamat (doomsday) tapi tak banyak yang mendapat perhatian sebesar 2012.

Saya kira, faktor utama yang membuat film itu ditunggu orang adalah karena ia dibuat oleh sutradara kondang spesialis film-film bencana kolosal. Orang yang pernah menonton film Independence Day (1996) dan The Day After Tomorrow (2004), pastilah akan selalu penasaran ingin menonton film-film Roland Emmerich yang lain. Asal tahu saja, ada beberapa film dokumenter dan semi dokumenter yang mengangkat tema 2012, tapi tak ada yang bisa mengungguli karya Emmerich itu.

Roland Emmerich memang dianugerahi Tuhan kepiawaian dalam membuat film-film fiksi ilmiah. Bakatnya sudah muncul sejak ia menjadi mahasiswa University of Television and Film Munich, Jerman. Karya filmnya, The Noah’s Ark Principle (1981) sebagai persyaratan lulus dari universitas itu, mendapat pujian banyak orang. Film berdurasi 1,5 jam itu diputar dalam Berlin International Film Festival pada 1984. Ketika teman-temannya hanya mampu mengumpulkan uang $US 20.000 untuk mendanai film persyaratan lulus yang diwajibkan universitas, dia mampu meraih $US 600.000. Sejak awal, Emmerich seperti sudah dijodohkan dengan uang.

Hal itu juga dibuktikannya dalam 2012. Dalam waktu 3 hari, filmnya sudah meraup uang menutupi modal pembuatannya. Film berbiaya 260 juta itu langsung menguasai daftar film box-office. Tak diragukan lagi, 2012 bakal menjadi mesin uang baru yang semakin melambungkan nama dan kekayaan Emmerich. Dia tahu betul bagaimana mencetak uang lewat film fiksi ilmiah. Dia menoreh sedikit kontroversi tapi menahan kontroversi yang berlebihan.

Salah satunya adalah keengganannya untuk membuat adegan hancurnya Ka’bah di Mekah dalam 2012. Semula, dalam naskah skenario aselinya, ada adegan bahwa Vatikan, kuil Budha, patung Maria, Ka’bah, dan simbol-simbol suci agama dunia digambarkan hancur-lebur ditelan Bumi yang tengah marah. Tapi beberapa teman Emmerich memberi nasihat bahwa umat Islam pasti akan terpancing kalau Ka’bah mereka ikut dihancurkan dalam film itu.

Dia tak mau mengambil resiko dari para penganut agama yang memang punya preseden mudah mengamuk jika simbol-simbol agama mereka disentuh. Emmerich memilih berkompromi: menampilkan Ka’bah dan kaum Muslim yang mengelilinginya sebelum adegan peristiwa kiamat datang. Cerdas!

Tapi dasar umat yang belum dewasa. Meski Emmerich sudah berhati-hati menyikapi agama ini, tetap saja reaksi paling keras datang dari kaum Muslim. Agama-agama lain tidak memberikan reaksi. Para tokohnya sadar bahwa itu adalah film fiksi ilmiah dan tak layak dikomentari secara agama. Tapi, di Indonesia, tak kurang dari MUI memberikan komentar dan merasa waswas dengan film itu. MUI Malang bahkan mengeluarkan fatwa agar umat Islam jangan menonton film 2012. Alasannya: musyrik. Yang lebih tak masuk akal adalah Front Pembela Islam (FPI) yang mengeluarkan pernyataan akan men-sweeping bioskop-bioskop yang memutar film itu.

Kebodohan selalu melahirkan kebodohan yang lain. Fatwa MUI Malang dan ancaman FPI adalah promosi gratis bagi 2012. Alih-alih mengurangi jumlah orang untuk menonton film itu, reaksi mereka malah mengundang orang untuk menyaksikan film itu. Apalagi kalau bukan karena penasaran? Kaedah ini selalu benar: setiap kali ada sebuah buku atau film dilarang, setiap kali pula orang penasaran untuk membaca atau menontonnya.

2012 adalah film fiksi ilmiah, dan bukan film tentang agama. Siapa saja yang pernah belajar sedikit biologi, sedikit fisika, dan sedikit astronomi, pasti tidak susah memahami kalau 2012 adalah film tentang bencana alam, dan bukan tentang eskatologi. Cuma orang kurang wawasan yang menganggap itu film agama. Seluruh adegan bencana dalam film itu bisa dijelaskan secara ilmiah, setidaknya fiksi-ilmiah. Emmerich tidak pernah berpretensi memasukkan Tuhan di dalamnya, karena sains sudah lebih dari cukup menjelaskan semua peristiwa alam.

Kita patut bersyukur bahwa Tuhan menciptakan orang seperti Emmerich yang memiliki tangan Jibril dan mata Israfil dalam membuat film-film bencana kolosal. Hanya dia yang mampu menghadirkan wahana luar angkasa berukuran raksasa di luar imaginasi kita, seperti dalam Independence Day; hanya dia yang mampu memindahkan kutub utara ke New York, Boston, dan kota-kota besar dunia lainnya, seperti dalam the Day After Tomorrow. Kita bersyukur karena Emmerich membantu imaginasi kita membayangkan kerusakan dunia seperti dalam 2012.

Waktu kecil, saya sering membaca komik-komik tentang kiamat, kehidupan surga, dan neraka. Gambaran komik-komik itu sungguh mengerikan dan cukup membuat saya tak enak makan selama tiga hari. Ilustrasi tentang dunia yang porak-poranda karena ditiup terompet Israfil dan manusia yang meregang nyawa dengan lidah menjulur panjang karena ruhnya dicabut-paksa oleh Izrail, sungguh membuat saya takut tidur dan mengalami mimpi buruk berhari-hari. Kiamat dan akhir dunia di komik itu digambarkan begitu seram yang tak kuat ditanggung anak berusia belasan tahun.

Saya menonton film 2012 bersama anak pertama saya yang berusia 13 tahun. Dia sangat menyukai film itu karena asyik sebagai sebuah tontonan. “It’s scary but totally entertaining,” katanya. Dia mengkaitkan film itu dengan akhir dunia, tapi lebih suka memilih penjelasan sains. Menurutnya, dunia begitu luas, pun jika Bumi hancur berkeping-keping, masih ada planet lain. Jika tatasurya hancur, masih ada miliaran bintang lain yang 10 persennya memiliki kemungkinan kehidupan seperti di Bumi.

Tiba-tiba saya ingat perdebatan post-humous antara al-Ghazali dan Ibn Rushd, dua filsuf besar Muslim, tentang dunia. Kata al-Ghazali, dunia tidak abadi. Jika kiamat datang, seluruh isi dunia akan hancur dan itulah akhir dari seluruh kehidupan. Ibn Rushd menyanggah. Menurutnya, alam raya bersifat eternal, ia abadi, seperti abadinya Tuhan. Jika ada kiamat, maka itu adalah kiamat lokal, di Bumi, di Mars, di Jupiter, di Saturnus, dan seterusnya.

Lewat filmnya itu, saya kira, Emmerich ingin mendukung pandangan Ibn Rushd, bahwa seandainya ramalan Suku Maya benar bahwa kiamat akan terjadi pada 2012, itu adalah kiamat lokal yang hanya memorak-morandakan Bumi. Adapun alam raya akan tetap eksis, ada terus menerus untuk waktu yang tak terhingga.

sumber ww.islamlib.com

Pluralisme

Pasca meninggalnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, semangat keberagaman dalam menjalankan agama dan kepercayaan tidak boleh berhenti. Masyarakat, juga kalangan media massa, harus terus mendorong keberagaman dengan mengembangkan ide-ide toleransi untuk kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan.

Hal itu dikemukakan tokoh muda Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla, Kamis (21/1), pada diskusi ”Prospek Demokrasi dan Kebebasan 2010” menandai peluncuran Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) di Jakarta Media Center.

Diskusi ini juga menghadirkan pembicara Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace Siti Musdah Mulia dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Endy M Bayuni.

Ulil Abshar Abdalla menyatakan, Gus Dur sebagai bapak pluralisme di Indonesia tentu tidak ingin keberagaman yang dirintisnya itu kandas. Kepergian Gus Dur justru harus menjadi tantangan bagi pejuang keberagaman tetap menghidupkan semangat tersebut.

Pascafatwa haram Majelis Ulama Indonesia mengenai pluralisme (termasuk liberalisme dan sekularisme agama) pada 2005, perjuangan keberagaman itu terkesan meredup. Kalangan pengelola media massa juga cenderung melakukan sensor internal setiap kali melansir pemberitaan soal keberagaman.

Terkait upaya untuk terus menghidupkan ide-ide keberagaman, lanjut Ulil, apakah mungkin di masyarakat juga dibentuk semacam otoritas yang melegitimasi perlunya keberagaman. Nurcholish Madjid, misalnya, adalah tokoh yang memiliki otoritas yang perkataannya bisa semacam fatwa.

Siti Musdah Mulia mengemukakan, aspek penting bagi komunitas keagamaan adalah berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama, termasuk di dalamnya hak kemandirian mengatur organisasi.

Kebebasan menjalankan agama seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan itu pun demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik. ”Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama tanpa membedakan suku, bahasa, agama, keyakinan, politik, ataupun asal- usulnya,” kata Siti Musdah Mulia.

Bagi Endy M Bayuni, dalam 11 tahun reformasi ini, diakui, banyak memberikan kemajuan terhadap kebebasan seiring dengan berkembangnya revolusi teknologi informasi. (WHO)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/22/04590479/ide-ide.keberagaman..

Pidato Kebudayaan Ulil Abshar-Abdalla

Tahun 1970an, Islam di Indonesia menghadapi dua fenomena besar. Pertama, represi politik Islam yang dilakukan oleh Orde Baru. Kedua, peningkatan gairah keislaman yang tampak pada penggunaan simbol-simbol Islam dalam kehidupan. Fenomena ini direspon secara luas dan beragam oleh banyak aktivis dan pemikir muda secara bergairah. Gairah pemikiran itu kemudian muncul dalam bentuk gerakan pembaharuan Islam Indonesia.

Di Jakarta, Nurcholish Madjid mencanangkan gerakan pembaharuan Islam melalui pidato berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat di Taman Ismail Marzuki, 3 Januari 1970. Di Yogyakarta, muncul sejumlah pemikir muda yang tergabung dalam Limited Group. Kelompok yang terdiri dari Ahmad Wahib, Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, dan Kuntowijoyo itu aktif berdiskusi dan mempublikasikan tulisan-tulisan kritis mengenai realitas sosial dan pemikiran ummat Islam. Dari kalangan NU tradisional muncul sang fenomenal Abdurrahman Wahid yang memperkenalkan pemikiran pluralisme di Indonesia.

Realitas masyarakat Islam yang dihadapi para pemabaharu Islam awal pada masa itu adalah Islam yang sedang berkembang pesat tetapi pada saat yang sama masih sangat terbelakang dalam hal akses ekonomi dan pendidikan. Di ranah politik, “aspirasi” masyarakat Islam juga tampak marginal menyusul kebijakan Orde Baru yang secara sistematis meminggirkan peran politik Islam.

Kondisi semacam ini menjadikan Islam sebagai agama sangat tidak bergengsi. Bagi Cak Nur dan Gus Dur, peminggiran, dan perasaan terpinggirkan, sangat berbahaya apalagi menimpa kelompok mayoritas. Inferioritas bisa memunculkan eksklusifitas. Pada kondisi yang akut, eksklusifitas bisa muncul dalam bentuk agresif dan anarkis. Terorisme dan radikalisme agama yang marak belakangan ini adalah bentuk agresif dari eksklusifitas dan inferioritas.

Realitas sosio-politik yang dihadapi Gus Dur dan kawan-kawan cukup berbeda dengan realitas kita saat ini. Transisi demokrasi telah membuka peluang ekspresi bagi apa dan siapapun. Struktur kesempatan politik yang terbuka ini tidak hanya menguntungkan gerakan pro-demokrasi, tetapi juga memberi peluang gerak bagi kelompok-kelompok radikal yang selama bertahun-tahun ikut terepresi dalam era otoritarianisme. Tantangan yang dihadapi oleh para pembaharu Islam menjadi lebih kompleks.

Dalam kondisi dan seting sosial baru ini, dibutuhkan formulasi pemikiran Islam baru yang bisa menjawab tantangan baru. Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas Forum Pluralisme Indonesia berinisiatif menggelar sejumlah pertemuan ilmiah untuk melakukan formulasi gerakan pembaharuan Islam yang lebih sesuai dengan tantangan zaman. Sebagai langkah awal, tahun ini, Forum Pluralisme Indonesia akan menggelar Orasi Pembaharuan Islam yang kali ini akan disampaikan Ulil Abshar-Abdalla.

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada:

Hari, tanggal : Selasa, 2 Maret 2010
Waktu : Pukul 19.00 – 21.00 WIB
Tempat : Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta

Forum Pluralisme Indonesia adalah forum yang dibentuk untuk mendukung dan menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaharuan agama. Forum ini terdiri dari pelbagai lembaga, di antaranya adalah Jaringan Islam Liberal (JIL), Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Indonesian Center for Islam and Pluralism (ICIP), The Wahid Institute, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Masyarakat Dialog Antar-Agama (MADIA), Moderat Muslim Society (MMS), Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Persekutuan Gereja-Geraja di Indonesia (PGI), dan Komisi Hak Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Life after Death

There are some who think revival after death is far from their understanding and ask how they shall be raised up after they have been reduced to bones and dust.

Let them recall to mind that they were created out of nothing; first as dust, then a sperm, then a leech-like clot, then a piece of flesh, partly formed and partly unformed, kept in a womb for an appointed term, then brought out as babes and then fostered so that they reached an age of full strength; and further, let them ponder over the fact that the earth is first barren and lifeless but when God pours down rain, it is stirred to life, it swells, and puts forth every kind of beautiful growth in pairs.

Let them understand that He who created the heavens and the earth is able to give life to the dead, for He has power over all things.

God created man from the earth, into it shall he return and from it shall he be brought out again. For everyone after death there shall be an interval (Barzakh) lasting till the Day of Resurrection. On that day all the dead shall be raised up again. Even as God produced the first creation, so shall He produce this new one. We do not know in what form we shall be raised, but as a parable the Qur’an describes the Day of Resurrection as follows

On that day there shall be a dreadful commotion. The heaven shall be rent asunder and melted like molten brass. The sun folded up and the moon darkened shall be joined together, and the stars shall fall, losing their lustre. In terrible repeated convulsions, the earth shall be shaken to its depths and pounded into powder. The mountains shall crumble to atoms flying hither and thither like wool, the oceans shall boil over, there shall be a deafening noise, and the graves shall be turned upside down.

A trumpet shall be blown, no more than a single mighty blast, and there shall come forth every individual soul and rush forth to the Lord – the sinners as blackened, blinded, terror-smitten with eyes cast down and hearts come right up to their throats to choke; and the virtuous, happy and rejoicing. Then all except such as it will please God to exempt shall fall into a swoon. Then a second trumpet shall be sounded, when, behold! they will all be standing and looking on. The earth will shine with the glory, of the Lord and the record of deeds shall be opened.

All shall fully remember their past deeds. Anyone who will have done an atom of good shall see it and anyone who will have done an atom of evil shall see it. They shall also recognize one another, though each will have too much concern of his own to be able to be of help to others.

They will have neither a protector, nor an intercessor except God or those whom permission is granted by Him and whose word is acceptable to Him.

They shall all now meet their Lord. The scale of justice shall be set up, and not a soul shall be dealt with unjustly in the least; and if there be no more than the weight of a mustard seed, it will be brought to account, and all shall be repaid for their past deeds.

There will be a sorting out of the sinners and the righteous. The sinners will meet a grievous penalty but it shall not be more than the retribution of the evil they will have wrought.

All in proportion to their respective deeds and for a period longer and shorter shall go through a state of pain and remorse, designated in the Qur’an as hell, and the righteous saved from hell shall enter a state of perpetual peace, designated as paradise.

Paradise has been described in the Qur’an by similitude in terms of what average human beings value most: dignity, honour, virtue, beauty, luxury, sensuous pleasures, and social discourse-and hell in terms of what they all detest.

People shall be sorted out into three classes. Those who will be fore­most and nearest to God, with whom God is well-pleased and who are well­ pleased with God. They shall have no fear, no grief, no toil, no fatigue, no sense of injury, no vanity, and no untruth. They shall enjoy honour and dignity, and, dressed in fine silks and brocade and adorned with bracelets of gold and pearls, shall live for ever in carpeted places. They will recline on thrones encrusted with gold and jewels facing one another for discourse. They will be served by youths of perpetual freshness, handsome as pearls, with goblets, beakers, and cups filled out of clear fountains of crystal white and delicious drinks free from intoxication and after-aches, which they will ex­change with one another free of frivolity and evil taint. They shall be given fruit and flesh of their own choice in dishes of gold to eat, and shall get more than all they desire. Their faces shall be beaming with the brightness of bliss. They shall have as companions chaste women, their wives, beautiful like pearls and corals. Those who believe and whose families follow them in faith, to them God shall join their families, their ancestors, their spouses, and their offsprings. Rest, satisfaction, and peace will reign all round. This will be their great salvation; but their greatest reward, their supreme feli­city, will consist in being in the presence of God.

Companions of the right hand who shall have their abode in another garden. They will sit on thrones on high in the midst of trees, having flowers, pile upon pile, in cool, long-extending shades by the side of constantly flowing water. They will recline on rich cushions and carpets of beauty, and so will their pretty and chaste companions, belonging to a special creation, pure and undefiled. They will greet one another with peace. They will also have all kinds of fruits, the supply of which will not be limited to seasons. These are parables of what the righteous shall receive.

Companions of the left hand who shall be in the midst of a fierce blast of fire with distorted faces and roasted skin, neither alive nor dead, under the shadows of black smoke. They shall have only boiling and fetid water to drink and distasteful plants (zaqqum)to eat. Nothing shall be there to refresh or to please.

The fire of hell shall, however, touch nobody except those most unfortunate ones who give the lie to truth.

But for these similitudes, we cannot conceive the eternal, bliss and per­petual peace that awaits the righteous in the life hereafter, nor can we conceive the agony which the unrighteous will go through. They will, however, remain in their respective states only so long as it is the will of God and is in accordance with His plans.

Neither is the bliss of paradise the final stage for the righteous, nor is the agony of hell the final stage for the unrighteous. Just as we experience the glowing sunset, then evening, and then the full moon at night one after another, even so shall everyone progress whether in paradise or in hell stage by stage towards his Lord, and thus shall be redeemed in the end.

Islamic Philosophy

Viewed from the point of view of the Western intellectual tradition, Islamic philosophy appears as simply Graeco-Alexandrian philosophy in Arabic dress, a philosophy whose sole role was to transmit certain important elements of the heritage of antiquity to the medieval West.

However, if seen, from its own perspective and in the light of the whole of the Islamic philosophical tradition which has had a twelve-century-long continuous history and is still alive today, it becomes abundantly clear that Islamic philosophy, like everything else Islamic, is deeply rooted in the Qur’an and Hadith.

Islamic philosophy is Islamic not only by virtue of the fact that it was cultivated in the Islamic world and by Muslims but because it derives its principles, inspiration and many of the questions with which it has been concerned from the sources of Islamic revelation despite the claims of its opponents to the contrary.’

All Islamic philosophers from al-Kindi to those of our own day such as ’Allamah Tabatabai have lived and breathed in a universe dominated by the reality of the Qur’an and the Sunnah of the Prophet of Islam. Nearly all of them have lived according to Islamic Law or the Shari ah and have prayed in the direction of Makkah every day of their adult life.

The most famous among them, such as Ibn Sina (Avicenna) and Ibn Rushd (Averroes), were conscious in asserting their active attachment to Islam and reacted strongly to any attacks against their faith without their being simply fideists.

Ibn Sina would go to a mosque and pray when confronted with a difficult Problem,’ and Ibn Rushd was the chief qadi or judge of Cordova (Spanish Cordoba) which means that he was himself the embodiment of the authority of Islamic Law even if he were to be seen later by many in Europe as the arch-rationalist and the very symbol of the rebellion of reason against faith. The very presence of the Qur’an and the advent of its revelation was to transform radically the universe in which and about which Islamic philosophers were to philosophize, leading to a specific kind of philosophy which can be justly called “prophetic philosophy”.

The very reality of the Qur’an, and the revelation which made it accessible to a human community, had to be central to the concerns of anyone who sought to philosophize in the Islamic world and led to a type of philosophy in which a revealed book is accepted as the supreme source of knowledge not only of religious law but of the very nature of existence and beyond existence of the very source of existence.

The prophetic consciousness which is the recipient of revelation (al-wahy) had to remain of the utmost significance for those who sought to know the nature of things. How were the ordinary human means of knowing related to such an extraordinary manner of knowing ? How was human reason related to that intellect which is illuminated by the light of revelation ?

To understand the pertinence of such issues, it is enough to cast even a cursory glance at the works of the Islamic philosophers who almost unanimously accepted revelation as a source of ultimate knowledge.’ Such questions as the hermeneutics of the Sacred Text and theories of the intellect which usually include the reality of prophetic consciousness remain, therefore, central to over a millennium of Islamic philosophical thought.

The existence of God

After Wensinck’s brilliant study, a fresh examination of the argument for the existence of God in Islam might appear impertinent. Some justification for the present discussion, however, may be found in the fact that some of the material on which this study is based was not available to Wensinck, when his monograph appeared in 1936, and in the slightly different interpretation of certain relevant data here attempted.

The systematic examination of the proofs of the existence of God should be preceded by a legitimate enquiry: Is the demonstration of God’s existence possible at all? In the Latin scholastic treatises of the Middle Ages, as for example in the Summa Theologica of St. Thomas Aquinas (d. 1274) this enquiry figures as the prelude to the demonstration of God’s existence proper.

Although Wensinck has discussed some aspects of the problem of knowledge (erkenntnislehre) in his celebrated Muslim Creed, he does not touch upon this particular aspect of the problem in his monograph, except incidentally, as, for example, in connection with Al-Ghazali’s attitude to the question of God’s existence. But this question, it would seem, requires a fuller treatment than is accorded it in that parenthesis.

In his two little tracts; Fasl al-Maqal and al-Kashf ‘an Manahij al-Adillah, Ibn Rushd (d. 1198) raises this question in a systematic way. In the former tract, he is concerned with a wider problem:

Whether the philosophical method tallies with the teaching of revelation or not – to which he replies in the affirmative. “for if the aim of philosophy,” he writes, “is nothing other than the consideration of existing things and their examination, in so far as they manifest the Creator –viz. in so far as they created objects… revelation (al-shar‘) definitely enjoins the consideration of existing things and commends it” – a thesis which he supports by a wealth of Quranic quotations.

When he returns to this question at the beginning of Al-Khasf, he distinguishes between three schools of thought on the specific problem of God’s existence: The Literalist who reject rational argument altogether and claim that God’s existence can be known by means of authority (al-sam‘) only.

The Ash‘arites (with whom he includes the Mu‘tazilites) who admit the possibility of a rational demonstration of the existence of God from the concepts of temporality (huduth) or contingency (jawaz), as we will see later and finally the Sufis who claim that we apprehend God directly but “whose method,” as Ibn Rushd observes, “is not speculative at all” and which, even if its validity is conceded, is not common to all men.

The earliest systematic discussion of the problem of knowledge (erkenntnis) as a prelude to theological discussions which has come down to us is found in Al-Baghdadi’s (d. 1037) Usul al-Din. It is possible that Al-Baghdadi continues a more ancient tradition, initiated by the Mu‘tazilite doctors of the 9th century, as their preoccupation with such abstract questions as notions (ma‘ani), science (‘ilm), etc. suggests. But it is significant that al-Baqilani (d. 1013), who is credited by some ancient authorities with having refined the methods of Kalam, does not dwell on this question at any length in the opening chapter of his Tamhid.